Ada Apa dengan Indonesia dan Buku?
Mungkin, itulah pertanyaan yang beberapa hari terakhir
ini mampir di kepala kita semua. Dunia perbukuan, literasi, dan sejenisnya,
akhir-akhir ini memang menjadi sorotan banyak orang, terutama di Negara kita
tercinta ini. Beberapa fakta mengejutkan, hingga pro dan kontra mulai muncul ke
permukaan. Berbicara tentang buku, perlu
kamu ketahui bahwa tanggal 17 Mei kemarin diperingati sebagai Hari Buku
Nasional. Namun, pada postingan kali ini, aku tidak akan membahas tentang
euphoria masyarakat terhadap hari buku tersebut atau mungkin membahas tentang apa
saja buku yang sedang populer saat ini. Tidak menyangkut hal itu sama sekali.
Ok, akan aku jelaskan mulai dari awal. Berhubung bulan
ini bertepatan dengan jatuhnya Hari Buku Nasional seperti yang sudah aku sebut
tadi, maka untuk merayakan hari ‘besar’ itu kami—Blogger Buku
Indonesia—menyetujui satu tema yang akan dibahas dalam Posting Bareng bulan ini,
yaitu tentang buku. All about book! Maka, di Posbar kali ini
aku ingin mengangkat sebuah topik bahasan yang sedang panas-panasnya di dunia
perbukuan kita. Kontroversi dunia perbukuan. Kita mungkin sudah banyak
mendengar tentang masalah yang dialami oleh Negara kita terutama di bidang
literasi. Seperti misal; rendahnya minat baca, penjiplakan atau plagiarisme
buku, pembajakan buku, hingga pembakaran buku. Tak jarang beberapa kasus ini
banyak mengundang pro dan kontra dari masyarakat. Banyak persepsi, pandangan,
dan opini yang berlawanan dari berbagai kalangan, dan tak jarang ini membuat
kita bingung. Bingung untuk menentukan mana kebenaran dan kesalahan dari
permasalahan yang terjadi. Sehingga masalah pun cenderung berputar-putar dan
sulit untuk ditemukan titik terangnya.
Maka dari itu, untuk sedikit menjawab rasa bingung
kita semua, aku di sini akan menghadirkan 3
narasumber dari 3 profesi dan status yang berbeda untuk membahas
kasus-kasus ini berdasarkan sudut pandang mereka masing-masing. Tapi
sebelumnya, ada baiknya aku memberitahukan apa saja topik pembicaraan yang akan
dibahas tersebut.
Di sini, aku menyediakan 3 rumusan masalah yang mana
inilah yang menjadi pokok pembicaraan kita dengan ketiga narasumber nanti:
- Topik bahasan: Minat Baca Rendah.
Rumusan
Masalah:
Bagaimana
pendapat Anda
terkait rendahnya minat baca yang sedang terjadi di Negara kita ini? Dan
bagaimana pula sistem membaca yang ‘asyik’ itu? Sehingga ini bisa menjadi
pandangan yang baru bagi masyarakat terhadap kegiatan membaca.
2.
Topik bahasan: Penjiplakan atau Plagiarisme di Dunia
Literasi.
Rumusan
Masalah: Menurut Anda apakah kasus plagiarisme dalam
dunia literasi bisa terjadi karena unsur ketidaksengajaan? Dan, apa pula
tindakan yang seharusnya dilakukan penulis agar karyanya tidak dituding
plagiat?
3.
Topik bahasan: Pembakaran Buku.
Rumusan Masalah: Menurut Anda, apakah
tindakan ‘bakar buku’ seperti yang sedang marak akhir-akhir ini menguntungkan
atau justru merugikan? Dan, menurut Anda adakah cara yang lebih efektif selain
‘bakar buku’ ini?
Nah, itulah tadi ketiga
pokok bahasan yang akan kita bahas bersama ketiga narasumber nanti. Dan
sekarang, siapa saja ketiga narasumber kita ini?
Dalam postingan—yang
lebih mirip forum diskusi ini—aku telah menghadirkan 3 narasumber dari 3 profesi yang berbeda. Mengapa dari
profesi yang berbeda? Karena dengan begitu, kita bisa tahu seperti apakah
pandangan dan opini dari ketiga narasumber ini dalam menyoroti permasalahan
tadi berdasarkan sudut pandang dari profesi mereka masing-masing. Dan tentunya profesi yang mereka jalani ini
pun masih berkaitan erat dengan buku, dunia literasi, dan sejenisnya. Ketiga
narasumberku kali ini yang pertama dari kalangan pelajar, kedua pustakawan,
dan ketiga adalah penulis. Nah,
kira-kira, bagaimanakah sudut pandang mereka terhadap ketiga permasalahan di
atas?
Baik, kita mulai saja
ya. Narasumber pertama kita adalah seorang pelajar.
Dalam dunia pendidikan, buku merupakan salah satu penunjang ilmu yang sangat
penting. Bukan, begitu? Lantas, bagaimanakah tanggapan para pelajar terhadap
beberapa permasalahan yang terjadi di dunia perbukuan sekarang?
Berikut aku telah
merangkum hasil interview-ku dengan salah satu pelajar SMA di Kabupaten Madiun.
Say Hi to Hanida Kurnia Putri \o/
HANIDA - PELAJAR SMA Sangat menyukai buku-buku Tere Liye dan buah pisang. |
Menurut Hanida….
(1) Rendahnya
minat baca masyarakat Indonesia
karena menerima budaya dari luar yaitu gadget. Sudah umum masyarakat zaman sekarang
kemana-mana bawa gagdet. Budaya baca buku yang umumnya
dilakukan pelajar, sekarang
sudah diganti dengan gagdet yang dilengkapi
dengan fitur-fitur sosmed atau pun game yang mengasyikkan. Apalagi sekarang banyak ebook-ebook yang
dianggap orang lebih praktis.
Keberadaan gadget mulai menjamur di kalangan anak-anak. Sumber: disini |
Selain itu, berbicara
tentang system baca yang asyik, menurutku tidak melulu harus di dalam ruangan duduk rapi di atas kursi. Tidak harus seperti itu. Kita bisa saja membaca di alam terbuka, misalnya di bawah pohon. Tanah lapang. Atau
bahkan pegunungan. Hal
tersebut bisa me-refresh
otak kita lo.
(2) Menurut
saya bisa saja terjadi karena faktor ketidaksengajaan seperti yang Bintang
bilang. Juga karena
kesamaan dari pola pikir sang penulis. Menurutku, untuk
mengatasinya yaitu; Pertama, jika kita ingin
membuat suatu karya, maka sebelumnya kita harus memperbanyak referensi dengan
baca
buku sebanyak-banyaknya. Kalau misal kita menemui buku
dengan cerita maupun premis yang sama seperti apa yang kita buat, lebih
baik kita me-revisi dulu karya kita tersebut. Beberapa hal yang memiliki kesamaan coba kita ubah
lagi. Kedua, naskah
disetorkan harus ada perjanjian bahwa tulisan karya penulis tersebut memang benar karyanya tidak ada plagiat.
(3) Tentu
saya katakan tidak
setuju. Karena
menurut saya ini
benar-benar merugikan terutama bagi kami pelajar yang masih sangat membutuhkan buku-buku untuk menambah ilmu.
Menurut saya lebih baik sikap moral
dan religius diri
sesesorang itu dibentuk terlebih dahulu. Jadi, meski orang tersebut baca
buku tentang ideologi menyimpang, kekerasan, dan lain-lain, maka keyakinan (moral/religius) yang sudah tertanam
pada diri orang tersebut tidak akan membuatnya terpengaruh pada hal-hal
‘miring’ tadi sedikit pun. Nah, ini berarti adalah PR bagi semua warga Indonesia untuk membentuk karakter anak bangsa
yang sesuai dengan
Pancasila. Untuk mengatasinya lebih baik diadakan
sosialisasi mengenai buku-buku yang menyimpang. Karena menurut saya itu
tergantung bagaiamana setiap individu
menyikapinya.
Bagaimana?
Apakah ada yang setuju dengan pendapat dari sahabat kita Hanida? Atau mungkin,
kalian merasa kontra dengan penjelasan Hanida di atas? Tapi meski begitu, ada
beberapa penjelasan dari Hanida yang peru kita garis bawahi. Yaitu pada poin
nomor 3 (pembakaran buku). Aku cukup sependapat dengan Hanida saat ia bilang
bahwa kasus ini tergantung sikap moral dan religius yang ada pada diri
seseorang. Jika kita punya pemahaman dan pendirian yang kuat, maka kita pun
tidak akan mudah terpengaruh.
Kedua, mari
kita beralih ke sudut pandang seorang pustakawan.
Aku yakin, pembaca semua pasti sudah tahu apa itu pustakawan, kan? Ya, bekerja
sebagai seorang pemustaka, otomatis membuat para pustakawan ini menjadi tahu
banyak tentang dunia perbukuan. Tak jarang, banyak pula dari mereka yang ikut
ambil peran untuk turut meningkatkan kualitas intelektual anak bangsa melalui
buku-buku ilmu pengetahuan atau yang lain.
Lantas, saat dunia perbukuan tengah menjadi sorotan banyak pihak seperti
sekarang, seperti apakah sudut pandang seorang pustakawan dalam menyikapi
masalah seperti ini? Untuk mengetahuinya, mari kita berbincang-bIncang sejenak
dengan salah seorang pustakawan dari SMA NEGERI 2 METRO: Kak Luckty Giyan Sukarno.
Menurut
Luckty….
1. Mungkin
banyak yang tahu kalau aku adalah dari segelintir orang yang tidak percaya
dengan minat baca rendah. Aku tinggal di desa yang artinya masyarakatnya masih
berpikiran bahwa
kebutuhan perut lebih utama dibandingkan dengan budaya baca yang kesannya
mahal. Kenapa mahal? Karena harga sebuah
buku akan sebanding dengan harga lauk pauk untuk satu keluarga. Tapi aku nggak
pernah percaya dengan minat baca rendah meskipun banyak riset yang mengatakan begitu.
Pilihlah buku yang sesuai dengan usia kita. Sumber: disini |
Kenapa
aku nggak yakin dengan minat baca di Indonesia rendah? Beberapa tahun aku
bekerja di beberapa perpustakaan:
perpustakaan SMK, perpustakaan sekolah berlabel internasional, perpustakaan
museum, perpustakaan universitas swasta, dan perpustakaan universitas negeri,
hingga kini bekerja di perpustakaan sekolah, yang menjadi permasalahan bukan
pada minat baca rendah tapi pada kesesuaian
buku dengan minat si pembaca. Contohnya gini, di perpustakaan sekolah tempat
aku kerja, tiap beberapa bulan sekali mendapat giliran jatah koleksi dari
perpustakaan daerah. Koleksi yang mereka berikan itu berat-berat; macam genre
hukum dan politik. Aku sebagai pustakawan ya bilang ama petugasnya: kalo buku tipe kayak gini buat anak
sekolah ya nggak nyampe. Boro-boro minat, dilirik aja nggak x))
Oya,
MATA NAJWA beberapa waktu lalu yang bertema ‘Tak Sekedar Membaca’ juga
menghadirkan para pejuang literasi yang memang sedang naik daun; ada Pak Ridwan
Sururi yang lagi ngetop berkat Kuda Pustaka yang dikelolanya, ada Bang Ridwan
Alimuddin yang ngehits dengan Perahu Pustaka, Mbak Okky Madasari yang membuat
semacam kampung sastra, dan juga Aan Mansyur yang merupakan penulis sekaligus
penyair. Acara malam itu seperti mematahkan bahwa mana minat baca rendah yang
selama ini digembor-gemborkan. Aku ulas lengkap DI SINI.
Oya,
tahun lalu aku berkenalan dengan Mas Sugeng Hariyono lewat dunia maya. Beliau
adalah seorang tambal ban dari Jawa Timur yang merantau ke Lampung. Awalnya
beliau membuat pustaka motor karena di daerah rantauannya itu nggak ada
perpustakaan. Berbekal uang lima ratus ribu, beliau membeli motor bekas dan
sisanya dibelikan buku-buku bekas. Aku pernah wawancara beliau di postingan INI.
Ada
juga Kang Ubaidilah Muchtar yang merupakan pendiri Taman Bacaan Multatuli yang
merepresentasikan bahwa ternyata anak-anak yang hidupnya di kaki gunung bisa
menikmati karya sekelas Multatuli. Ini postingan wawancaranya: DI SINI.
Itu tadi beberapa contoh nyata tokoh
masyarakat biasa yang tulusnya luar biasa dalam meningkatkan minat baca. Mereka
wujud nyata masyarakat yang terjun langsung untuk mengubah paradigma tentang
minat baca, bukan hanya sekedar mempergunjingkan minat baca secara teori. Jika
kita terjung langsung di masyarakat, terutama di desa, kita bisa merasakan
bahwa sebenarnya permasalahan bukan pada minat baca, tapi akses untuk membaca.
2.
PLAGIARISME.
Tanpa disadari, sebenarnya semua pasti mengalami yang namanya plagiarisme.
Nggak percaya? Kita pasti pernah (bahkan sering) download lagu atau film secara
ilegal. Nggak mungkin munafik, aku juga termasuk. Dulu aku skripsi bahas buku
yang diangkat ke fim, yang menarik justru pas sisi film. Ternyata untuk membuat
sebuah film, dibutuhkan dedikasi yang luar biasa oleh sebuah tim yang solid,
harus menyamakan ide yang ada di masing-masing kepala kru, belum lagi hambatan
selama syuting. Dari situ, aku nggak pernah lagi tega nonton film Indonesia
bajakan, mentok juga paling nunggu tayang di TV.
Sumber: DI SINI |
Begitu
juga dengan dunia literasi, sering sekali kita mendengar berita bahwa seorang
penulis ‘tertangkap basah’ menjiplak karya orang lain. Terkadang nggak hanya
dialami oleh penulis baru, tapi juga penulis yang memang sudah punya nama.
Tanpa disadari, sebenarnya semua orang memiliki semacam role model dalam
hidupnya di bidang apa pun itu. Begitu juga dengan penulis, aku juga pernah
membaca artikel tentang penulis ternama yang mendapatkan ide untuk menulis
karena hasil membaca karya role modelnya itu, tinggal bagaimana mengolahnya.
Ibarat memasak, tidak ada resep yang baru, yang ada hanya modifikasi dari resep
yang sudah ada. Begitu dengan menulis.
Tapi
akan berbeda sekali jika yang jelas-jelas plek menjiplak. Penulis yang baik
haruslah orang yang gemar membaca. Karena jika malas membaca, maka pemikirannya
akan sempit. Beberapa tahun lalu, ada selebtwit yang menerbitkan buku
tertangkap basah mencatut kalimat dari blog orang lain. Awalnya heboh, makin
lama beritanya makin surut. Bahkan kini si sang selebtwit itu makin banyak
followersnya dan banjir barang endorse. Tapi sangsi sosial tetap akan berlaku.
Penerbit mayor memblacklistnya. Terlihat karena kini dia menerbitkan buku lewat
penerbit apa-apalah itu x))
3. Pembakaran
buku. Sejujurnya aku belum pernah mengalami langsung yang namanya pembakaran
buku. Lha wong cuma penyiangan buku aja musti ati-ati banget, harus ada daftar
bukunya, kalau gegabah bisa berabe karena pernah ada kasus di Jogja yang petugas
perpustakaan masuk Hotel
Prodeo karena menyiangi buku tanpa ada
aturan yang jelas.
Tapi aku jadi ingat sebuah ungkapan
seorang pustakawan senior yang juga dosen Ilmu Perpustakaan di sebuah
universitas negeri ternama yang mengibaratkan perpustakaan seperti pemakaman.
Perpustakaan kan beda-beda, ada yang umum, khusus atau spesial. Seperti halnya
pemakaman, ada yang khusus seperti makam pahlawan yang artinya yang dimakamkan
disitu haruslah yang berlabel pahlawan ataupun makan umum yang semua orang bisa
dimakamkan disitu termasuk orang yang mati karena bunuh diri. Nah, tinggal
perpustakaan seperti apa yang mau kita kelola. Kuncinya adalah pemustakanya.
Sumber: DI SINI |
Ketika aku kerja di perpustakaan
sekolah negeri, beberapa kali mengalami hal penarikan buku, terutama buku dari
pemerintah. Buku mapel Sejarah yang covernya dianggap nggak sesuai, padahal aku
liat sebenarnya nggak ada aneh. Begitu juga dengan buku mapel Penjasorkes yang
diganti pemerintah hanya karena satu-dua halaman ada selipan tentang pacaran.
Padahal kalau aku baca juga nggak ada yang kesannya membahayakan. Terkadang
pemerintah memang lebay dalam bertindak x))
Omong-omong soal pembakaran buku, jadi
keinget Film The Library Wars, pernah aku review di postingan INI
Dengan membakar buku berarti membakar ilmu pengetahuan.
Nah teman, kita
bisa belajar baru lagi dari sudut pandang Kak Luckty sebagai seorang
pustakawan. Ada yang menarik dari poin 1 (minat baca). Di situ kita bisa
menyimpulkan bahwa Kak Luckty adalah salah satu orang yang kontra terhadap
permasalahan rendahnya minat baca yang sering digembor-gemborkan belakangan
ini. Dan rupanya penjelasan Kak Luckty mengenai minat baca di atas membukakan
satu fakta baru yang mungkin tidak terpikirkan oleh kita selama ini. Bukan
minat bacanya yang rendah, melainkan adalah kesesuaian buku terhadap si
pembacanya. Coba kalian bayangkan, apakah seseorang akan membaca buku yang
tidak sesuai dengan selera dan keinginannya? Tidak, bukan? Dan, jika kita pikir
lebih lanjut, apa yang disampaikan Kak Luckty ini memang benar adanya. Semua
orang bisa saja membaca buku, hanya saja permasalahannya: apakah konteks buku
tersebut sesuai dengannya?
Ketiga, seperti
yang sudah aku sebutkan di awal, profesi yang satu ini sangat-sangat berkaitan
erat dengan buku. Bagaimana tidak, narasumberku yang terakhir adalah seorang
penulis buku. Nah, pasti kalian tahu, setiap ada penulis, pasti ada buku,
begitu pun sebaliknya. Menulis adalah berkarya, dan karya atau hasil dari sebuah
tulisan pastinya adalah buku. Melihat beberapa permasalahan pelik seputar dunia
buku sekarang ini, rasanya tak lengkap apabila kita tidak membicarakannya
langsung dengan orang-orang yang terlibat di dalamnya—penulis buku.
Dan, salah
seorang penulis buku yang akan kita ‘introgasi’ kali ini adalah Kak Evi Sri
Rezeki—penulis buku Twiries sekaligus saudara kembar dari Kak Eva Sri Rahayu.
Lantas, apakah yang akan Kak Evi ini katakan? Dan, seperti apakah sudut pandang
Kak Evi sebagai penulis terhadap ‘keramaian’ ini?
EVI SRI REZEKI - PENULIS Salah satu buku tulisannya adalah TwiRies yang ia tulis bersama saudara kembarnya Eva |
Menurut Evi…..
1.
Menurut saya rendahnya minat
baca karena tingkat ekonomi dan tingkat pendidikan yang kurang merata di
Indonesia. Rendahnya juga fasilitas membaca di kalangan masyarakat. Jangankan
untuk membeli buku, untuk makan saja harus bekerja keras. Meskipun kesadaran
akan pendidikan sekarang sudah meningkat, namun karena anak-anak seolah
‘dipaksa’ membaca buku paket, mereka menganggap membaca kegiatan yang formal
dan berat. Solusinya,
menyediakan fasilitas perpustakaan di berbagai wilayah. Sebagai pihak penyedia
fasilitas juga hendaknya membuat kegiatan yang ringan, interaktif, dan
menyenangkan agar orang-orang mau datang ke perpustakaan seperti story telling. Bagi orang-orang yang
mampu, buatlah perpustakaan pribadi untuk teman dan kerabat terdekat.
Sistem
membaca yang asyik menurut saya adalah membaca buku sesuai dengan umur.
Misalnya anak-anak membaca majalah anak, komik, atau novel anak. Selain itu,
membaca sesuai dengan minat masing-masing. Anak-anak yang beranjak dewasa akan
bisa memilih buku bacaan sesuai kebutuhannya baik itu secara keilmuan mau pun hiburan. Ambil hati dan
perhatian orang barulah minat membaca akan terbangun. Khususnya di tingkat
anak-anak karena kelak merekalah yang akan melestarikan budaya membaca.
2.
Menurut saya kasus plagiarisme
dalam dunia literasi bisa terjadi karena unsur ketidaksengajaan. Solomon pernah
berkata, tidak ada yang baru di dunia ini. Faktor banyaknya referensi bacaan
bisa mengaburkan ingatan dari mana kita pernah mendapat suatu gagasan atau ide.
Namun ini tidak bisa menjadi pembenaran karena referensi yang menjadi ide atau
gagasan suatu penulis biasanya dari referensi yang berkesan dalam hati dan
pikiran. Dalam sebuah workshop yang
saya hadiri, seorang editor pernah mengatakan pada seluruh peserta jika satu
gagasan diambil penulis dari sebuah buku,
maka itu adalah plagiarisme, berbeda jika mengambil beberapa gagasan dari
beberapa buku, maka akan terlahir sebuah ide yang baru.
Sumber: DI SINI |
Sejujurnya, saya merasa bahwa
seorang penulis bisa membohongi orang lain atau pembaca tapi tidak akan bisa
membohongi hati nuraninya. Visi seorang penulis akan menuntunnya pada karya
yang orisinil di tengah hiruk pikuknya dunia industri literasi. Tujuan penulis
membuat karya, berbagi gagasan dan pandangan menjadi lentera seorang penulis
untuk tidak terjebak plagiarisme.
Agar
seorang penulis tidak dituding sebagai plagiat adalah menyebutkan referensi
yang menyertai karyanya. Bisa juga menyebutkan siapa saja penulis terdahulu
yang berpengaruh terhadapnya. Bentuk penjelasan referensi ini bisa berupa kata
pengantar, catatan penulis, atau catatan kaki.
3. Menurut
saya tindakan pembakaran dan pelarangan peredaran buku ini merugikan penulis.
Setiap buku mengandung ilmu pengetahuan dan penulis membutuhkannya untuk
referensi. Kekayaan tulisan penulis berbanding lurus dengan banyak jenis buku
yang dia baca. Saya
sangat sepakat bahwa buku adalah alat yang efektif untuk menyebarkan ideologi,
pemikiran, dan ajaran. Menjadi ‘miring’ itu sebenarnya tergantung pemahaman
individu pembacanya. Seperti pisau, kita bisa menggunakannya untuk memasak atau
membunuh, namun tak lantas kita menghilangkan pisau dari muka bumi ini.
Pemahaman fungsi pisau itulah yang mesti berbagai pihak tanamkan.
Sumber: DI SINI |
Cara
yang efektif dari bakar buku menurut saya sebenarnya sudah kita temui yaitu
mengategorikan buku sesuai usia. Anak-anak membaca buku anak, remaja membaca
buku remaja. Dan ketika pembaca dewasa membaca apa saja, dia toh sudah dewasa
untuk memutuskan baik buruknya suatu buku. Buku miring yang oleh sebagian pihak
dianggap sumber penyimpangan sebenarnya hanya ilmu pengetahuan. Jika ada
tindakan yang menyertai setelah membaca buku tersebut pastilah ada sumber
ketidakpuasaan dalam sistem tatanan masyarakat. Atau pemikiran menggebu yang
pada waktunya pembaca akan bisa memahami lebih bijak.
Nah, bagaimana readers?
Menarik, bukan? Aku rasa permasalahan ini sedikit demi sedikit mulai menemui
titik terang, apalagi kita bisa banyak tahu dari penulis buku langsung. Ok,
dari apa yang sudah dituliskan oleh Kak Evi, ada satu hal yang wajib kita garis
bawahi. Yaitu pada poin nomor 2 perihal plagarisme dalam dunia sastra. Aku—dan
mungkin juga kalian—pasti akan menyetujui apa yang sudah dikemukan Kak Evi
yaitu tentang gagasan atau ide. Bahwasanya, di dunia ini tidak ada yang baru.
Kita berpikir, berimajinasi dari satu gagasan yang cenderung sama. Hanya saja,
yang membedakannya adalah bagaimana cara kita mengolah ide atau gagasan
tersebut. Mau kita apakan ide ini? Mau kita bagaimanakan gagasan ini? Up to
you. Semua keputusan ada di tanganmu. Dan yang terpenting, berusahalah to be creative person!
Ok, berdasarkan dari
semua pembicaraan dengan ketiga narasumber di atas, kita jadi bisa menyimpulkan
inti permasalahan dan solusinya satu persatu. Pertama, pada poin minat baca. Seperti yang sudah aku
tuliskan tadi—dan apa yang sudah disampaikan Kak Luckty—permasalahan sebenarnya
bukan kepada ‘orang yang tidak suka membaca’, tapi lebih kepada kesesuaian
konteks buku terhadap si pembacanya. Jika tidak sesuai, maka kemungkinan besar
hal ini juga akan merujuk pada minat baca masyarakat yang menjadi rendah. Jadi,
intinya pilihlah buku dengan konteks yang kamu kuasai, dan yang kamu inginkan.
Harapannya, semoga kita bisa mendapat kenyamanan saat membaca. Aku suka
bagaimana Kak Luckty sebagai pustakawan memandang dan menyikapi permasalahan
ini dengan bijak.
Poin kedua, adalah
menyangkut plagiarisme buku—baru
saja aku jabarkan tadi. Dari Kak Evi kita bisa belajar untuk memperbanyak
referensi bahan bacaan dan mengumpulkan gagasan-gagasan menarik yang nantinya
harus kita olah sedemikian rupa. Demi menghindari kemiripan suatu karya,
seseorang harus pandai-pandainya menemukan ‘ramuan baru’ untuk gagasan yang
sudah ia dapatkan. Dengan begitu, kemungkinan akan karya kita disebut mirip
dengan milik orang lain akan semakin kecil. Bukan begitu, Kak Evi? Sebuah
pemikiran yang bagus dari seorang penulis demi ‘menyelematkan’ banyak orang
yang baru ingin berkarya di luar sana.
And the last.
Sahabat kita Hanida sudah memberikan pernyataan mengenai permasalahan pembakaran buku pada poin nomor 3.
Intinya, sebagai pelajar, Hanida sangat tidak mendukung aksi ini. You know lah, seberapa pentingnya buku
untuk pelajar? Dan, meski pada nyatanya ajaran-ajaran ‘miring’ pada buku itu
memang, pelajar tidak perlu mengkhawatirkan itu. Asal, mereka memiliki
pendirian, pemahaman, dan keyakinan yang kuat untuk tidak terpengaruh dari
hal-hal ‘miring’ yang dibacanya.
Well, berakhir sudah postingan—diskusi—kita
kali ini. Ach’s Book Forum sangat ingin mengucapkan terima kasih banyak untuk
ketiga narasumber hebat: Hanida, Kak Luckty dan Kak Evi. Terima kasih atas
waktu dan jawaban-jawaban terbaiknya. And
the last, terima kasih buat kamu yang menyempatkan waktunya untuk membaca
tulisan—curahan hati—kami ini. Semoga dari hasil postingan ini, kalian—readers
atau pun penikmat buku—bisa memetik manfaatnya, ya. Harapan untuk ke depannya,
semoga dunia perbukuan mau pun literasi Indonesia makin mengudara dengan
kualitas yang…. Kece!
Terima kasih!
Salam Pembaca Buku
Indonesia!
Semoga dunia literasi kita makin terang benderang ^^ Terima kasih artikelnya, Bintang.
BalasHapusAamiin, terang seperti bintang ya, Kak? Haha. Sama-sama Kak. Thanks juga atas kesediaannya jadi narsum :D
HapusSayangnya sih lingkunganku belum bisa seperti lingkungan Kak Luckty :( Bikin iri deh~ wkwkwk Orang-orang di sekitarku minat bacanya masih rendah banget. Padahal bisa dibilang dari kaum yang harusnya beli buku tuh udah gausah mikir lagi deh. Cuman ya gitu. Mending duit buat clubbing, minum2, hedon daripada baca buku. (sedih)
BalasHapusYaahhh sama berarti keadaan lingkungan kita. Kadang miris, banyak orang yang mengkonotasikan pembaca buku itu cupu. Geram rasanya. Gimana literasi kita ngga jalan di tempat coba?
Hapusbtw, artikelnya bagus Bin! :D
BalasHapusWah, tulisannya udah diposting. Makin tetap semangat membaca ya, Bintang. Dan terima kasih atas kesempatan untuk wawancaranya ;)
BalasHapusAlhamdulillah Mbak, lega banget pas tulian ini bisa publish, hehe. Makasih juga buat kk Luckty untuk waktu dan jawaban2nya. Semangat membaca!
Hapusbanyak faktor ya yg menyebabkan minta baca rendah, plagiasi dll. shg perlu dibenahi bersama
BalasHapusYupp. Sebagai generasi penerus bangsa semoga kita bisa mengatasinya ya, hehe
HapusPostingannya bermanfaat banget.
BalasHapusKebayang serunya kalau kita kumpul buat diskusi langsung ^_^
Terima kasih Kak Eva.
HapusHehe, iya nih pengin kumpul2 bareng. Tapi jauuhh
Bagus artikelnya Bintang, dan menurutku ini terstruktur kayak paper, mungkin karena kamu masih sekolah jadi biasa bikin jurnal ya :-). Dari isi artikel aku ga masalah, mungkin bisa dipersingkat beberapa bagian jadi tidak terlalu panjang juga.
BalasHapusTerkait minat baca rendah, aku lebih suka main data karena kadang dari observasi semata bisa saja tidak menggambarkan keadaan sesungguhnya secara riil. Coba sekali - kali Bintang bikin survey kecil - kecilan yang disebar di sekolahmu. Jadi datanya bisa lebih valid lagi ya
Eniwei, ini hanya opiniku saja, dari pendapat teman kamu yang ini:
"Budaya baca buku yang umumnya dilakukan pelajar, sekarang sudah diganti dengan gagdet yang dilengkapi dengan fitur-fitur sosmed atau pun game yang mengasyikkan. Apalagi sekarang banyak ebook-ebook yang dianggap orang lebih praktis."
Apa menurut teman Bintang, membaca ebook dianggap seperti tidak membaca buku karena kepraktisannya?
Siiaapp, terima kasih banyak Kak untuk masukan-masukannya.
HapusOya Kak, terkait apa jawaban temanku itu, maksud dia begini Kak: Sebenarnya antara ebook atau buku cetak sama aja, tetap membaca. Hanya saja, yang membedakan adalah karena ebook ada dalam bentuk gadget. Hal ini tidak menutup kemungkinan seseorang akan lebih tertarik menggunakannya sebagai mainan daripada baca ebook. Lagi pula, jika kita melihat ke lingkungan sosial kan, lebih banyak orang mengoptimalkan gadget sebagai alat ber-sosmed kan daripada baca ebook?
Kurang lebih begitu Kak, :)
halo bintang, salam kenal :D
BalasHapusseneng sama artikelnya, rapi banget. kapan aku bisa bikin yang kayak gini? *salah fokus*
Salam kenal juga, Kak.
HapusHehe, makasih banyak. Ini aku juga masih belajar kok Kak. Ini aja pertama kali aku bikin. Ayo Ka Wenny juga bikin, ntar aku baca, hehe
Hi Bintang! Bagus tulisannya, lengkap dan jelas :) Aku suka cara kamu mewawancarai orang dari berbagai profesi dan latar belakang, sehingga kita bisa membedakan pandangan seorang siswa sekolah, pustakawan dan penulis. Oiya, aku juga pas bahas tentang pembakaran buku di blogku hehe.. toss :)
BalasHapusTerima kasih banyak Kk Astrid. Hehe, iya kita sama ya? Toss*
Hapusrapi banget tulisannya, bagus :)
BalasHapusMakasiih Kak Suliiss :))
HapusArtikelnya lengkap, dengan narasumber yang menyentil pembaca dengan kutipannya. Yup, aku juga sedikit kurang setuju kalau minat baca kita rendah. Yang jelas mungkin akses kepada bukunya yang susah sehingga banyak yang belum tahu kalau membaca itu menyenangkan. Semangat ya Bintang.
BalasHapusYa, bener banget Mas. Terutama untuk mereka yang di luar Jawa, akses buku cenderung sulit dan jauh.
HapusTerima kasih sudah berkunjung Mas Dion :))
iya juga sih, minat baca buku di Indonesia ternyata masih kurang ya mas. :(
BalasHapussalut bisa wawancara sampai 3 narasumber sekaligus. :D
Iya, ayo kita tegakkan minat baca sama-sama. makasih ya sudah berkunjung :))
HapusMinat baca. Kadang2 minat baca rendah gara-gara ortu juga. :) Sering lihat nih kalau lagi di toko buku atau pameran buku. Si anak udah riang gembira milih buku, eh si ortu malah bilang, "Ngapain beli buku aja? Baca aja kamu belum lancar. Nih, buku mewarnai aja." Euh, justru karena belum lancar ya mestinya distimulasi terus supaya makin lancar dan makin suka.
BalasHapusPerpustakaan sekolah juga. Seperti yang kata Luckty. Isinya banyak yang drop-dropan dari atas tanpa melihat kesesuaiannya dengan minat dan kebutuhan siswa.
Eh, udah ngoceh panjang aja saya :) Salam kenal ya, Bintang :)
Waahhh ngga nyangkan bakal dikomenin sama penulis Ailurofil, hehe. Salam kenal juga Kak Triani Retno. Makasih uda berkunjung.
Hapus