“Kini
aku lebih peka, bisa lebih mendengarkan dan berkomunikasi dengan makhluk gaib.
Sampai akhirnya aku bisa menuliskan cerita curhatan mereka. Sampai tua, aku
tidak akan pernah berhenti untuk belajar terus menyelaraskan energi dan
kemampuan ini.”
(hlm.
20)
Judul : r.i.s.a.r.a
Penulis : Risa Saraswati dan
Sara Wijayanto
Editor : Dewi Fita
Proof
Reader : Adham T. Fusama
Desain
sampul : Dwi Anissa Anindhika
Tata
letak : Dwi Anissa
Anindhika
Artwork : Anindito Wisnu Sampurno
(IG: @aninditowisnu)
Fotografer : @vino_max (IG: viartgallery)
Cetakan : Keempat, Agustus 2015
Tebal :iv + 162 hlm.
Penerbit : Rak Buku
ISBN : 602711402-9
*Blurb:
Dewi
Saraswati yang menaungi nama kami berdua telah mempertemukan kami untuk pertama
kalinya. Risa Saraswati, dan Saraswati Wijayanto. Pertemanan kami adalah
pertemanan yang rumit. Pernahkah kalian melakukan obrolan tentang hantu seolah
hantu adalah manusia yang normal? Tak banyak yang melakukannya, namun kami
melakukan hal itu hampir setiap hari.
Risara
adalah nama kami. Risa dan Sara. Setiap malam Jumat kami berceracau di dunia
maya tentang hantu di dunia maya. Mungkin kalian ingin tahu apa jadinya jika
kami berceracau dalam sebuah buku. Jangankan kalian, kami pun sangat penasaran.
Pembicaraan
tentang “Mereka” yang hampir setiap hari kami temui, lelucon kami tentang
“Mereka”, bahkan ketakutan-ketakutan kami yang mungkin kalian tak pernah tahu,
semua ada dalam anak pertama kami ini.
Selamat
datang di dunia kami, dunia “Risara”
***
Sedikit sinopsis yang tertulis di atas
sebenarnya cukup untuk membuatku penasaran dengan isi ceritanya. Sebuah cerita
kolaborasi antara dua orang yang sama-sama memiliki kemampuan lebih untuk
melihat ‘hantu’. Sebenarnya, cerita tentang hantu sudah terlalu marak di
Indonesia, baik melalui buku, film, atau bentuk lainnya. Banyak orang yang
menganggap jika hantu adalah sosok yang menyeramkan dan menakutkan. Entahlah,
itu dari sudut pandang orang lain. Dan, sudut pandang diriku juga sepertinya,
hehe. Namun, apa jadinya apabila kita diajak ‘melihat’ hantu dari sisi yang
berbeda?
Sisi yang berbeda dari sudut pandang
seorang Risa Saraswati dan Sara Wijayanto?
Lewat buku ini, kita akan
mengetahuinya…
Sisi
lain dari sosok yang biasa orang sebut sebagai ‘Hantu’….
***
Aku
memang sudah cukup lama mengidam-idamkan buku ini, dan akhirnya sekarang
kesampaian. Bukan beli, tapi gratis, hehe. Dari penulisnya pula, hmmm.. something! Maka dari itu, aku ucapkan
beribu terima kasih kepada Nyai Damar atau Sara Wijayanto yang telah
menghadiahkan buku ini untukku. Rasanya senang bisa ikut serta meramaikan
kuisnya kemarin dan menjawab semua pertanyaannya. Terlebih pas tahu kalau
menang dan dapat buku ini. Aku ucapkan juga sukses untuk mini albumnya, semoga
laris di pasaran, dan… salam buat Suti, hihihi. ^_^
Ok!
Aku ingin me-review buku ini. Semoga suka ya, dan semoga pula ke depannya bisa
lebih baik lagi.
Dalam
dunia perbukuan, nama Risa Saraswati memang sudah tidak asing lagi. Gemar
menulis dan menerbitkan buku-buku bertema horor, terutama tentang kelima
sahabatnya, yaitu anak-anak hantu Belanda. Dan, kali ini Risa kembali menulis
sebuah buku. Tidak sendiri, melainkan berdua. Sebuah buku duet bersama partner
terbaiknya (manusia ya, bukan hantu). Yup, siapa lagi kalau bukan Saraswati
Wijayanto atau yang biasa dikenal Sara Wijayanto (istrinya Demian).
Jika
berbicara mengenai Risa, pasti sudah tidak ada yang meragukan lagi keahlian
menulisnya. Dan, semua tahu itu. Tapi apa jadinya jika Sara Wijayanto menulis?
Meski pun dalam bentuk buku duet, namun kemampuan Sara dalam menulis
benar-benar diuji dalam buku ini. Dan mungkin saja Risa juga ambil peran dalam
membantu Sara menulis. Emm, mungkin saja, hehe.
Berbicara
mengenai buku-buku karya Risa Saraswati, sangatlah identik dengan hal-hal
bernuansa horor, tapi menyenangkan. Hal demikian juga terdapat pada buku ini,
buku risara. Buku ini sama seperti buku-buku Risa yang sebelumnya (bedanya yang
ini duet), bercerita tentang hantu, mulai dari kehidupan ‘mereka’ saat masih
hidup hingga meninggal seperti sekarang. Cukup menarik sebenarnya, selain
karena kita diajak melihat sisi berbeda dari kehidupan para hantu, di sini Risa
dan Sara juga menganggap hantu bukan sebagai makhluk yang ditakuti, namun
dikasihani. Banyak hantu yang datang kepada Risa dan Sara lalu menceritakan
kronologi kehidupan mereka sampai meninggal. Cukup menyedihkan, dan prihatin
membaca semua itu.
Buku
ini sebenarnya layaknya buku diary.
Dimana Risa dan Sara sama-sama menulis dan bercerita secara bergantian. Layaknya
kedua anak yang saling bercerita gitu lah. Tentang asal muasal mereka, sahabat
hantu mereka, dan semua hal yang tidak jauh dari dunia-dunia gaib. Tidak ada
yang terlalu istimewa sebenarnya, karena cerita-cerita seperti ini pun sudah
sering aku temui di buku-buku yang sebelumnya. Seperti Danur, dan Maddah.
Penambahan Sara sebagai sudut pandang baru di sini menurutku juga tidak terlalu
membuat buku ini nampak berbeda. Sudut pandang keduanya sama, dalam arti tidak
ada perbedaan saat keduanya sedang
bercerita. Bukan berarti tidak puas dalam membaca buku ini, tapi lebih ke ciri
khas keduanya saja. Semua cerita ini bagus, hanya saja ada sesuatu yang
harusnya menjadi pembeda antara sudut pandang Risa dan Sara. Bisa dari gaya
menulisnya, mungkin? *itumenurutku.
Sebenarnya,
aku cukup tertarik dengan cerita di awal bab. Di mana pada bab itu menceritakan
tentang dua gadis yang hidup di masa perang. Dan anehnya, kedua gadis itu
memiliki wajah yang mirip dengan Risa dan Sara. Hanya saja nama mereka berbeda,
yang mirip Sara bernama Damar, dan yang mirip Risa bernama Laras. Hal itu juga
yang mendasari kenapa keduanya saling memanggil dengan sebutan Laras-Damar. Bisa
dibilang Risa dan Sara itu bentuk reinkarnasi dari Laras dan Damar. Awalnya, sebenarnya
memang sulit untuk mempercayai cerita ini. Tapi, gimana ya… ini benar-benar yang
mereka alami. Memang cukup mustahil ya jika untuk dipercayai. Tapi itu
tergantung kalian sih sebenarnya.
Sebenarnya
cerita tentang Laras dan Damar di atas cukup menarik. Tapi sayangnya, kenapa
hanya ada di awal bab saja? Bukannya akan lebih menarik jika penulis bercerita
menggunakan sudut pandang Laras dan Damar? Bercerita tentang kehidupan keduanya
di masa perang pasti akan seru. Selain itu, juga untuk memberi suatu variasi di
cerita ini. Soalnya, waktu membaca cerita itu di awal Bab pasti banyak pembaca
yang bertanya-tanya ‘Ini bener nggak ya?
Terus kelanjutan cerita mereka gimana?’ Pasti akan lebih menarik lagi jika
Laras dan Damar tidak hanya menjadi pembuka cerita saja, namun juga menjadi
daya tarik tersendiri yang mengombinasi isi buku ini.
Selain
itu, aku juga sedikit terganggu dengan kalimat berisi perkenalan yang Sara
gunakan pada awal ia akan bercerita. Terlalu klise, Nyai. Itu menurutku, sih.
Tidak harus selalu menggunakan kata ‘Kenalkan,
namaku, ….. Anak dari… dan, blablabla.…’ Bisa lebih sedikit dimodifikasi
menjadi lebih menarik dan terkesan tidak klise. Atau, mungkin saja ini
dilakukan karena banyak orang yang belum terlalu mengenal Sara. Jadi, kalimat
seperti itu ia gunakan. Emm, mungkin saja.
But,
overall aku cukup puas membaca buku ini. Lega karena rasa penasaranku akan buku
ini terjawab sudah. Dan, hasilnya juga tidak mengecewakan. Aku selalu mengagumi
buku-buku horor. Aku selalu menaruh ekspektasi yang setinggi-tingginya untuk
buku-buku Risa, termasuk r.i.s.a.r.a
ini. Untuk kalian berdua, Damar si kerupuk, dan Laras si bakso, tetap
bersahabat ya! Alangkah kurang nikmatnya jikalau makan bakso tanpa ditemani
kerupuk. Whahahaha…:D
Pokoknya
ditunggu karya-karya kalian berikutnya. Ya, ‘kalian’. Tidak hanya Risa atau
Sara saja, tapi dua-duanya. Sebuah karya duet lagi. Yang terpenting sih buku,
hehe. Cepet rilis buku kedua ya kalian. Pasti sudah banyak cerita yang ingin
kalian sampaikan, dan pasti banyak juga pembaca yang menantikannya.
Ok!
Atas rasa kepuasanku karena sudah membaca buku ini, aku berikan 3,5
of 5 stars untuk kedua primadona Dewi Saraswati.
Terima
kasih!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar