Judul : Critical Eleven
Penulis : Ika Natassa
Cetakan : Kesebelas, Maret 2016
Tebal : 344 hlm
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Kategori : Novel Metropop
ISBN : 978 – 602 – 03 – 1892 – 9
Bisa dibeli di : bukupedia.com
|
Blurb:
Dalam
dunia penerbangan, dikenal istilah critical eleven, sebelas menit paling kritis
dalam dunia pesawat—tiga menit setelah take off dan delapan menit sebelum
landing—karena secara statistic delapan puluh persen kecelakaan pesawat umumnya
terjadi dalam rentang waktu sebelas menit itu. It’s when the aircraft is most
vulnerable to any danger.
In
a way, it's kinda the same with meeting people. Tiga menit pertama kritis
sifatnya karena saat itulah kesan pertama terbentuk, lalu ada delapan menit
sebelum berpisah—delapan menit ketika senyum, tindak tanduk, dan ekspresi wajah
orang tersebut jelas bercerita apakah itu akan jadi awal sesuatu ataukah justru
menjadi perpisahan.
Ale
dan Anya pertama kali bertemu dalam penerbangan Jakarta-Sydney. Tiga menit
pertama Anya terpikat, tujuh jam berikutnya mereka duduk bersebelahan dan
saling mengenal lewat percakapan serta tawa, dan delapan menit sebelum berpisah
Ale yakin dia menginginkan Anya.
Kini,
lima tahun setelah perkenalan itu, Ale dan Anya dihadapkan pada satu tragedi
besar yang membuat mereka mempertanyakan pilihan-pilihan yang mereka ambil,
termasuk keputusan pada sebelas menit paling penting dalam pertemuan pertama
mereka.
Diceritakan
bergantian dari sudut pandang Ale dan Anya, setiap babnya merupakan kepingan
puzzle yang membuat kita jatuh cinta atau benci kepada karakter-karakternya,
atau justru keduanya.
***
“Berani
menjalin hubungan berarti berani menyerahkan sebagian kendali atas perasaan
kita kepada orang lain. Menerima fakta bahwa sebagian dari rasa kita ditentukan
oleh orang yang menjadi pasangan kita. That you’re only as happy as the least
happy person ia relationship.”
Hlm. 7
“Sebagai
laki-laki, tugas utama kita adalah mengambil pilihan terbaik untuk diri kita
sendiri dan orang-orang yang dekat dan bergantung pada kita.”
Hlm. 30
“Hidup
ini jangan dibiasakan menikmati yang instan-instan, Le, jangan mau gampangnya
saja. Hal-hal terbaik dalam hidup justru seringnya harus melalui usaha yang
lama dan menguji kesabaran dulu.”
Hlm. 31
Long Distance Relationship. Ya,
itulah keadaan yang kini tengah dialami oleh Aldebaran Risjad—Ale—dan Tanya Laetitia Baskoro—Anya. Setelah pertemuan pertama
mereka di pesawat sejak 5 tahun lalu, dan setelah menjalani masa pacaran selama
satu tahun, Ale dan Anya akhirnya memutuskan untuk menikah. Namun sayangnya,
kedekatan antara mereka sebagai sepasang suami istri yang cukup harmonis itu
harus rela direnggut oleh jarak yang kini memisahkan mereka.
Ya, pekerjaan Ale sebagai seorang Petroleum Engineer di Teluk Meksiko, mau tak mau harus membuat
mereka hidup berkejauhan. Selain itu, Ale juga harus berbagi waktu untuk
pekerjaan dan keluarganya. Ibu Ale yang dulu sempat protes karena anak
sulungnya tersebut jarang pulang, sekarang patut berlega hati. Karena semenjak
keberadaan Anya, semenjak keduanya menikah, Ale menjadi lebih sering pulang ke
Indonesia. Satu bulan di Teluk Meksiko, dan 1 bulan di Jakarta. Begitulah cara
Ale membagi waktunya.
Terpisah oleh jarak dalam waktu yang cukup lama, tidak
membuat hubungan keduanya renggang. Kemesraan dan keharmonisan yang terjalin
antar keduanya justru semakin mempermanis kehidupan rumah tangga mereka. Hingga
pada akhirnya, kekuatan rumah tangga mereka harus diuji dengan datangnya
serentetan masalah. Seolah menambah beban pada kehidupan rumah tangganya, Ale
justru menorehkan kekecewaan yang mendalam bagi Anya lewat perkataan bodohnya.
Tak bisa dipungkiri, dampak dari semua itu adalah hubungan mereka yang kian
merenggang. Meski masih tinggal dalam satu atap, dan meski Ale masih pulang
dalam sebulan sekali, namun kasih sayang itu, tak lagi terjalin antar keduanya.
Anya terlanjur kecewa dengan Ale, dan keberadaan Ale adalah kehampaan baginya.
Kini, keadaan pun kembali lagi pada 5 tahun sebelumnya, saat pertama kali
mereka duduk berdua di kursi pesawat: they’re
become a strangers each other.
Pertanyaannya: apakah sumber dari semua masalah itu?
Dan, apakah yang akan terjadi dalam hubungan Ale dan Anya
selanjutnya?
Kembali bersama, atau justru semakin tenggelam seiring
beratnya kekecewaan…?
***
“Ujian keimanan seorang laki-laki itu bukan waktu dia digoda
oleh uang, perempuan, atau kekuasaan seperti banyak yang dikatakan orang-orang.
Ujian keimanan itu sesungguhnya adalah ketika yang paling berharga dalam hidup
laki-laki itu direnggut begitu saja, tanpa sebab apa-apa, kecuali bahwa karena
itu sudah takdirnya.”
Hlm. 121
“In marriage, when we win, we win big. But when we lost, we
lost more than everything. We lost ourshelves, and there’s nothing sadder than
that.”
Hlm. 153
“The world is a crazy place and sometimes we need to do
whatever we need to do to get by. This is how I get by, no matter how crazy it
sounds.”
Hlm. 178
Buku ini aku dapatkan karena mengikuti BBI Giveaway Hop yang
diadakan oleh kak Putri Utama, and do you
know how I feel at the time? Really happy more and more. Why? Karena buku
ini masuk ke dalam wishlist-ku dan memang sudah lama. Hanya saja belum ada uang
buat beli, hehe (dibaca: bokek). Well,
sebaiknya, kita bahas dari mana dulu nih? Emmm, okay! Awal aku tertarik dengan
buku ini adalah karena membaca review para user
goodreads, most of them banyak memberikan respon dan penilaian yang positif
untuk novel ini. Dan, pembaca mana sih yang nggak kenal Ika Natassa? Aku yakin, hampir semua penikmat buku mengenal nama penulis yang satu ini. Dan, bisa
dibilang itulah hal yang melatarbelakangi aku ingin membaca buku ini.
Awal melihat cover buku ini, aku sempat mengira bahwa cerita
di Critical Eleven tidak jauh-jauh dari adegan laga atau action. Hal ini aku simpulkan begitu saja saat melihat gambar
pesawat pada cover depannya. Tapi rupanya aku salah. Critical Eleven adalah
sebuah novel metropop pure romance
dari Kak Ika Natassa. Kenyataan ini pun semakin memperkuat aku untuk memiliki
buku ini. Yes, I was one of those people
who love the romance story. Memasuki awal bab, aku sebenarnya agak
terganggu dengan penggunaan bahasa inggris yang too much (tapi sebenarnya cukup mudah dimengerti), dan narasinya
yang agak berbelit, panjang, dan banyak menggunakan perumpaan. Seperti
penjelasan soal KPI—Key Performances
Indicator—yang rupa-rupanya merujuk pada hal sederhana. Hal ini cenderung
membuat cerita sedikit berputar-putar dan terasa lama untuk menuju ke satu
titik yang dimaksud. Namun, di lain sisi, cara yang dilakukan penulis ini
rupanya juga ada kelebihan tersendiri. Yaitu penulis juga mampu menghadirkan
sisi informatifnya. Seperti saat penulis memasukkan info-info mengenai
penglompokkan jenis ingatan pada bab 2. Tidak hanya membaca, tapi kita juga
mendapatkan info yang mungkin belum pernah kita dapat sebelumnya.
Kesukaanku terhadap buku ini bertambah besar saat penulis
mengambil langkah yang tepat dalam menjalankan ceritanya, yaitu: menggunakan sudut
pandang orang pertama dari kedua tokoh utama secara bergantian. Yes, I like this way. Cerita di Critical
Eleven ini lebih berpusat kepada hubungan dan konflik yang dialami oleh kedua
tokoh utamanya—Ale dan Anya. Dengan menggunakan PoV 1 dari kedua tokoh,
otomatis pembaca bisa langsung merasakan dan menyelami lebih dalam tentang
seperti apa perasaan dan pola pikir mereka. Tidak sekedar itu, nilai plus-nya
lagi adalah saat penulis mampu mengaduk-aduk emosi pembacanya lewat konflik
yang terjadi antara Ale dan Anya. Tidak tanggung menurutku, dan Kak Ika
benar-benar mampu membuat pembacanya merasuk langsung ke dalam diri tokohnya
dan ikut mendalami perasaan mereka secara langsung. Tak jarang, banyak part di
buku ini yang membuat kita luluh, tersayat, sedih, terenyuh, dan banyak lagi
yang bisa kita rasakan.
Merasakan hal seperti ini, membuatku teringat kepada buku Somewhere Only We Know karya Alexander Thian. Di mana saat itu Koh Alex
benar-benar mampu membagi emosinya antara kedua tokoh yang ia bangun. Dan rupanya,
cara itu juga sangat berhasil untuk ikut memengaruhi emosi pembacanya. Sama
seperti Critical Eleven. Benar-benar sampai, benar-benar merasuk. Selain itu, karakter yang dibangun pada tokoh
Ale dan Anya sangat bikin greget. Ada satu part di mana aku membenci Ale, dan
ada satu part pula di mana aku merasa kesal dengan sikap Anya. Aku rasa, kedua
tokoh ini berhasil memainkan emosi pembaca-pembacanya, termasuk aku.
Cerita lain yang membuat aku tertarik sebenarnya adalah
hubungan antara Harris—adik Ale—dan Keara. Kisah cinta mereka menurutku bisa
menjadi pemanis tersendiri untuk buku ini. Dan, sebenarnya aku menginginkan
hubungan antara Harris dan keara ini tidak diceritakan secara cuma-cuma, tapi
lebih. Yah, harapan lain adalah aku ingin Harris dan Keara ditulis dalam buku
tersendiri. Aku ingin tahu lebih dalam tentang hubungan mereka. They are couple who I love so much!
Membaca buku ini seperti menonton sebuah film. Ingin langsung
selesai dalam sekali lihat. Dan, itulah pula yang aku rasakan saat membaca buku
ini. Meski pada kenyataannya baru selesai dalam 2 hari, tapi aku benar-benar
mendapat kepuasan yang luar biasa. Ending cerita yang melebihi ekspektasiku,
membuat aku semakin tidak rela menutup lembar terakhir buku ini. Hanya saja,
aku masih sedikit mendapat ketidakpuasan di ending, rasanya masih ngeganjel
gitu. Aku ingin penulis meneruskannnya lagi, tapi apalah daya, hanya sampai
situ, huuhuu. Jika penulis membuat sekuel untuk buku ini, pasti aku tidak akan
melewatkannya, haha.
Overall, ibaratnya sebagai seorang penumpang, dan Kak Ika
sebagai seorang pilot, kita (pembaca) benar-benar dibuat nyaman selama
penerbangan berlangsung. Mulai dari take
off, sampai landing, semua
berjalan sesuai harapan dan cukup memuaskan. Sepertinya, aku tidak akan kapok
jika lain kali ingin melakukan penerbangan lagi menggunakan pesawat dengan
maskapai ‘Ika Natassa’. Benar-benar penerbangan yang menyenangkan!
4 Jempol untuk Mr. Aldebaran Risjad dan Mrs. Tanya Laetitia
Baskoro…
Terima kasih!
***
“Kalau memang benar-benar sayang dan cinta sama perempuan,
jangan bilang rela mati buat dia. Justru harus kuat hidup untuk dia. Rela mati
sih gampang, dan bego. Misalnya demi menyelamatkan istri lo, lo rela mati. Lo
merasa udah jadi pahlawan kalau udah begitu, egois itu. Setelah lo mati, yang
melindungi dan menyayangi istri lo lantas siapa? Lo meninggal dan istri
menangisi lo karena nggak ada lo lagi, itu yang dibilang pahlawan? Seharusnya
kalau lo memang benar-benar sayang, lo rela mengorbankan apa aja demi istri lo,
tapi lo juga harus berjuang supaya lo tetap ada buat dia. Itu baru bener.”
Hlm. 324 – 325
“Love does not consist of gazing at each other, but in
looking outward together in the same direction.”
--Antoine de Saint Exupery--
salah satu domestic drama favoritku sepanjang masa :)
BalasHapusYesss, can't wait to read TAOL :D
Hapus