Selasa, 02 Agustus 2016

[Book Review] Psycho Love - Syafrina Siregar



Judul : Psycho-love
Penulis : Syafrina Siregar
Tahun terbit : 2007
Tebal : 224 hlm
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Kategori : Novel Metropop
ISBN : 9789792228793 


Blurb:

Amira Januari—psikolog muda terkenal—memiliki klinik yang selalu ramai, klien yang banyak, talkshow di radio dengan ratting tinggi, dan mengasuh rubrik konsultasi di koran nasional. Masa depan yang cerah berada di genggamannya.

Hanya ada satu hal. Mira fobia pada publikasi dan pernikahan. Bahkan terhadap Ardi, pengusaha sukses di usia tiga puluhan.

Hingga suatu hari, sebuah peristiwa menempatkan Mira sebagai pesakitan. Publikasi yang berlebihan menghancurkan masa depannya, karier, hidup, dan nama baiknya.
Satu-satunya jalan baginya adalah melarikan diri…

***

“Berantem kan bumbu percintaan, Mir. Kau kan psikolog, masa tidak tahu?”
Hlm. 13

“Ingat, lelaki itu tidak punya hak apa-apa atas dirimu. Yang berhak sepenuhnya adalah dirimu. Seperti yang selalu saya katakan baik di Koran atau di semua acara konsultasi, hidup hanya sekali. Maka jalani dan nikmati dengan penuh kehormatan dan tanggung jawab. Have a responsible and meaningful fun.”
Hlm. 19-20

Amira Januari, atau yang kerap disapa Mira adalah seorang psikolog ternama di kota. Ia tergabung dalam sebuah klinik bernama Mitra Bersama bersama kedua teman psikolog lainnya, Lila dan Kalista. Mira yang sangat tidak acuh terhadap penampilannya begitu kontras jika dibandingkan dengan Kalista—satu-satunya psikolog yang sangat fashionable. Selain tak acuh terhadap penampilan, ada satu hal lain yang perlu kalian ketahui. Mira phobia dengan yang namanya publikasi. Oleh karena itu, setiap rubrik khususnya muncul di koran nasional, atau setiap kali ia talkshow di beberapa stasiun radio, ia lebih memilih untuk menggunakan nama samaran yaitu Psikolog AJ.

Di satu kesempatan yang tak disengaja, Mira bertemu dengan Ardi. Seorang pengusaha sukses yang menguasai bisnis perhotelan. Sebenarnya, sosok Ardi sangatlah asing bagi Mira. Tapi tidak untuk Ardi, saat pertama kali melihat Mira di sebuah kafe, Ardi merasakan sesuatu yang berbeda. Aneh, kenapa ia bisa begitu kehilangan saat mengetahui Mira meninggalkan kafe itu? Alhasil, setelah menyusun rencana dengan Silvi, sahabat Mira yang rupanya juga sepupu dari teman lama Ardi, pertemuan kedua itu pun terjadi. Bedanya, di pertemuan ini kedua pihak saling menyadari kehadiran satu sama lain. Kedekatan itu pun berlanjut. Meski Mira masih teguh dengan sikap cueknya, Ardi justru lebih gencar untuk mendapatkan hati psikolog-muda-dengan-penampilan-apa-adanya ini.

Hingga satu insiden yang mengejutkan menghancurkan segalanya. Karir Mira sebagai psikolog, impiannya sejak dulu, dan reputasi sekaligus nama baik yang sudah ia bangun dengan susah payah harus hancur dalam sekejap akibat kejadian buruk yang menimpanya saat seminar. Seminar yang sekaligus menjadi ajang publikasi diri bagi Mira untuk pertama kalinya itu bisa dibilang gagal total. Beberapa hari setelahnya, banyak media cetak yang memuat berita Mira dan menjadikannya headline di sampul depan. Dalam hitungan hari, nama Amira Januari mulai banyak diperbincangkan di segala penjuru kota. Bukan karena prestasi, melainkan kontroversi.

Insiden yang meruntuhkan reputasinya tersebut, tidak hanya merusak karir Mira sebagai psikolog. Namun juga hubungannya dengan Ardi. Terlebih saat Ardi mengetahui masalah apa yang sebenarnya sedang menimpa Mira. Satu fakta mengejutkan yang rupanya membuat Ardi berpikir ulang untuk mendekati Mira. Bahkan, mungkin ia tak akan lagi berkomunikasi dengan psikolog muda itu.

Lantas, insiden apakah yang sebenarnya terjadi?

Dan, apakah benang merah yang menjadi penyebab dari semua permasalahan ini?

***

“Jika perceraian lebih menjamin kesehatan mental yang lebih baik bagi kedua pihak, kenapa tidak? Dari pada memaksakan perkawinan yang kerap dibumbui pertengkaran dan perdebatan yang pada akhirnya menguras ketahanan fisik, mental, dan emosi semua pihak yang terlibat.”
Hlm. 72

Psycho-love adalah sebuah novel metropop ‘lama’ yang ditulis oleh Syafrina Siregar—salah satu penulis yang namanya masih asing bagiku. Pertama kali terbit tahun 2007 tidak menjadi problem tersendiri untukku saat akan membaca buku ini. Selagi masih bisa dibaca, halamannya masih utuh, kenapa tidak? Well, buku ini aku dapatkan secara nggak sengaja waktu kemarin ngubek isi rak buku kakak. Karena suka sama cover dan judul yang diberikan, aku comot aja deh novel ini, hehe. Dan ternyata, isinya tidak terlalu buruklah. Yah, meski ada beberapa ketidakpuasan yang aku rasakan sih. Ok, langsung saja ya. Pertama, aku ingin bahas kelemahan atau kekurangan dari buku ini dulu deh. 

Kelemahan yang pertama. Dalam cerita ini, disebutkan bahwa Ayu sangat optimis sekali untuk menggugat cerai Putra, suaminya. Intinya, dia ini nggak tahan dengan sikap Putra yang tidak memberinya kebebasan. Pokoknya gini, Ayu udah ngotot banget untuk pisah dengan suaminya ini. Tapi yang aku bingungkan, kenapa saat masuk pertengahan buku, Ayu ini tiba-tiba berubah pikiran untuk nggak mau cerai? Justru malah Putra yang ganti ngotot minta cerai, padahal dia sebelumnya nangis-nangis nggak mau cerai. Hmm membingungkan ya? Kesalahannya adalah penulis tidak terlalu menjabarkan dengan logis kenapa kedua tokoh ini bisa berubah pikiran sedemikian rupa. Mengingat di awal, Putra dan Ayu ini sangat optimis dengan keputusan masing-masing. Jadi terkesan kurang logis dan aneh aja gitu. Lebih tepatnya, kurang didukung alasan yang jelas.

Kedua. Chemistry yang coba dibangun penulis antara Mira dan Ardi terbilang lemah. Aku merasa kisah cinta kedua tokoh ini malah sebagai tempelan saja, hanya sekilas, yang penting lewat. Padahal, Mira tokoh utama di buku ini. Aku rasa, penulis di sini lebih fokus dengan konflik Mira di dunia kerjanya deh. Maybe, akan lebih baik jika penulis menambahkan beberapa adegan yang banyak melibatkan Mira-Ardi  dalam suasana yang romantis, menjabarkan konflik hati mereka masing-masing, seperti apa perasaan satu sama lain, atau melalui gesture dan gerak tubuh tokoh saat mereka dipertemukan dalam satu adegan. Pokoknya ada banyak cara deh buat menguatkan chemistry kedua tokoh ini. Adegan ciuman? Ada sih, tapi nggak berpengaruh juga menurutku terhadap chemistry mereka. Sayang banget loh.

Ketiga. Lagi-lagi masalah Ayu. Adalah saat Ayu melabrak Mira di acara seminar. Di situ, sangat dijelaskan sekali bahwa Ayu frustasi, marah, dan kesal terhadap Mira. Tapi cara penulis menyelesaikan konflik ini terbilang kurang memuaskan dan ‘kok semudah itu sih?’. Aku tidak habis pikir, Ayu yang sangat teguh dalam keputusannya, optimis, malah kembali mengulang kesalahan yang sama, yaitu perubahan pola pikirnya yang terbilang mendadak dan kurang logis. Seperti masalah nomor satu tadi. Aneh aja waktu aku tahu Ayu mau memaafkan Mira ‘hanya dengan cara seperti itu’. Aku pikir, tidak semudah itu lo menyelesaikan konflik yang terbilang cukup rumit ini. Salah satu jalan keluarnya, sebenarnya penulis bisa bercerita dengan menggunakan sudut pandang Ayu. Menjelaskan seperti apa perasaannya, bagaimana pola pikirnya dalam mengambil keputusan, dan menjelaskan setiap perubahan yang dialaminya. Terutama dalam hal pola pikir tadi. Dengan begitu, setidaknya pembaca tidak merasa bingung dengan tingkah laku Ayu yang terbilang mendadak dan tak beralasan tadi. Jika semua memiliki alasan yang jelas, maka pembaca pun bisa dengan mudah memahaminya.

Keempat. Aku merasa tidak ada kejelasan hubungan antara Ayu dan Putra. Jadi, mereka akhirnya cerai atau tetap bertahan? No one knows. Kayaknya bener tadi deh, lebih baik penulis tidak hanya fokus ke Mira aja. Tapi juga Putra dan Ayu, Mengingat, mereka di sini juga banyak ambil peran dalam menjalankan cerita. Sebaiknya, cerita Putra dan Ayu ini dibuat khusus dengan menggunakan PoV sendiri. Bukan maksudku agar penulis membuatkan buku sendiri loh ya, tapi bisa diantisipasi dengan menggunakan PoV1 dari kedua tokoh kok. Se-simple itu sebenarnya.

Ok, setelah kelemahan, kita bahas kelebihannya ya. Pertama, aku suka banget dengan pemilihan profesi tokoh utamanya—psikolog. Pertama kalinya loh aku baca novel yang profesi tokohnya psikolog. Cukup menambah wawasan, terutama tentang cara kerja seorang psikolog. Bagaimana cara mereka membantu klien dalam menyelesaikan masalah, menjadi seorang psikolog sekaligus konsultan yang baik untuk para klien-nya, bahkan sampai tentang kegelisahan mereka terhadap profesi yang mereka jalani tersebut. Seperti halnya kegelisahan mereka dalam menghadapi kontroversi di masyarakat saat tanggapan/solusi dari seorang psikolog tersebut dipublikasikan. Aku benar-benar dibuat masuk ke dalam dunia seorang psikolog.

Kelebihan yang kedua. Novel ini berhasil mengajarkan kepada kita untuk bangkit dari keterpurukan. Contohnya, saat karir Mira sudah hancur dan reputasinya sebagai seorang psikolog sudah tak dapat lagi diharapkan, ia justru kembali bangkit dengan membuka klinik sendiri dan aktif lagi menjadi seorang psikolog meski masih banyak orang yang belum menaruh kepercayaan padanya. Dan di balik setiap masalah yang dihadapinya, Mira berhasil menyadarkan kita bahwa masih ada jalan yang bisa membawa kita keluar dari keterpurukan. Secara tidak langsung ini juga memberi pacuan/semangat kepada kita yang memiliki masalah serupa. Dengan itu, setidaknya kita jadi memiliki niat untuk memperbaiki diri.

Ketiga. Gaya bercerita penulis sangat ringan dan mudah dimengerti. Meski mengajak pembaca untuk masuk ke dunia psikolog yang notabene masih asing bagi banyak orang, tapi rupanya tidak serumit itu. Semua berhasil dikemas penulis secara baik, tanpa masalah berarti yang mungkin akan membuat kening kita berkerut. Tenang, Psycho-love bukan tipe cerita yang seperti itu kok.  Oya, selain itu aku juga suka dengan persahabatan antara Mira-Lila-Kalista-Debbie dan Silvi. Ngena banget sikap mereka yang saling respect satu sama lain.

Nah temans, itu tadi adalah review singkatku untuk buku Psycho-love karangan Syafrina Siregar. Jika kamu mencari bahan bacaan yang ringan, konflik yang tidak begitu rumit, dan mudah dipahami, coba baca Psycho-love.

Terima kasih!

***

“Tapi siapa yang tidak akan terguncang jika hasil kerja keras kita bertahun-tahun hancur dalam sekejap hanya karena sebuah tuduhan di depan publik. Tapia da hikmahnya, Putra. Menjaga imej dan nama baik ternyata seribu kali lebih susah dibanding mencari sesuap nasi. Sekali saja tercoreng, takkan pernah cukup waktu untuk memulihkannya lagi.”

Hlm. 197

2 komentar:

  1. covernya cantik banget.. bikin penasaran :D
    wah terbit tahun 2007 ya? hm.. masih bisa nemu buku ini ngga ya? :/

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mending ke tokbuku online yang jual buku2 second aja kak, kemungkinan masih ada. Kalau ke gramed, ngga yakin deh kalo masih available, uda 9 tahunan loh buku ini, hehe.

      Hapus