Judul : Psycho-love
Penulis : Syafrina Siregar
Tahun terbit : 2007
Tebal : 224 hlm
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Kategori : Novel Metropop
ISBN : 9789792228793 |
Blurb:
Amira
Januari—psikolog muda terkenal—memiliki klinik yang selalu ramai, klien yang banyak,
talkshow di radio dengan ratting tinggi, dan mengasuh rubrik konsultasi di
koran nasional. Masa depan yang cerah berada di genggamannya.
Hanya
ada satu hal. Mira fobia pada publikasi dan pernikahan. Bahkan terhadap Ardi,
pengusaha sukses di usia tiga puluhan.
Hingga
suatu hari, sebuah peristiwa menempatkan Mira sebagai pesakitan. Publikasi yang
berlebihan menghancurkan masa depannya, karier, hidup, dan nama baiknya.
Satu-satunya
jalan baginya adalah melarikan diri…
***
“Berantem
kan bumbu percintaan, Mir. Kau kan psikolog, masa tidak tahu?”
Hlm. 13
“Ingat,
lelaki itu tidak punya hak apa-apa atas dirimu. Yang berhak sepenuhnya adalah
dirimu. Seperti yang selalu saya katakan baik di Koran atau di semua acara
konsultasi, hidup hanya sekali. Maka jalani dan nikmati dengan penuh kehormatan
dan tanggung jawab. Have a responsible and meaningful fun.”
Hlm. 19-20
Amira
Januari, atau yang kerap disapa Mira adalah seorang psikolog ternama di kota.
Ia tergabung dalam sebuah klinik bernama Mitra Bersama bersama kedua teman
psikolog lainnya, Lila dan Kalista. Mira yang sangat tidak acuh terhadap
penampilannya begitu kontras jika dibandingkan dengan Kalista—satu-satunya
psikolog yang sangat fashionable.
Selain tak acuh terhadap penampilan, ada satu hal lain yang perlu kalian
ketahui. Mira phobia dengan yang namanya publikasi. Oleh karena itu, setiap
rubrik khususnya muncul di koran nasional, atau setiap kali ia talkshow di beberapa stasiun radio, ia
lebih memilih untuk menggunakan nama samaran yaitu Psikolog AJ.
Di
satu kesempatan yang tak disengaja, Mira bertemu dengan Ardi. Seorang pengusaha
sukses yang menguasai bisnis perhotelan. Sebenarnya, sosok Ardi sangatlah asing
bagi Mira. Tapi tidak untuk Ardi, saat pertama kali melihat Mira di sebuah
kafe, Ardi merasakan sesuatu yang berbeda. Aneh, kenapa ia bisa begitu
kehilangan saat mengetahui Mira meninggalkan kafe itu? Alhasil, setelah
menyusun rencana dengan Silvi, sahabat Mira yang rupanya juga sepupu dari teman
lama Ardi, pertemuan kedua itu pun terjadi. Bedanya, di pertemuan ini kedua
pihak saling menyadari kehadiran satu sama lain. Kedekatan itu pun berlanjut.
Meski Mira masih teguh dengan sikap cueknya, Ardi justru lebih gencar untuk
mendapatkan hati psikolog-muda-dengan-penampilan-apa-adanya ini.
Hingga
satu insiden yang mengejutkan menghancurkan segalanya. Karir Mira sebagai
psikolog, impiannya sejak dulu, dan reputasi sekaligus nama baik yang sudah ia
bangun dengan susah payah harus hancur dalam sekejap akibat kejadian buruk yang
menimpanya saat seminar. Seminar yang sekaligus menjadi ajang publikasi diri
bagi Mira untuk pertama kalinya itu bisa dibilang gagal total. Beberapa hari
setelahnya, banyak media cetak yang memuat berita Mira dan menjadikannya headline di sampul depan. Dalam hitungan
hari, nama Amira Januari mulai banyak diperbincangkan di segala penjuru kota.
Bukan karena prestasi, melainkan kontroversi.
Insiden
yang meruntuhkan reputasinya tersebut, tidak hanya merusak karir Mira sebagai
psikolog. Namun juga hubungannya dengan Ardi. Terlebih saat Ardi mengetahui
masalah apa yang sebenarnya sedang menimpa Mira. Satu fakta mengejutkan yang
rupanya membuat Ardi berpikir ulang untuk mendekati Mira. Bahkan, mungkin ia
tak akan lagi berkomunikasi dengan psikolog muda itu.
Lantas,
insiden apakah yang sebenarnya terjadi?
Dan,
apakah benang merah yang menjadi penyebab dari semua permasalahan ini?
***
“Jika
perceraian lebih menjamin kesehatan mental yang lebih baik bagi kedua pihak,
kenapa tidak? Dari pada memaksakan perkawinan yang kerap dibumbui pertengkaran
dan perdebatan yang pada akhirnya menguras ketahanan fisik, mental, dan emosi
semua pihak yang terlibat.”
Hlm. 72
Psycho-love
adalah sebuah novel metropop ‘lama’ yang ditulis oleh Syafrina Siregar—salah
satu penulis yang namanya masih asing bagiku. Pertama kali terbit tahun 2007
tidak menjadi problem tersendiri untukku saat akan membaca buku ini. Selagi
masih bisa dibaca, halamannya masih utuh, kenapa tidak? Well, buku ini aku
dapatkan secara nggak sengaja waktu kemarin ngubek isi rak buku kakak. Karena
suka sama cover dan judul yang diberikan, aku comot aja deh novel ini, hehe.
Dan ternyata, isinya tidak terlalu buruklah. Yah, meski ada beberapa
ketidakpuasan yang aku rasakan sih. Ok, langsung saja ya. Pertama, aku ingin
bahas kelemahan atau kekurangan dari buku ini dulu deh.
Kelemahan
yang pertama. Dalam cerita ini, disebutkan bahwa Ayu sangat optimis sekali
untuk menggugat cerai Putra, suaminya. Intinya, dia ini nggak tahan dengan
sikap Putra yang tidak memberinya kebebasan. Pokoknya gini, Ayu udah ngotot
banget untuk pisah dengan suaminya ini. Tapi yang aku bingungkan, kenapa saat
masuk pertengahan buku, Ayu ini tiba-tiba berubah pikiran untuk nggak mau
cerai? Justru malah Putra yang ganti ngotot minta cerai, padahal dia sebelumnya
nangis-nangis nggak mau cerai. Hmm membingungkan ya? Kesalahannya adalah
penulis tidak terlalu menjabarkan dengan logis kenapa kedua tokoh ini bisa
berubah pikiran sedemikian rupa. Mengingat di awal, Putra dan Ayu ini sangat
optimis dengan keputusan masing-masing. Jadi terkesan kurang logis dan aneh aja
gitu. Lebih tepatnya, kurang didukung alasan yang jelas.
Kedua.
Chemistry yang coba dibangun penulis antara Mira dan Ardi terbilang lemah. Aku
merasa kisah cinta kedua tokoh ini malah sebagai tempelan saja, hanya sekilas,
yang penting lewat. Padahal, Mira tokoh utama di buku ini. Aku rasa, penulis di
sini lebih fokus dengan konflik Mira di dunia kerjanya deh. Maybe, akan lebih
baik jika penulis menambahkan beberapa adegan yang banyak melibatkan Mira-Ardi dalam suasana yang romantis, menjabarkan
konflik hati mereka masing-masing, seperti apa perasaan satu sama lain, atau
melalui gesture dan gerak tubuh tokoh saat mereka dipertemukan dalam satu
adegan. Pokoknya ada banyak cara deh buat menguatkan chemistry kedua tokoh ini.
Adegan ciuman? Ada sih, tapi nggak berpengaruh juga menurutku terhadap
chemistry mereka. Sayang banget loh.
Ketiga.
Lagi-lagi masalah Ayu. Adalah saat Ayu melabrak Mira di acara seminar. Di situ,
sangat dijelaskan sekali bahwa Ayu frustasi, marah, dan kesal terhadap Mira.
Tapi cara penulis menyelesaikan konflik ini terbilang kurang memuaskan dan ‘kok semudah itu sih?’. Aku tidak habis
pikir, Ayu yang sangat teguh dalam keputusannya, optimis, malah kembali
mengulang kesalahan yang sama, yaitu perubahan pola pikirnya yang terbilang
mendadak dan kurang logis. Seperti masalah nomor satu tadi. Aneh aja waktu aku
tahu Ayu mau memaafkan Mira ‘hanya dengan cara seperti itu’. Aku pikir, tidak
semudah itu lo menyelesaikan konflik yang terbilang cukup rumit ini. Salah satu
jalan keluarnya, sebenarnya penulis bisa bercerita dengan menggunakan sudut
pandang Ayu. Menjelaskan seperti apa perasaannya, bagaimana pola pikirnya dalam
mengambil keputusan, dan menjelaskan setiap perubahan yang dialaminya. Terutama
dalam hal pola pikir tadi. Dengan begitu, setidaknya pembaca tidak merasa
bingung dengan tingkah laku Ayu yang terbilang mendadak dan tak beralasan tadi.
Jika semua memiliki alasan yang jelas, maka pembaca pun bisa dengan mudah
memahaminya.
Keempat.
Aku merasa tidak ada kejelasan hubungan antara Ayu dan Putra. Jadi, mereka
akhirnya cerai atau tetap bertahan? No
one knows. Kayaknya bener tadi deh, lebih baik penulis tidak hanya fokus ke
Mira aja. Tapi juga Putra dan Ayu, Mengingat, mereka di sini juga banyak ambil
peran dalam menjalankan cerita. Sebaiknya, cerita Putra dan Ayu ini dibuat
khusus dengan menggunakan PoV sendiri. Bukan maksudku agar penulis membuatkan
buku sendiri loh ya, tapi bisa diantisipasi dengan menggunakan PoV1 dari kedua
tokoh kok. Se-simple itu sebenarnya.
Ok,
setelah kelemahan, kita bahas kelebihannya ya. Pertama, aku suka banget dengan
pemilihan profesi tokoh utamanya—psikolog. Pertama kalinya loh aku baca novel
yang profesi tokohnya psikolog. Cukup menambah wawasan, terutama tentang cara
kerja seorang psikolog. Bagaimana cara mereka membantu klien dalam
menyelesaikan masalah, menjadi seorang psikolog sekaligus konsultan yang baik
untuk para klien-nya, bahkan sampai tentang kegelisahan mereka terhadap profesi
yang mereka jalani tersebut. Seperti halnya kegelisahan mereka dalam menghadapi
kontroversi di masyarakat saat tanggapan/solusi dari seorang psikolog tersebut
dipublikasikan. Aku benar-benar dibuat masuk ke dalam dunia seorang psikolog.
Kelebihan
yang kedua. Novel ini berhasil mengajarkan kepada kita untuk bangkit dari
keterpurukan. Contohnya, saat karir Mira sudah hancur dan reputasinya sebagai
seorang psikolog sudah tak dapat lagi diharapkan, ia justru kembali bangkit
dengan membuka klinik sendiri dan aktif lagi menjadi seorang psikolog meski
masih banyak orang yang belum menaruh kepercayaan padanya. Dan di balik setiap
masalah yang dihadapinya, Mira berhasil menyadarkan kita bahwa masih ada jalan
yang bisa membawa kita keluar dari keterpurukan. Secara tidak langsung ini juga
memberi pacuan/semangat kepada kita yang memiliki masalah serupa. Dengan itu,
setidaknya kita jadi memiliki niat untuk memperbaiki diri.
Ketiga.
Gaya bercerita penulis sangat ringan dan mudah dimengerti. Meski mengajak
pembaca untuk masuk ke dunia psikolog yang notabene masih asing bagi banyak
orang, tapi rupanya tidak serumit itu. Semua berhasil dikemas penulis secara
baik, tanpa masalah berarti yang mungkin akan membuat kening kita berkerut.
Tenang, Psycho-love bukan tipe cerita yang seperti itu kok. Oya, selain itu aku juga suka dengan
persahabatan antara Mira-Lila-Kalista-Debbie dan Silvi. Ngena banget sikap
mereka yang saling respect satu sama lain.
Nah
temans, itu tadi adalah review singkatku untuk buku Psycho-love karangan
Syafrina Siregar. Jika kamu mencari bahan bacaan yang ringan, konflik yang
tidak begitu rumit, dan mudah dipahami, coba baca Psycho-love.
Terima
kasih!
***
“Tapi
siapa yang tidak akan terguncang jika hasil kerja keras kita bertahun-tahun
hancur dalam sekejap hanya karena sebuah tuduhan di depan publik. Tapia da
hikmahnya, Putra. Menjaga imej dan nama baik ternyata seribu kali lebih susah
dibanding mencari sesuap nasi. Sekali saja tercoreng, takkan pernah cukup waktu
untuk memulihkannya lagi.”
Hlm.
197
covernya cantik banget.. bikin penasaran :D
BalasHapuswah terbit tahun 2007 ya? hm.. masih bisa nemu buku ini ngga ya? :/
Mending ke tokbuku online yang jual buku2 second aja kak, kemungkinan masih ada. Kalau ke gramed, ngga yakin deh kalo masih available, uda 9 tahunan loh buku ini, hehe.
Hapus