Judul : Daun Yang
Jatuh Tak Pernah Membenci Angin
Penulis :
Tere Liye
Cetakan : Ketujuh belas,
September 2014
Tebal : 264 hlm
Penerbit : Gramedia
Pustaka Utama
Kategori : Novel
ISBN : 978 – 979 –
22 – 5780 – 9
Blurb:
Dia
bagai malaikat bagi keluarga kami. Merengkuh aku, adikku, dan Ibu dari
kehidupan jalanan yang miskin dan nestapa. Memberikan makan, tempat berteduh,
sekolah, dan janji masa depan yang lebih baik.
Dia
sungguh bagai malaikat bagi keluarga kami. Memberikan kasih sayang, perhatian,
dan teladan tanpa mengharap budi sekali pun. Dan lihatlah, aku membalas itu
semua dengan membiarkan mekar perasaan ini.
Ibu
benar, tak layak aku mencintai malaikat keluarga kami. Tak pantas. Maafkan aku
Ibu. Perasaan kagum, terpesona, atau entahlah itu muncul tak tertahankan bahkan
sejak rambutku masih dikepang dua.
Sekarang
ketika aku tahu dia boleh jadi tidak pernah menganggapku lebih dari seorang
adik yang tidak tahu diri, biarlah…. Biarlah aku luruh ke bumi seperti sehelai
daun… daun yang tidak pernah membenci angina meski harus terenggutkan dari
tangkai pohonnya.
***
“Kebaikan itu seperti
pesawat terbang, Tania. Jendela-jendela bergetar, layar teve bergoyang, telepon
genggam terinduksi saat pesawat itu lewat. Kebaikan merambat tanpa mengenal
batas. Bagai garpu tala yang beresonansi, kebaikan menyebar dengan cepat.”
Hlm. 184
Sepasang kakak beradik yang menghidupi diri dengan mengamen itu
adalah Tania dan Dede. Semenjak kepergian sang Ayah, mereka bersama Ibunya
harus terpaksa pindah ke rumah kardus yang sangat kumuh. Rumah kardus kumuh itu
terletak di pinggir sungai bercampur dengan sampah-sampah yang sebenarnya
sangat tak layak untuk ditinggali. Sang Ibu yang sedang dalam kondisi tidak
sehat, memaksakan sepasang kakak beradik yang masih belia itu harus berhenti sekolah
dan mengamen di terminal. Seolah, tak ada sedikit pun harapan masa depan yang
lebih baik untuk keduanya.
Hingga tibalah mereka pada malam itu, semua terjadi begitu saja.
Di atas bus kota yang mengantar mereka menelusuri jalan pulang, sosok itu
datang dalam kehidupan mereka. Sosok yang merangkul keluarga Tania.
Menyelamatkan mereka dari kehidupan yang hina. Sosok itu memiliki banyak peran
dalam kehidupan keluarganya. Datang membawa makanan, mainan, membawa mereka
selangkah lebih baik untuk menghadapi kehidupan. Dan turut pula membawa
kebahagiaan dalam keluarga kecil itu.
Di lantai dua toko buku terbesar di kotanya itulah, sosok yang
mereka anggap malaikat itu menjanjikan sebuah masa depan yang lebih baik. Dia
membiayai sekolah kedua kakak beradik itu, menjamin kehidupan dan pendidikan
yang layak pula.
Namun, apakah masa depan itu seindah dan secerah apa yang telah
dijanjikannya?
Semua akan terjawab, seiring waktu membuktikan tentang apa yang
telah ‘dijanjikannya’ tersebut….
***
Saat membuka lembar pertama buku ini aku sudah merasa sangat
nyaman. Dua faktor yang sangat mendukung menurutku. Latar yang bersetting di
toko buku, dan suasana hujan yang mengguyur kota. Benar-benar perpaduan setting
dan suasana yang amat memikat serta membuat siapa pun akan merasa nyaman saat
membacanya. Cara penulis menggambarkan dan mendeskripsikan keadaan atau suasana
terbilang sangatlah detail, banyak bayangan yang terbentuk di otak kita saat
membacanya. Penulis banyak mendeskripsikannya melalui narasi yang cukup panjang.
Namun menurutku itu tidak terlalu mengganggu kenyamanan saat membaca. Karena
bukan hanya keadaan seperti hujan, dan keramaian toko buku saja yang
digambarkan. Penulis banyak bercerita tentang keadaan sekitarnya. Seperti
jalanan yang macet, keramaian yang terjadi di tenda makanan dan gerai
fotokopian, serta pembangunan yang sedang berlangsung di kota itu.
Sangat suka pula dengan permainan alur yang dilakukan oleh
penulis. Di setiap awal bab, dengan menggunakan PoV 1, si tokoh
utama—Tania—mulai bercerita tentang keadaan di masa sekarang. Setelah itu, kita
diajak mundur beberapa tahun ke masa lalu atau istilah lainnya flashback. Hal
ini juga kita temui di bab-bab berikutnya, selalu seperti itu. Masa sekarang,
kemudian ke masa lalu. Susah juga mendeskripsikannya, alur di buku ini seperti
boomerang. Awalnya kita diajak melihat ke masa sekarang, kemudian flashback ke
masa lalu. Terus seperti itu hingga akhirnya tiba lagi ke masa sekarang,
Menjadi satu kisah dan cerita yang utuh. Paham maksudnya? Ah sudahlah, aku
sendiri juga bingung ngejelasinnya. Pokoknya seru banget alurnya. Hanya saja
yang membuat aku kurang nyaman, adalah penggambaran keadaan—seperti yang aku
sebutkan di atas—banyak diulang-ulang di setiap awal bab. Seperti ramainya
gerai fotokopian, keadaan jalanan yang macet, dan lain-lain. Di setiap awal
bab, saat si tokoh utama bercerita di masa sekarang, keadaan seperti itu banyak
diulang-ulang.
Berikutnya, lewat buku ini, secara tidak langsung kita juga turut
mengikuti tahap perkembangan hidup seseorang. Mulai dari fase kanak kanak
menjadi remaja dan kemudian beranjak dewasa. Perubahan pola pikir juga kita
rasakan seiring bertambahnya usia beberapa tokoh seperti Tania dan Dede. Kakak
beradik ini yang awalnya digambarkan sebagai anak kecil, seiring berjalannya
waktu mulai banyak melakukan perubahan baik dari segi fisik atau pola pikirnya.
Hal ini benar-benar sangat diperhatikan oleh penulis. Namun, aku rasa tidak
logis ketika Tania yang saat itu masih berusia sekitar sebelas tahun bisa
merasa jatuh cinta dengan lelaki yang berusia sekitar dua puluh tahun ke atas.
Selain itu, masuk ke fase remaja, pola pikir Tania masih sama. Terbilang labil,
dan cenderung tidak berusaha mendewasakan dirinya. Sebenarnya pantas sih kalau
usia remaja dia labil, tapi labilnya itu karena dia mengharap cinta dari orang
yang berumur jauh di atasnya. Agak aneh saja menurutku. Namun, kita lupakan
saja itu. Menurutku Tania baru bisa mengubah pola pikirnya saat ia beranjak
dewasa. Tepatnya saat ia masuk universitas dan menjadi mahasiswi. Dari situ,
kita sudah tidak menemui Tania sebagai sosok yang labil dan baper seperti
sebelumnya.
Analogi-analogi yang penulis ciptakan juga indah dan bermakna,
Seperti ‘daun yang jatuh tak pernah membenci angin’, sebenarnya itu memiliki
makna dan arti yang mendalam bagi kehidupan Tania. Selain itu, jika boleh
berpendapat, karakter Kak Danar dalam cerita ini diciptakan terlalu sempurna.
Seolah tidak ada cacat dan kekurangannya. Seperti dia yang digambarkan sebagai
lelaki tampan, bisa menulis banyak buku, pandai bercerita, jago bermain basket,
dan menjadi GM Marketing di perusahaan terbesar. Sering pula bepergian ke luar
negeri karena bisnis perusahaannya berkembang.
Beberapa bab menjelang ending, emosiku kian terpacu tatkala satu
persatu teka teki bermunculan dan mulai terjawab. Istilah lainnya, dasar dari
segala permasalahan cerita ini mulai terungkap ke permukaan. Terkuak satu
persatu dengan jelas dan tak terlewatkan sedikit pun. Membuat aku sebagai
pembaca merasa cukup puas, dan berkata “Oh, jadi gini ya…” Hanya saja, aku
tidak begitu suka dengan bagaimana teka-teki itu berakhir. Menggantung begitu
saja, dan membuat aku kecewa. Sebenarnya, seperti apa akhir semua itu?
Bahagiakah? Sedihkah? Tidak dijelaskan langsung lewat buku ini. Entah kenapa
semua terasa menyebalkan, aku tidak menemukan jawaban pasti dari semua
permasalahan itu, Namun, seperti yang aku bilang di atas, ada kepuasan yang aku
rasakan karena semua masalahnya telah terungkap dan setidaknya bisa membuat aku
sedikit lega.
Tapi, overall buku ini sangat menjamin untuk dikoleksi. Meski pun
terbilang buku lama, tapi bukankah kualitas buku tidak dilihat berdasarkan baru
atau lamanya?
Terima kasih!
***
“Bahwa hidup harus
menerima… penerimaan yang. Bahwa hidup harus mengerti… pengertian yang benar.
Bahwa hidup harus memahami… pemahaman yang tulus. Tak peduli lewat apa
penerimaan, pengertian, dan pemahaman itu datang . Tak masalah meski lewat
kejadian yang sedih dan menyakitkan.”
Hlm. 196
Quotesnya selain yg dicantumkan, ada lagi kah?
BalasHapus