Selasa, 11 Oktober 2016

SIWA: Memerangi Kejahatan bersama Sang Nilakantha



Judul : Siwa ‘Kesatria Wangsa Surya’
Penulis : Amish Tripathi
Penerjemah : Desak Nyoman Pusparini
Tahun terbit : 2016
Tebal : 426 hlm
Penerbit : JAVANICA
Kategori : Novel Sejarah [Trilogi Siwa #1]
ISBN : 978 – 602 – 6799 – 15 – 9 


Blurb:

Kisah ini terjadi ribuan tahun silam di Lembah Sungai Indus. Orang-orang di kurun itu menyebutnya Meluha. Penduduknya berumur sangat panjang berkat ramuan misterius bernama Somras, yang dicipta dari pohon Sanjiwani dan tirta suci Saraswati. Negeri yang dihuni Wangsa Surya ini menghadapi ancaman hebat ketika sungai utama mereka mengering perlahan-lahan. Mereka pun dirundung serangan para pengacau dari timur: negeri Wangsa Chandra. Keadaan bertambah gawat ketika Wangsa Chandra tampaknya bersekutu dengan kaum Naga, bangsa yang sangat lihai berperang.

Ketika kejahatan merajalela, rakyat Meluha berharap pada sebuah ramalan kuno tentang seorang kesatria yang bakal tiba dan membebaskan mereka dari malapetaka. Dalam keputusasaan, muncul seorang pengungsi liar dari Gunung Kailasha, Tibet. Siwa namanya. Ciri-cirinya persis seperti ramalan. Apakah ia memang kesatria pembebas yang diramalkan? Dan apakah ia berhasrat menjadi juru selamat yang diharapkan? Terseret oleh arus takdirnya, oleh dharma, oleh cinta kepada kekasihnya, Siwa memimpin Wangsa Surya menerjang badai prahara.

Didasarkan pada wiracarita dan sejarah kuno, novel langka ini mengungkap kisah tersembunyi tentang kehidupan Siwa sang Mahadewa.

***

“Apakah para pengacau itu mengikuti aturan perang ketika menyerang kita? Bukankah mereka juga membunuh orang-orang yang tak bersenjata?”
Hlm. 51

“Benar Paduka. Jika ia memiliki leher nila, ia adalah sang Nilakantha. Dan jika ia sang Nilakantha, maka ia adalah penyelamat kita. Ia harus menerima takdirnya.”
Hlm. 86

Kisah ini bermula ketika Suku Guna yang dipimpin oleh Siwa mengalami kekalahan telak oleh suka Pakrati. Bertahun-tahun lamanya mereka berperang, menghabisi nyawa satu sama lain, hanya untuk memperebutkan wilayah yang ditempati Suku Guna, yakni dekat Danau Suci Manasarowara di kaki gunung Kailasha, Tibet. Meski tempat itu terkesan tandus, kering, tapi bagi Suku Guna, tempat itulah yang memberi mereka kehidupan, terlebih dengan adanya Danau Suci Manasarowara. Hingga pada satu hari, keadaan menjadi berubah. Masyarakat Suku Guna merasa tidak mampu lagi untuk melanjutkan pertempuran dengan Suku Pakrati. Mereka mengambil satu resiko besar, yakni meninggalkan wilayah yang mereka tempati tersebut.

Tapi bukan tanpa alasan mereka bersedia angkat kaki dari wilayah yang menjadi kebanggaan itu, melainkan karena mereka mendapat ajakan dari Nandi, salah seorang utusan dari Meluha. Nandilah  yang menawarkan tempat hidup baru yang layak bagi Siwa dan rakyatnya. Dia menyebut daerah itu sebagai dataran Meluha. Sebuah dataran yang memiliki kemajuan tinggi, rakyat makmur, dan bebas dari peperangan. Nandi begitu menjamin kehidupan yang layak bagi Suku Guna jika mereka bersedia hijrah ke Meluha. Akhirnya, satu keputusan besar pun diambil oleh Siwa dan rakyatnya, mereka melakukan perjalanan menuju Meluha dengan ditemani Nandi.

“Tapi kita Wangsa Surya. Kita adalah pengikut Sri Rama. Ada adab yang harus kita patuhi bahkan terhadap musuh-musuh kita. Para Wangsa Chandra harus dibakar dengan benar. Cukup jelas?”
Hlm 184

Perjalanan menuju Meluha sangatlah panjang, hal ini membuat rombongan Siwa kelelahan, dan memutuskan untuk beristirahat sejenak di rumah penginapan yang terletak di daerah Kashmir. Siwa dan rombongan benar-benar mendapat perhatian khusus saat berada di sana. Malam itu, mereka mendapat minuman Somras sebagai penawar rasa letih. Tapi, apa yang terjadi setelahnya? Rakyat Suku Guna mengalami demam tinggi. Begitu pula dengan Siwa, kondisinya tak beda jauh dengan rakyat-rakyatnya. Namun meski begitu, sebuah kenyataan mengejutkan menggegerkan seluruh isi Kashmir malam itu. Adalah Siwa penyebabnya, sesuatu telah terjadi padanya dan menyebabkan semua orang yang berada di Kashmir terbelalak tak percaya.

Beberapa hari setelahnya, kenyataan mengejutkan ini membuat Siwa harus menghadap pada Sang Maharaja di  Dewagiri, meninggalkan semua rakyatnya yang masih berada di Kashmir. Dengan ditemani Nandi dan tiga prajurit, Siwa diantar menuju ke hadapan sang Maharaja.

Sebenarnya, apa yang telah terjadi pada Siwa, dan mengapa ia harus menemui Maharaja secapatnya? Serta, bagaimana nasib rakyat Suku Guna selanjutnya?

***

“Jika mereka bersedia untuk menumpahkan darah bagi hamba, maka hamba harus rela menumpahkan darah hamba untuk mereka.”
Hlm. 362

Awalnya, senang-senang susah waktu tahu dapat kesempatan untuk meresensi novel ini. Senangnya jelas, karena bisa dapat bacaan baru, susahnya karena aku sedikit khawatir. Ya, SIWA adalah sebuah novel sejarah, isinya pun tak lepas dari hal-hal berbau mitologi kuno, adat budaya, kisah revolusioner dan sebagainya. Kenyataan inilah yang pada awalnya sempat membuatku khawatir; apakah aku akan menemukan kesulitan saat membacanya? Karena pada dasarnya genre cerita seperti ini sangat jarang sekali aku baca, dan memang kurang memiliki ketertarikan di dalamnya. Ditambah lagi ini novel terjemahan, jadi makin nggak yakin bisa memahami isi cerita ini sepenuhnya. Tapi rupanya yang terjadi justru sebaliknya, didukung oleh terjemahan bahasa yang bagus dan tidak muluk, Siwa berhasil mematahkan dugaan miringku tersebut.

Oh ya, untuk informasi, novel SIWA ini merupakan sebuah trilogi. Dan ini adalah buku yang pertama dari dua buku lainnya yang akan segera terbit. Buku ini memiliki judul asli yaitu The Immortals of Meluha, yang kemudian diterjemahkan oleh penerbit Javanica dengan judul ‘SIWA’. Awalnya sih kurang begitu mendengar gaung penerbit yang satu ini, tapi rupanya setelah membaca salah satu buku yang diterbitkannya  ini, rasanya tidak ada ruginya juga kalau aku pun baca Trilogi Siwa yang kedua dan ketiga, hehe.

SIWA dibuka dengan adegan ketika tokoh utamanya, yang juga bernama Siwa mengalami konflik dengan Suku Pakrati. Pada bab awal ini jelas terasa sekali bagaimana nasib terpuruk yang dialami oleh rakyat Suku Guna. Perebutan wilayah yang menjadi permasalahan utama mereka.  Jujur saja, dari awal bab menuju pertengahan, aku kurang bisa menemukan kenyamanan saat membacanya. Alasan utamanya adalah karena terlalu banyak dijejali deskripsi yang cukup bikin kening berkerut. Seperti sejarah tentang kaum Wangsa Chandra dan Wangsa Surya, Somras, Kaum Naga, Wikarma, dan sebagainya. Tidak semua sih, hanya beberapa saja yang kurang bisa aku tangkap. Sebenarnya, yang aku harapkan pertama dari novel sejarah seperti ini adalah adanya adegan action yang cukup mendominasi. Tapi sayangnya hal itu tidak begitu banyak aku temui di sini.

Aku baru menemukan kenyamanan dengan ceritanya saat memasuki pertengahan sampai akhir cerita. Deskripsi panjang tentang beberapa hal tetap ada, namun sisi baiknya, apa yang disampaikan tersebut bisa aku terima dan pahami dengan jelas. Terkait adegan action, aku benar-benar merasakan emosinya pada saat cerita mengenai Dharmayudha atau Perang Suci. Rasanya ketar-ketir dan excited sekali saat membayangkan bagaimana pasukan Wangsa Surya melakukan serangannya terhadap Wangsa Chandra. Selain itu, terdapat pula sisi informatif di buku ini saat penulis menceritakan tentang tak-tik apik dan formasi yang menguntungkan ketika perang.

Dari segi tokoh, aku jelas menyukai Siwa si Nilakantha. Meski hidup pada jaman yang serba memerhatikan nilai adat dan leluhur, tapi tokoh Siwa memiliki cara pemikiran yang modern dan cenderung berorientasi ke depan. Pun aku setuju dengan pendapat Siwa mengenai kaum Wikarma, ada sebuah ketidakadilan dalam hukum adat yang satu ini. Kemudian tokoh yang memiliki karakter kuat lainnya adalah Parwateshwar. Meski sikapnya terhadap Sang Nilakantha terkesan dingin dan kaku, tapi aku dia sangat memegang teguh prinsip dan hukum yang diajarkan oleh Sri Rama. Karakternya ini begitu konsisten dari awal sampai akhir.

Selain itu, terkait alurnya, memang tidak terlalu cepat. Tapi meski begitu, ceritanya tetap bisa dinikmati dengan baik, dengan tetap mengundang rasa penasaran pembaca tentang apa yang terjadi selanjutnya. Tapi sayangnya, buku ini tidak diisi dengan twist-twist yang sebenarnya bisa menambah keseruan alurnya. Semoga buku kedua dan ketiga dari Trilogi Siwa nanti lebih bisa memenuhi ekspektasiku lagi dan bikin puas. Ditunggu sekali!

Nah, buat teman-teman pembaca yang memiliki rasa ketertarikan terhadap novel sejarah, dengan unsur mitologi yang kuat mendominasi, novel SIWA ini cocok sekali loh untuk kalian baca, dan rasanya sangat sayang jika dilewatkan, hihi. Mari menjelalajah dataran India bersama-sama! Selamat membaca!

Terima kasih!

***

“Satu-satunya alasan engkau tidak bertarung adalah jika engkau takut terbunuh.”
Hlm. 249

“Kita tidak akan menghadapi masalah. Sang Nilakantha bersama kita. Kita hanya perlu menyerang. Kemenangan telah dijamin.”

Hlm. 360

2 komentar:

  1. Sama aja Bintang, saya juga belum pernah baca buku dengan tema seperti SIWA ini. Dan rasanya mungkin saya juga akan mikir untuk membeli dan membacanya. Namun membaca review kamu ini, ah rasanya memang harus mencoba bacaan yang tidak biasa. hehe :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bagus loh Mas, buku ini. Sayang deh buat dilewatin. Tapi jangan nyalahin aku kalau abis baca SIWA, jadi pengin baca buku yang kedua dan ketiganya, hehehehe

      Hapus