Judul : San Francisco
Penulis : Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie
Tahun terbit : 2016
Tebal : 214 hlm
Penerbit : Grasindo
Kategori : Novel
ISBN : 978 – 602 – 375 – 592 – 9 |
Blurb:
Satu-satunya yang menarik dari cowok bernama
Ansel adalah badannya yang ketinggian, kegemarannya akan musik klasik, dan
senar-senar harpa di ujung jarinya. Ansel bekerja di Suicide Prevention Center,
bertugas mengangkat telepon, hingga akhirnya ia menemukan hal menarik yang
baru: Rani—gadis dari negeri asing yang mengiris nadi setiap dua hari sekali.
Sekarang sebagian besar kehidupan Ansel berputar di sekitar Rani. Dan, Ansel bertanya-tanya apakah pertemuan mereka di Golden Gate Bridge San Fransisco adalah takdir, atau sekadar kesialan? Karena dari sini, mobil kabel yang membawa kisah mereka bisa saja menanjak terus hingga setengah jalan menuju bintang, atau justru terjebak dalam kabut di atas perairan biru dan berangin San Francisco.
Sekarang sebagian besar kehidupan Ansel berputar di sekitar Rani. Dan, Ansel bertanya-tanya apakah pertemuan mereka di Golden Gate Bridge San Fransisco adalah takdir, atau sekadar kesialan? Karena dari sini, mobil kabel yang membawa kisah mereka bisa saja menanjak terus hingga setengah jalan menuju bintang, atau justru terjebak dalam kabut di atas perairan biru dan berangin San Francisco.
***
“Alasan orang bunuh diri berbeda-beda, tapi
akarnya tetap sama; merasa kesepian.”
Hlm.
21
“Aku membuatnya bertahan hidup lebih lama. Karena
dia bicara padaku, karena aku mendengarkannya, dia hidup dua puluh menit lebih
lama. Dua puluh menit. Aku memperpanjang nyawanya. Meski hanya sedikit. Dan,
itu yang membuatku meneruskan pekerjaan ini. Orang-orang mati, tidak
terselamatkan. Tapi, nyawa orang asing mendadak menjadi bagian dari hidupku;
mendadak, ada banyak hal lebih penting di dunia ini selain diri sendiri. Aku melanjutkan
pekerjaan ini bukan untuk membuat dunia atau orang lain lebih baik—tapi agar
aku menjadi lebih baik.”
Hlm.
40
Sebagai seorang relawan baru di Suicide
Prevention Center, Ansel cukup terkejut saat mendapat telepon pertamanya dari
seorang gadis yang hendak bunuh diri. Bukan soal bunuh dirinya yang Ansel
permasalahkan (karena memang pekerjaannya mengharuskan ia untuk menjalin
kedekatan dengan orang-orang depresi atau yang hendak bunuh diri), melainkan
karena gadis itu meminta Ansel untuk mendengarkannya bernyanyi. Biasanya, orang
yang menelpon ke kantor mereka akan mendengungkan kalimat kesedihan,
kekhawatiran, atau bisa saja tangisan dan jeritan. Tapi kali ini tidak, gadis
yang menelpon Ansel justru tengah benryanyi ria di ujung sana. Sesungguhnya,
apa yang membuat ia menelpon Suicide Prevention Center kalau ia terdengar
baik-baik saja?
Rupanya salah. Gadis itu tidak baik-baik aja.
Buktinya ia sekarang sedang berada di Golden Gate Bridge, jembatan terbesar di
San Francisco yang terkenal sebagai tempat bunuh diri terekstrem. Rani—begitulah
gadis itu memperkenalkan dirinya—rupanya menjadikan Golden Gate Bridge sebagai
tempat pelarian dari setiap masalah yang menimpanya. Jika sudah begitu,
kemungkinan besar ia bisa bertekad melompat dari jembatan itu untuk mengakhiri
hidupnya.
Semakin
seringnya Rani menelpon Suicide Prevention Center, maka semakin sering pula ia
terlibat perbincangan dengan Ansel. Sejauh yang Ansel tahu, Rani tidak
terdengar seperti orang stress meski ia selalu membahayakan dirinya sendiri saat
berada di Golden Gate Bridge. Justru Ansel melihat Rani sebagai gadis yang
unik, dan menarik. Hal itu ia ketahui saat mereka bertemu di atas Golden Gate
Bridge. Berawal dari situ, Ansel dan Rani sama-sama mulai masuk ke kehidupan
satu sama lain. Ansel tahu Rani memiliki kekasih, begitu juga Rani yang
mengenal Ada sebagai kekasih Ansel. Tapi hal itu tidak menghalangi niat Rani
untuk menjadikan Ansel sebagai hotline pribadinya.
Tapi
apa yang terjadi setelah itu? Hati Ansel justru didera konflik yang mendalam karena
semakin seringnya ia menghabiskan waktu dengan Rani. Begitu juga Ada—kekasih Ansel—ia justru menyimpan
perhatian kepada Benji, kekasih Rani.
Sesungguhnya,
bagaimanakah cara mereka untuk menyikapi perasaan yang ‘tidak seharusnya’ itu?
Dan, seperti apakah kisah rumit ini akan berujung?
***
“Kau
seperti Papageno. Tahu dia, tidak? Dia tokoh dalam opera karya Mozart, ‘The
Magic Flute’? Dia takut sekali kehilangan semua yang disayanginya, sampai
memutuskan untuk bunuh diri. Tapi, teman-temannya membantunya, mengingatkannya
bahwa dia punya pilihan lain selain kematian.”
Hlm. 162
Halo,
sebelum aku menulis review yang panjang lebar, perlu kalian ketahui bahwa aku
tidak akan menulis nama lengkap penulis di sepanjang review. Tau, kan namanya.
Ya, Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie (beneran deh, ini belibet banget) Jadi,
untuk menghindari ‘jari keseleo’, aku lebih memilih untuk menyebut Ziggy saja.
Yeah, mungkin ini akan terdengar lebih mudah.
San
Francisco adalah novel kesekian yang ditulis oleh Ziggy. Novel ini juga masuk
ke dalam seri A Love Story; City yang diterbitkan oleh Grasindo bersama lima
judul novel lain. Penulis yang satu ini namanya cukup melejit setelah
memenangkan Sayembara Menulis Novel DKJ 2014 dengan naskahnya yang berjudul di
Tanah Lada. Kemudian, namanya kembali diperhitungkan lewat novel berikutnya
yang berjudul Jakarta Sebelum Pagi. Lewat novel tersebut, Ziggy berhasil panen
lima bintang dari para pembaca. Tak behenti di situ, kemahirannya dalam menulis
kembali ia tunjukkan di novel San Francisco ini.
Ini
adalah pertama kalinya aku membaca buku tulisan Ziggy. Kesimpulan yang aku
dapat adalah, gaya berceritanya menarik, dan komponen cerita disusun dengan
cukup baik. Tapi sebelum aku mengutarakan mengenai hal apa saja yang aku suka
dari buku ini, ada baiknya kalau kita membicarakan mengenai hal yang kurang aku
suka/kelemahannya terlebih dahulu. First
of all, buku ini terlalu banyak trivia, atau pun deskripsi tentang musik
klasik dunia. Mungkin, jika kamu penggemar musik klasik dunia seperti Ansel dan
Benji, kamu akan mudah menemukan kenyamanan dalam ceritanya. Tapi bagiku, dan
pembaca lain yang cenderung sangat awam dengan konten demikian, sungguh merasa
tidak nyaman dan bosan. Semua berawal saat memasuki pertengahan, ketika tokoh
Ansel bertemu dengan Benji yang memiliki kesukaan pada bidang yang sama, musik
klasik. Jika boleh jujur, aku harus bersabar diri yang sangat ekstra ketika dua
tokoh ini saling beradu peran di satu adegan cerita. Pasti yang mereka bicarakan
tak jauh dari hal-hal berbau musik klasik, dan cukup panjang lebar. Mulai dari
arti/makna sebuah lagu, nama-nama komposer dunia, dan kisah hidup mereka. Menurutku
unsur ini terlalu banyak dimasukkan oleh Ziggy, sehingga kami (orang yang awam
tentang musik klasik) akan merasa terbebani dengan ceritanya.
Kedua,
semakin banyaknya trivia tentang musik klasik, dan semakin banyaknya tokoh
Benji ini muncul, maka secara tidak langsung membuat cerita yang awalnya fokus
tentang konflik kehidupan Rani-Ansel, menjadi bercabang tidak keruan dan seolah
berdiri sendiri. Bahkan aku sempat merasa ‘kehilangan’ keberadaan dari tokoh
Rani dan segala permasalahan hidupnya itu. Seakan-akan, tokoh Benji yang
awalnya sempat dianggap jadi tokoh pendukung, berevolusi jadi tokoh utama. Padahal
perkara awal yang membuatku tertarik untuk menyelesaikan buku ini adalah kisah
kehidupan Rani yang patut dipertanyakan tersebut. Ketiga, lagi-lagi banyaknya
trivia tersebut juga mengurangi intensitas konflik batin yang terjadi antara Rani-Ansel.
Aku kurang bisa menemukan chemistry
keduanya, sangat disayangkan sekali sebenarnya. Keempat, ada terjemahan yang
terbalik. Yaitu di halaman 24. FYI, setiap bahasa Inggris yang dimasukkan di
buku ini, turut dimasukkan pula terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Dan di
situ, tepatnya pada halaman 24, aku menemukan terjemahan yang terbalik. Kita
lihat kalimatnya berikut:
“No, I think I’d rather stay.
For different reason, tho. I just like it here.” (Oke,
itu tidak apa-apa. Ada yang bisa kubantu lagi?)
“Okay. That’s okay. Is there
anything else I can help you with?” (Tidak, sepertinya aku mau di
sini saja. Untuk alasan yang berbeda, tapi. Aku suka di sini)
Coba
kalian lihat, tidakkah kalian menyedari bahwa terjemahannya terbalik? Semoga
untuk cetakan selanjutnya bisa diperbaiki, ya.
Sekarang
mari kita beralih ke kelebihan buku ini. Pertama, aku suka dengan pekerjaan
Ansel. Unik, dan belum pernah aku temui sebelumnya. Bagaimana kegelisahan dan
perasaan sebagaimana relawan orang depresi pada umumnya sangat aku rasakan.
Salah satu elemen di awal yang sangat memancing rasa ketertarikanku terhadap
buku ini. Kedua, narasi dan dialognya ringan, terkandung humor, juga terasa
seperti gaya novel terjemahan yang fresh.
Terlebih ketika cerita mempertemukan Ansel dengan Maria atau dengan Gretchen
dan Dexter. Suasananya terasa cair sekali, dan aku suka dengan interaksi yang
mereka jalin. Selain itu, karakter Ansel yang terbentuk sebagai cowok yang
sering tertindas oleh teman-teman bahkan kakaknya sendiri membuat aku ketawa
sendiri saat membayangkannya. Yang jelas, seperti yang aku bilang tadi, dari
segi penyusun cerita mulai dari narasi dan dan dialog, sangat membuat nyaman
sekali (tapi tidak untuk trivia musik klasik tadi). Itu menurutku saja ya teman.
Jadi jangan mengambil kesimpulan kalau buku ini kurang bagus. Jangan, sebelum
kalian membaca buku ini langsung.
Selain
itu, saat penulis turut memasukkan beberapa asumsi dan spekulasi tentang Negara
Indonesia, sangat membuatku suka. Realistis sekali dari apa yang aku lihat
selama ini. Terutama tentang sikap penduduknya yang cenderung ramah dan sopan. Tapi sayangnya, tokoh Rani yang notabene
adalah orang Indonesia, justru tidak mencerminkan sikap ala orang Timur. Hal
ini pun sempat disinggung oleh Ansel, hehehe. Pasti jika Rani dibangun dengan
karakter ala orang Timur, akan terasa unik jika disandingkan dengan budaya
barat di San Francisco. Untuk segi karakter, semua tokoh aku rasa berhasil
dibangun dengan karakter yang berbeda dan unik. Yang jelas, tidak ada masalah
untuk hal yang satu ini. Aku suka. Ceritanya juga disusun dengan baik meski ada
sedikit kekecewaan yang sempat aku utarakan tadi.
Overall,
San Francisco tidak membuatku kapok untuk membaca buku tulisan Ziggy yang lain,
especially Jakarta Sebelum Pagi.
Rasanya penasaran sekali dengan buku yang berhasil panen pujian tersebut.
Sukses selalu untuk Ziggy, dan tetap berkarya. Semoga sedikit catatan di atas
bisa dijadikan indikator untuk memperbaiki tulisan ke depannya.
Terima
kasih!
***
“Dan
bahkan ketika tidak ada orang yang peduli, tetap ada satu orang yang terluka ketika
kau melukai dirimu sendiri.”
Hlm. 212
Sesuatu banget bisa baca novel karya Ziggy. Pandangan mengenai trivia yang banyak, samaan ya Bintang. Mengganggu sekali. Tapi, memang cara Ziggy bercerita itu asyik banget.
BalasHapusIya memang benar asyik. Aku jadi ga sabar ingin baca Jakarta Sebelum Pagi :D
Hapus