Judul : Bintang Jatuh
Penulis : Silvarani
Cetakan : Pertama, 2014
Tebal : 166 hlm
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Kategori : Novel
ISBN : 978 – 602 – 03 – 0968 – 2 |
Blurb:
Bintang, seorang jurnalis muda, tidak pernah
ambil pusing soal kuasa Allah yang satu ini, sampai... PLAAAK! Tamparan keras
mendarat di pipinya. Alena, gadis genius yang beberapa detik lalu masih dia
yakini sebagai calon istri, kini malah resmi menjadi mantannya.
Bintang pun disadarkan pada satu kenyataan: Begitu mudah hati manusia berubah jika Allah sudah berkehendak.
Bingung dan patah hati, Bintang lantas menerima tawaran pergi ke Yogya untuk menenangkan diri sekaligus menyelesaikan tugas. Dalam perjalanan naik kereta, seorang gadis kembali menamparnya, kali dengan pesona dan keluasan pengetahuan agama—seluk-beluk shalat, tata cara bertayamum, juga sejarah Islam di nusantara. Tak pelak suatu rasa, perlahan namun pasti, tumbuh dalam hati Bintang.
Akankah Bintang menemukan cinta baru? Siapkah dia menjalani rencana Allah yang lebih besar?
Bintang pun disadarkan pada satu kenyataan: Begitu mudah hati manusia berubah jika Allah sudah berkehendak.
Bingung dan patah hati, Bintang lantas menerima tawaran pergi ke Yogya untuk menenangkan diri sekaligus menyelesaikan tugas. Dalam perjalanan naik kereta, seorang gadis kembali menamparnya, kali dengan pesona dan keluasan pengetahuan agama—seluk-beluk shalat, tata cara bertayamum, juga sejarah Islam di nusantara. Tak pelak suatu rasa, perlahan namun pasti, tumbuh dalam hati Bintang.
Akankah Bintang menemukan cinta baru? Siapkah dia menjalani rencana Allah yang lebih besar?
***
“Menurutku,
mencintai dan melupakan tak bisa disamakan. Ketika kita memutuskan untuk
mencintai seseorang, terkadang hal itu tak kita rencanakan. Lain halnya jika
melupakan seseorang. Ada unsur kesengajaan di situ, bahkan ada kewajiban untuk
itu.”
Hlm.
6
“…waktu
kita mencintai seseorang, itu juga kesengajaan. Sama seperti melupakan. Ketika
kamu mencintai seseorang, kamu sadar akan perasaanmu. Buktinya, kamu sengaja
membuka hatimu untuknya, to?”
Hlm.
6
Alena
dan Bintang pertama kali berkenalan saat mereka SMA. Lexi—teman dekat
Alena—yang kebetulan satu organisasi dengan Bintang, mulai mendekatkan mereka
berdua. Jangan heran, di dunia ini memang masih berlaku hukum mencomblangkan
teman. Lexi-lah pelakunya. Berawal dari situ, Bintang dan Alena mulai memutuskan
untuk menjalin hubungan yang lebih serius. Hubungan atas dasar comblang
itu berlanjut sampai mereka menjejakkan
kaki di universitas bahkan hingga sekarang saat Bintang sudah menjadi seorang
jurnalis ternama.
Alena,
seorang gadis yang memiliki ambisi untuk melanjutkan studi S2 di London rupanya
memiliki ambisi lain yang tak kalah penting. Yakni menikah dengan Bintang
sebelum mereka berangkat ke London sama-sama dan menjadi sepasang suami istri
di sana. Tapi rupanya harapan itu harus membuahkan kekecewaan baginya karena
Bintang masih belum siap. Sebenarnya, bukan dari dirinya yang belum siap, melainkan
dari keluarganya. Mbak Winta—kakak perempuannya—belum menikah, hal ini menjadi
kendala tersendiri bagi Bintang. Karena dari adat yang berlaku di keluarganya,
seorang adik tidak boleh menikah mendahului kakaknya. Terlebih menurut
penjelasan Mbak Winta, ia akan menikah jika Bapak sudah sembuh. Masalahnya
lagi, dengan sakit stroke berkepanjangan yang diderita Bapak, kapankan ia bisa
sembuh?
Karena
tak sanggup lagi menunggu, Alena pun putus asa dan mengakhiri hubungannya
dengan Bintang. Bintang yang saat itu merasa terpukul, memilih pergi ke Jogja
untuk menghadiri seminar jurnalistik yang ditugaskan kepadanya. Sebenarnya ini
dilakukannya juga sebagai pelarian atas apa yang sudah terjadi padanya. Dalam
perjalanannya menuju Jogja, dengan tak sengaja Bintang bertemu dengan
Saya—seorang gadis cantik berkerudung hijau tosca dengan pengetahuan agama yang
luar biasa. Mulai dari tata cara sholat, tayammum, hingga sejarah Islam di
nusantara banyak Bintang dapatkan dari Saya. Perbincangan itu akhirnya mengarah
pada satu titik masalah dalam kehidupan Bintang. Menamparnya lebih keras akan
kesadaran beragamanya yang masih kurang. Juga menyadarkannya bahwa Allah itu
ada, beserta kuasa-kuasaNya yang begitu luar biasa.
Lantas…
kira-kira, rencanaNya yang seperti apakah yang akan Bintang terima?
***
“Apakah
manusia yang sedang patah hati termasuk manusia yang merugi karena
membuang-buang waktu untuk memikirkan luka patah hatinya?”
HLm.
13
“Manusia
boleh berencana, tetapi Allah yang menentukan. Sombong tidak cuma ditunjukkan
oleh harta, pangkat, jabatan, ilmu, dan keimanan yang dimiliki seseorang.,
tetapi juga cinta yang ada di hati seseorang itu. Kalau seseorang merasa
kekuatan cintanya begitu besar dan merasa tak ada kekuatan apa pun yang dapat
menandinginya, justru di situ Allah akan memberinya ujian. Salah satunya dengan
dipisahkan. Karena itu, selalu libatkan Allah dalam urusan hatimu. Jangan
mencintai orang dengan perasaan buta.”
Hlm.
74
Bintang
Jatuh adalah sebuah novel bergenre roman-religi yang ditulis oleh Silvarani. Sebuah
bacaan yang cocok jika kita baca di bulan Ramadhan seperti ini. Kapasitas roman
dan religi dalam buku ini disajikan secara pas, tidak ada yang kurang maupun
berlebihan. Di satu sisi, menyajikan unsur roman dan religi secara bersamaan
sebenarnya juga merupakan sebuah kesulitan tersendiri, setidaknya menurutku.
Tidak percaya? Mungkin banyak dari kita yang mengetahui bahwa antara roman dan
religi adalah dua hal yang saling berlawanan, memiliki pandangan tersendiri,
dan cenderung sulit untuk disatu arahkan. Roman lebih identik dengan kisahnya
yang full of love, menonjolkan kemesraan sepasang kekasih, dan mungkin juga
cenderung vulgar. Hal ini sangat berbanding terbalik apabila kita mendalami
dari sisi religi yang lebih mengedepankan unsur keagamaan. Tapi apa jadinya
jika roman dan religi disatukan? Akankah menjadi satu perpaduan yang bagus?
Inilah
yang menarik. Melalui buku roman-religi seperti yang ditulis oleh Silvarani
ini, kita tidak hanya disuguhi oleh adegan roman pada umumnya, namun juga bisa
mengetahui unsur religi yang membuat
kita bisa memandang dari sisi yang lebih baik apa arti cinta yang ‘sesungguhnya’.
Cinta dari sisi agama mungkin cenderung tertutup, dalam arti tidak terlalu
berlebihan dan sewajarnya. Lewat buku ini, secara langsung kita diajak untuk
mengetahui semua itu. Kita akan mengetahui seperti apa arti cinta dari sisi
yang lebih baik, seperti apa agama memaknai cinta, dan bagaimana seseorang
bersikap terhadap cinta yang seharusnya. Salah satunya bisa kita dapatkan lewat
satu kutipan yang ada di halaman 74:
‘…selalu
libatkan Allah dalam urusan hatimu. Jangan mencintai orang dengan perasaan
buta.”
Satu
kutipan singkat namun memiliki makna yang begitu mendalam. Seseorang berhak
saja mencintai seseorang, tapi ingat, ada cinta yang lebih besar yang harus
kita tanamkan. Yaitu cinta kita kepadaNya. Jika kita mencintai seseorang, yang
terpenting adalah jangan menomorduakan Allah. Cintailah Allah di atas engkau
mencintai siapa pun. Jika kita mencintai seseorang, selalu libatkanlah Allah
dalam setiap urusan cintamu. Intinya, jangan mencintai seseorang dengan
perasaan buta. Nah, itulah yang aku maksudkan tadi, memaknai cinta dari sisi
yang lebih baik.
Meski
banyak diselipi dengan pengetahun agama seperti rukun iman/islam, sejarah islam
di nusantara, potongan doa salat dan lain-lain, menurutku ini tidak membuat
Bintang Jatuh seperti buku teks pelajaran agama. Justru aku merasa tertarik
saat penulis menuturkan cerita mengenai sejarah Islam di nusantara melalui
tokoh Saya—sayangnya tidak terlalu banyak, huhuu. Selain itu, Kota Jogja
beserta isinya sedikit banyak juga ikut diangkat di sini. Secara tidak langsung
menjadikan buku ini juga memiliki unsur lokalitas sebagai salah satu daya
tariknya. Kebetulan, aku menyukai buku-buku yang mana sudah memasukkan unsur
lokalitas di dalam ceritanya. Berwawasan!
Kemudian,
pekerjaan Bintang sebagai seorang jurnalis di buku ini sedikit banyak juga
membuat kita tahu. Seperti apa saja yang biasa dilakukan oleh seorang jurnalis
dan bagaimana mereka melakukan seminar-seminar. Hanya saja menurutku, profesi
jurnalis di buku ini kurang dikupas tuntas, dalam arti kurang begitu dieksplor
sehingga cerita lebih berpusat kepada konflik hati Bintang saja. Mungkin ini
bisa dibilang masalah selera, karena sejatinya aku ingin mengetahui lebih dalam
tentang dunia kejurnalisan. Sempat memiliki rasa tertarik dengan profesi yang
satu ini.
Catatan
lain, aku rasa saat memasuki konflik dan mencapai klimaks, cerita terkesan
biasa saja dan flat. Tidak ada daya tarik yang berusaha ditonjolkan—emm mungkin
ada, tapi terkesan biasa menurutku. Ada baiknya penulis menyelingi cerita
dengan twist atau surprise yang tidak kita duga sebelumnya. Atau mungkin eksekusi
di ending-nya lebih dipermantap lagi agar—setidaknya bisa menutup kesan flat
itu lah.
Banyak
pesan moral yang bisa kita petik dari cerita ini. Salah satunya yang sudah aku
sebut di atas tadi—memaknai cinta dari sisi yang lebih baik. Kemudian ada juga
beberapa part yang mengajarkan kita tentang arti penerimaan yang tulus—emm mungkin bisa juga
disebut move on—berusaha lapang dada, dan yang terpenting.. mengajarkan kita
untuk selalu sadar akan keberadaanNya. Secara keseluruhan, buku ini memiliki
cerita yang ringan, cocok dibaca semua kalangan karena memang cukup
mengedukasi—terutama dalam konteks religinya. Cocok juga dibaca untuk kalian
yang ingin kembali ke jalanNya. Insyaallah, buku ini sedikit demi sedikit bisa
menuntunmu.
3
Jempol untuk si jurnalis taubat…
Terima
kasih!
***
“Menyelimuti
hati dengan dzikir dan shalawat memang menyejukkan hati.”
“Semua
hal di dunia ini, entah menyenangkan atau menyakitkan, tak mungkin terjadi
tanpa seizin-Nya.”
Hlm.
97
“Setiap
ketetapan dan perubahan itu pasti atas kehendak Allah. Jadi, manusia hanya bisa
menerima.”
Hlm.
146-147
Tidak ada komentar:
Posting Komentar