Kamis, 14 Juli 2016

[Book Review] Three Wishes - Isabelle Merlin



Judul : Three Wishes
Penulis : Isabelle Merlin
Cetakan : Kedua, Maret 2016
Tebal : 377 hlm
Penerbit : Bhuana Sastra
Kategori : Novel
ISBN : 9786022498551 


Blurb:

Wahai ibu peri internet, inilah tiga permintaanku:
1.     Menang lotre
2.     Menjadi penulis best-seller
3.     Sepasang sepatu cantik berwarna perak

Saat Rose membuat blog untuk tugas bahasa inggris, dia tidak menyadari blog itu akan mengubah hidupnya. Perempuan anggun tak dikenal datang dan mengumumkan bahwa Rose memiliki kakek bangsawan Prancis yang ingin bertemu dengannya.
Rose pun tiba di Prancis dan mendapati kakeknya tinggal di puri yang sangat megah. Dia mulai menyukai kehidupan barunya, juga Charlie, pemuda super tampan yang juga tertarik pada Rose.

Tapi saat Rose menguak lebih dalam masa lalu keluarganya, kisah dongengnya berubah menjadi mimpi buruk. Yang pasti, seseorang ingin dia mati. Dia harus mencari tahu siapa musuhnya, jika dia ingin selamat!

***

“Semasa kecil, aku benar-benar percaya pada peri. Aku yakin dengan sedikit menyipitkan mata dan berkonsentrasi penuh, aku bisa melihat mereka. Aku sering membaca buku-buku dongeng dan melihat-lihat gambar peri juga membayangkan apa yang kuminta jika suatu hari ada peri muncul di sampingku dan memberiku tiga permintaan. Aku menulis permintaan itu di kertas-kertas kecil dan meninggalkannya di bawah bantal, di bawah pohon, atau di mana pun kupikir peri itu akan menemukannya.”
Hlm. 2

Saat mendapat tugas bahasa inggris untuk membuat blog, Rose Dumerle memilih tema yang menyenangkan dan ringan baginya: tiga permintaan. Pada postingan pertamanya, ia sudah menulis tiga permintaan itu di sana. Mulai dari memenangkan lotre agar Aunt Jenny tidak perlu berhemat, mendapatkan sepasang sepatu perak seperti milik Celestine, sampai menjadi penulis  populer yang karyanya best-seller. Semua permintaan yang ditulisnya itu tetaplah sebuah permintaan belaka sampai seorang wanita bertubuh tinggi dengan sikap dingin mendatangi rumahnya.

Rose menyebutnya Ratu Salju—dan belakangan ia tahu bahwa nama aslinya adalah Blanche Randal. Si Ratu Salju membawa sebuah kabar mengejutkan yang mengatakan bahwa Rose adalah cucu dari seorang kakek bangsawan yang tinggal di Prancis, dan ia ingin bertemu dengan Rose  secepatnya. Selama ini Rose memang tidak begitu tahu tentang silsilah keluarganya, tapi dulu saat Ayah dan Ibunya belum meninggal, mereka pernah bilang bahwa Rose masih memiliki seorang kakek. Tapi, fakta yang ada ternyata lebih mengejutkan… kakeknya adalah seorang bangsawan Prancis. Mungkinkah?

Dengan sangat berat hati, Rose pun meninggalkan Australia—Aunt Jenny, teman-teman, dan sekolahnya—untuk pergi ke Prancis menemui kakeknya bersama Si Ratu Salju. Sebuah fakta yang lebih mengejutkan lagi membelalakkan mata Rose sesaat setelah ia sampai di Prancis. Kakeknya tinggal di sebuah puri yang sangat besar dan megah. Dan, rupanya ia juga seorang penulis terkenal. Tidak butuh waktu lama bagi Rose untuk beradaptasi, Count—Kakek Rose—teramat menyayanginya. Ditambah lagi dengan kehadiran Charlie—putra tampan Si Ratu Salju—yang membuat suasana terasa nyaman dan menyenangkan, juga beberapa pegawai puri yang melayaninya dengan baik. Satu per satu permintaan yang pernah Rose tulis di blognya mulai menjadi nyata, dan saat itu pula, ia merasa hidupnya begitu ‘sempurna’.

Tapi rupanya, Rose lupa akan nasihatnya sendiri, ia lupa bahwa ia pernah menuliskan ‘Hati-Hati dengan Permintaanmu’ pada postingan itu.  Dan rupanya, semua ini berdampak besar bagi kehidupan di puri. Teror demi teror mulai mengintai keluarga Count, beberapa kejadian aneh mulai terjadi. Tidak hanya itu, Rose juga menemukan rahasia-rahasia kelam dari masa lalu keluarganya, termasuk tentang konflik yang sempat terjadi dengan keluarga Fontaine yang berujung kutukan. Dan satu lagi, seseorang rupanya tengah mengintai Rose, menguntit keberadaannya, dan mencoba untuk menyingkirkannya…

Yang menjadi pertanyaan, siapakah dia?

Rose harus bertindak cepat, sebelum semuanya… terlambat!

***

“Tidak selalu mudah bagi orang luar untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjad antara dua orang, khususnya dalam keluarga, Nak.”
Hlm. 122

“Manusia selalu memiliki sisi baik dan buruk. Sebagian jauh lebih banyak buruknya, sebagaian jauh lebih banyak baiknya. Namun sisanya, berada di antara kedua sisi itu. Kehidupan modern sama sekali tidak mengubah itu.”
Hlm. 123

“Aku tercabik di antara dua laki-laki, dan rasanya manis sekaligus menakutkan.”
Hlm. 251

Three Wishes adalah sebuah buku terjemahan dari Isabelle Merlin, sekaligus  menjadi buku pertama dari penulis yang aku baca. Cerita di buku ini tergolong ke dalam cerita romance-mystery. Jika dilihat dari cover buku, aku rasa semuanya tersampaikan. Mulai dari setting Paris yang digambarkan lewat Menara Eiffel, unsur romance yang didukung dengan ilustrasi sepasang kekasih, dan unsur misteri yang diinterpretasikan lewat  gambar burung, serigala, dan gerbang hitam yang benar-benar membawa kesan misterius. Baik, mari kita bahas buku ini dari segala sisi.

1.       Tema.
Seperti yang sudah aku sebut di atas tadi, buku ini bisa dibilang bertemakan romance yang dipadukan dengan sentuhan misteri. Jika kedua jenis cerita ini dianalisis, maka kita akan menemukan bahwa unsur misterilah yang lebih kental dan mengisi buku ini. Romance-mystery seperti ini baru aku dapatkan di buku ini—aku belum pernah baca buku sejenis sebelumnya.  Unsur misteri yang terkandung di buku ini bisa dibilang yang menjadi magnet kuat bagiku untuk tidak bosan membacanya. Setiap bab—terutama mulai pertengahan sampai akhir—daya tarik cerita terkesan lebih kuat karena penulis menghadirkan satu misteri yang berusaha diungkapkan. Teror demi teror, seperti apa motif pelaku dalam menjalankan aksinya, dan bagaimana jalan pikiran setiap tokoh menyiasati kejadian ini, benar-benar menarikku ke dalam cerita. Aku jadi ikut menduga-duga siapa pelakunya. Terlebih di sini penulis turut menyelipkan beberapa clue yang menjadi kemungkinan siapa pelakunya.

2.       Latar.
·         Tempat:
Actually, di buku ini penulis menggunakan dua latar tempat utama, yaitu Australia dan Prancis. Tapi karena sebagaian besar kejadian berlangsung dan melibatkan keluarga Count, maka buku ini lebih dominan mengusung latar di Prancis, terutama di Puri yang ditempati Rose. Sekilas, saat penulis membawa kita ke Prancis, aku merasa seperti masuk ke dunia dongeng, dan memberi kesan bahwa ini adalah cerita fairytale. Bagaimana tidak, membayangkan puri yang sebegitu megahnya, dan pelayanannya bak di istana benar-benar seperti dongeng.

·         Waktu:
Aku tidak bisa memastikancerita di buku ini mengambil latar waktu tanggal, bulan, dan tahun berapa. Yang jelas, cerita ini jauh dari kata ‘jaman dulu’. Mengingat segala teknologi modern seperti komputer, handphone, mau pun email sudah mendominasi ceritanya.

·         Suasana:
Aku lebih merasakan suasana yang seru dan menegangkan dari buku ini, lagi-lagi karena unsur misteri yang sangat kental di setiap bab. Beberapa part lain juga terasa sekali nuansa roman dan manisnya saat unsur romance ikut diselipkan ke dalamnya. Seperti kissing-scene yang ikut menyemarakkan jalan cerita, di beberapa bagian.

3.       Tokoh dan Penokohan.
Beberapa tokoh yang menggerakan cerita di buku ini antara lain: Rose Dumerle, Kakek Count, Paul Fontaine, Charlie Randal, dan lain-lain. Setiap tokoh di buku ini memiliki ciri khas tersendiri. Semuanya berhasil dibedakan entah itu lewat gambaran fisik atau pun sikap dan watak mereka saat mengisi jalan cerita.   Seperti halnya, Rose, dia adalah gadis remaja riang yang memiliki ambisi cukup besar—terutama cita-citanya untuk menjadi seorang penulis. Karakter kuat lainnya juga ada pada Blanche Randal. Sikap dan dingin dan judesnya menjadi identitas tersendiri bagi Ibu Charlie Randal ini.

4.       Alur.
Secara keseluruhan, alur di buku ini adalah alur maju. Ada beberapa flashback beberapa tahun ke belakang, namun itu hanya dituturkan langsung oleh tokoh, jadi aku rasa tidak bisa dibilang alur mundur. Tahap-tahapnya pun juga tersusun dengan baik, mulai dari pengenalan tokoh, konflik hingga klimaks. Dan semua terselesaikan dengan baik.

5.       Sudut Pandang.
Aku menggolongkan buku ini ke dalam buku dengan penggunaan sudut pandang orang ketiga serbatahu. Lewat sudut pandang ini, penulis leluasa untuk bercerita dari segala sisi dan sudut pandang lebih dari satu tokoh. Serbatahu, karena memang penulis berperan sebagai ‘narator’ yang mengetahui segalanya—tidak seperti PoV1 yang mana penulis hanya bercerita berdasarkan apa yang dirasakan oleh si tokoh utama.

6.       Amanat.
Beberapa pesan atau hikmah yang bisa dipetik dari buku ini antara lain:

1.     Jangan mudah memercayai orang. Hati-hati, jika ia pandai bertopeng,otomatis ia juga pandai berbohong.

2.     Jika tadi jangan mudah percaya, kalau sekarang, jangan mudah menuduh. Yang jelas, jika belum ada kebenaran atau faktanya, simpan dulu dugaan kita. Jangan asal ditunjukkan. Bukankah masalah akan tambah runyam jika orang yang tidak bersalah merasa disudutkan atas tuduhan yang tidak benar?

3.      Jangan menyimpan rasa iri/dengki. Setiap manusia memiliki porsi dan garis hidup masing-masing. Entah itu baik atau buruk, jangan sekali pun kita ikut campur. Urus sendiri saja kehidupanmu.

7.       Kritik dan Saran.
Ada beberapa kelemahan yang ingin aku kritisi dari buku ini. Pertama, terlalu banyak pemenggalan dialog.  Seperti “Tapi aku tidak—“ kemudian dipotong oleh tokoh lain. Ada juga “Bukankah kamu—“ dan terpotong lagi. Aku rasa terlalu banyak pemenggalan seperti itu, dan membuatku terganggu saat membacanya. Sebenarnya boleh, hanya saja yang perlu dilakukan penulis adalah meminimalisirnya karena ini terlalu banyak dan mengganggu.

Jika tadi pemenggalan dialog, sekarang adalah pemenggalan kata yang salah. Seperti pada halaman 139: mengh-entikan, yang benar adalah meng-hentikan. Kemudian di halaman 305: sep-erti, yang benar adalah: se-perti. Solusi dari masalah ini sebenarnya mudah, yaitu kejelian tangan editor saja. Semoga ke depannya bisa lebih baik.

Kemudian, aku rasa, ada ketidakonsistenan penyebutan nama di sini. Terutama untuk tokoh Kakek Rose. Kadang dipanggil Valentin, Count, Grand pere, Comte-lah. Jadi bingung, 4 sebutan nama untuk satu tokoh. Terlalu ribet dan memusingkan menurutku. Menurutku Count dan Grand-pere sudah cukup. Count—sebutan dari para pegawai puri, dan Grand pere—sebutan dari Rose Dumerle.

Secara keseluruhan, Three Wishes adalah buku yang enak dinikmati, manis bercampur tegang, aku suka sekali. Cara penulis menyelesaikan konflik juga sangat bikin puas. Intinya, buku ini terlalu bagus untuk dilewatkan.

4 Jempol untuk cucu Monsieur Le Comte…


Terima kasih!

***

“Takdir kita ada di tangan kita sendiri, Rose. Di bawah kekuasaan Tuhan, tentu saja, tapi kita punya kehendak bebas dan boleh memilih jalan hidup kita. Kesalahan kita disebabkan oleh kita sendiri, bukan kutukan atau nasib buruk atau lahir di bawah bintang yang salah.”
Hlm. 147


1 komentar: