Judul : Three Wishes
Penulis : Isabelle Merlin
Cetakan : Kedua, Maret 2016
Tebal : 377 hlm
Penerbit : Bhuana Sastra
Kategori : Novel
ISBN : 9786022498551 |
Blurb:
Wahai
ibu peri internet, inilah tiga permintaanku:
1.
Menang lotre
2.
Menjadi penulis best-seller
3.
Sepasang sepatu cantik berwarna perak
Saat
Rose membuat blog untuk tugas bahasa inggris, dia tidak menyadari blog itu akan
mengubah hidupnya. Perempuan anggun tak dikenal datang dan mengumumkan bahwa
Rose memiliki kakek bangsawan Prancis yang ingin bertemu dengannya.
Rose
pun tiba di Prancis dan mendapati kakeknya tinggal di puri yang sangat megah.
Dia mulai menyukai kehidupan barunya, juga Charlie, pemuda super tampan yang
juga tertarik pada Rose.
Tapi
saat Rose menguak lebih dalam masa lalu keluarganya, kisah dongengnya berubah
menjadi mimpi buruk. Yang pasti, seseorang ingin dia mati. Dia harus mencari
tahu siapa musuhnya, jika dia ingin selamat!
***
“Semasa
kecil, aku benar-benar percaya pada peri. Aku yakin dengan sedikit menyipitkan
mata dan berkonsentrasi penuh, aku bisa melihat mereka. Aku sering membaca
buku-buku dongeng dan melihat-lihat gambar peri juga membayangkan apa yang
kuminta jika suatu hari ada peri muncul di sampingku dan memberiku tiga
permintaan. Aku menulis permintaan itu di kertas-kertas kecil dan
meninggalkannya di bawah bantal, di bawah pohon, atau di mana pun kupikir peri
itu akan menemukannya.”
Hlm.
2
Saat
mendapat tugas bahasa inggris untuk membuat blog, Rose Dumerle memilih tema
yang menyenangkan dan ringan baginya: tiga permintaan. Pada postingan
pertamanya, ia sudah menulis tiga permintaan itu di sana. Mulai dari
memenangkan lotre agar Aunt Jenny tidak perlu berhemat, mendapatkan sepasang
sepatu perak seperti milik Celestine, sampai menjadi penulis populer yang karyanya best-seller. Semua permintaan yang ditulisnya itu tetaplah sebuah
permintaan belaka sampai seorang wanita bertubuh tinggi dengan sikap dingin
mendatangi rumahnya.
Rose
menyebutnya Ratu Salju—dan belakangan ia tahu bahwa nama aslinya adalah Blanche
Randal. Si Ratu Salju membawa sebuah kabar mengejutkan yang mengatakan bahwa
Rose adalah cucu dari seorang kakek bangsawan yang tinggal di Prancis, dan ia
ingin bertemu dengan Rose secepatnya.
Selama ini Rose memang tidak begitu tahu tentang silsilah keluarganya, tapi
dulu saat Ayah dan Ibunya belum meninggal, mereka pernah bilang bahwa Rose
masih memiliki seorang kakek. Tapi, fakta yang ada ternyata lebih mengejutkan…
kakeknya adalah seorang bangsawan Prancis. Mungkinkah?
Dengan
sangat berat hati, Rose pun meninggalkan Australia—Aunt Jenny, teman-teman, dan
sekolahnya—untuk pergi ke Prancis menemui kakeknya bersama Si Ratu Salju.
Sebuah fakta yang lebih mengejutkan lagi membelalakkan mata Rose sesaat setelah
ia sampai di Prancis. Kakeknya tinggal di sebuah puri yang sangat besar dan
megah. Dan, rupanya ia juga seorang penulis terkenal. Tidak butuh waktu lama
bagi Rose untuk beradaptasi, Count—Kakek Rose—teramat menyayanginya. Ditambah
lagi dengan kehadiran Charlie—putra tampan Si Ratu Salju—yang membuat suasana
terasa nyaman dan menyenangkan, juga beberapa pegawai puri yang melayaninya
dengan baik. Satu per satu permintaan yang pernah Rose tulis di blognya mulai
menjadi nyata, dan saat itu pula, ia merasa hidupnya begitu ‘sempurna’.
Tapi
rupanya, Rose lupa akan nasihatnya sendiri, ia lupa bahwa ia pernah menuliskan
‘Hati-Hati dengan Permintaanmu’ pada
postingan itu. Dan rupanya, semua ini
berdampak besar bagi kehidupan di puri. Teror demi teror mulai mengintai
keluarga Count, beberapa kejadian aneh mulai terjadi. Tidak hanya itu, Rose
juga menemukan rahasia-rahasia kelam dari masa lalu keluarganya, termasuk
tentang konflik yang sempat terjadi dengan keluarga Fontaine yang berujung
kutukan. Dan satu lagi, seseorang rupanya tengah mengintai Rose, menguntit
keberadaannya, dan mencoba untuk menyingkirkannya…
Yang
menjadi pertanyaan, siapakah dia?
Rose
harus bertindak cepat, sebelum semuanya… terlambat!
***
“Tidak
selalu mudah bagi orang luar untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjad antara
dua orang, khususnya dalam keluarga, Nak.”
Hlm.
122
“Manusia
selalu memiliki sisi baik dan buruk. Sebagian jauh lebih banyak buruknya,
sebagaian jauh lebih banyak baiknya. Namun sisanya, berada di antara kedua sisi
itu. Kehidupan modern sama sekali tidak mengubah itu.”
Hlm.
123
“Aku
tercabik di antara dua laki-laki, dan rasanya manis sekaligus menakutkan.”
Hlm.
251
Three
Wishes adalah sebuah buku terjemahan dari Isabelle Merlin, sekaligus menjadi buku pertama dari penulis yang aku
baca. Cerita di buku ini tergolong ke dalam cerita romance-mystery. Jika dilihat dari cover buku, aku rasa semuanya
tersampaikan. Mulai dari setting Paris yang digambarkan lewat Menara Eiffel,
unsur romance yang didukung dengan ilustrasi sepasang kekasih, dan unsur
misteri yang diinterpretasikan lewat
gambar burung, serigala, dan gerbang hitam yang benar-benar membawa
kesan misterius. Baik, mari kita bahas buku ini dari segala sisi.
1.
Tema.
Seperti yang sudah aku sebut di
atas tadi, buku ini bisa dibilang bertemakan romance yang dipadukan dengan sentuhan
misteri. Jika kedua jenis cerita ini dianalisis, maka kita akan menemukan bahwa
unsur misterilah yang lebih kental dan mengisi buku ini. Romance-mystery
seperti ini baru aku dapatkan di buku ini—aku belum pernah baca buku sejenis
sebelumnya. Unsur misteri yang
terkandung di buku ini bisa dibilang yang menjadi magnet kuat bagiku untuk
tidak bosan membacanya. Setiap bab—terutama mulai pertengahan sampai akhir—daya
tarik cerita terkesan lebih kuat karena penulis menghadirkan satu misteri yang
berusaha diungkapkan. Teror demi teror, seperti apa motif pelaku dalam
menjalankan aksinya, dan bagaimana jalan pikiran setiap tokoh menyiasati
kejadian ini, benar-benar menarikku ke dalam cerita. Aku jadi ikut menduga-duga
siapa pelakunya. Terlebih di sini penulis turut menyelipkan beberapa clue yang menjadi kemungkinan siapa
pelakunya.
2.
Latar.
·
Tempat:
Actually, di buku ini penulis
menggunakan dua latar tempat utama, yaitu Australia dan Prancis. Tapi karena
sebagaian besar kejadian berlangsung dan melibatkan keluarga Count, maka buku
ini lebih dominan mengusung latar di Prancis, terutama di Puri yang ditempati
Rose. Sekilas, saat penulis membawa kita ke Prancis, aku merasa seperti masuk
ke dunia dongeng, dan memberi kesan bahwa ini adalah cerita fairytale.
Bagaimana tidak, membayangkan puri yang sebegitu megahnya, dan pelayanannya bak
di istana benar-benar seperti dongeng.
·
Waktu:
Aku tidak bisa memastikancerita
di buku ini mengambil latar waktu tanggal, bulan, dan tahun berapa. Yang jelas,
cerita ini jauh dari kata ‘jaman dulu’. Mengingat segala teknologi modern
seperti komputer, handphone, mau pun email sudah mendominasi ceritanya.
·
Suasana:
Aku lebih merasakan suasana
yang seru dan menegangkan dari buku ini, lagi-lagi karena unsur misteri yang
sangat kental di setiap bab. Beberapa part lain juga terasa sekali nuansa roman
dan manisnya saat unsur romance ikut diselipkan ke dalamnya. Seperti kissing-scene yang ikut menyemarakkan
jalan cerita, di beberapa bagian.
3.
Tokoh dan Penokohan.
Beberapa tokoh yang menggerakan
cerita di buku ini antara lain: Rose Dumerle, Kakek Count, Paul Fontaine,
Charlie Randal, dan lain-lain. Setiap tokoh di buku ini memiliki ciri khas
tersendiri. Semuanya berhasil dibedakan entah itu lewat gambaran fisik atau pun
sikap dan watak mereka saat mengisi jalan cerita. Seperti halnya, Rose, dia adalah gadis
remaja riang yang memiliki ambisi cukup besar—terutama cita-citanya untuk
menjadi seorang penulis. Karakter kuat lainnya juga ada pada Blanche Randal.
Sikap dan dingin dan judesnya menjadi identitas tersendiri bagi Ibu Charlie
Randal ini.
4.
Alur.
Secara keseluruhan, alur di
buku ini adalah alur maju. Ada beberapa flashback beberapa tahun ke belakang,
namun itu hanya dituturkan langsung oleh tokoh, jadi aku rasa tidak bisa
dibilang alur mundur. Tahap-tahapnya pun juga tersusun dengan baik, mulai dari
pengenalan tokoh, konflik hingga klimaks. Dan semua terselesaikan dengan baik.
5.
Sudut Pandang.
Aku menggolongkan buku ini ke
dalam buku dengan penggunaan sudut pandang orang ketiga serbatahu. Lewat sudut
pandang ini, penulis leluasa untuk bercerita dari segala sisi dan sudut pandang
lebih dari satu tokoh. Serbatahu, karena memang penulis berperan sebagai
‘narator’ yang mengetahui segalanya—tidak seperti PoV1 yang mana penulis hanya
bercerita berdasarkan apa yang dirasakan oleh si tokoh utama.
6.
Amanat.
Beberapa pesan atau hikmah yang
bisa dipetik dari buku ini antara lain:
1. Jangan mudah memercayai orang. Hati-hati, jika
ia pandai bertopeng,otomatis ia juga pandai berbohong.
2. Jika tadi jangan mudah percaya, kalau sekarang,
jangan mudah menuduh. Yang jelas, jika belum ada kebenaran atau faktanya,
simpan dulu dugaan kita. Jangan asal ditunjukkan. Bukankah masalah akan tambah
runyam jika orang yang tidak bersalah merasa disudutkan atas tuduhan yang tidak
benar?
3. Jangan menyimpan rasa iri/dengki. Setiap manusia
memiliki porsi dan garis hidup masing-masing. Entah itu baik atau buruk, jangan
sekali pun kita ikut campur. Urus sendiri saja kehidupanmu.
7.
Kritik dan Saran.
Ada beberapa kelemahan yang
ingin aku kritisi dari buku ini. Pertama, terlalu banyak pemenggalan
dialog. Seperti “Tapi aku tidak—“
kemudian dipotong oleh tokoh lain. Ada juga “Bukankah kamu—“ dan terpotong
lagi. Aku rasa terlalu banyak pemenggalan seperti itu, dan membuatku terganggu
saat membacanya. Sebenarnya boleh, hanya saja yang perlu dilakukan penulis
adalah meminimalisirnya karena ini terlalu banyak dan mengganggu.
Jika tadi pemenggalan dialog,
sekarang adalah pemenggalan kata yang salah. Seperti pada halaman 139: mengh-entikan, yang benar adalah meng-hentikan. Kemudian di halaman 305:
sep-erti, yang benar adalah: se-perti. Solusi dari masalah ini
sebenarnya mudah, yaitu kejelian tangan editor saja. Semoga ke depannya bisa
lebih baik.
Kemudian, aku rasa, ada ketidakonsistenan
penyebutan nama di sini. Terutama untuk tokoh Kakek Rose. Kadang dipanggil
Valentin, Count, Grand pere, Comte-lah. Jadi bingung, 4 sebutan nama untuk satu
tokoh. Terlalu ribet dan memusingkan menurutku. Menurutku Count dan Grand-pere
sudah cukup. Count—sebutan dari para pegawai puri, dan Grand pere—sebutan dari
Rose Dumerle.
Secara
keseluruhan, Three Wishes adalah buku yang enak dinikmati, manis bercampur
tegang, aku suka sekali. Cara penulis menyelesaikan konflik juga sangat bikin
puas. Intinya, buku ini terlalu bagus untuk dilewatkan.
4
Jempol untuk cucu Monsieur Le Comte…
Terima
kasih!
***
“Takdir
kita ada di tangan kita sendiri, Rose. Di bawah kekuasaan Tuhan, tentu saja,
tapi kita punya kehendak bebas dan boleh memilih jalan hidup kita. Kesalahan
kita disebabkan oleh kita sendiri, bukan kutukan atau nasib buruk atau lahir di
bawah bintang yang salah.”
Hlm.
147
Salah satu buku favoritku, Kak 😁
BalasHapus