Selasa, 25 April 2017

[Movie Review] DANUR: I CAN SEE GHOSTS


Pada hari Sabtu kemarin,  tepatnya tanggal 18 April, saya bersama teman-teman saya sudah berencana untuk menonton Danur. Saya, dan salah satu teman saya—Annisa—yang pada dasarnya sangat menggemari buku-buku karangan Risa Saraswati, terutama Gerbang Dialog Danur, tentu sangat menanti-nantikan momen ini. Kami—berlima—sengaja mengambil showtime sore, dan sekitar pukul setengah 4, kami masuk ke dalam studio.

So, do you know what next happen? I’ll tell you what I see and feel along I watch the movie.

Let’s check my review below about DANUR: I CAN SEE GHOSTS



DANUR: I CAN SEE GHOSTS adalah sebuah film produksi MD Pictures (Pichouse Film) yang diangkat dari novel best-seller karangan Risa Saraswati yang berjudul Gerbang Dialog Danur. Film ini disutradarai oleh Awi Suryadione of multitalented film director in Indonesia—dan dibintangi oleh aktris kenamaan, Prilly Latuconsina. Jika dibandingkan dengan novelnya, memang isi yang terdapat dari film DANUR sangat jauh berbeda. Karena, seperti yang dikatakan Risa, Peter Cs—kelima teman hantu Risa—tidak ingin jika kisah-kisah masa lalu mereka yang kelam dipublikasikan secara besar-besaran. Seperti yang kalian tahu, sebagian besar isi buku Gerbang Dialog Danur adalah tentang kronologi bagaimana ‘mereka’ terbunuh. Jadi, tidak heran apabila ‘mereka’ menginginkan peran yang besar, yang lebih hebat di film ini, yaitu untuk menjadi pahlawan bagi Risa.

Perbedaan lain juga ada pada tokoh Peter Cs sendiri. Jika sebenarnya mereka terdiri dari 5 anak—Peter, William, Hans, Hendrick, dan Janshen—beda halnya dengan di film yang hanya terdiri dari Peter, William dan Janshen saja. Hal ini tentu membuat kami—yang sudah membaca novelnya—menjadi bingung. Kira-kira, karena alasan apa Hans dan Hendrick tidak ada di film? Tapi sejauh ini, kabar yang beredar menyatakan bahwa memang tidak ada cast yang sesuai untuk kedua tokoh ini.


SUMBER: DI SINI 

Film DANUR dibuka dengan sebuah prolog yang mengambil secuil adegan dari bagian ending-nya, yaitu saat Risa—yang diperankan oleh Prilly—memainkan piano dan menyanyikan lagu Boneka Abdi untuk memanggil ketiga sahabat hantunya. Setelahnya, cerita terlempar beberapa tahun sebelumnya, saat Risa masih berusia 8 tahun, dan diperankan oleh Asha Kanyeri. Suasana yang dibangun di awal cerita memang cukup mencekam. Dengan tata cahaya dalam film yang temaram dan backsound menegangkan yang turut mengiringi setiap adegan, suasana seram menjadi mudah terbangun di dalam studio. Asha sendiri, saya rasa berhasil memainkan karakter Risa dengan sangat baik, dan saya benar-benar bisa merasakan bagaimana kesepian dan kesendirian yang ia rasakan. Segala bentuk kesepian yang Risa kecil rasakan memang sangat ditekankan secara penuh. Mulai dari tidak adanya anggota keluarga yang menemani—kecuali Mang Ujang (Fuad Idris)—sampai saat Risa merayakan ulang tahunnya sendiri.

Di usianya yang kedelapan tahun, harapan Risa hanya ingin memiliki seorang teman. Dan siapa sangka, harapannya tersebut dengan cepat dikabulkan. Pertemuan pertamanya dengan Peter Cs memang cukup lucu, yaitu saat Peter, Will, dan Janshen bermain petak umpet di dalam rumah Risa. Jika kita melihat bagaimana mereka bermain, sungguh tidak cocok sekali jika film ini dikategorikan sebagai film horor. Karena memang pasti kita akan merasa lucu dan gemas melihatnya. Yang membuatkan terkesan horor adalah karena teman-teman Risa ini bukan manusia, tapi hantu.

Singkat cerita, Ibu Risa—Kinaryosih—yang melihat keanehan putrinya, dan dengan didukung bukti dari Mang Ujang sekaligus pernyataan seorang psikolog, memanggil seorang kyai untuk memastikan keanehan apa yang ada dalam diri Risa. Dan ternyata memang benar, Risa memiliki kelainan bisa melihat makhluk halus, yang biasa disebut indigo.


Setelahnya, cerita terlempar beberapa tahun ke depan saat Risa sudah besar, dan kembali ke rumah yang dulu di tempatinya, untuk menjaga nenek Risa. Sampai di sini, alur cerita masih berjalan baik. Namun setelahnya, saya merasa bahwa alur cerita berjalan sangat cepat, dan suasana yang terbangun cukup jauh dari kata ‘tegang’. Yang membuat film ini seram hanya karena backsound-nya yang berhasil bikin saya kaget di beberapa bagian.  Bahkan kehadiran Asih pun, masih tidak begitu menyeramkan bagi saya. Terlebih saat ia menampakkan wajahnya dengan mangap di cermin—kalau tidak salah—dan itu justru membuat seisi studio ketawa, bukannya takut. Saya heran, kenapa sosok Asih—Shareefa Danish—di sini juga dibuat beda dengan yang ada di novel? Peran Asih di sini lebih cenderung kepada hantu sekaligus nanny dengan penampilan yang cukup ‘rapi’ dan tidak semenyeramkan yang saya kira. Sementara Asih di novel, adalah sosok kuntilanak menyeramkan dengan tali tambang yang terlilit di lehernya. Anehnya, saya justru beranggapan bahwa penampilan Nenek Risa lah—Inggrid Widjanarko—yang  lebih seram ketimbang Asih.

Konflik yang bergulir pun bagi saya cenderung biasa, dan kurang kompleks. Hal ini pun turut memengaruhi durasi film menjadi agak pendek, yaitu 78 menit. So, saya merasa kalau film ini selesai ‘gitu aja’ tanpa meninggalkan kesan yang berarti. Saya tidak habis pikir, sesederhanakah ini konfliknya? Karena memang sebelumnya saya memiliki ekspektasi yang cukup tinggi untuk film ini, dan mungkin juga karena saya agak sering melihat film horor luar negeri. Jadi secara tidak langsung saya juga ikut membandingkan antara film ini dengan film sejenis lainnya. Selain itu, memang benar ada beberapa adegan di DANUR yang agak mirip dengan adegan dari beberapa film horor internasional, seperti The Conjuring, Sadako, dan Insidious. Saya tidak tahu apakah ini disengaja atau tidak, tapi yang jelas, kami tidak bisa menampik bahwa beberapa adegan di bawah cukup mirip dengan 3 film yang sudah saya tulis tadi.


Adegan saat Asih keluar dari kaca mirip dalam film Sadako dan The Conjuring.

SUMBER: DI SINI



Adegan saat Risa masuk ke dunia lain untuk mencari Riri, mirip dengan

adegan yang ada di film Insidious 

SUMBER: DI SINI

Terlepas dari itu semua, saya sangat acung jempol teradap totalitas para pemain di sini. Prilly yang berperan sebagai Risa benar-benar keluar dari diri aslinya sendiri, dan berhasil memainkan perannya dengan penuh emosi. Indra Brotolaras sendiri yang berperan sebagai Andri—sepupu Risa—memiliki peran yang cukup penting dalam cerita, yaitu untuk mengungkap siapa Asih sebenarnya kepada Prilly secara tidak langsung. Gama, Wesley, dan Kevin yang masing-masing berperan sebagai Peter-Will-Janshen, saya akui memang heroik sekali. Duh, kalian ini hantu, tapi kenapa menggemaskan sekali, terutama Kevin (Janshen).

       Sama seperti Risa, adegan favorit saya di film ini adalah ketika Prilly bermain piano menyanyikan lagu Boneka Abdi untuk memanggil ketiga sahabat hantunya. Dengan berurai air mata, Prilly benar-benar bisa menyampaikan perasannya kepada penonton. An emotional scene that makes my heart touched! You did good, Prilly!


Prilly menyanyikan lagu 'Boneka Abdi' untuk memanggil ketiga sahabat hantunya

SUMBER: DI SINI 

Overall, I always excited to wait and see the sequel of the movie!


2 komentar:

  1. Waktu liat ekstranya, film ini beneran bikin merinding. Sebenernya film horor bagusan kayak gini, lbh bnyk ngeluarin penasarannya drpd setannya, itu baru horor

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tapi kalau buat saya kok nggak begitu serem ya? Tapi overall, film ini berhasil ngubah image film horor indonesia yang sebelumnya identik dengan sesuatu yang vulgar2

      Hapus