Judul : Bidadari – Bidadari Surga
Penulis : Tere Liye
Cetakan : XXI, Januari 2016
Tebal : viii + 363 hlm
Penerbit : Republika
Kategori : Novel
ISBN : 978 – 979 – 1102 – 26 – 1 |
Blurb:
Laisa,
adalah sulung dari lima bersaudara. Dia bersumpah akan memberikan kesempatan
pada adik-adiknya untuk menjadi orang-orang yang hebat. Sumpah yang membuat
terang benderang seluruh kisah ini.
Laisa,
adalah sulung dari lima bersaudara. Menyimpan seluruh pengorbanannya seorang
diri hingga detik terakhir hidupnya. Saat empat adiknya pulang secepat mungkin
ke Lembah Lahambay yang indah, menemui Kakak yang membutuh mereka untuk pertama
kali sekaligus terakhir kali seumur hidupnya.
Novel
ini tentang kasih sayang keluarga, tentang pengorbanan seorang kakak. Kapan
terkahir kali kita memeluk adik-adik kita dan berlinang air mata bilang, meski
mereka menyebalkan, kita sungguh sayang pada mereka. Dan sebaliknya, kapan
terakhir kita memeluk kakak kakak kita, dan bilang, meski mereka cerewet, suka
menyuruh-nyuruh, kita sungguh menghargai mereka.
***
“Karena
Kak Laisa tidak pernah datang terlambat untuk kita. Tidak pernah. Kak Laisa
tidak pernah sekalipun datang terlambat dalam hidupnya untuk kita… Kak Laisa
tidak pernah mengingkari janji-janjinya, demi kita adik-adiknya… Ya Allah…”
Hlm. 126
“…dengarkan
Kakak, kalian harus rajin sekolah, rajin belajar dan bekerja keras. Bukan
karena hanya demi Mamak yang sepanjang hari terbakar matahari di ladang. Bukan
karena itu. Tapi Ikanuri, Wibisana, Dalimunte, kalian harus selalu bekerja
keras, bekerja keras, karena dengan itulah janji kehidupan yang lebih baik akan
berbaik hati datang menjemput…”
Hlm. 138
Sekujur
tubuh yang hitam legam, gempal, dan pendek itu kini tak bertenaga. Dulu, tubuh
itulah yang memanggul setiap beban keluarga, menghidupi keempat adiknya yang
bandel, dan tubuh itu pula yang harus rela terluka setiap kali bahaya datang
menjemput demi keselamatan orang yang dicintainya. Laisa, seorang sulung dari
lima bersaudara yang memiliki masalah
dengan pertumbuhan badannya, kini harus rela menerima nasib bahwa ia tak bisa
lagi beraktivitas selain hanya berbaring di atas ranjang.
Hanya
Mamak Lainuri-lah yang mengetahui apa yang terjadi dengan putri sulungnya itu.
Maka, sebelum semuanya terlambat, sebelum Lembah Lahambay melepas tangis untuk mengiringi
kepergiannya, kabar itu akhirnya dikirimkan. Kepada empat adiknya yang kini telah
sukses di kota besar. Dalimunte sang Proffesor andal, Ikanuri dan Wibisana—dua
sigung nakal yang kini sukses dengan bengkel besarnya, dan si bungsu Yashinta
yang tengah mendaki Gunung Semeru untuk proyek konservasi alamnya. Sebuah pesan
masuk di handphone mereka. Empat kalimat singkat yang dikirimkan oleh Mamak itu
bagaikan sebuah perintah besar. Maka, hari itu juga, mereka pulang ke Lembah
Lahambay.
‘PULANGLAH. Sakit kakak kalian
semakin parah. Dokter bilang mungkin minggu depan, mungkin besok pagi, boleh
jadi pula nanti malam. Benar-benar tidak ada waktu lagi. Anak-anakku, sebelum
semuanya terlambat, pulanglah….’
Wahai
gerangan, apakah yang terjadi sebenarnya?
***
“Kita
memang tidak akan pernah tahu… Tidak pernah bisa menebak, menduga… Tetapi suatu
hari nanti, salah satu dari anggota keluarga yang amat kita cintai pasti akan
pergi. Siap atau tidak, suka atau tidak…”
Hlm. 278
“Kakak
selalu memaafkan kalian… Ya Allah, meski dunia bersaksi untuk menyangkalnya,
meski seluruh dunia bersiap membantahnya, tapi mereka, mereka selalu menjadi
adik-adik yang baik bagi Laisa… Adik-adik yang membanggakan…”
Hlm. 312
Novel
Bidadari-Bidadari Surga berkisah tentang pengorbanan seorang Kakak sulung
bernama Laisa kepada emapat orang adiknya. Membaca lembar demi lembar novel
ini, perlahan kita akan mulai tersayat oleh ceritanya yang sangat menyentuh.
Terlebih tentang pengorbanan Laisa. Banyak adegan yang mungkin membuat pembaca
berlinang air mata dan terharu. Aku benar-benar merasakan bagaimana tulusnya
hati seorang Laisa ini. Terkadang aku juga ikut terbawa suasana tatkala penulis
menyelipkan beberapa adegan yang menyudutkan Laisa. Seperti tentang gunjingan
orang sekitar mengenai perawan tua, hinaan dari Ikanuri dan lain sebagainya.
Aku benar-benar menjadi Laisa di cerita ini. Suka dan duka yang dialami oleh
tokoh ini pun dengan mudah aku rasakan.
Lewat
buku ini, aku benar-benar menemukan peran seorang kakak yang sebenarnya.
Terlebih, aku juga seorang kakak. Secara tidak langsung, buku ini membangunkan
niatku untuk sebisa mungkin menyayangi dan mengasihi akan keberadaan adikku.
Sungguh, Laisa beserta pengorbanannya—yang mungkin bisa dibilang sangat
besar—sangat mampu menyadarkan kami—terutama kami sebagai kakak—untuk rela
berkorban sedikit saja terhadap kebaikan mereka. Setidaknya untuk membuat
mereka menghargai keberadaan kita. Banyak adegan yang membuatku terharu, tapi
tentu saja tidak sampai berlinangan air mata. Salah satu adegan yang sangat
menyayat hati adalah ketika Ikanuri meneriaki Kak Laisa bahwa ia bukan
kakaknya. Aku sangat mengerti apa yang dirasakan Laisa saat itu. Sebisa mungkin
aku mencoba memosisikan diri sebagai Laisa dan menganggap bahwa makian itu
ditujukan padaku, betapa nelangsanya hati kita saat itu. Semakin terharu lagi
saat Laisa tersungkur dan menangis saat itu juga. Ya Tuhan, tidak bisa
membayangkan saja, Laisa yang selama ini kuat, harus rela terluka oleh omongan
adiknya sendiri. Dan itu di depan matanya langsung.
Kesedihanku
berubah menjadi kelegaan yang penuh haru saat penulis menyisipkan satu adegan
dimana Ikanuri memohon maaf kepada Kak Laisa dengan segala isak tangisnya. Ya
Tuhan, lihatlah… betapa mudahnya Kak Laisa memaafkan semua kesalahan yang dulu
menyakiti hatinya itu. Aku benar-benar belajar banyak dari Kak Laisa, terutama
tentang ketulusan hati. Kini aku mengerti, mengapa penulis memberi judul buku
ini ‘Bidadari-Bidadari Surga.’ Baik, selain banyak bercerita tentang
pengorbanan Laisa yang tak hentinya mengundang simpati dan haru, buku ini juga
kian manis ketika Dalimunte hadir dengan kisah asmaranya. Bersama dengan Cie
Hui, Dalimunte resmi melepas status lajangnya. Dengan mengangkat latar
perkebunan strawberry, membuat kisah roman di buku ini terasa sangat manis
meski baru dimasukkan saat memasuki pertengahan buku. Dengan membayangkan
segarnya hawa perkebunan buah merah ranum itu, ditambah dengan romantisme dua
sejoli yang baru dimabuk asmara, sungguh tidak terbayang bagaimana jalinan kuat
yang tercipta antar keduanya. Juga benih-benih cinta yang aku yakin rasanya
sungguh istimewa.
Selain
itu, di buku ini Tere Liye memilih alur maju mundur. Cerita saling berlompatan
antara masa lalu dan masa sekarang. Jika dibandingkan, aku rasa penulis lebih
banyak bercerita tentang kisah Laisa dan adik-adiknya di masa lalu. Salah satu
adegan favoritku adalah ketika Yashinta bersama Kak Laisa melihat aksi lucu
berang-berang di sungai. Membayangkannya saja membuat aku geli sendiri, pasti
anak berang-berang itu sangat lucu dan menggemaskan. Dan beruntung sekali
Yashinta mendapat kesempatan itu bersama Kak Laisa. Kemudian, suasana kampung
perhutanan sangat kental sekali di buku ini. Hal ini disebabkan karena
aktivitas khas penduduk yang kampung sangat mendominasi buku ini. Seperti
kegiatan mereka di ladang, berkebun, mencari kayu bakar di hutan, mencemaskan
kekeringan air, dan pembangunan kincir air di sungai. Suasana perkampungannya
terasa, dan secara tidak langsung aku ikut tersedot ke dunia mereka. Sungguh
menyenangkan!
Lepas
dari semua daya tarik itu, buku ini memiliki satu kelemahan:
ketidakkonsistenan. Aku sebenarnya dibuat bingung dengan perbedaan usia Ikanuri
dan Wibisana. Pada halaman 20, penulis menyebutkan: ‘Yang satu berumur 34 tahun (Wibisana), yang satunya berumur 33 tahun
(Ikanuri)’. Dari kalimat tersebut kita bisa menyimpulkan bahwa Wibisana
sedikit lebih tua dibanding Ikanuri. Tapi kenyataan itu seolah terpatahkan saat
penulis menulis kalimat berikut di halaman 185: ‘Ikanuri sebelas (hampir dua
belas), Wibisana sebelas (baru lewat
sepuluh)’. Fokus pada kalimat bercetak tebal, di bagian ini alur
ceritanya mundur, jadi kedua anak ini memang masih kecil. Tapi apakah kalian
menyadari ada yang salah? Ya, jika ditela’ah, di sini disebutkan bahwa
Ikanuri-lah yang sedikit lebih tua dibanding Wibisana. Ikanuri hampir dua
belas, sementara Wibisana baru masuk sebelas tahun. Terus, yang di halaman 20
tadi apa kabar?
Baik,
terlepas dari semua itu. Aku cukup appreciate
dengan cerita pengorbanan penuh ketulusan dari Laisa yang berhasil menggugah
hati. Mendadak, antara pengin punya kakak seperti Laisa, dan ingin menjadi
sosok kakak yang baik sepertinya. But,
apa pun keadannya, peran seorang kakak sangatlah besar. Terutama untuk
adik-adiknya.
5
Jempol untuk bidadari surga kita… Laisa
Terima
kasih!
***
“Kau
tahu, terlalu mencintai terkadang membuat kita berpikir tidak rasional, tidak
fair, my dear.”
Hlm. 315
“Andaikata
ada seorang penghuni surga mengintip ke bumi, niscaya dia menerangi ruang
antara bumi dan langit. Dan niscaya aromanya memenuhi ruang antar keduanya. Dan
sesungguhnya kerudung di atas kepalanya lebih baik daripada dunia seisinya.”
-Hadits Al Bukhari-
“Dan
sungguh di surga ada bidadari-bidadari bermata jeli (Al Waqiah: 22). Pelupuk
mata bidadari-bidadari itu selalu berkedip-kedip bagaikan sayap burung indah.
Mereka baik lagi cantik jeliat. (Ar Rahman: 70)
“…bidadari-bidadari
surga, seolah-olah adalah telur yang tersimpan dengan baik (Ash Shaffat: 49)…”
Hlm. 359
Tidak ada komentar:
Posting Komentar