Minggu, 29 Mei 2016

[Book Review] Critical Eleven - Ika Natassa



Judul : Critical Eleven
Penulis : Ika Natassa
Cetakan : Kesebelas, Maret 2016
Tebal : 344 hlm
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Kategori : Novel Metropop
ISBN : 978 – 602 – 03 – 1892 – 9

Bisa dibeli di : bukupedia.com


Blurb:

Dalam dunia penerbangan, dikenal istilah critical eleven, sebelas menit paling kritis dalam dunia pesawat—tiga menit setelah take off dan delapan menit sebelum landing—karena secara statistic delapan puluh persen kecelakaan pesawat umumnya terjadi dalam rentang waktu sebelas menit itu. It’s when the aircraft is most vulnerable to any danger.

In a way, it's kinda the same with meeting people. Tiga menit pertama kritis sifatnya karena saat itulah kesan pertama terbentuk, lalu ada delapan menit sebelum berpisah—delapan menit ketika senyum, tindak tanduk, dan ekspresi wajah orang tersebut jelas bercerita apakah itu akan jadi awal sesuatu ataukah justru menjadi perpisahan.

Ale dan Anya pertama kali bertemu dalam penerbangan Jakarta-Sydney. Tiga menit pertama Anya terpikat, tujuh jam berikutnya mereka duduk bersebelahan dan saling mengenal lewat percakapan serta tawa, dan delapan menit sebelum berpisah Ale yakin dia menginginkan Anya.
Kini, lima tahun setelah perkenalan itu, Ale dan Anya dihadapkan pada satu tragedi besar yang membuat mereka mempertanyakan pilihan-pilihan yang mereka ambil, termasuk keputusan pada sebelas menit paling penting dalam pertemuan pertama mereka.

Diceritakan bergantian dari sudut pandang Ale dan Anya, setiap babnya merupakan kepingan puzzle yang membuat kita jatuh cinta atau benci kepada karakter-karakternya, atau justru keduanya.

***

“Berani menjalin hubungan berarti berani menyerahkan sebagian kendali atas perasaan kita kepada orang lain. Menerima fakta bahwa sebagian dari rasa kita ditentukan oleh orang yang menjadi pasangan kita. That you’re only as happy as the least happy person ia relationship.”
Hlm. 7

“Sebagai laki-laki, tugas utama kita adalah mengambil pilihan terbaik untuk diri kita sendiri dan orang-orang yang dekat dan bergantung pada kita.”
Hlm. 30

“Hidup ini jangan dibiasakan menikmati yang instan-instan, Le, jangan mau gampangnya saja. Hal-hal terbaik dalam hidup justru seringnya harus melalui usaha yang lama dan menguji kesabaran dulu.”
Hlm. 31

Long Distance Relationship. Ya, itulah keadaan yang kini tengah dialami oleh Aldebaran Risjad—Ale—dan Tanya Laetitia Baskoro—Anya. Setelah pertemuan pertama mereka di pesawat sejak 5 tahun lalu, dan setelah menjalani masa pacaran selama satu tahun, Ale dan Anya akhirnya memutuskan untuk menikah. Namun sayangnya, kedekatan antara mereka sebagai sepasang suami istri yang cukup harmonis itu harus rela direnggut oleh jarak yang kini memisahkan mereka.

Ya, pekerjaan Ale sebagai seorang Petroleum Engineer di Teluk Meksiko, mau tak mau harus membuat mereka hidup berkejauhan. Selain itu, Ale juga harus berbagi waktu untuk pekerjaan dan keluarganya. Ibu Ale yang dulu sempat protes karena anak sulungnya tersebut jarang pulang, sekarang patut berlega hati. Karena semenjak keberadaan Anya, semenjak keduanya menikah, Ale menjadi lebih sering pulang ke Indonesia. Satu bulan di Teluk Meksiko, dan 1 bulan di Jakarta. Begitulah cara Ale membagi waktunya.

Terpisah oleh jarak dalam waktu yang cukup lama, tidak membuat hubungan keduanya renggang. Kemesraan dan keharmonisan yang terjalin antar keduanya justru semakin mempermanis kehidupan rumah tangga mereka. Hingga pada akhirnya, kekuatan rumah tangga mereka harus diuji dengan datangnya serentetan masalah. Seolah menambah beban pada kehidupan rumah tangganya, Ale justru menorehkan kekecewaan yang mendalam bagi Anya lewat perkataan bodohnya. Tak bisa dipungkiri, dampak dari semua itu adalah hubungan mereka yang kian merenggang. Meski masih tinggal dalam satu atap, dan meski Ale masih pulang dalam sebulan sekali, namun kasih sayang itu, tak lagi terjalin antar keduanya. Anya terlanjur kecewa dengan Ale, dan keberadaan Ale adalah kehampaan baginya. Kini, keadaan pun kembali lagi pada 5 tahun sebelumnya, saat pertama kali mereka duduk berdua di kursi pesawat: they’re become a strangers each other.

Pertanyaannya: apakah sumber dari semua masalah itu?

Dan, apakah yang akan terjadi dalam hubungan Ale dan Anya selanjutnya?

Kembali bersama, atau justru semakin tenggelam seiring beratnya kekecewaan…?

***

“Ujian keimanan seorang laki-laki itu bukan waktu dia digoda oleh uang, perempuan, atau kekuasaan seperti banyak yang dikatakan orang-orang. Ujian keimanan itu sesungguhnya adalah ketika yang paling berharga dalam hidup laki-laki itu direnggut begitu saja, tanpa sebab apa-apa, kecuali bahwa karena itu sudah takdirnya.”
Hlm. 121

“In marriage, when we win, we win big. But when we lost, we lost more than everything. We lost ourshelves, and there’s nothing sadder than that.”
Hlm. 153

“The world is a crazy place and sometimes we need to do whatever we need to do to get by. This is how I get by, no matter how crazy it sounds.”
Hlm. 178

Buku ini aku dapatkan karena mengikuti BBI Giveaway Hop yang diadakan oleh kak Putri Utama, and do you know how I feel at the time? Really happy more and more. Why? Karena buku ini masuk ke dalam wishlist-ku dan memang sudah lama. Hanya saja belum ada uang buat beli, hehe (dibaca: bokek).  Well, sebaiknya, kita bahas dari mana dulu nih? Emmm, okay! Awal aku tertarik dengan buku ini adalah karena membaca review para user goodreads, most of them banyak memberikan respon dan penilaian yang positif untuk novel ini. Dan, pembaca mana sih yang nggak kenal Ika Natassa? Aku yakin, hampir semua penikmat buku mengenal nama penulis yang satu ini. Dan, bisa dibilang itulah hal yang melatarbelakangi aku ingin membaca buku ini.

Awal melihat cover buku ini, aku sempat mengira bahwa cerita di Critical Eleven tidak jauh-jauh dari adegan laga atau action. Hal ini aku simpulkan begitu saja saat melihat gambar pesawat pada cover depannya. Tapi rupanya aku salah. Critical Eleven adalah sebuah novel metropop pure romance dari Kak Ika Natassa. Kenyataan ini pun semakin memperkuat aku untuk memiliki buku ini. Yes, I was one of those people who love the romance story. Memasuki awal bab, aku sebenarnya agak terganggu dengan penggunaan bahasa inggris yang too much (tapi sebenarnya cukup mudah dimengerti), dan narasinya yang agak berbelit, panjang, dan banyak menggunakan perumpaan. Seperti penjelasan soal KPI—Key Performances Indicator—yang rupa-rupanya merujuk pada hal sederhana. Hal ini cenderung membuat cerita sedikit berputar-putar dan terasa lama untuk menuju ke satu titik yang dimaksud. Namun, di lain sisi, cara yang dilakukan penulis ini rupanya juga ada kelebihan tersendiri. Yaitu penulis juga mampu menghadirkan sisi informatifnya. Seperti saat penulis memasukkan info-info mengenai penglompokkan jenis ingatan pada bab 2. Tidak hanya membaca, tapi kita juga mendapatkan info yang mungkin belum pernah kita dapat sebelumnya.

Kesukaanku terhadap buku ini bertambah besar saat penulis mengambil langkah yang tepat dalam menjalankan ceritanya, yaitu: menggunakan sudut pandang orang pertama dari kedua tokoh utama secara bergantian. Yes, I like this way. Cerita di Critical Eleven ini lebih berpusat kepada hubungan dan konflik yang dialami oleh kedua tokoh utamanya—Ale dan Anya. Dengan menggunakan PoV 1 dari kedua tokoh, otomatis pembaca bisa langsung merasakan dan menyelami lebih dalam tentang seperti apa perasaan dan pola pikir mereka. Tidak sekedar itu, nilai plus-nya lagi adalah saat penulis mampu mengaduk-aduk emosi pembacanya lewat konflik yang terjadi antara Ale dan Anya. Tidak tanggung menurutku, dan Kak Ika benar-benar mampu membuat pembacanya merasuk langsung ke dalam diri tokohnya dan ikut mendalami perasaan mereka secara langsung. Tak jarang, banyak part di buku ini yang membuat kita luluh, tersayat, sedih, terenyuh, dan banyak lagi yang bisa kita rasakan.

Merasakan hal seperti ini, membuatku teringat kepada buku Somewhere Only We Know karya Alexander Thian. Di mana saat itu Koh Alex benar-benar mampu membagi emosinya antara kedua tokoh yang ia bangun. Dan rupanya, cara itu juga sangat berhasil untuk ikut memengaruhi emosi pembacanya. Sama seperti Critical Eleven. Benar-benar sampai, benar-benar merasuk.  Selain itu, karakter yang dibangun pada tokoh Ale dan Anya sangat bikin greget. Ada satu part di mana aku membenci Ale, dan ada satu part pula di mana aku merasa kesal dengan sikap Anya. Aku rasa, kedua tokoh ini berhasil memainkan emosi pembaca-pembacanya, termasuk aku.

Cerita lain yang membuat aku tertarik sebenarnya adalah hubungan antara Harris—adik Ale—dan Keara. Kisah cinta mereka menurutku bisa menjadi pemanis tersendiri untuk buku ini. Dan, sebenarnya aku menginginkan hubungan antara Harris dan keara ini tidak diceritakan secara cuma-cuma, tapi lebih. Yah, harapan lain adalah aku ingin Harris dan Keara ditulis dalam buku tersendiri. Aku ingin tahu lebih dalam tentang hubungan mereka. They are couple who I love so much!

Membaca buku ini seperti menonton sebuah film. Ingin langsung selesai dalam sekali lihat. Dan, itulah pula yang aku rasakan saat membaca buku ini. Meski pada kenyataannya baru selesai dalam 2 hari, tapi aku benar-benar mendapat kepuasan yang luar biasa. Ending cerita yang melebihi ekspektasiku, membuat aku semakin tidak rela menutup lembar terakhir buku ini. Hanya saja, aku masih sedikit mendapat ketidakpuasan di ending, rasanya masih ngeganjel gitu. Aku ingin penulis meneruskannnya lagi, tapi apalah daya, hanya sampai situ, huuhuu. Jika penulis membuat sekuel untuk buku ini, pasti aku tidak akan melewatkannya, haha.

Overall, ibaratnya sebagai seorang penumpang, dan Kak Ika sebagai seorang pilot, kita (pembaca) benar-benar dibuat nyaman selama penerbangan berlangsung. Mulai dari take off, sampai landing, semua berjalan sesuai harapan dan cukup memuaskan. Sepertinya, aku tidak akan kapok jika lain kali ingin melakukan penerbangan lagi menggunakan pesawat dengan maskapai ‘Ika Natassa’. Benar-benar penerbangan yang menyenangkan!

4 Jempol untuk Mr. Aldebaran Risjad dan Mrs. Tanya Laetitia Baskoro…


Terima kasih!

***

“Kalau memang benar-benar sayang dan cinta sama perempuan, jangan bilang rela mati buat dia. Justru harus kuat hidup untuk dia. Rela mati sih gampang, dan bego. Misalnya demi menyelamatkan istri lo, lo rela mati. Lo merasa udah jadi pahlawan kalau udah begitu, egois itu. Setelah lo mati, yang melindungi dan menyayangi istri lo lantas siapa? Lo meninggal dan istri menangisi lo karena nggak ada lo lagi, itu yang dibilang pahlawan? Seharusnya kalau lo memang benar-benar sayang, lo rela mengorbankan apa aja demi istri lo, tapi lo juga harus berjuang supaya lo tetap ada buat dia. Itu baru bener.”
Hlm. 324 – 325

“Love does not consist of gazing at each other, but in looking outward together in the same direction.”

--Antoine de Saint Exupery--

2 komentar: