Blurb:
Kisah ini terjadi
ribuan tahun silam di Lembah Sungai Indus. Orang-orang di kurun itu menyebutnya
Meluha. Penduduknya berumur sangat panjang berkat ramuan misterius bernama
Somras, yang dicipta dari pohon Sanjiwani dan tirta suci Saraswati. Negeri yang
dihuni Wangsa Surya ini menghadapi ancaman hebat ketika sungai utama mereka
mengering perlahan-lahan. Mereka pun dirundung serangan para pengacau dari
timur: negeri Wangsa Chandra. Keadaan bertambah gawat ketika Wangsa Chandra
tampaknya bersekutu dengan kaum Naga, bangsa yang sangat lihai berperang.
Ketika kejahatan
merajalela, rakyat Meluha berharap pada sebuah ramalan kuno tentang seorang
kesatria yang bakal tiba dan membebaskan mereka dari malapetaka. Dalam
keputusasaan, muncul seorang pengungsi liar dari Gunung Kailasha, Tibet. Siwa
namanya. Ciri-cirinya persis seperti ramalan. Apakah ia memang kesatria
pembebas yang diramalkan? Dan apakah ia berhasrat menjadi juru selamat yang
diharapkan? Terseret oleh arus takdirnya, oleh dharma, oleh cinta kepada
kekasihnya, Siwa memimpin Wangsa Surya menerjang badai prahara.
Didasarkan pada
wiracarita dan sejarah kuno, novel langka ini mengungkap kisah tersembunyi
tentang kehidupan Siwa sang Mahadewa.
***
“Apakah
para pengacau itu mengikuti aturan perang ketika menyerang kita? Bukankah
mereka juga membunuh orang-orang yang tak bersenjata?”
Hlm. 51
“Benar
Paduka. Jika ia memiliki leher nila, ia adalah sang Nilakantha. Dan jika ia
sang Nilakantha, maka ia adalah penyelamat kita. Ia harus menerima takdirnya.”
Hlm. 86
Kisah
ini bermula ketika Suku Guna yang dipimpin oleh Siwa mengalami kekalahan telak
oleh suka Pakrati. Bertahun-tahun lamanya mereka berperang, menghabisi nyawa
satu sama lain, hanya untuk memperebutkan wilayah yang ditempati Suku Guna,
yakni dekat Danau Suci Manasarowara di kaki gunung Kailasha, Tibet. Meski
tempat itu terkesan tandus, kering, tapi bagi Suku Guna, tempat itulah yang
memberi mereka kehidupan, terlebih dengan adanya Danau Suci Manasarowara. Hingga
pada satu hari, keadaan menjadi berubah. Masyarakat Suku Guna merasa tidak mampu
lagi untuk melanjutkan pertempuran dengan Suku Pakrati. Mereka mengambil satu
resiko besar, yakni meninggalkan wilayah yang mereka tempati tersebut.
Tapi
bukan tanpa alasan mereka bersedia angkat kaki dari wilayah yang menjadi
kebanggaan itu, melainkan karena mereka mendapat ajakan dari Nandi, salah
seorang utusan dari Meluha. Nandilah yang menawarkan tempat hidup baru yang layak
bagi Siwa dan rakyatnya. Dia menyebut daerah itu sebagai dataran Meluha. Sebuah
dataran yang memiliki kemajuan tinggi, rakyat makmur, dan bebas dari
peperangan. Nandi begitu menjamin kehidupan yang layak bagi Suku Guna jika
mereka bersedia hijrah ke Meluha. Akhirnya, satu keputusan besar pun diambil
oleh Siwa dan rakyatnya, mereka melakukan perjalanan menuju Meluha dengan
ditemani Nandi.
“Tapi
kita Wangsa Surya. Kita adalah pengikut Sri Rama. Ada adab yang harus kita
patuhi bahkan terhadap musuh-musuh kita. Para Wangsa Chandra harus dibakar
dengan benar. Cukup jelas?”
Hlm 184
Perjalanan
menuju Meluha sangatlah panjang, hal ini membuat rombongan Siwa kelelahan, dan
memutuskan untuk beristirahat sejenak di rumah penginapan yang terletak di
daerah Kashmir. Siwa dan rombongan benar-benar mendapat perhatian khusus saat
berada di sana. Malam itu, mereka mendapat minuman Somras sebagai penawar rasa
letih. Tapi, apa yang terjadi setelahnya? Rakyat Suku Guna mengalami demam
tinggi. Begitu pula dengan Siwa, kondisinya tak beda jauh dengan rakyat-rakyatnya.
Namun meski begitu, sebuah kenyataan mengejutkan menggegerkan seluruh isi Kashmir
malam itu. Adalah Siwa penyebabnya, sesuatu telah terjadi padanya dan menyebabkan
semua orang yang berada di Kashmir terbelalak tak percaya.
Beberapa
hari setelahnya, kenyataan mengejutkan ini membuat Siwa harus menghadap pada
Sang Maharaja di Dewagiri, meninggalkan
semua rakyatnya yang masih berada di Kashmir. Dengan ditemani Nandi dan tiga
prajurit, Siwa diantar menuju ke hadapan sang Maharaja.
Sebenarnya,
apa yang telah terjadi pada Siwa, dan mengapa ia harus menemui Maharaja secapatnya?
Serta, bagaimana nasib rakyat Suku Guna selanjutnya?
***
“Jika
mereka bersedia untuk menumpahkan darah bagi hamba, maka hamba harus rela
menumpahkan darah hamba untuk mereka.”
Hlm. 362
Awalnya,
senang-senang susah waktu tahu dapat kesempatan untuk meresensi novel ini.
Senangnya jelas, karena bisa dapat bacaan baru, susahnya karena aku sedikit
khawatir. Ya, SIWA adalah sebuah novel sejarah, isinya pun tak lepas dari
hal-hal berbau mitologi kuno, adat budaya, kisah revolusioner dan sebagainya.
Kenyataan inilah yang pada awalnya sempat membuatku khawatir; apakah aku akan menemukan
kesulitan saat membacanya? Karena pada dasarnya genre cerita seperti ini sangat
jarang sekali aku baca, dan memang kurang memiliki ketertarikan di dalamnya. Ditambah
lagi ini novel terjemahan, jadi makin nggak yakin bisa memahami isi cerita ini
sepenuhnya. Tapi rupanya yang terjadi justru sebaliknya, didukung oleh
terjemahan bahasa yang bagus dan tidak muluk, Siwa berhasil mematahkan dugaan
miringku tersebut.
Oh
ya, untuk informasi, novel SIWA ini merupakan sebuah trilogi. Dan ini adalah
buku yang pertama dari dua buku lainnya yang akan segera terbit. Buku ini
memiliki judul asli yaitu The Immortals
of Meluha, yang kemudian diterjemahkan oleh penerbit Javanica dengan judul ‘SIWA’.
Awalnya sih kurang begitu mendengar gaung penerbit yang satu ini, tapi rupanya
setelah membaca salah satu buku yang diterbitkannya ini, rasanya tidak ada ruginya juga kalau aku
pun baca Trilogi Siwa yang kedua dan ketiga, hehe.
SIWA
dibuka dengan adegan ketika tokoh utamanya, yang juga bernama Siwa mengalami konflik
dengan Suku Pakrati. Pada bab awal ini jelas terasa sekali bagaimana nasib
terpuruk yang dialami oleh rakyat Suku Guna. Perebutan wilayah yang menjadi
permasalahan utama mereka. Jujur saja,
dari awal bab menuju pertengahan, aku kurang bisa menemukan kenyamanan saat
membacanya. Alasan utamanya adalah karena terlalu banyak dijejali deskripsi
yang cukup bikin kening berkerut. Seperti sejarah tentang kaum Wangsa Chandra
dan Wangsa Surya, Somras, Kaum Naga, Wikarma, dan sebagainya. Tidak semua sih,
hanya beberapa saja yang kurang bisa aku tangkap. Sebenarnya, yang aku harapkan
pertama dari novel sejarah seperti ini adalah adanya adegan action yang cukup
mendominasi. Tapi sayangnya hal itu tidak begitu banyak aku temui di sini.
Aku
baru menemukan kenyamanan dengan ceritanya saat memasuki pertengahan sampai
akhir cerita. Deskripsi panjang tentang beberapa hal tetap ada, namun sisi baiknya,
apa yang disampaikan tersebut bisa aku terima dan pahami dengan jelas. Terkait
adegan action, aku benar-benar merasakan emosinya pada saat cerita mengenai
Dharmayudha atau Perang Suci. Rasanya ketar-ketir dan excited sekali saat
membayangkan bagaimana pasukan Wangsa Surya melakukan serangannya terhadap
Wangsa Chandra. Selain itu, terdapat pula sisi informatif di buku ini saat
penulis menceritakan tentang tak-tik apik dan formasi yang menguntungkan ketika
perang.
Dari
segi tokoh, aku jelas menyukai Siwa si Nilakantha. Meski hidup pada jaman yang
serba memerhatikan nilai adat dan leluhur, tapi tokoh Siwa memiliki cara
pemikiran yang modern dan cenderung berorientasi ke depan. Pun aku setuju
dengan pendapat Siwa mengenai kaum Wikarma, ada sebuah ketidakadilan dalam
hukum adat yang satu ini. Kemudian tokoh yang memiliki karakter kuat lainnya
adalah Parwateshwar. Meski sikapnya terhadap Sang Nilakantha terkesan dingin
dan kaku, tapi aku dia sangat memegang teguh prinsip dan hukum yang diajarkan
oleh Sri Rama. Karakternya ini begitu konsisten dari awal sampai akhir.
Selain
itu, terkait alurnya, memang tidak terlalu cepat. Tapi meski begitu, ceritanya
tetap bisa dinikmati dengan baik, dengan tetap mengundang rasa penasaran
pembaca tentang apa yang terjadi selanjutnya. Tapi sayangnya, buku ini tidak
diisi dengan twist-twist yang sebenarnya bisa menambah keseruan alurnya. Semoga
buku kedua dan ketiga dari Trilogi Siwa nanti lebih bisa memenuhi ekspektasiku
lagi dan bikin puas. Ditunggu sekali!
Nah,
buat teman-teman pembaca yang memiliki rasa ketertarikan terhadap novel
sejarah, dengan unsur mitologi yang kuat mendominasi, novel SIWA ini cocok
sekali loh untuk kalian baca, dan rasanya sangat sayang jika dilewatkan, hihi.
Mari menjelalajah dataran India bersama-sama! Selamat membaca!
Terima
kasih!
***
“Satu-satunya
alasan engkau tidak bertarung adalah jika engkau takut terbunuh.”
Hlm. 249
“Kita
tidak akan menghadapi masalah. Sang Nilakantha bersama kita. Kita hanya perlu
menyerang. Kemenangan telah dijamin.”
Hlm. 360
Sama aja Bintang, saya juga belum pernah baca buku dengan tema seperti SIWA ini. Dan rasanya mungkin saya juga akan mikir untuk membeli dan membacanya. Namun membaca review kamu ini, ah rasanya memang harus mencoba bacaan yang tidak biasa. hehe :)
BalasHapusBagus loh Mas, buku ini. Sayang deh buat dilewatin. Tapi jangan nyalahin aku kalau abis baca SIWA, jadi pengin baca buku yang kedua dan ketiganya, hehehehe
Hapus