Senin, 30 November 2015

[Book Review] Engkau... Cahaya Hatiku - Nia Sutardi





“Ara membiarkan bagaimana bibir Rahman menyentuh jari manisnya. Lamat-lamat getaran dan perasaan hangat itu menjalar ke seluruh tubuhnya, melintasi setiap urat nadinya. Jantungnya terasa berdetak lebih cepat. Gadis itu deg-degan. Ada rasa lain yang melintas begitu saja. Rasa yang nggak pernah ia tahu apa namanya”
(Hlm. 135)

Judul                           : Engkau… Cahaya Hatiku
Penulis                        : Nia Sutardi
Penyunting                 : Fatimah Azzahrah
Desain sampul            : Gunawan
Tata letak                    : Cintia
Pemeriksa aksara       : Julian
Penerbit                      : Media Pressindo
Tebal                           : 192 hlm
Cetakan                      : Pertama, 2015
ISBN                           : 978-979-911-535-5
*Blurb:
Samar-samar terdengar suara seorang cowok mengaji yang berasal dari dalam masjid. Suaranya menggaung merdu di telinga Ara. Sejenak gadis itu menghentikan aktivitasnya bermedia sosial. Seperti antenna yang menjadi sinyal, Ara memasang kedua telinga lebih lebar.
Mendadak hatinya sedikit bergetar…
***
Ara nggak nyangka kalau ia harus diasingkan di sebuah tempat yang sinyalnya paling Cuma satu-dua bar oleh Cinta, kakaknya sendiri. Oke, dosanya nggak bisa dibilang kecil: ketahuan sering bikin party dan membengkakkan tagihan kartu kredit.
Tapi hukuman dari Cinta juga nggak bisa dibilang ringan untuk ukuran seorang cewek yang udah nggak pernah mendapatkan kasih sayang orang tua lagi. Ara harus ikut program pesantren. Selama dua minggu pula! Ini maksudnya biar Ara dapet Hidayah, gitu?
Semua dijalani Ara dengan setengah hati. Hingga suatu hari, ia jatuh cinta pada seorang lelaki yang telah mendapat amanat khusus dari Cinta. Seseorang yang memperkenalkannya pada kerumitan cinta, sekaligus keikhlasan…

***


Tak disangka, party besar-besaran yang Ara adakan di rumahnya dengan teman-temannya yang lain harus berakhir pahit. Cinta, kakak Ara berhasil memergoki mereka. Emosi Cinta yang memuncak kala itu tak bisa dibendung lagi. Terlebih saat mengetahui tagihan kartu kreditnya yang jebol gara-gara ulah adiknya tersebut. Azzura atau yang kerap dipanggil Ara adalah seorang gadis remaja yang berwatak tempramen, keras kepala dan suka menghabiskan waktu dengan hal-hal yang gila. Tak heran jika Cinta sering dibuat kesal olehnya.
Sebagai gambaran anak muda jaman sekarang, Ara sebenarnya hanyalah seorang gadis remaja yang kurang mendapat kasih sayang dan perhatian. Kedua orang tuanya telah lama meninggal, dan kini ia hanya hidup bersama Cinta, kakak kandungnya. Namun, kakaknya tersebut justru lebih disibukkan dengan bisnis perusahaan yang merupakan peninggalan kedua orang tua mereka. Bukan tidak mungkin, kondisi tersebut memberi dampak tersendiri bagi kehidupan Ara. Perhatian dan kasih sayang yang seharusnya ia dapat kini sirna begitu saja. Berdampak dari semua itu, seperti inilah kehidupan Ara yang sekarang.
Bukankah tidak ada akibat jika tanpa adanya sebab?
Alih-alih untuk memberikan hukuman kepada adiknya tersebut, Cinta tak segan-segan untuk mengirimkan Ara ke pondok pesantren di Kota Bandung. Berharap agar Ara berubah menjadi gadis yang baik dan bisa membenahi sikap buruknya. Keputusan tersebut mau tidak mau membuat Ara harus terpisah dengan teman-teman dan kekasihnya, Vasco. Hari pertama Ara di pesantren terasa begitu kacau. Mulai dari dikunciin di kamar, beradu mulut dengan Fitri, dan dipermalukan di kelas Ustaz Hidayat. Sontak, keadaan tersebut membuat Ara merasa tidak nyaman. Ditambah kini, kekasihnya, Vasco seolah bersikap cuek dan jarang menghubunginya lagi. Ara mulai menaruh kecurigaan terhadap kekasihnya itu, terlebih saat ia mendengar suara perempuan di ujung telepon yang tengah bersama Vasco.
Siapakah perempuan itu?
Di tengah kegundahan hatinya tersebut, Ara menjumpai sosok lelaki yang perlahan membuat hatinya luluh dan terpesona. Ya, sosok lelaki yang memperkenalkannya pada kerumitan cinta, sekaligus keikhlasan…
Lantas… seperti apakah bentuk keikhlasan yang Ara terima? Tutup
Dan, Vasco? Siapakah suara wanita di ujung telepon itu? Akankah keihklasan itu dimulai dari sana?

***

Sebelumnya, beribu terima kasih untuk Mbak Nia Sutardi __penulis Engaku… Cahaya Hatiku__ yang telah menghadiahkan buku ini untukku semasa Blogtour di blog kak Luckty. Something rasanya J.
Ok! Pertama kali membaca buku ini, sejujurnya aku merasa kurang tertarik dengan isi ceritanya. Entah kenapa, ceritanya menurutku cenderung klise. Tapi, di satu sisi ada satu hal yang membuatku cukup tertarik untuk menuntaskan buku ini sampai akhir.  Latar tempat atau setting dari cerita ini. Yup, keseluruhan dari isi cerita di buku ini menggunakan pesantren sebagai latar tempatnya. Cukup mendominasi, sehingga untuk membacanya pun aku juga tidak merasa bosan. Menurutku, lewat buku ini aku bisa mendapat nuansa yang baru dari biasanya. Sekarang, coba kita bayangkan, latar pesantren sangat mendominasi buku ini, dan mau tidak mau kita juga harus merasakan bagaimana rasa dan suasananya berada di pesantren lewat tokoh Ara. It’s something new for me!
Jika boleh jujur, ini adalah buku fiksi berlatar pesantren pertama yang aku baca. Kelebihannya, lewat buku ini, terutama melalui tokoh Ara kita diajak melihat bagaimana kondisi pesantren pada umumnya. Seperti kegiatan santrinya, kebiasaan disiplinnya, dan beberapa kegiatan agama yang lain.
Entah sisi positif atau negatif yang aku dapat dari situ, karena di sini Ara lebih banyak bercerita tentang tidak enaknya hidup di pesantren. Membiasakan segala hal yang justru sangat berbalik lurus dengan kesehariannya. Intinya, hidup di pesantren itu nggak enak, menurut Ara.
Jika berbicara mengenai tokohnya, Ara, aku setuju dengan apa yang mbak Luckty tulis di postingannya. Ara sebagai bentuk representasi anak remaja jaman sekarang yang kurang mendapat perhatian dan kasih sayang, seperti dengan yang sudah kutulis di awal. Dari situlah, Ara tumbuh menjadi gadis yang tempramen, keras kepala dan mungkin juga introvert.
Oh iya, pada saat menjelang ending aku sempat dibuat greget dan emosi. Terlebih saat tokoh Fatimah menuduh Ara. Fatimah yang terkenal sebagai sosok perempuan santun, taat dan gemar berhijab ternyata bisa bersikap tak menyenangkan seperti itu. Pengin rasanya neriakin di depan mukanya keras-keras, Hahaha. Dari bagian cerita tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa penampilan luar seseorang yang terlihat baik tidak sepenuhnya menjamin kebaikan juga dalam dirinya. Bukan begitu?

Beberapa pesan moral yang bisa kita kutip dari buku ini:
1.      Pertama, lewat tokoh Cinta kita bisa mendapat pengajaran yang berharga. Terutama untuk orang tua yang mempunyai anak atau kakak yang kini sedang mengasuh adiknya. Sesibuk apapun urusan kita, berilah sedikit waktu luang untuk anak atau adik kita. Dengan begitu, mereka tak akan merasa kesepian dan punya teman untuk sekadar berbicara.
2.      Dari tokoh Ara pula kita bisa mengambil banyak pelajaran. Salah satunya adalah apa yang telah Rahman ajarkan padanya. Keikhlasan. Dari situ kita bisa belajar bahwa kita harus rela dengan apa yang telah terjadi kepada kita. Kita harus kuat dan menerimanya dengan berlapang dada. Misalnya, saat Ara mendapat fitnah dari Fatimah, teman sekamarnya. Meski sangat kecewa dan terpukul, namun Ara mencoba untuk ikhlas sewaktu tahu bahwa dirinya harus dikeluarkan dari pesantren tersebut secara tidak hormat. Sungguh teganya Fatimah terhadap Ara ~

Persembahan terakhir, 3,5 dari 5 bintang untuk keikhlasan hati Ara. Dan, untuk Mbak Nia Sutardi, tetaplah berkarya! Ditunggu judul berikutnya yang tak kalah seru!

Terima kasih!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar