Judul : Kei
Penulis :
Erni Aladjai
Tahun terbit : 2013
Cetakan : Pertama
Tebal : x + 254 hlm
Penerbit : GagasMedia
Kategori : Novel
ISBN : 979 - 780 -
649 – 9
Blurb :
Mari
kuceritakan kisah sedih tentang kehilangan. Rasa sakit yang merupa serta perih yang
menjejakkan duka. Namun, jangan terlalu bersedih, karena aku akan menceritakan
pula tentang harapan. Tentang cinta yang tetap menyetia meski takdir hampir
kehilangan pegangan.
Mari
kuceritakan tentang orang-orang yang bertemu di bawah langit sewarna biru.
Orang-orang yang memeilih marah, lalu saling menorehkan luka. Juga kisah
orang-orang yang memilih berjalan bersisian, dengan tangan tetap saling
memegang.
Mari,
mari kuceritakan tentang marah, tentang sedih, tentang langit dan senja yang
tak searah, juga tentang cinta yang selalu ada dalam tiap cerita.
***
“Dalam tempo
1999-2001, tercatat 9.700 korban tewas, 1000 orang cacat fisik, 17.000
perempuan menjadi janda, 15.000 orang menjadi penganggur, dan 321.473 terpaksa
mengungsi akibat perang saudara di Maluku, selebihnya orang-orang menghilang.”
Namira Evav, adalah seorang gadis yang tinggal di sebuah desa
bernama Elaar, Kei Kecil di Kepulauan Kei, Maluku Tenggara. Saat itu, tepatnya
pada bulan Maret 1999, tengah berlangsung sebuah upacara adat yang berlangsung
secara turun temurun. Upacara adat tersebut mereka sebut sebagai upacara ‘Tutup
Sasi Laut’. Namira, yang saat itu bersama Mery—sahabatnya—turut serta
memeriahkan upacara tersebut dengan menjadi salah satu penari Sosoy Swar Man-Vuun—tarian tradisional
adat Kei. Upacara yang pada awalnya
berlangsung khidmat dan meriah tersebut tiba-tiba berubah penuh ketegangan
tatkala segerombolan pemuda datang dan mengabarkan bahwa dalam akan ada
kerusuhan yang melanda daerah mereka.
Hingga, tibalah pada saat itu, semua warga saling berhamburan,
suara teriakan berpadu dengan suara parang yang saling bertautan dan darah
mulai bertumpah ruah. Saat itulah, tanah Kei mengalami kerusuhan. Namira yang
kala itu baru saja pulang dari hutan, mendadak merasakan kaku pada seluruh
tubuhnya. Pemandangan menakutkan yang ada di depan matanya membuat ia tak mampu
bergerak sedikitpun, bahkan berucap sepatah kata pun. Namira tak menyangka,
bahwa peristiwa itu adalah satu dari serentetan kisah yang amat menyedihkan
baginya. Nasib Namira kian menyedihkan, ia hidup berpindah-pindah dari satu tempat
ke tempat pengungsian lain bersama para pengungsi yang bernasib serupa
dengannya. Sengsara. Bahkan, Namira pun tak tahu di mana keberadaan kedua orang
tuanya kini. Kerusuhan itu telah merenggut harta terbesarnya, terutama Ayah dan
Ibunya. Namun, di tengah kerusuhan yang melanda, pemuda itu datang ke kehidupan
Namira. Dia adalah Sala, seorang pemuda dari Desa Watran yang secara tak
sengaja bertemu dengan Namira di sebuah pengungsian. Pemuda yang memberi
harapan masa depan yang cerah untuk Namira. Hingga keduanya saling jatuh cinta
dan mengikat hubungan sebagai sepasang kekasih.
Namun, pepatah memang benar ‘semakin
besar rasa cinta, semakin besar pula tragedinya’.
Lantas, tragedi apakah yang terjadi dalam putaran cinta Namira dan
Sala?
Apakah cinta mereka turut lenyap bersama kerusuhan di tanah Kei?
***
“…hari itu juga ia
berjanji pada dirinya sendiri untuk menunggu satu lelaki. Satu lelaki yang
telah membuat dadanya terus berdebar selama di Langgur. Satu lelaki yang
membuatnya kesepian meski dia hanya pergi dua hari. Tanpa sadar Namira
menggumamkan nama itu.”
Hlm. 191
Aku pertama kali mengenal—sekedar tahu aja—kak Erni Aladjai adalah
ketika ia menjadi host untuk booktour ‘Rindu Yang Membawamu Pulang’. Dan
Alhamdulillah aku terpilih menjadi pemenangnya, hehe. Selain itu, yang
membuatku terkejut adalah ketika aku tahu kalau kak Erni Aladjai ternyata juga
seorang penulis. Salah satu bukunya adalah #Kei ini. Sebelumnya aku juga ingin
berterima kasih sama Kak Nana yang sudah menghadiahkan buku ini untukku lewat
giveaway-nya kemarin, hehe. Hal pertama yang membuatku tertarik dengan buku ini
adalah tagline-nya ‘kutemukan cinta di
tengah perang’. Dari situ, aku mulai menyimpulkan kalau cerita di buku ini
akan sangat menarik.
Secara keseluruhan, buku ini bercerita tentang dua sisi, pertama
tentang tragedi kerusuhan, dan yang kedua bercerita soal cinta. Ekspektasiku
sangat tinggi ketika mengetahui cerita dengan tipe seperti ini, sudah lama
menjadi incaranku. Pada awalnya, aku berasumsi jika buku ini akan menyajikan
kedua cerita tersebut dengan porsi yang seimbang. Namun, aku rasa di sini
penulis lebih banyak mempusatkan cerita kepada tragedi kerusuhan. Tidak masalah
sebenarnya, namun menurutku akan lebih baik jika keduanya disajikan dengan
porsi yang sama. Terlebih, saat kita tahu bahwa romance story sekarang sedang menjadi incaran banyak pembaca. Selain
itu, sebenarnya buku ini bukanlah bacaan yang berat. Karena semua ceritanya
disampaikan dengan diksi, dan kalimat yang mudah dicerna oleh otak. Juga karena
banyak disertai footnotes yang
membuat kita tidak sulit untuk memahami kata atau istilah asing di dalamnya.
Hanya saja, menurutku yang membuat cerita di buku ini terbilang berat adalah
karena dimasukannya banyak hal berbau politik ke dalamnya. Seperti kisruh
lengsernya Presiden Soeharto hingga pada akhirnya berujung banyak kerusuhan 17
tahun lalu. Tidak banyak orang yang bisa mencerna dengan mudah apa dan seperti
apa itu dunia kepolitikan.
Pada saat membaca buku ini sampai pertengahan, aku cenderung
merasa bosan. Kisah cinta yang terjalin antara Namira dan Sala terkesan biasa
dan kurang begitu dieksplor. Meski keduanya sepasang kekasih, namun beberapa
adegan ‘manis’ yang seharusnya ditonjolkan, justru tidak banyak dilakukan oleh
penulis. Hanya beberapa saja dan bisa dihitung. Adegan yang paling mewakili
sisi romance-nya adalah ketika Sala
melamar Namira dan menjanjikan sebuah masa depan yang indah sebagai sepasang
suami istri. Menjelang ending, sisi romance
itu terulang lagi lewat adegan ketika Sala menulis surat cinta untuk Namira,
berkesan sekali. Terlebih saat kita tahu bahwa ending cerita ini sangat tidak
terduga. Namun, tetap saja, aku kurang mendapat kepuasan dari segi romance-nya.
Di balik beberapa kelemahan dari buku ini, ada baiknya kita
membicarakan tentang kelebihannya. Cukup banyak, sehingga bisa membuat aku
konsisten untuk membacanya sampai akhir. Yang pertama, tentang pengkarakteran.
Sala adalah yang paling berkesan. Tipe cowok yang sangat tidak biasa. Dalam
buku ini, Sala digambarkan sebagai seorang laki-laki yang tangguh, pekerja
keras, dan mempunyai pikiran yang tradisional. Sangat paham dengan segala
bentuk adat dan hukum di Pulau Kei. Sehingga segala sesuatu yang ada di
pikirannya pun tidak lepas dari ajaran para leluhur. Mungkin hal ini pula yang
menyebabkan kadar romance dalam buku
ini tidak terlalu menonjol. Karena akan terlihat aneh jika seseorang yang
berpikiran tradisional bisa melakukan banyak hal romantis layaknya Romeo. Bukan
begitu? Oh iya, tadi aku sempat menyinggung jika karakter Sala adalah yang
paling berkesan. Memang iya. Kenapa? Karena karakter tradisional Sala terbilang
cukup spesifik dan mudah dikenali, sehingga bisa dengan mudah melekat di
pikiran pembaca. Sala adalah yang cukup menonjol menurutku dari segi penokohan.
Selain itu, meski cerita dalam buku ini terbilang fiksi, namun ada
pula cerita nyata di dalamnya. Adalah kerusuhan yang terjadi di Pulau Kei. Di
sini, penulis banyak melakukan riset dan penelitian yang cukup akurat. Sehingga,
segala sesuatunya pun terdefinisikan dengan detail dan jelas. Riset itulah pula
yang menyebabkan unsur lokalitas di buku ini sangat kental. Seperti upacara
adat ‘Tutup Sasi Laut’, tarian khas, makanan khas, dan kondisi di Pulai Kei
yang digambarkan dengan baik oleh penulis lewat narasi atau pun dialog antar
tokohnya. Jadi, sekarang bisa kita simpulkan bahwa Kei adalah novel penuh riset.
Benar-benar usaha maksimal yang dilakukan oleh seorang penulis. Tak heran
apabila Erni Aladjai bersama Kei-nya ini bisa menjadi Pemenang Unggulan DKJ
2012. Good job!
Perlu diketahui, bahwasanya buku ini juga mengangkat tinggi
derajat kaum perempuan. Hal ini bisa kita lihat lewat beberapa adegan, dialog
antar tokoh dan salah satu kutipan di dalamnya.
“Sebenar-benarnya lelaki
adalah laki-laki yang marah karena melihat kehormatan perempuan dilecehkan,
lelaki sembarangan tak akan berperang dan menumpahkan darah orang lain.”
Hlm. 185
Permainan alur yang dilakukan oleh penulis juga membuat aku suka.
Cerita flashback memang sangat
mengasyikan untukku. Karena seiring kita membuka lembar demi lembarnya, akan
tersaji satu persatu elemen cerita yang melatar belakangi kejadian di masa
sekarang. Semacam puzzle gitu, kita mengaitkan satu cerita dengan cerita
lainnya sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh. Hal semacam ini pernah aku
kemukakan di review Salon Tua milik Christina Juzwar sebelumnya. Selain itu,
ada juga bumbu persahabatan yang tersaji di sini. Yaitu antara Namira dan Mery.
Suka duka persahabatan mereka yang tersaji dalam buku ini memang salah satu
porsi yang tepat untuk dimasukkan. Cukup bisa memberi kesan untuk pembaca.
Kei juga memberikan nilai persaudaraan antar umat beragama. Saling
mengasihi, dan melengkapi. Intinya, semua orang Kei bersaudara, agama apa pun
itu. Hal ini juga terdapat pada adegan ketika Namira menjalin hubungan baik
dengan salah satu pengungsi beragama Protestan bernama Esme. Keduanya sama-sama
memiliki hubungan baik sebagai orang Kei dan tak ingin ikut serta konflik antar
umat beragama yang terjadi di daerah mereka.
Menjelang ending, seperti yang aku bilang di atas, memang sangat
tidak terduga. Banyak hal atau peristiwa yang cukup membuatku terkejut. Salah
satunya datang dari Sala. Pokoknya seru deh! Aku suka sekali. Saat menutup
lembar terakhir buku ini pun aku masih sempat berpikir….
‘Bagaimana
ya nasib Namira selanjutnya?’
Terima kasih!
***
“Kita adalah
telur-telur yang berasal dari ikan yang sama dan seekor burung yang sama pula.”
-Pepatah adat Pulau Kei-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar