Judul :Jugun Ianfu
Penulis : E. Rokajat Asura
Tahun terbit : Maret, 2015
Tebal : 321 hlm
Penerbit : Edelweiss
Kategori : Novel
ISBN : 978 – 602 – 8672 – 66 – 5Bisa dibeli di: bukupedia.com |
Blurb:
Perempuan
cantik itu bernama Lasmirah. Impian untuk jadi penyanyi, membawanya ke Borneo.
Tapi siapa yang akan mengira bila impian itu seketika sirna, berganti
penderitaan panjang tanpa ujung. Terjebak di Asrama Telawang sebagai jugun
ianfu atau budak seks, Lasmirah—Miyako nama Jepangnya—tak punya banyak pilihan.
Ia tak lebih dari boneka hidup yang siap digilir sesuka hati tamu. Harapan
akhirnya muncul. Bukan untuk jadi penyanyi. Tapi harapan ketika ia berkenalan
dengan seorang perwira menengah Jepang, Yamada. Hidup di Jepang atau Jawa,
pilihan yang sempat membuat hati Miyako berbunga. Melambungkan harapan. Ia tak
pernah mengira bila semua itu hanya ilusi, seperti juga ketika harus melayani
Tuan Kei yang lembut, senang menyanyi, dan pandai bermain harmonika.
Lalu,
apakah kemunculan prajurit KNIL, Pram, dalam kehidupan Miyako juga sebuah
ilusi? Bagaimana Yamada ketika tahu Miyako berhubungan dengan pacar jawanya
itu? Kekalahan Jepang dari sekutu kemudian mengubah semuanya. Pram dan Yamada
akhirnya harus berhadapan bukan saja sebagai pribumi dan penjajah, tapi juga
dua seteru yang sama-sama mengharap cinta dari seorang perempuan bernama
Miyako. Rimba Borneo menjadi titik akhir ketika sebuah peluru mengubah
semuanya.
***
“Krisis
lain ialah mengenai kehidupan seks dari para prajurit Jepang. Perempuan yang
ingin mereka rusak adalah perempuan-perempuan bangsaku.”
—Bung Karno—
“Lasmirah
itu artinya berkilau, seperti cahaya. Aku sama mboke dulu memimpikan kau akan
jadi anak manis yang berkilauan seperti cahaya. Tapi kilau cahaya yang tak
membuat silau siapa saja yang memandangmu, seperti cahaya bintang. Coba kamu
lihat, bintang-bintang itu, berkilauan tapi tak membuat kita silau!”
Hlm. 24
“Laki-laki
itu biadab, Dik Las.” Tiba-tiba saja suara Mintarsih penghuni kamar nomor 10
yang berada di sebelahnya itu terngiang kembali. “Ia akan berbuat apa saja
entah kasar atau sebaliknya lemah-lembut, ketika menginginkan diri kita. Tubuh
kita. Ia bisa mengobral kata cinta, tapi tujuannya hanya satu, menginginkan
lubang kemaluan kita.”
Hlm. 39
Jugun
Ianfu adalah buku pertama dari penulis yang aku baca. Melihat dari buku ini,
aku cukup berani menyimpulkan bahwa gaya bercerita penulis terbilang
klasik—mungkin ini juga karena menyesuaikan dengan isi cerita yang diangkat—dan
mampu meng-combine cerita antara
sejarah dan romance dengan cukup
baik. Sebenarnya, buku ini sudah aku baca tahun lalu. Tapi belum sempat aku
resensi saja. Tapi, karena keinginan untuk meresensi buku ini besar sekali,
maka aku memutuskan untuk membaca ulang Jugun Ianfu. Sama seperti pertama kali
membacanya, buku ini terasa tetap seru dan sensasi yang aku dapatkan sama
seperti saat membacanya pertama kali.
Untuk
lebih jelas dan detailnya, mari kita bahas buku ini dari segala sisi:
1.
Tema
Jugun Ianfu mengangkat tema tentang kehidupan
seorang perempuan bernama Lasmirah yang menjadi budak seks pada masa pendudukan
Jepang. Sebuah cerita klasik yang mampu membawa kita ke 70 tahun lalu dan mampu
membuka mata kita tentang betapa beratnya krisis yang dialami oleh bangsa kita
pada masa itu. Seperti yang kalian tahu, cerita dengan tema klasik dan sejarah
adalah cerita yang memerlukan sebuah riset besar-besaran sebelum diterbitkan.
Dan yang perlu diacungi jempol, riset yang dilakukan penulis berhasil
terealisasikan di buku ini dengan baik. Banyak menghadirkan sisi informatif,
juga berhasil membawa pembaca menghayati setiap jalan ceritanya. Keberadaan
unsur romance yang cukup kental di
buku ini juga menjadi magnet yang cukup kuat. Karena di balik perihnya
perjuangan para ianfu ini, kita juga bisa mendapatkan secuil kisah manis yang
hadir dalam bentuk cinta segitiga antara Miyako-Pram-Yamada.
2.
Latar
·
Tempat:
Secara keseluruhan, cerita di
buku ini mengambil Borneo sebagai latar tempatnya. Beberapa kali juga diselingi
flashback dengan latar yang berbeda pula, seperti Yogyakarta. Tapi latar tempat
yang paling spesisfik di buku ini adalah Asrama Telawang—sebuah asrama yang
menjadi penampungan para budak seks. Latar Asrama Telawang ini sangat dominan
bahkan dari awal sampai akhir cerita. Meski latar yang diangkat cenderung
sempit, tapi cara bercerita penulis cenderung luas. Dalam arti, Asrama Telawang
beserta segala rutinitasnya berhasil dikembangkan dengan narasi yang cukup
baik.
·
Waktu:
Karena ini adalah novel
sejarah, sudah jelas kalau Jugun Ianfu mengangkat cerita pada masa lalu. Lebih
tepatnya pada masa pendudukan Jepang di Indonesia. Sangat relevan sekali dengan
isi ceritanya. Latar waktu yang dipakai sangat mendukung jalannya cerita.
Sehingga tidak sulit bagi kita untuk menemukan kecocokan cerita di buku ini.
·
Suasana:
Suasana yang coba dihadirkan
penulis di buku ini yang pasti lebih kepada kesedihan dan perjuangan. Banyak
memasukkan adegan dari para ianfu yang cukup menyayat hati, juga tentang
perjuangan para pemuda Indonesia dalam merebut kemerdekaan. Tapi meski begitu,
aku tidak kehilangan sedikit pun suasana romance
di buku ini. Pembagian porsi yang pas.
3.
Tokoh
dan Penokohan
Beberapa
tokoh utama di novel ini adalah: Lasmirah (Miyako), Pram, Yamada, Mintarsih
(Sakura), Cikada, Kei, dll. Untuk penokohan, misal saja Lasmirah digambarkan
sebagai sosok perempuan yang berani (bisa kita ketahui saat ia berani melawan
Cikada atau pun Mas To), tegar menjalani nasib, dan terkadang kekanak-kanakkan,
karena memang ia masih remaja. Beberapa kutipan dialog antara Lasmirah dengan
Mintarsih, atau pun Yu Tari kadang sangat menunjukkan keluguan ia sebagai
seorang remaja. Kemudian, ada pula tokoh Pram yang hadir sebagai pemuda gigih alam
memperjuangkan kemerdekaan, juga memperjuangkan cintanya terhadap Lasmirah.
Jika Yamada, aku sempat dibuat kesal dengan tokoh ini. Dia sangat mencintai Lasmirah,
tapi sikapnya yang kadang kelewatan membuatku mempertanyakan rasa cintanya itu.
Terlebih, ia sering tidak ada jika Lasmirah mendapat siksaan dari Cikada. Sikap
dan kelakuannya lebih aku anggap sebagai pelaku KDRT malahan, sering melakukan
kesalahan dan memarahi Lasmirah, tapi sering juga meminta maaf. Selalu seperti
itu.
Tapi
overall, karakter tiap tokoh yang diciptakan penulis di sini sudah cukup
konsisten dan identik. Sehingga setiap tokoh memiliki ciri khas masing-masing.
4.
Alur
Secara
umum, buku ini menggunakan alur maju dengan diselingi flashback di beberapa bagian. Overall,
seluruh rangkaian cerita masih bisa dicerna secara baik dan plotnya pun cukup
rapi.
5.
Sudut
Pandang
Dalam
bukunya ini, E. Rokajat Asura menggunakan sudut pandang orang ketiga. Sehingga
penulis bisa leluasa dalam menyampaikan cerita dari sudut pandang tokoh mana
pun. Tapi aku rasa, penggunaan sudut pandang ini tidak terlalu berpengaruh,
karena sejauh yang bisa aku tangkap, hanya sudut pandang Lasmirah-lah yang
sangat kuat dan seolah menjadi narrator dalam cerita. Sama jadinya jika penulis
menggunakan PoV1 dari tokoh Lasmirah.
6.
Amanat
Hargailah perempuan. Yah, itulah pesan utama yang
coba disampaikan oleh penulis. Meski di buku ini penulis lebih menyajikan
adegan tentang kesengsaraan dan kehormatan perempuan yang cenderung dilecehkan,
tapi dasarnya, bukan itu pesan yang coba disampaikan oleh penulis. Dari kisah
Lasmirah yang sangat pilu ini, kita diajarkan untuk lebih menghargai keberadaan
perempuan dan melindungi mereka. Entah itu secara jasmani atau pun rohani.
Sesungguhnya, harga diri dan martabat perempuan memang mudah terinjak—terutama
di jaman penjajahan dulu—tapi barangsiapa yang menginjak harga diri dan
martabat mereka, jangan harap kalian akan memiliki harga diri dan martabat
lagi. Menindas orang lain, sama saja menghancurkan diri kita sendiri.
“Bahkan
Om Sahilatua pernah bilang, ada tradisi yang akan mencap pelacur ketika seorang
perempuan baik-baik memilih dan menentukan sendiri pasangan hidupnya. Tak
jarang ada pula yang akan mendapat hukuman sangat keras. Coba kamu pikir
Miyako, bukankah ini salah satu bukti bila perempuan memang tidak punya banyak
pilihan dalam menentukan hidupnya?”
Hlm. 140
7.
Kritik
dan Saran
Pertama, keberadaan tokoh Tuan Kei di sini tidak
begitu dieksplor. Padahal di awalnya, Lasmirah sempat terjebak kebimbangan
dengan hadirnya pria ini. Dan aku agak bingung sih, sebenarnya ini cinta
segitiga atau segiempat ya? (emang ada ya cinta segiempat? Haha) Kalau dibilang
cinta segitiga (Lasmirah-Pram-Yamada), kenapa keberadaan Tuan Kei seolah
menjadi orang keempat dalam hubungan itu? Karena beberapa kali penulis menyebut
bahwa Lasmirah juga sempat dibuat bimbang dengan kehadiran Tuan Kei ini. Dan agak aneh saja waktu menjelang ending Tuan
Kei ini dengan mudahnya merelakan Lasmirah kepada Pram, setelah apa yang
dilakukannya kepada Lasmirah selama ini.
Kedua, kenapa penulis tidak menyebutkan bahwa
nama Jepang Mintarsih adalah Sakura? Sehingga saat dengan tiba-tiba tokoh
Sakura ini disebut, aku jadi bingung. Sakura siapa ya? Tapi ketika Lasmirah
memanggil Sakura ini dengan panggilan Ceu Mimin, aku baru tahu jika tenryata
Sakura adalah Mintarsih. Kalau buatku, hal ini perlu dijelaskan di awal sih,
agar pembaca tidak kebingungan.
Ketiga, ada salah penulisan nama, yaitu di
halaman 195 dan 196. Adegan saat Sakura kebelet kencing di hutan. Di halaman
195, tertulis bahwa Ayumi/Rosa yang kebelet kencing, tapi di halaman 196 dan
seterusnya, ternyata yang kebelet kencing adalah Mintarsih/Sakura. Berarti
letak kesalahan ada di halaman 195. Dear penulis, editor… semangat lagi ya,
hihi.
Terakhir, ada satu kejadian yang menurutku
kelanjutannya kurang jelas. Seperti aksi pengepungan Pram oleh Kempetai. Di bab berikutnya, sempat
tertulis bahwa Pram dikepung dan ditangkap. Tapi anehnya, di bab berikutnya
lagi, tokoh Pram ini nongol lagi. Pertanyaannya: Kejadian penangkapan Pram
gimana kabarnya? Dan, gimana akhirnya ia bisa bebas? Aku rasa penulis perlu
memberi alasan yang cukup logis atas kemunculan tokoh Pram yang tiba-tiba ini.
Atau mungkin, akunya yang nggak teliti ya? Hmmm.
Nah
teman, itu tadi adalah resensi singkatku untuk novel Jugun Ianfu. Oya, novel
ini sangat cocok sekali bagi kalian penggemar tulisan sejarah dan klasik, juga
yang ingin tahu seperti apa perjuangan perempuan pada masa penjajahan dulu.
Banyak sekali pelajaran yang bisa kamu dapat. Worth it banget lah!
Terima
kasih!
***
“Bagaimana
aku bisa percaya pada perkataan Tuan, yang mengajak rumah tangga kemudian
tinggal di Tokyo? Tempat yang sama sekali tidak kukenal. Di sini saja Tuan
telah berani kasar, apalagi di tempat yang aku tidak mengenalnya. Di sini
tempat di mana Tuan sebagai pendatang, Tuan telah berani menyiksaku, bagaimana
nanti di negeri Tuan sendiri?”
Hlm.
244
“Kenapa?
Kenapa bicara seperti itu, Nak? Jangan mendahului takdir Gusti Allah. Ndak
baik. Semua orang telah digariskan, tapi kita tidak pernah tahu garis hidup
kita. Sehingga semua orang punya kesempatan yang sama untuk terus berusaha…”
Hlm.
293
*DIIKUTSERTAKAN DALAM POSTING BARENG
BBI AGUSTUS 2016*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar