Judul : Love in Edinburgh
Penulis : Indah Hanaco
Tahun terbit : 2015
Tebal : 232 hlm
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Kategori : Novel
ISBN : 978 – 602 – 03 – 2534 – 7 |
Blurb:
Katya
adalah karyawati toko kue di Edinburgh yang aktif sebagai relawan di beberapa
badan amal. Sementara Sebastian adalah pemilik perusahaan parfum yang sedang
menyiapkan masa depan bersama kekasihnya.
Lewat
sebuah reality show berjudul Underground Magnate, keduanya bertemu. Sejak awal,
mereka punya banyak perbedaan. Katya, muslimah yang menemukan Tuhan justru saat
berada jauh dari kota kelahirannya, Jakarta. Sebastian, pria Yahudi yang
cenderung memnjadi islamophobia usai ibunya menjadi salah satu korban runtuhnya
gedung WTC. Namun, ada terlalu banyak hal tak terduga yang terjadi. Reaksi
kimia di antara mereka terlalu kuat untuk diabaikan.
Ketika
akhirnya Katya dan Sebastian punya kans untuk bersama, dosa masa lalu
menghantui keduanya, menuntut penyelesaian. Bisakah cinta membuat mereka tetap
bertahan?
***
“Saat
ini orang bisa melakukan kejahatan yang sulit dibayangkan mampu dilakukan oleh
manusia. Tapi, satu hal yang pasti, orang yang takut pada murka Tuhan, yang
menjalani agamanya sebaik yang dia mampu, takkan sanggup menjahati orang lain.”
Hlm. 89
“…jangan
pernah menikahi orang yang berani memukulmu. Jika dia sudah melakukannya
sekali, apa jaminannya dia tidak mengulangi hingga keseribu kali? Jenis kelamin
tidak ada hubungannya dengan pelaku kekerasan fisik.”
Hlm. 124
Edinburgh
adalah sebuah kota indah yang selalu khas dengan arsitektur kastelnya yang
menawan. Sebuah kota yang cukup besar di daratan Skotlandia ini menjadi tempat
persembunyian Katya selama kurang lebih dua tahun ini. Kenangan pahit di masa
lalu membuatnya beranjak meninggalkan Tanah Air dan memilih untuk menepi di Kota
Seribu Kastel ini.
Katya
mendedikasikan sepenuh waktu di Edinburgh dengan bekerja dan ikut di berbagai
organisasi/badan amal. Dulu, semenjak bertemu dengan Evelyn di pesawat dalam
penerbangan menuju Edinburgh, hidup Katya menjadi semakin terjamin. Dia dipekerjakan
sebagai karyawati di toko kue Evelyn—Sister
Eve—dan turut membantu di badan amal yang Evelyn dan suaminya dirikan—We Are Family—sebuah badan yang selalu
menyediakan sarapan bagi kaum tunawisma setiap hari. Tidak hanya itu, sore
harinya Katya juga harus mengisi kelas di Solitude,
kemudian mendengarkan kisah sedih para perempuan malang sama sepertinya di Good Karma pada akhir pekan.
Hingga
akhirnya, hari itu Sister Eve kedatangan seseorang bersama kedua orang
temannya. Mereka memperkenalkan diri sebagai kelompok pembuat film dokumenter
dan ingin mengetahui tentang aktivitas badan amal di kota tersebut. Sebastian
MacCalum—begitulah pria itu memperkenalkan diri kepada Evelyn—mulai bercakap
dengan Katya yang rupanya lebih tahu banyak tentang badan amal di sana.
Keputusan pun diambil, bersama dengan Katya, Sebastian mulai mengunjungi satu
persatu badan amal. Mulai dari We Are Family, Solitude, hingga Good Karma.
Kedekatan antara Katya dan Sebastian pun mulai terjalin. Keduanya kerap
menghabiskan waktu bersama dan bertukar cerita hidup. Namun, terungkapnya
identitas Katya yang sesungguhnya secara tidak sengaja sempat membuat Sebastian
shock, tapi baiknya ia bisa dengan cepat menerima hal itu. Begitu pula dengan
Katya, ia bisa menerima dengan baik pula ketika mengetahui siapa identitas
Sebastian yang sebenarnya.
Namun,
di saat benih-benih cinta mulai tersemai di antara hati keduanya, kenyamanan
pun mulai terjalin ketika mereka bersama, Katya dihadapkan dengan satu
permasalahan besar. Permasalahan yang memungkinan ia akan kehilangan Sebastian,
dan mungkin juga… kehilangan cintanya.
Lantas,
adakah harapan yang dimiliki Katya untuk mendapatkan cinta Sebastian?
Ataukah
mungkin cinta itu turut larut terbawa permasalahan?
***
“Beribadah
itu mengingatkan bahwa aku cuma manusia biasa yang punya banyak kelemahan. Aku
tidak bisa melakukan apa pun tanpa izin-Nya. Kesuksesan itu tidak datang dari
kerja keras belaka. Andil Tuhan jauh lebih besar, cuma manusia kadang
mengabaikannya.”
Hlm.
130 – 131
Indah
Hanaco merupakan salah satu penulis yang karyanya selalu mengundang rasa
penasaranku. Alasan terbesarnya adalah karena penulis yang satu ini terkenal
sangat produktif dalam mencetak karya di bidang sastra. Jika ditanya soal jam
terbang, mungkin memang sudah tidak diragukan lagi, puluhan buku yang sudah
ditulis Kak Indah membuatku yakin akan kualitas menulis yang dimilikinya. Pernyataan
tersebut bisa kita lihat lewat salah satu bukunya yang berjudul Love in
Edinburgh ini. Buku dengan tampilan pinky-nya yang manis ini merupakan salah
satu buku yang termasuk ke dalam seri Around
The World With Love batch 1. Lantas, apakah cerita dalam buku ini juga akan
semanis sampulnya? Let’s see!
Buang
jauh-jauh dulu bayanganmu tentang kisah cinta yang ada dalam buku ini, ada hal
yang lebih menarik yang bisa kita dapatkan. Pertama, alangkah beruntungnya jika
kamu adalah seorang pengagum daratan Edinburgh. Karena lewat buku ini, Kak
Indah Hanaco akan membawa kita menelusuri setiap sudut kota yang identik dengan
bangunan kastelnya ini. Segala tempat, latar, dan suasana tergambarkan dengan cukup
baik lewat tangan si penulis. Narasinya
yang juga cukup informatif menjadi alternatif tersendiri bagi pembaca untuk
memahami apa saja tentang Kota Seribu Kastel ini. Kemungkinan kita akan kecewa
dengan latar yang diangkat penulis sangatlah kecil, karena Edinburgh
benar-benar dikemas semanis mungkin dengan ikut memunculkan beragam sikap
toleran pada setiap warganya.
Berbicara
mengenai ceritanya, adalah hal baru dan menarik untukku saat penulis
menyinggung permasalahan mengenai islamophobia.
Aku kurang begitu tahu, apakah islamophobia ini bisa dikategorikan ke dalam
gangguan psikologis atau tidak. Yang jelas, phobia yang satu ini, menjadi bahan
obrolan menarik tersendiri di buku ini. Dalam kondisi seperti ini, sebenarnya
kita juga tidak bisa menyalahkan mereka yang cenderung menjadi islamophobia tersebut. Tapi rasanya,
kita yang sebagai orang Islam, seakan merasa tersinggung karena kita berpikir ‘seburuk
itukah agama kita di mata mereka?’ Sisi baiknya, buku ini juga membuatku
tahu tentang apa itu islamophobia.
Selain
memberi sisi informatif mengenai Edinburgh dan islamophobia, lewat buku Indah Hanaco
ini aku juga bisa menambah kosakata baru. Awalnya aku sempat mengira itu adalah
typo, karena aku belum pernah mendengar atau membaca kata itu sekali pun: menghidu. Ya, menghidu. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, menghidu rupanya memiliki arti mencium (bau);
membaui. Sungguh menyenangkan bukan bisa menambah daftar kosakata?
Itulah, selalu ada banyak hal yang bisa kita dapat dari membaca. Oh iya, selain
itu, penulis juga turut memasukkan sedikit unsur kekerasan terhadap pasangan.
Sekilas mengingatkanku dengan Perfect Pain. Dan ternyata memang benar, apa yang
dibahas di kedua buku ini sama. Seperti korban kekerasan yang selalu kembali ke
pasangan mereka meski selalu dianiaya, atau pun si pelaku yang selalu bertindak
plin-plan—menyakit, minta maaf, begitu seterusnya.
Pekerjaan tokohnya
di sini juga tergambarkan dengan sangat baik. Seperti halnya Sebastian yang
digambarkan sebagai pemilik perusahaan parfum ternama. Beberapa adegan kerja
yang turut diselipkan penulis benar-benar menggambarkan seperti apa pekerjaan
yang dilakoni Sebastian. Seperti peracikan aroma parfum, pemilihan nama parfum,
sampai komponen-komponen penting di dalam parfum turut melengkapi buku ini.
Kemudian Katya, di buku ini penulis cukup baik menggambarkan bagaimana ia ikut
kerja serabutan di toko kue, dan yang paling detil adalah tentang kegiatan dia
di badan amal. Salah satu yang memikat menurutku ketika di Solitude. Aku
benar-benar menemukan sosok Katya sebagai perempuan hebat ketika di sana.
Kemudian, sisi
baiknya, buku ini tidak hanya berisi kisah cinta yang flat, yang memiliki akhir
yang mudah ditebak. Pada saat menjelang ending, aku hampir saja dibuat kecewa
karena sudah sepenuhnya yakin kalau ending-nya tidak akan sesuai ekspektasiku. Sebelumnya,
penulis banyak menyisipkan twist dan surprise tak terduga yang membuat jalan
cerita semakin seru untuk diikuti. Begitu pula saat menjelang ending, satu twist
yang hampir saja mematahkan harapanku rupanya salah besar. Kak Indah Hanaco
sudah meracik cerita sedemikian cantiknya. Sehingga saat menutup lembar
terakhir buku ini pun aku tak perlu lagi mengkhawatirkan twist di awal tadi dan
tidak ada yang perlu aku kecewakan. Bahkan, ending ceritanya bisa dibilang
melebihi ekspektasiku.
Selain
cerita cintanya yang manis, buku ini juga menyimpan banyak pelajaran. Beberapa
yang bisa kita ambil dan pelajari:
1.
Sikap toleransi dan menghargai antar umat
beragama. Ada satu part yang membuatku terharu: saat Evelyn memberikan hadiah mukena kepada Katya.
Lihatlah, mereka yang non muslim begitu menghargai keberadaan seorang muslim
yang terbilang sangat minoritas di sana. Coba lihat di negara kita, penduduknya
yang mayoritas muslim saja kadang sikap tolerannya masih kurang. Meski
minoritas, kaum Muslim begitu dihargai dan mendapat tempat di Edinburgh. Dan
lewat itu pula, Katya mulai mendapat kesadaran beragamanya selama ini. Ia
mengubah dirinya menjadi lebih baik lagi. Benar-benar keputusan yang baik,
semoga juga ikut memengaruhinya pembacanya.
2.
Mendorong seseorang untuk memiliki jiwa kemanusiaan.
Lewat perjalanan hidup Katya di We Are Family, Solitude, dan Good Karma, sangat
mengajarkan kita bahwa hidup yang amat singkat ini sangatlah berharga jika kita
dedikasikan demi kebaikan dan kelangsungan hidup orang lain. Memberi makan
kepada orang tunawisma, menyampaikan ilmu kepada generasi muda, dan menolong
mereka yang memiliki masalah atau kesusahan. Semoga suatu saat kita bisa
menjadi Katya-Katya yang selanjutnya.
3.
Jangan menyakiti pasanganmu. Lewat kejadian yang
dialami Katya di masa lalunya, kita bisa belajar tentang mengasihi pasangan.
Betapa pasangan memiliki peranan yang penting bagi kelangsungan hidup kita,
betapa mereka membutuhkan kasih sayang kita, betapa mereka sangat mencintai
kita seburuk atau sekejam apa pun kita. Seharusnya kita sadar, pasangan ada
untuk disayangi, bukan disakiti. Semoga tidak ada lagi Frans-Frangs lain di
bumi ini.
Meski
begitu, buku ini tidak lepas juga dari kesalahan. Terdapat kesalahan penulisan,
yaitu pada halaman 157 pada kalimat:
‘Judy juga mengingatkanku pada beberapa pertemuan penting yang tidak bisa
ditunda.’
Kita
fokus pada kata yang bercetak tebal—mengingatkanku. Pertama, buku ini
menggunakan PoV3. Dan kalimat di atas merupakan bagian dari narasi, bukan
dialog. Lantas, kenapa ada kata ganti –ku? Siapa –ku di sini? Kalau misal dalam
dialog, ya tidak salah. Atau, meski narasi, tapi kalau memakai PoV1, ya
benar-benar saja. Tapi yang ini, ada pada narasi dan memakai PoV3, jadi
bukankah salah? Jika dikoreksi, maka kalimat seharusnya yang benar adalah: ‘Judy juga mengingatkan Sebastian pada
beberapa pertemuan penting yang tidak bisa ditunda.’ I hope like that :D
Nah,
itu tadi adalah review singkat dariku untuk Love in Edinburgh karangan Indah
Hanaco. Jika kalian mencari bacaan menarik, romantis, dengan sentuhan islami, atau
yang ingin mengenal lebih jauh tentang seluk beluk Kota Edinburgh, maka kalian
wajib untuk membaca buku ini. Dijamin, selain bisa mendapat tiga keuntungan
tadi, kalian juga akan mendapat pelajaran berharga.
4
Jempol untuk si Juragan Minyak Wangi…
Terima
kasih!
***
“Jadi,
kalian tidak perlu cemas kalau aku akan mencelakainya. Aku bukan si antagonis.
Meski aku tidak tahu seperti apa nantinya, aku cuma ingin Kat bahagia.”
-Sebastian-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar