Judul : Perfect Pain
Penulis : Anggun Prameswari
Cetakan : Pertama, 2015
Tebal : viii +316 hlm
Penerbit : Gagas Media
Kategori : Novel
ISBN : 979 – 780 – 840 – 8
Bisa dibeli di : bukupedia.com |
Blurb:
Sayang,
menurutmu apa itu cinta? Mungkin beragam jawab akan kau dapati. Bisa jadi itu
tentang laki-laki yang melindungi. Atau malah tentang bekas luka dalam
hati-hati yang berani mencintai.
Maukah
kau menyimak, Sayang? Kuceritakan kepadamu perihal luka-luka yang mudah
tersembuhkan. Namun, kau akan jumpai pula luka yang selamanya terpatri. Menjadi
pengingat bahwa dalam mencintai, juga ada melukai.
Jika
bahagia yang kau cari, kau perlu tahu. Sudahkah kau mencintai dirimu sendiri,
sebelum melabuhkan hati? Memaafkan tak pernah mudah, Sayang. Karena sejatinya
cinta tidak menyakiti.
***
“Jangan jadikan orang lain alasanmu
bahagia atau sedih. Pada dasarnya manusia itu sendiri. Kita lahir sendiri, mati
juga sendiri. Jadi, jangan takut pada kesendirian.”
Hlm. 91
Dua
belas tahun yang lalu, saat Bidari atau Bi baru saja lulus dari SMA, dirinya
sempat terlibat konflik dengan Ayahnya sendiri. Sebenarnya, tidak sekali ini
konflik antar ayah dan anak ini terjadi, melainkan kerap kali. Ayahnya sering
menganggap Bi sebagai perempuan yang bodoh dan tak berguna. Bi dibesarkan lewat
didikan keluarga yang keras dan penuh kekangan, terutama dari sang ayah. Hingga
pada akhirnya, Bi meminta restu kepada orang tuanya untuk menikah dengan
seorang laki-laki bernama Bramawira Aksana. Awalnya, rencana pernikahan mereka
tak mendapat restu dari sang ayah. Namun, cinta mereka berkata lain. Bi nekat
meninggalkan rumah dan memilih menikah dengan Bram. Yang jelas, tanpa
sepengetahuan kedua orang tuanya.
Bukan
tanpa alasan Bi sampai senekat itu untuk mau menikah dengan Bram. Baginya, Bram
adalah sosok yang sangat mencintainya dan berjanji untuk melindunginya.
Janji-jani manis kerap dilontarkan oleh laki-laki itu dan berhasil membuat Bi
meleleh. Namun, setelah dua belas tahun lamanya pernikahan mereka berjalan, dan
memiliki seorang putra bernama Karel, Bi mulai menyadari bahwa ada sesuatu yang
salah pada diri Bram. Sosok Bram yang dulu sering dipuja-pujanya, kini seolah
menjelma sebagai sosok yang mengerikan. Sangat ditakuti, dan siap menyerang apa
saja yang tidak disukainya. Kehidupan rumah tangga Bram dan Bi mulai berubah
kacau. Bram yang memiliki watak sentimental, kini sering melampiaskan kemarahan
kepada Bi, istrinya. Berbagai macam tindak kekerasan sering ia berikan tanpa
ampun. Namun, setelah itu semua selesai, Bram menyadari bahwa dirinya salah,
dan mulai meminta maaf kepada Bi. Dia juga sempat berjanji untuk tidak
mengulangi lagi perbuatannya itu.
Akan
tetapi, itu semua belum berakhir. Siklus itu terjadi terus menerus. Bram
melakukan kekerasan, lalu meminta maaf. Selalu seperti itu, begitu pun
seterusnya. Bram sangat tidak tahu diri saat berulang kali ia mengucap kata
maaf tersebut di hadapan Bi. Kini, satu-satunya yang dimiliki Bi adalah
Karel—putra semata wayangnya. Hanya Karel lah yang menjadi alasan kenapa Bi
mencoba bertahan dengan Bram. Sesakit dan semenderita apa pun itu. Hingga pada
akhirnya, secara tak sengaja Bi dan Karel bertemu dengan Sindhu—seorang
pengacara yang kerap menangani kasus KDRT. Melalui pertemuan yang tak sengaja
itu, mereka mulai saling mengenal dan berteman baik.
Lantas,
apakah yang akan Bi lakukan terhadap kehidupan rumah tangganya setelah bertemu
Sindhu?
Dan,
apakah yang akan ia pilih: mempertahankan atau melepaskan?
***
Perfect
Pain, adalah buku pertama dari Anggun Prameswari yang aku baca. Sebelumnya,
Mbak Anggun ini pernah menulis buku dengan judul After Rain, dan kabarnya
sempat laris di pasaran. Jadi, Perfect Pain ini adalah buku keduanya. Pertama,
yang membuat aku cukup tertarik dengan buku ini adalah desain covernya. Sebuah
vas bunga mengkilap yang terlihat nyata dengan sebuah tanaman layu di dalamnya.
Aku bisa menemukan sosok Bi yang lemah lewat gambar tanaman layu tersebut. Dan,
sebenarnya kalau pembaca cermat, lewat covernya itu saja, kita sudah bisa
menyimpulkan bagaimana kesedihan yang tersaji dalam ceritanya. Keyakinan bahwa
cerita di buku ini tidak manis—dalam arti tidak menampilkan adegan-adegan mesra
sepasang kekasih—juga sudah bisa kita lihat dari judul bukunya; Perfect Pain. Rasa sakit yang sempurna. Hmm…
sebenarnya sesempurna apa sih rasa sakit yng dialami oleh tokoh utamanya? Dan,
apakah ‘rasa sakit’ itu ada yang sempurna? Kamu harus membaca bukunya guys!
Tapi,
kita berbicara tentang kekurangannya dulu ya. Pertama, dimulai dari hal yang
amat sepele. Apalagi kalau bukan typo. Ya, novel ini masih belum bersih dari
typo. Tidak terlalu banyak sih, jadi juga tidak terlalu menganggu kenyamanan
saat membaca. Ada juga pengulangan kata. Jadi, satu kata ditulis dua kali.
Misal; yang yang. Selain itu, cerita
di buku ini terlalu fokus terhadap nasib rumah tangga Bi yang kian hari kian
memburuk. Sedikit sekali penjelasan tentang masa lalu yang dialami beberapa
tokoh penting lain. Menurutku, hanya Bi dan Sindhu saja yang mendapat porsi itu
dengan penuturan yang cukup jelas. Sebenarnya, aku sangat penasaran dengan masa
lalu Bram. Apakah dia bertindak seperti itu karena hal serupa yang ia alami di
masa lalu? Tidak ada jawaban. Menurutku, akan lebih baik jika penulis
menyempatkan untuk flashback ke belakang sejenak tentang kehidupan Bram.
Menampilkan beberapa adegan masa lalu yang cukup mendukung dan menambah seru
jalannya cerita.
Selain
itu, ada satu lagi kekurangan yang ingin aku kritisi. Yaitu pengguanaan kata
ganti yang salah. Di sini penulis menggunakan sudut pandang orang pertama,
otomatis yang bercerita adalah ‘aku’ sebagai tokoh utama (Bi). Namun, ada
kesalahan di halaman 193, pada kalimat: ujarnya
bergetar. Jika diteliti baik-baik, yang berbicara saat itu adalah Bi. Jadi,
yang tepat adalah: ujarku bergetar, bukan ujarnya. Masalah serupa juga terjadi di
halaman 284, pada kalimat: “Bi?” suaranya
Sindhu membuyarkan pikirannya. Kasus ini sama persis dengan yang pertama
tadi, penggunaan kata ganti –nya, seharusnya diganti –ku. Jadi, yang benar: …membuyarkan
pikiranku. Bisa dilihat dengan jelas kok, :D. Nah, lepas dari beberapa
kekurangan tadi, ada juga kelebihan yang membuat buku ini susah untuk diabaikan
begitu saja.
Kelebihan
yang pertama. Perfect Pain ini dibuka oleh Prolog yang cukup mengiris hati.
Awal yang mewakili semuanya, menurutku. Dalam prolog, kita sudah bisa menemukan
bagaimana kesakitan dan kesedihan yang dialami oleh tokoh utamanya—Bi.
Bagaimana ia menahan dan menyembunyikan rasa sakit sungguh sangat menarik rasa
prihatin kita. Tentang kehidupan rumah tangganya, dan tentang anak semata
wayangnya. Seolah kita sudah bisa merangkum dengan jelas akan seperti apa
cerita di buku ini. Aku benar-benar ikut merasakan kesedihan yang tak biasa
saat mulai menyelami kisah pahit Bi di buku ini. Mulai dari situ, kita harus
siap untuk mengetahui lebih banyak lagi seperti apa dan bagaimana bentuk
kesedihan lainnya yang mungkin akan cukup menguras emosi di lembar-lembar
berikutnya. Tema mengenai KDRT yang diangkat penulis di sini terbilang asing
bagiku, tapi sangat menarik. Secara tidak langsung juga turut mengangkat
keresahan-keresahan yang ada di masyarakat tentang kasus KDRT. Belum kutemui
banyak buku fiksi yang mengangkat tema serupa dengan Perfect Pain. Jadi, bisa
dibilang buku ini mengusung cerita romance yang anti klise. Meski pun pada
dasarnya tidak ada cerita romance yang tidak klise sih. Tapi, itu semua
sebenarnya kembali ke pribadi penulis masing-masing, bagaimana ia mengembangkan
cerita yang pada dasarnya berkesan biasa, menjadi sebuah cerita yang sedikit
berbeda.
Tokoh
Bi dalam buku ini digambarkan sebagai sosok perempun yang keibuan, lemah, tak berdaya,
dan… bodoh, menurutku. Sungguh, jika ada perempuan seperti Bi di dunia nyata,
mungkin orang-orang di sekelilingnya juga akan menganggap ia perempuan yang
bodoh. Yah, tapi semoga saja tidak ada perempuan seperti Bi ini di dunia nyata.
Aku suka dibuat emosi dengan cara bepikir Bi yang kurang bisa aku terima.
Bisa-bisa ia memaafkan Bram setelah semua kejadian itu? Bisa-bisanya ia kembali
lagi pada Bram? Oh my god! Bi, kamu benar-benar membuatku naik pitam, sungguh! Emosiku
juga sering dibuat naik turun kala mengikuti perjalanan alur ceritanya. Kadang
menyedihkan, menyita rasa iba, dan tak sedikit pula terselip beberapa adegan
yang membuat naik darah. Namun, di balik sisi Bi yang kurang aku sukai itu, ada
salah satu kepribadiannya yang aku suka. Sebagai sosok Ibu dari Karel, Bi ini
sangat berjuang keras untuk melindungi anaknya tersebut. Berusaha sekuat
mungkin untuk melindunginya dari amarah Bram. Aku sangat menyukai naluri
keibuan yang ada pada diri Bi. Mereka—Bi dan Karel—sama-sama saling menguatkan.
Itulah yang cukup membuatku iba dan kagum terhadap mereka.
Oh
iya, aku juga kerap dibuat terenyuh dengan sikap Karel. Dia anak kecil yang
manja, namun sudah berpikiran dewasa sebelum waktunya. Keadaanlah yang memaksa
dia menjadi seperti itu. Dalam buku ini, aku memposisikan diri sebagai
Bi—karena pada dasarnya penulis juga menggunakan PoV 1. Jadi, setiap hal apa
pun yang Bi rasakan, aku juga turut merasakan. Termasuk saat Bi dalam keadaan
yang lemah, dan Karel mencoba untuk menghiburnya. Di situ, aku bisa merasakan
bagaimana mendapat kekuatan dari anak yang sangat kita sayangi. Membuat kita
sedikit lebih kuat meskipun masih ada rasa sakit yang membekas. Setidaknya, itu
semua bisa dijadikan obat sementara. Membuatku haru dan juga kagum pada
kepribadian si Karel ini.
Berbicara
mengenai tokoh, Ayah Bi dan Bram adalah tokoh yang paling bikin aku muak. Ayah
Bi adalah sosok yang keras. Dia mendidik Bi dengan cara yang sangat tidak benar.
Bukannya menasihati atau saling bertukar cerita layaknya sepasang ayah dan anak,
justru malah sering mengandalkan emosi. Sering menghina, merendahkan, dan
menganggap sebagai perempuan yang tidak berguna. Jika Bram, aku sudah
seringkali memaki setiap tindakannya terhadap Bi. Dia adalah tokoh yang
abusive, bisa-bisanya ia minta maaf atas semua perbuatannya terhadap Bi? Dan
buat apa dia minta maaf jika itu ia ulangi lagi? Bram ini adalah sosok tokoh
yang tidak mudah ditebak perubahan emosinya. Bisa berubah sewaktu-waktu tanpa
bisa diprediski oleh pembaca.
Oh
iya, di novel Perfect Pain ini, Mbak Anggun menciptakan genre sendiri, yaitu
romance depresi. Kabarnya, genre yang serupa juga ada di buku sebelumnya—After
Rain. Tapi aku belum baca bukunya, semoga aja secepatnya, hehe. Genre seperti
ini dengan mudah bisa membangun emosi pembaca. Aku suka. Apa yang ada di buku
bisa terslurkan dengan mudah ke dalam pikiran pembaca.
Perfect
Pain tak hanya sekadar berisi cerita tentang kesedihan Bi, namun ada juga
banyak pesan moral yang bisa diambil dari buku ini. Salah satunya adalah
bagaimana menjadi seorang laki-laki yang sesungguhnya. Laki-laki ditakdirkan
untuk selalu bisa melindungi perempuan, bukan menyiksanya. Meski pun perempuan
di sini diposisikan sebagai sosok yang lemah, namun sesungguhnya bukan sisi
lemah itu yang ingin ditunjukkan oleh penulis, sungguh. Melainkan adalah ingin mengangkat tinggi
derajat dari kaum perempuan tersebut. Bagaimana mereka bertahan atas segala
siksaan, penderitaan, dan kekecewaan yang dialami, adalah sebuah pesan tersirat
yang ingin disampaikan oleh penulis. Sebagai laki-laki, aku mendapat banyak pelajaran
tentang perempuan dari novel dengan tebal 300 halaman ini. Aku mulai paham
betul bagaimana perasaan hati seorang perempuan. Mereka adalah kaum yang butuh
naungan, butuh tempat untuk berteduh, dan tameng untuk berlindung. Lalu,
dimanakah mereka dapat mendapatkan semua itu?
Di
mana lagi kalau bukan pada diri laki-laki.
Sebelum
berakhir, aku akan merekomendasikan buku ini untuk semua kalangan. Terutama
bagi kaum laki-laki. Kita bisa belajar banyak tentang perempuan di sini.
Tentang perasaannya, tentang pengorbanan dan kerja kerasnya, juga tentang cinta
dan kasih sayangnya. Dan semoga, setelah membaca buku ini, kita bisa lebih
menghargai keberadaan kaum perempuan.
Terima
kasih!
***
“Kau tahu, perempuan memang
boleh dianggap lemah secara fisik. Hati lebih berkuasa. Menjadikan kami lebih
emosional. Namun, kami dianugerahi intuisi. Perempuan dan intuisinya, bukan
sesuatu untuk diremehkan.”
Hlm .297
Saya belum punya buku ini. Tapi yang After Rain sudah pinjam ke temen namun belum sempat dibaca.
BalasHapusSaya penasaran dengan genre barunya Romance Depresi. Ah, harusnya saya baca After Rain dari dulu ya.
Jadi ngiri euuy, kamu udah baca After Rain kan ya?
Hapus