Jumat, 25 Maret 2016

[Book Review] Perfect Pain - Anggun Prameswari



Judul : Perfect Pain
Penulis : Anggun Prameswari
Cetakan : Pertama, 2015
Tebal : viii +316 hlm
Penerbit : Gagas Media
Kategori : Novel
ISBN : 979 – 780 – 840 – 8
Bisa dibeli di : bukupedia.com 



Blurb:

Sayang, menurutmu apa itu cinta? Mungkin beragam jawab akan kau dapati. Bisa jadi itu tentang laki-laki yang melindungi. Atau malah tentang bekas luka dalam hati-hati yang berani mencintai.

Maukah kau menyimak, Sayang? Kuceritakan kepadamu perihal luka-luka yang mudah tersembuhkan. Namun, kau akan jumpai pula luka yang selamanya terpatri. Menjadi pengingat bahwa dalam mencintai, juga ada melukai.

Jika bahagia yang kau cari, kau perlu tahu. Sudahkah kau mencintai dirimu sendiri, sebelum melabuhkan hati? Memaafkan tak pernah mudah, Sayang. Karena sejatinya cinta tidak menyakiti.

***

“Jangan jadikan orang lain alasanmu bahagia atau sedih. Pada dasarnya manusia itu sendiri. Kita lahir sendiri, mati juga sendiri. Jadi, jangan takut pada kesendirian.”

Hlm. 91

Dua belas tahun yang lalu, saat Bidari atau Bi baru saja lulus dari SMA, dirinya sempat terlibat konflik dengan Ayahnya sendiri. Sebenarnya, tidak sekali ini konflik antar ayah dan anak ini terjadi, melainkan kerap kali. Ayahnya sering menganggap Bi sebagai perempuan yang bodoh dan tak berguna. Bi dibesarkan lewat didikan keluarga yang keras dan penuh kekangan, terutama dari sang ayah. Hingga pada akhirnya, Bi meminta restu kepada orang tuanya untuk menikah dengan seorang laki-laki bernama Bramawira Aksana. Awalnya, rencana pernikahan mereka tak mendapat restu dari sang ayah. Namun, cinta mereka berkata lain. Bi nekat meninggalkan rumah dan memilih menikah dengan Bram. Yang jelas, tanpa sepengetahuan kedua orang tuanya.

Bukan tanpa alasan Bi sampai senekat itu untuk mau menikah dengan Bram. Baginya, Bram adalah sosok yang sangat mencintainya dan berjanji untuk melindunginya. Janji-jani manis kerap dilontarkan oleh laki-laki itu dan berhasil membuat Bi meleleh. Namun, setelah dua belas tahun lamanya pernikahan mereka berjalan, dan memiliki seorang putra bernama Karel, Bi mulai menyadari bahwa ada sesuatu yang salah pada diri Bram. Sosok Bram yang dulu sering dipuja-pujanya, kini seolah menjelma sebagai sosok yang mengerikan. Sangat ditakuti, dan siap menyerang apa saja yang tidak disukainya. Kehidupan rumah tangga Bram dan Bi mulai berubah kacau. Bram yang memiliki watak sentimental, kini sering melampiaskan kemarahan kepada Bi, istrinya. Berbagai macam tindak kekerasan sering ia berikan tanpa ampun. Namun, setelah itu semua selesai, Bram menyadari bahwa dirinya salah, dan mulai meminta maaf kepada Bi. Dia juga sempat berjanji untuk tidak mengulangi lagi perbuatannya itu.

Akan tetapi, itu semua belum berakhir. Siklus itu terjadi terus menerus. Bram melakukan kekerasan, lalu meminta maaf. Selalu seperti itu, begitu pun seterusnya. Bram sangat tidak tahu diri saat berulang kali ia mengucap kata maaf tersebut di hadapan Bi. Kini, satu-satunya yang dimiliki Bi adalah Karel—putra semata wayangnya. Hanya Karel lah yang menjadi alasan kenapa Bi mencoba bertahan dengan Bram. Sesakit dan semenderita apa pun itu. Hingga pada akhirnya, secara tak sengaja Bi dan Karel bertemu dengan Sindhu—seorang pengacara yang kerap menangani kasus KDRT. Melalui pertemuan yang tak sengaja itu, mereka mulai saling mengenal dan berteman baik.

Lantas, apakah yang akan Bi lakukan terhadap kehidupan rumah tangganya setelah bertemu Sindhu?

Dan, apakah yang akan ia pilih: mempertahankan atau melepaskan?

***
Perfect Pain, adalah buku pertama dari Anggun Prameswari yang aku baca. Sebelumnya, Mbak Anggun ini pernah menulis buku dengan judul After Rain, dan kabarnya sempat laris di pasaran. Jadi, Perfect Pain ini adalah buku keduanya. Pertama, yang membuat aku cukup tertarik dengan buku ini adalah desain covernya. Sebuah vas bunga mengkilap yang terlihat nyata dengan sebuah tanaman layu di dalamnya. Aku bisa menemukan sosok Bi yang lemah lewat gambar tanaman layu tersebut. Dan, sebenarnya kalau pembaca cermat, lewat covernya itu saja, kita sudah bisa menyimpulkan bagaimana kesedihan yang tersaji dalam ceritanya. Keyakinan bahwa cerita di buku ini tidak manis—dalam arti tidak menampilkan adegan-adegan mesra sepasang kekasih—juga sudah bisa kita lihat dari judul bukunya; Perfect Pain. Rasa sakit yang sempurna. Hmm… sebenarnya sesempurna apa sih rasa sakit yng dialami oleh tokoh utamanya? Dan, apakah ‘rasa sakit’ itu ada yang sempurna? Kamu harus membaca bukunya guys!

Tapi, kita berbicara tentang kekurangannya dulu ya. Pertama, dimulai dari hal yang amat sepele. Apalagi kalau bukan typo. Ya, novel ini masih belum bersih dari typo. Tidak terlalu banyak sih, jadi juga tidak terlalu menganggu kenyamanan saat membaca. Ada juga pengulangan kata. Jadi, satu kata ditulis dua kali. Misal; yang yang. Selain itu, cerita di buku ini terlalu fokus terhadap nasib rumah tangga Bi yang kian hari kian memburuk. Sedikit sekali penjelasan tentang masa lalu yang dialami beberapa tokoh penting lain. Menurutku, hanya Bi dan Sindhu saja yang mendapat porsi itu dengan penuturan yang cukup jelas. Sebenarnya, aku sangat penasaran dengan masa lalu Bram. Apakah dia bertindak seperti itu karena hal serupa yang ia alami di masa lalu? Tidak ada jawaban. Menurutku, akan lebih baik jika penulis menyempatkan untuk flashback ke belakang sejenak tentang kehidupan Bram. Menampilkan beberapa adegan masa lalu yang cukup mendukung dan menambah seru jalannya cerita.

Selain itu, ada satu lagi kekurangan yang ingin aku kritisi. Yaitu pengguanaan kata ganti yang salah. Di sini penulis menggunakan sudut pandang orang pertama, otomatis yang bercerita adalah ‘aku’ sebagai tokoh utama (Bi). Namun, ada kesalahan di halaman 193, pada kalimat: ujarnya bergetar. Jika diteliti baik-baik, yang berbicara saat itu adalah Bi. Jadi, yang tepat adalah: ujarku bergetar, bukan ujarnya. Masalah serupa juga terjadi di halaman 284, pada kalimat: “Bi?” suaranya Sindhu membuyarkan pikirannya. Kasus ini sama persis dengan yang pertama tadi, penggunaan kata ganti –nya, seharusnya diganti –ku. Jadi, yang benar: …membuyarkan pikiranku. Bisa dilihat dengan jelas kok, :D. Nah, lepas dari beberapa kekurangan tadi, ada juga kelebihan yang membuat buku ini susah untuk diabaikan begitu saja.

Kelebihan yang pertama. Perfect Pain ini dibuka oleh Prolog yang cukup mengiris hati. Awal yang mewakili semuanya, menurutku. Dalam prolog, kita sudah bisa menemukan bagaimana kesakitan dan kesedihan yang dialami oleh tokoh utamanya—Bi. Bagaimana ia menahan dan menyembunyikan rasa sakit sungguh sangat menarik rasa prihatin kita. Tentang kehidupan rumah tangganya, dan tentang anak semata wayangnya. Seolah kita sudah bisa merangkum dengan jelas akan seperti apa cerita di buku ini. Aku benar-benar ikut merasakan kesedihan yang tak biasa saat mulai menyelami kisah pahit Bi di buku ini. Mulai dari situ, kita harus siap untuk mengetahui lebih banyak lagi seperti apa dan bagaimana bentuk kesedihan lainnya yang mungkin akan cukup menguras emosi di lembar-lembar berikutnya. Tema mengenai KDRT yang diangkat penulis di sini terbilang asing bagiku, tapi sangat menarik. Secara tidak langsung juga turut mengangkat keresahan-keresahan yang ada di masyarakat tentang kasus KDRT. Belum kutemui banyak buku fiksi yang mengangkat tema serupa dengan Perfect Pain. Jadi, bisa dibilang buku ini mengusung cerita romance yang anti klise. Meski pun pada dasarnya tidak ada cerita romance yang tidak klise sih. Tapi, itu semua sebenarnya kembali ke pribadi penulis masing-masing, bagaimana ia mengembangkan cerita yang pada dasarnya berkesan biasa, menjadi sebuah cerita yang sedikit berbeda.

Tokoh Bi dalam buku ini digambarkan sebagai sosok perempun yang keibuan, lemah, tak berdaya, dan… bodoh, menurutku. Sungguh, jika ada perempuan seperti Bi di dunia nyata, mungkin orang-orang di sekelilingnya juga akan menganggap ia perempuan yang bodoh. Yah, tapi semoga saja tidak ada perempuan seperti Bi ini di dunia nyata. Aku suka dibuat emosi dengan cara bepikir Bi yang kurang bisa aku terima. Bisa-bisa ia memaafkan Bram setelah semua kejadian itu? Bisa-bisanya ia kembali lagi pada Bram? Oh my god! Bi, kamu benar-benar membuatku naik pitam, sungguh! Emosiku juga sering dibuat naik turun kala mengikuti perjalanan alur ceritanya. Kadang menyedihkan, menyita rasa iba, dan tak sedikit pula terselip beberapa adegan yang membuat naik darah. Namun, di balik sisi Bi yang kurang aku sukai itu, ada salah satu kepribadiannya yang aku suka. Sebagai sosok Ibu dari Karel, Bi ini sangat berjuang keras untuk melindungi anaknya tersebut. Berusaha sekuat mungkin untuk melindunginya dari amarah Bram. Aku sangat menyukai naluri keibuan yang ada pada diri Bi. Mereka—Bi dan Karel—sama-sama saling menguatkan. Itulah yang cukup membuatku iba dan kagum terhadap mereka.

Oh iya, aku juga kerap dibuat terenyuh dengan sikap Karel. Dia anak kecil yang manja, namun sudah berpikiran dewasa sebelum waktunya. Keadaanlah yang memaksa dia menjadi seperti itu. Dalam buku ini, aku memposisikan diri sebagai Bi—karena pada dasarnya penulis juga menggunakan PoV 1. Jadi, setiap hal apa pun yang Bi rasakan, aku juga turut merasakan. Termasuk saat Bi dalam keadaan yang lemah, dan Karel mencoba untuk menghiburnya. Di situ, aku bisa merasakan bagaimana mendapat kekuatan dari anak yang sangat kita sayangi. Membuat kita sedikit lebih kuat meskipun masih ada rasa sakit yang membekas. Setidaknya, itu semua bisa dijadikan obat sementara. Membuatku haru dan juga kagum pada kepribadian si Karel ini.

Berbicara mengenai tokoh, Ayah Bi dan Bram adalah tokoh yang paling bikin aku muak. Ayah Bi adalah sosok yang keras. Dia mendidik Bi dengan cara yang sangat tidak benar. Bukannya menasihati atau saling bertukar cerita layaknya sepasang ayah dan anak, justru malah sering mengandalkan emosi. Sering menghina, merendahkan, dan menganggap sebagai perempuan yang tidak berguna. Jika Bram, aku sudah seringkali memaki setiap tindakannya terhadap Bi. Dia adalah tokoh yang abusive, bisa-bisanya ia minta maaf atas semua perbuatannya terhadap Bi? Dan buat apa dia minta maaf jika itu ia ulangi lagi? Bram ini adalah sosok tokoh yang tidak mudah ditebak perubahan emosinya. Bisa berubah sewaktu-waktu tanpa bisa diprediski oleh pembaca.

Oh iya, di novel Perfect Pain ini, Mbak Anggun menciptakan genre sendiri, yaitu romance depresi. Kabarnya, genre yang serupa juga ada di buku sebelumnya—After Rain. Tapi aku belum baca bukunya, semoga aja secepatnya, hehe. Genre seperti ini dengan mudah bisa membangun emosi pembaca. Aku suka. Apa yang ada di buku bisa terslurkan dengan mudah ke dalam pikiran pembaca.

Perfect Pain tak hanya sekadar berisi cerita tentang kesedihan Bi, namun ada juga banyak pesan moral yang bisa diambil dari buku ini. Salah satunya adalah bagaimana menjadi seorang laki-laki yang sesungguhnya. Laki-laki ditakdirkan untuk selalu bisa melindungi perempuan, bukan menyiksanya. Meski pun perempuan di sini diposisikan sebagai sosok yang lemah, namun sesungguhnya bukan sisi lemah itu yang ingin ditunjukkan oleh penulis, sungguh.  Melainkan adalah ingin mengangkat tinggi derajat dari kaum perempuan tersebut. Bagaimana mereka bertahan atas segala siksaan, penderitaan, dan kekecewaan yang dialami, adalah sebuah pesan tersirat yang ingin disampaikan oleh penulis. Sebagai laki-laki, aku mendapat banyak pelajaran tentang perempuan dari novel dengan tebal 300 halaman ini. Aku mulai paham betul bagaimana perasaan hati seorang perempuan. Mereka adalah kaum yang butuh naungan, butuh tempat untuk berteduh, dan tameng untuk berlindung. Lalu, dimanakah mereka dapat mendapatkan semua itu?

Di mana lagi kalau bukan pada diri laki-laki.

Sebelum berakhir, aku akan merekomendasikan buku ini untuk semua kalangan. Terutama bagi kaum laki-laki. Kita bisa belajar banyak tentang perempuan di sini. Tentang perasaannya, tentang pengorbanan dan kerja kerasnya, juga tentang cinta dan kasih sayangnya. Dan semoga, setelah membaca buku ini, kita bisa lebih menghargai keberadaan kaum perempuan.

Terima kasih!

***

“Kau tahu, perempuan memang boleh dianggap lemah secara fisik. Hati lebih berkuasa. Menjadikan kami lebih emosional. Namun, kami dianugerahi intuisi. Perempuan dan intuisinya, bukan sesuatu untuk diremehkan.”


Hlm .297

2 komentar:

  1. Saya belum punya buku ini. Tapi yang After Rain sudah pinjam ke temen namun belum sempat dibaca.

    Saya penasaran dengan genre barunya Romance Depresi. Ah, harusnya saya baca After Rain dari dulu ya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jadi ngiri euuy, kamu udah baca After Rain kan ya?

      Hapus