Minggu, 31 Juli 2016

[Book Review] Bidadari-Bidadari Surga - Tere Liye



Judul : Bidadari – Bidadari Surga
Penulis : Tere Liye
Cetakan : XXI, Januari 2016
Tebal : viii + 363 hlm
Penerbit : Republika
Kategori : Novel
ISBN : 978 – 979 – 1102 – 26 – 1 


Blurb:

Laisa, adalah sulung dari lima bersaudara. Dia bersumpah akan memberikan kesempatan pada adik-adiknya untuk menjadi orang-orang yang hebat. Sumpah yang membuat terang benderang seluruh kisah ini.

Laisa, adalah sulung dari lima bersaudara. Menyimpan seluruh pengorbanannya seorang diri hingga detik terakhir hidupnya. Saat empat adiknya pulang secepat mungkin ke Lembah Lahambay yang indah, menemui Kakak yang membutuh mereka untuk pertama kali sekaligus terakhir kali seumur hidupnya.

Novel ini tentang kasih sayang keluarga, tentang pengorbanan seorang kakak. Kapan terkahir kali kita memeluk adik-adik kita dan berlinang air mata bilang, meski mereka menyebalkan, kita sungguh sayang pada mereka. Dan sebaliknya, kapan terakhir kita memeluk kakak kakak kita, dan bilang, meski mereka cerewet, suka menyuruh-nyuruh, kita sungguh menghargai mereka.

***

“Karena Kak Laisa tidak pernah datang terlambat untuk kita. Tidak pernah. Kak Laisa tidak pernah sekalipun datang terlambat dalam hidupnya untuk kita… Kak Laisa tidak pernah mengingkari janji-janjinya, demi kita adik-adiknya… Ya Allah…”
Hlm. 126

“…dengarkan Kakak, kalian harus rajin sekolah, rajin belajar dan bekerja keras. Bukan karena hanya demi Mamak yang sepanjang hari terbakar matahari di ladang. Bukan karena itu. Tapi Ikanuri, Wibisana, Dalimunte, kalian harus selalu bekerja keras, bekerja keras, karena dengan itulah janji kehidupan yang lebih baik akan berbaik hati datang menjemput…”
Hlm. 138

Sekujur tubuh yang hitam legam, gempal, dan pendek itu kini tak bertenaga. Dulu, tubuh itulah yang memanggul setiap beban keluarga, menghidupi keempat adiknya yang bandel, dan tubuh itu pula yang harus rela terluka setiap kali bahaya datang menjemput demi keselamatan orang yang dicintainya. Laisa, seorang sulung dari lima bersaudara yang memiliki  masalah dengan pertumbuhan badannya, kini harus rela menerima nasib bahwa ia tak bisa lagi beraktivitas selain hanya berbaring di atas ranjang.

Hanya Mamak Lainuri-lah yang mengetahui apa yang terjadi dengan putri sulungnya itu. Maka, sebelum semuanya terlambat, sebelum Lembah Lahambay melepas tangis untuk mengiringi kepergiannya, kabar itu akhirnya dikirimkan. Kepada empat adiknya yang kini telah sukses di kota besar. Dalimunte sang Proffesor andal, Ikanuri dan Wibisana—dua sigung nakal yang kini sukses dengan bengkel besarnya, dan si bungsu Yashinta yang tengah mendaki Gunung Semeru untuk proyek konservasi alamnya. Sebuah pesan masuk di handphone mereka. Empat kalimat singkat yang dikirimkan oleh Mamak itu bagaikan sebuah perintah besar. Maka, hari itu juga, mereka pulang ke Lembah Lahambay.

‘PULANGLAH. Sakit kakak kalian semakin parah. Dokter bilang mungkin minggu depan, mungkin besok pagi, boleh jadi pula nanti malam. Benar-benar tidak ada waktu lagi. Anak-anakku, sebelum semuanya terlambat, pulanglah….’

Wahai gerangan, apakah yang terjadi sebenarnya?

***

“Kita memang tidak akan pernah tahu… Tidak pernah bisa menebak, menduga… Tetapi suatu hari nanti, salah satu dari anggota keluarga yang amat kita cintai pasti akan pergi. Siap atau tidak, suka atau tidak…”
Hlm. 278

“Kakak selalu memaafkan kalian… Ya Allah, meski dunia bersaksi untuk menyangkalnya, meski seluruh dunia bersiap membantahnya, tapi mereka, mereka selalu menjadi adik-adik yang baik bagi Laisa… Adik-adik yang membanggakan…”
Hlm. 312

Novel Bidadari-Bidadari Surga berkisah tentang pengorbanan seorang Kakak sulung bernama Laisa kepada emapat orang adiknya. Membaca lembar demi lembar novel ini, perlahan kita akan mulai tersayat oleh ceritanya yang sangat menyentuh. Terlebih tentang pengorbanan Laisa. Banyak adegan yang mungkin membuat pembaca berlinang air mata dan terharu. Aku benar-benar merasakan bagaimana tulusnya hati seorang Laisa ini. Terkadang aku juga ikut terbawa suasana tatkala penulis menyelipkan beberapa adegan yang menyudutkan Laisa. Seperti tentang gunjingan orang sekitar mengenai perawan tua, hinaan dari Ikanuri dan lain sebagainya. Aku benar-benar menjadi Laisa di cerita ini. Suka dan duka yang dialami oleh tokoh ini pun dengan mudah aku rasakan.

Lewat buku ini, aku benar-benar menemukan peran seorang kakak yang sebenarnya. Terlebih, aku juga seorang kakak. Secara tidak langsung, buku ini membangunkan niatku untuk sebisa mungkin menyayangi dan mengasihi akan keberadaan adikku. Sungguh, Laisa beserta pengorbanannya—yang mungkin bisa dibilang sangat besar—sangat mampu menyadarkan kami—terutama kami sebagai kakak—untuk rela berkorban sedikit saja terhadap kebaikan mereka. Setidaknya untuk membuat mereka menghargai keberadaan kita. Banyak adegan yang membuatku terharu, tapi tentu saja tidak sampai berlinangan air mata. Salah satu adegan yang sangat menyayat hati adalah ketika Ikanuri meneriaki Kak Laisa bahwa ia bukan kakaknya. Aku sangat mengerti apa yang dirasakan Laisa saat itu. Sebisa mungkin aku mencoba memosisikan diri sebagai Laisa dan menganggap bahwa makian itu ditujukan padaku, betapa nelangsanya hati kita saat itu. Semakin terharu lagi saat Laisa tersungkur dan menangis saat itu juga. Ya Tuhan, tidak bisa membayangkan saja, Laisa yang selama ini kuat, harus rela terluka oleh omongan adiknya sendiri. Dan itu di depan matanya langsung.

Kesedihanku berubah menjadi kelegaan yang penuh haru saat penulis menyisipkan satu adegan dimana Ikanuri memohon maaf kepada Kak Laisa dengan segala isak tangisnya. Ya Tuhan, lihatlah… betapa mudahnya Kak Laisa memaafkan semua kesalahan yang dulu menyakiti hatinya itu. Aku benar-benar belajar banyak dari Kak Laisa, terutama tentang ketulusan hati. Kini aku mengerti, mengapa penulis memberi judul buku ini ‘Bidadari-Bidadari Surga.’ Baik, selain banyak bercerita tentang pengorbanan Laisa yang tak hentinya mengundang simpati dan haru, buku ini juga kian manis ketika Dalimunte hadir dengan kisah asmaranya. Bersama dengan Cie Hui, Dalimunte resmi melepas status lajangnya. Dengan mengangkat latar perkebunan strawberry, membuat kisah roman di buku ini terasa sangat manis meski baru dimasukkan saat memasuki pertengahan buku. Dengan membayangkan segarnya hawa perkebunan buah merah ranum itu, ditambah dengan romantisme dua sejoli yang baru dimabuk asmara, sungguh tidak terbayang bagaimana jalinan kuat yang tercipta antar keduanya. Juga benih-benih cinta yang aku yakin rasanya sungguh istimewa.

Selain itu, di buku ini Tere Liye memilih alur maju mundur. Cerita saling berlompatan antara masa lalu dan masa sekarang. Jika dibandingkan, aku rasa penulis lebih banyak bercerita tentang kisah Laisa dan adik-adiknya di masa lalu. Salah satu adegan favoritku adalah ketika Yashinta bersama Kak Laisa melihat aksi lucu berang-berang di sungai. Membayangkannya saja membuat aku geli sendiri, pasti anak berang-berang itu sangat lucu dan menggemaskan. Dan beruntung sekali Yashinta mendapat kesempatan itu bersama Kak Laisa. Kemudian, suasana kampung perhutanan sangat kental sekali di buku ini. Hal ini disebabkan karena aktivitas khas penduduk yang kampung sangat mendominasi buku ini. Seperti kegiatan mereka di ladang, berkebun, mencari kayu bakar di hutan, mencemaskan kekeringan air, dan pembangunan kincir air di sungai. Suasana perkampungannya terasa, dan secara tidak langsung aku ikut tersedot ke dunia mereka. Sungguh menyenangkan!

Lepas dari semua daya tarik itu, buku ini memiliki satu kelemahan: ketidakkonsistenan. Aku sebenarnya dibuat bingung dengan perbedaan usia Ikanuri dan Wibisana. Pada halaman 20, penulis menyebutkan: ‘Yang satu berumur 34 tahun (Wibisana), yang satunya berumur 33 tahun (Ikanuri)’. Dari kalimat tersebut kita bisa menyimpulkan bahwa Wibisana sedikit lebih tua dibanding Ikanuri. Tapi kenyataan itu seolah terpatahkan saat penulis menulis kalimat berikut di halaman 185: ‘Ikanuri sebelas (hampir dua belas), Wibisana sebelas (baru lewat sepuluh)’. Fokus pada kalimat bercetak tebal, di bagian ini alur ceritanya mundur, jadi kedua anak ini memang masih kecil. Tapi apakah kalian menyadari ada yang salah? Ya, jika ditela’ah, di sini disebutkan bahwa Ikanuri-lah yang sedikit lebih tua dibanding Wibisana. Ikanuri hampir dua belas, sementara Wibisana baru masuk sebelas tahun. Terus, yang di halaman 20 tadi apa kabar?

Baik, terlepas dari semua itu. Aku cukup appreciate dengan cerita pengorbanan penuh ketulusan dari Laisa yang berhasil menggugah hati. Mendadak, antara pengin punya kakak seperti Laisa, dan ingin menjadi sosok kakak yang baik sepertinya. But, apa pun keadannya, peran seorang kakak sangatlah besar. Terutama untuk adik-adiknya.

5 Jempol untuk bidadari surga kita… Laisa


Terima kasih!

***

“Kau tahu, terlalu mencintai terkadang membuat kita berpikir tidak rasional, tidak fair, my dear.”
Hlm. 315

“Andaikata ada seorang penghuni surga mengintip ke bumi, niscaya dia menerangi ruang antara bumi dan langit. Dan niscaya aromanya memenuhi ruang antar keduanya. Dan sesungguhnya kerudung di atas kepalanya lebih baik daripada dunia seisinya.”
-Hadits Al Bukhari-

“Dan sungguh di surga ada bidadari-bidadari bermata jeli (Al Waqiah: 22). Pelupuk mata bidadari-bidadari itu selalu berkedip-kedip bagaikan sayap burung indah. Mereka baik lagi cantik jeliat. (Ar Rahman: 70)
“…bidadari-bidadari surga, seolah-olah adalah telur yang tersimpan dengan baik (Ash Shaffat: 49)…”
Hlm. 359


Tidak ada komentar:

Posting Komentar