Pada
hari Sabtu kemarin, tepatnya tanggal 18
April, saya bersama teman-teman saya sudah berencana untuk menonton Danur.
Saya, dan salah satu teman saya—Annisa—yang pada dasarnya sangat menggemari
buku-buku karangan Risa Saraswati,
terutama Gerbang Dialog Danur, tentu
sangat menanti-nantikan momen ini. Kami—berlima—sengaja mengambil showtime sore, dan sekitar pukul
setengah 4, kami masuk ke dalam studio.
So, do you know
what next happen? I’ll tell you what I see and feel along I watch the movie.
Let’s check my
review below about DANUR: I CAN SEE
GHOSTS
DANUR: I CAN SEE GHOSTS
adalah sebuah film produksi MD Pictures (Pichouse Film) yang diangkat dari novel best-seller karangan Risa Saraswati
yang berjudul Gerbang Dialog Danur. Film ini disutradarai oleh Awi Suryadi—one of multitalented film director in Indonesia—dan dibintangi oleh
aktris kenamaan, Prilly Latuconsina.
Jika dibandingkan dengan novelnya, memang isi yang terdapat dari film DANUR
sangat jauh berbeda. Karena, seperti yang dikatakan Risa, Peter Cs—kelima teman hantu Risa—tidak ingin jika kisah-kisah masa
lalu mereka yang kelam dipublikasikan secara besar-besaran. Seperti yang kalian
tahu, sebagian besar isi buku Gerbang Dialog Danur adalah tentang kronologi
bagaimana ‘mereka’ terbunuh. Jadi, tidak heran apabila ‘mereka’ menginginkan
peran yang besar, yang lebih hebat di film ini, yaitu untuk menjadi pahlawan
bagi Risa.
Perbedaan
lain juga ada pada tokoh Peter Cs sendiri. Jika sebenarnya mereka terdiri dari
5 anak—Peter, William, Hans, Hendrick, dan Janshen—beda halnya dengan di film
yang hanya terdiri dari Peter, William dan Janshen saja. Hal ini tentu membuat
kami—yang sudah membaca novelnya—menjadi bingung. Kira-kira, karena alasan apa
Hans dan Hendrick tidak ada di film? Tapi sejauh ini, kabar yang beredar menyatakan
bahwa memang tidak ada cast yang sesuai untuk kedua tokoh ini.
SUMBER: DI SINI |
Film
DANUR dibuka dengan sebuah prolog yang mengambil secuil adegan dari bagian ending-nya, yaitu saat Risa—yang
diperankan oleh Prilly—memainkan piano dan menyanyikan lagu Boneka Abdi untuk memanggil ketiga
sahabat hantunya. Setelahnya, cerita terlempar beberapa tahun sebelumnya, saat
Risa masih berusia 8 tahun, dan diperankan oleh Asha Kanyeri. Suasana yang dibangun di awal cerita memang cukup
mencekam. Dengan tata cahaya dalam film yang temaram dan backsound menegangkan yang turut mengiringi setiap adegan, suasana
seram menjadi mudah terbangun di dalam studio. Asha sendiri, saya rasa berhasil
memainkan karakter Risa dengan sangat baik, dan saya benar-benar bisa merasakan
bagaimana kesepian dan kesendirian yang ia rasakan. Segala bentuk kesepian yang
Risa kecil rasakan memang sangat ditekankan secara penuh. Mulai dari tidak
adanya anggota keluarga yang menemani—kecuali Mang Ujang (Fuad Idris)—sampai saat Risa merayakan ulang tahunnya sendiri.
Di
usianya yang kedelapan tahun, harapan Risa hanya ingin memiliki seorang teman.
Dan siapa sangka, harapannya tersebut dengan cepat dikabulkan. Pertemuan
pertamanya dengan Peter Cs memang cukup lucu, yaitu saat Peter, Will, dan
Janshen bermain petak umpet di dalam rumah Risa. Jika kita melihat bagaimana
mereka bermain, sungguh tidak cocok sekali jika film ini dikategorikan sebagai
film horor. Karena memang pasti kita akan merasa lucu dan gemas melihatnya.
Yang membuatkan terkesan horor adalah karena teman-teman Risa ini bukan
manusia, tapi hantu.
Singkat
cerita, Ibu Risa—Kinaryosih—yang
melihat keanehan putrinya, dan dengan didukung bukti dari Mang Ujang sekaligus
pernyataan seorang psikolog, memanggil seorang kyai untuk memastikan keanehan apa
yang ada dalam diri Risa. Dan ternyata memang benar, Risa memiliki kelainan
bisa melihat makhluk halus, yang biasa disebut indigo.
Setelahnya,
cerita terlempar beberapa tahun ke depan saat Risa sudah besar, dan kembali ke
rumah yang dulu di tempatinya, untuk menjaga nenek Risa. Sampai di sini, alur
cerita masih berjalan baik. Namun setelahnya, saya merasa bahwa alur cerita
berjalan sangat cepat, dan suasana yang terbangun cukup jauh dari kata
‘tegang’. Yang membuat film ini seram hanya karena backsound-nya yang berhasil bikin saya kaget di beberapa bagian. Bahkan kehadiran Asih pun, masih tidak begitu
menyeramkan bagi saya. Terlebih saat ia menampakkan wajahnya dengan mangap di
cermin—kalau tidak salah—dan itu justru membuat seisi studio ketawa, bukannya
takut. Saya heran, kenapa sosok Asih—Shareefa
Danish—di sini juga dibuat beda dengan yang ada
di novel? Peran Asih di sini lebih cenderung kepada hantu sekaligus nanny dengan penampilan yang cukup
‘rapi’ dan tidak semenyeramkan yang saya kira. Sementara Asih di novel, adalah
sosok kuntilanak menyeramkan dengan tali tambang yang terlilit di lehernya. Anehnya,
saya justru beranggapan bahwa penampilan Nenek Risa lah—Inggrid Widjanarko—yang
lebih seram ketimbang Asih.
Konflik
yang bergulir pun bagi saya cenderung biasa, dan kurang kompleks. Hal ini pun
turut memengaruhi durasi film menjadi agak pendek, yaitu 78 menit. So, saya
merasa kalau film ini selesai ‘gitu aja’ tanpa meninggalkan kesan yang berarti.
Saya tidak habis pikir, sesederhanakah ini konfliknya? Karena memang sebelumnya
saya memiliki ekspektasi yang cukup tinggi untuk film ini, dan mungkin juga
karena saya agak sering melihat film horor luar negeri. Jadi secara tidak
langsung saya juga ikut membandingkan antara film ini dengan film sejenis
lainnya. Selain itu, memang benar ada beberapa adegan di DANUR yang agak mirip
dengan adegan dari beberapa film horor internasional, seperti The
Conjuring, Sadako, dan Insidious. Saya tidak
tahu apakah ini disengaja atau tidak, tapi yang jelas, kami tidak bisa menampik
bahwa beberapa adegan di bawah cukup mirip dengan 3 film yang sudah saya tulis
tadi.
Adegan saat Asih keluar dari kaca mirip dalam film Sadako dan The Conjuring. SUMBER: DI SINI |
Adegan saat Risa masuk ke dunia lain untuk
mencari Riri, mirip dengan
SUMBER: DI SINI |
Terlepas
dari itu semua, saya sangat acung jempol teradap totalitas para pemain di sini.
Prilly yang berperan sebagai Risa benar-benar keluar dari diri aslinya sendiri,
dan berhasil memainkan perannya dengan penuh emosi. Indra Brotolaras sendiri yang berperan sebagai Andri—sepupu
Risa—memiliki peran yang cukup penting dalam cerita, yaitu untuk mengungkap
siapa Asih sebenarnya kepada Prilly secara tidak langsung. Gama, Wesley, dan Kevin
yang masing-masing berperan sebagai Peter-Will-Janshen, saya akui memang heroik
sekali. Duh, kalian ini hantu, tapi kenapa menggemaskan sekali, terutama Kevin
(Janshen).
Sama
seperti Risa, adegan favorit saya di film ini adalah ketika Prilly bermain
piano menyanyikan lagu Boneka Abdi untuk memanggil ketiga sahabat hantunya. Dengan
berurai air mata, Prilly benar-benar bisa menyampaikan perasannya kepada
penonton. An emotional scene that makes
my heart touched! You did good, Prilly!
Prilly menyanyikan lagu 'Boneka Abdi' untuk memanggil ketiga sahabat hantunya SUMBER: DI SINI |
Overall,
I always excited to wait and see the sequel of the movie!
Waktu liat ekstranya, film ini beneran bikin merinding. Sebenernya film horor bagusan kayak gini, lbh bnyk ngeluarin penasarannya drpd setannya, itu baru horor
BalasHapusTapi kalau buat saya kok nggak begitu serem ya? Tapi overall, film ini berhasil ngubah image film horor indonesia yang sebelumnya identik dengan sesuatu yang vulgar2
Hapus