Judul :
Pulang
Penulis :
Tere Liye
Cetakan :
Kesebelas, Januari 2016
Tebal :
iv + 400 hlm
Penerbit
: Republika
Kategori
: Novel
ISBN :
978 – 602 – 08 – 2212 – 9
Bisa dibeli di: bukupedia.com |
Blurb:
“Aku
tahu sekarang, lebih banyak luka di hati bapakku dibanding di tubuhnya. Juga mamakku,
lebih banyak tangis di hati Mamak dibanding di matanya.”
Sebuah
kisah tentang perjalanan pulang, melalui pertarungan demi pertarungan, untuk
memeluk erat semua kebencian dan rasa sakit.
***
“Bisikkan nama si
Babi Hutan di telinga mereka, maka orang-orang akan gemetar ketakutan. Suruh Si
Babi Hutan bicara, bahkan presiden pun akan terdiam mendengarkan”
Hlm. 315
Bujang
adalah seorang pemuda yang tinggal di lereng Bukit Barisan, tak jauh dari
pedalaman hutan Sumatra. Hari-harinya hanya ia habiskan untuk melihat sawah
tadah hujan milik Bapaknya dan menelusuri hutan di pedalaman Sumatra. Bujang
dibesarkan langsung oleh kedua orang tuanya hingga ia berusia lima belas tahun.
Karena tepat pada hari itu, rombongan pemburu dari kota—yang tak lain juga
teman dekat Bapak Bujang—datang ke kampungnya untuk berburu babi hutan. Sekelompok
pemburu itu mempunyai seorang pimpinan yang biasa dipanggil Tauke Besar. Hari
itu menjadi hari yang bahagia sekaligus menyedihkan bagi Bujang. Bahagia karena
ia bisa ikut berburu dengan para pemburu itu dan menaklukan babi hutan untuk
pertama kalinya. Setelah sekian lama Mamak melarangnya untuk berburu di hutan,
akhirnya hari itu juga apa yang diinginkannya terwujud. Namun, kesedihan juga
menyelimuti perasaan Bujang. Tepat satu hari setelahnya, ia harus ikut dengan
Tauke Besar ke Kota Provinsi. Di kampung, Bujang memang tidak memiliki
pekerjaan pasti, bahkan sekolah saja tidak. Maka dari itu, Tauke Besar
berinisiatif untuk mengajak Bujang pergi ke kota dan menjanjikan masa depan
yang baik untuknya.
Beberapa
tahun sesudahnya, Bujang telah bertransformasi menjadi sosok yang sangat
ditakuti. Ia beralih menjadi jagal dan tukang pukul nomor satu di Keluarga Tong
yang dipimpin langsung oleh Tauke Besar. Keluarga Tong merupakan salah satu keluarga
penggerak shadow economy terbesar di
Kota Provinsi.
“Shadow economy
adalah ekonomi yang berjalan di ruang hitam, di bawah meja. Oleh karena itu,
orang-orang juga menyebutnya black market, underground economy.”
Hlm. 30
Semua
ini berkat Kopong—kepala tukang pukul di Keluarga Tong—yang telah melatih
Bujang hingga ia menjadi tukang pukul andal sama sepertinya Bapaknya dulu.
Bujang juga menjadi kaki tangan langsung Tauke Besar, sekaligus diangkat
menjadi anak angkatnya. Bersamaan dengan ia menjadi tukang pukul, Bujang juga
telah berhasil mengejar ketertinggalannya dalam dunia pendidikan. Berkat
bimbingan Frans si Amerika, Bujang berhasil menjadi lulusan master terbaik di
salah satu universitas Amerika.
Keuntungan lain juga didapatkan oleh Bujang. Dengan kebaikan hati Tauke
Besar, Bujang dilatih menembak bersama Salonga—salah seorang guru tembak
terhebat—dan berlatih menjadi samurai sejati bersama Guru Bushi di Jepang.
Lengkap sudah sekarang, Keluarga Tong mencapai puncak kejayaannya dengan
memiliki Bujang sebagai tukang pukul nomor satu sekaligus penyelesai konflik
tingkat tinggi.
Namun,
seiring berjalannya waktu, puncak kejayaan Keluarga Tong mulai goyah. Banyak
kerusuhan yang terjadi dan melibatkan keluarga itu. Tapi, yang paling parah
adalah ketika tejadinya pengkhianatan besar. Keluarga Tong kini benar-benar
hilang kekuasaan. Lantas, apakah di tangan Bujang, kekuasaan Keluarga Tong bisa
kembali terselamatkan?
Namun,
di tengah kalutnya perebutan kembali kekuasaan Keluarga Tong, seseorang dari
masa lalu Bujang datang dan membawa sedikit pencerahan. Menyadarkannya dan mengingatkannya
pada sebuah jalan.
Jalan
yang nanti kan membawanya pulang…..
Lantas,
sebenarnya apakah makna tersirat dari ‘Pulang’ yang sesungguhnya?
***
Awesome!
Itulah
kesan yang aku dapatkan saat pertama kali melihat penampakan buku ini. Covernya
sangat memikat, penuh filosofi. Akan kamu ketahui makna dari cover tersebut
saat kamu berhasil menyelesaikan buku ini nanti.
Jika
boleh jujur, lagi-lagi aku dibuat jatuh cinta dengan tulisan Tere Liye. Banyak
kesan istimewa yang aku dapatkan lewat novel ‘Pulang’ ini. Dari temanya saja,
sudah sangat menarik dan cenderung tidak biasa. Buku ini mengangkat tema ‘shadow economy’ yang tak lain adalah
sebuah ekonomi hitam yang bergerak di balik bayangan atau bisa disebut illegal.
Cara penulis menuturkan seluk beluk dunia ‘shadow
economy’ ini terbilang cukup mudah dipahami. Didukung dengan pemilihan
diksi dan gaya bahasa yang sederhana membuat pembaca tak berlama-lama untuk
menarik kesimpulan apa itu ‘shadow economy’.
Hal ini sebenarnya juga membuat pembaca mempertanyakan tentang kebenaran shadow economy. Apakah mereka memang
benar-benar ada?
‘Pulang’
dibuka dengan cerita yang cukup memukau. Perburuan babi hutan di dalam hutan
yang dilakukan oleh Bujang dan para pemburu lain terbilang bisa menekan
adrenalin dan emosi pembaca. Adegan action banyak mendominasi buku ini. Dan,
inilah salah satu faktor yang membuat aku konsisten membacanya hingga lembar
akhir. Aku rasa, sepertinya akan bagus juga jika cerita dalam buku ini
difilmkan. Sebuah film laga karya anak bangsa yang dijamin tak kalah seru.
Faktor
lain yang membuat aku jatuh cinta dengan buku ini adalah permainan alur yang
dilakukan oleh penulis. Cerita dalam buku ini terbagi menjadi dua bagian.
Cerita pertama tentang masa lalu Bujang dan mengambil setting waktu dua puluh
tahun lalu. Cerita kedua adalah tentang masa sekarang dimana Bujang menjadi
tukang pukul sekaligus penyelesai konflik tingkat tinggi di Keluarga Tong. Yang
menarik, kedua cerita ini nanti pada akhirnya akan saling bertemu dan menjadi
satu cerita sampai akhir. Sungguh permainan alur yang memikat. Selain itu, Tere
Liye memang lihai dalam mengaduk emosi pembacanya. Salah satunya ada di akhir
bab 16, di situ emosi kita sedang ada di puncak-puncaknya. Namun, justru saat
emosi kita sedang di puncak, Tere Liye kembali memenggal cerita dan membawa
kita kembali ke cerita beberapa tahun silam. Emosi yang awalnya memuncak,
tiba-tiba saja hilang. Bikin greget pokoknya. Tapi itu seru loh! Hal seperti
ini mungkin juga sering kita rasakan saat nonton sebuah sinetron, di mana pas
ada adegan seru-serunya, eh tiba-tiba malah dipotong iklan. Greget iya, seru
juga.
Tokoh
favoritku dalam buku ini tentu saja Bujang, sebagai tokoh utamanya. Bujang
berhasil memikat hati para pembaca, dengan segala kamampuan dan talentnya yang
sebenarnya kurang bisa diterima oleh logika secara langsung. Dengan
kemampuannya yang pandai berkelahi, lihai menembak dan menjadi samurai sejati,
serta menjadi lulusan master terbaik di Amerika bukan tidak mungkin akan
membuat Bujang mendapat tempat tersendiri di hati para pembaca. Namun, seperti
yang aku tulis di atas bahwa kemampuan Bujang terbilang kurang bisa diterima
secara logika. Ia adalah sosok pemuda yang memiliki latar belakang pendidikan sangat
minim—dia hanya belajar bersama Mamaknya, itupun tidak banyak—tapi dalam kurun waktu
kurang lebih 3 tahun ia bisa mendapat gelar master terbaik di universitas
Amerika. Aneh saja menurutku, Bujang dalam buku ini adalah sosok tokoh yang
perfect. Selain Bujang, ada juga tokoh lain yang menyita perhatianku. Yaitu
Yuki dan Kiko—cucu Guru Bushi. Awalnya sempat tertipu dengan penampilan mereka,
sepasang wanita kembar layaknya turis Jepang dan terkesan anggun. Namun siapa
sangka, di balik tampilan luar mereka yang seperti itu, sepasang wanita kembar
ini rupanya adalah pencuri kelas dunia. Mereka lihai dalam melakukan aksinya
dan menguasai beberapa ilmu ninja dari Guru Bushi. Sungguh kamuflase tokoh yang
luar biasa.
Namun,
menurutku ada satu tokoh yang menurutku kurang diperhatikan perkembangannya.
Kopong—kepala tukang pukul Keluarga Tong. Kopong awalnya digambarkan sebagai
seorang tukang pukul dengan wajah sangar, gagah, dan tak jauh dari kesan macho.
Namun, seiring berjalannya waktu, penulis tak begitu mendeskripsikan tentang
perubahan fisik yang dialami oleh Kopong. Hingga pada akhirnya, secara
tiba-tiba Kopong sakit dan mati di usia kurang lebih 50 tahun. Seharusnya
penulis juga harus mendeskripsikan beberapa perubahan fisik yang dialami oleh
Kopong. Soalnya kesan ‘sangar’ dalam diri Kopong sudah terlanjur melekat di
pikiran pembaca. Jadi akan susah untuk kita melepaskan bayang-bayang itu jika
penulis tidak mengambil langkah dengan menuliskan perubahan fisik Kopong di
usianya yang senja. Seperti kulitnya yang mulai keriput, tenaganya yang rentan,
dan rambut yang mulai beruban.
Selain
itu, seperti yang sudah aku tulis di atas. Buku ini banyak didominasi oleh
adegan action. Beberapa yang menjadi favoritku adalah ketika penyerbuan gedung
Grand Lisabon di Makau. Suasana menegangkan yang ada dalam buku dengan mudah
terkoneksi dengan pikiran dan emosi pembaca. Meski pada awalnya rada susah
untuk menggambarkan keadaan yang ada dalam cerita, namun tidak begitu masalah.
Sejauh itu aku masih stay enjoy
membacanya. Selain itu, satu lagi adegan action favoritku dalam buku ini adalah
ketika rombongan Bujang dan Parwez melakukan penyerangan terkait perebutan kekuasaan—cerita
menjelang ending. Bagiku itu sangat menegangkan, seru dan banyak surprise yang
bermunculan. Penulis juga banyak menghadirkan twist-twist yang memukau.
Satu
hal lagi yang menarik dari buku ini adalah setiap ceritanya memiliki
keterkaitan. Salah satunya adalah alasan kenapa Kopong sangat semangat saat
melatih Bujang menjadi tukang pukul. Jawaban dari pertanyaan ini rupanya sangat
berkaitan dengan masa lalu Kopong. Akan terjawab seiring kita membuka lembar
demi lembarnya. Beberapa tokoh lain yang dirasa tidak memiliki keterkaitan satu
sama lain ternyata malah sebaliknya. Tere Liye membuat sebuah cerita dengan
mengaitkan berbagai komponen yang ada di dalamnya, termasuk tokoh itu tadi. Di
sini penulis juga banyak menebarkan beberapa clue yang awalnya membuat kita penasaran. Namun, rasa penasaran itu
seakan lenyap dengan sendirinya seiring kita membuka lembar berikutnya. Tapi
tidak sampai di situ saja, saat kita mulai lupa dengan beberapa clue di awal tadi, rupanya jawaban dari clue itu tadi akan kita temukan di
bab-bab setelahnya. Ini juga menjadi surprise tersendiri buat aku saat
membacanya.
Namun,
menurutku ada pula yang perlu dikritisi dari buku ini, yaitu penggunan sudut
pandang. Penulis menggunakan sudut pandang / PoV 1. Otomatis, penulis harus
bercerita hanya dengan menggunakan sudut pandang satu orang tokoh, yaitu
Bujang—si tokoh utama. Melalui penglihatan, pendengaran dan segala indera si
tokoh utama. Namun, anehnya ada beberapa adegan atau part yang di dalamnya
tidak melibatkan langsung si tokoh utama. Seolah melenceng keluar dari sudut
pandang orang pertama. Salah satunya adalah pada halaman 332:
‘Tapi pagi itu Tuanku
Imam melihat gerakan resahku di atas ranjang. Dia yang selalu disiplin memeriksa
asrama sekolah dan memastikan murid-muridnya beranjak ke masjid tepat waktu
sedang melewati kamarku. Ia menyaksikan tubuhku yang berontak seperti seekor
cacing kepanasan.’
Di
situ, dan di kalimat sebelumnya dijelaskan bahwa Bujang tengah meringkuk resah
di atas ranjangnya, namun anehnya di sini penulis membuat Bujang seolah bisa
melihat semuanya, termasuk melihat Tuanku Imam yang sedang memerhatikannya.
Bagaimana mungkin?
Namun,
terlepas dari beberapa kekurangan tadi, buku ini adalah buku yang penuh makna.
Banyak mengajarkan tentang nilai-nilai kehidupan. Baik diceritakan lewat
narasinya ataupun dialog antar tokoh yang penuh akan makna. Semua itu akan
segera kalian ketahui setelah membacanya. Recommended book!
Terima kasih!
***
“….. Agar besok lusa,
jika hitam seluruh hidupmu, hitam seluruh hatimu, kau tetap punya satu titik
putih, dan semoga itu berguna. Memanggilmu pulang.”
Hlm. 24
Wah, serasa membaca semua buku nya...., Untuk kutipan Quotes nya. Ditandai agar lebih cantik lagi ya...
BalasHapusThanks sudah berkunjung. Thanks juga untuk masukannya :)))
Hapus