Judul : Serpihan Serpihan Hati
Penulis : Vara Tianka
Tahun terbit : 2007
Tebal : 247 hlm
Penerbit : Castle Books
Kategori : Novel
ISBN : 979989258 – 9 |
Blurb:
Aku
tidak tahu…
Berapa
banyak waktu yang kupakai untuk menceritakan kisah ini pada kalian.
Aku
tidak tahu…
Sederas
apa airmataku saat menorehkan penaku untuk menulis kisah ini.
Yang
pasti…
Sampai
saat ini aku masih sendiri. Sama seperti sembilan tahun yang lalu. Hanya aku
dan sepiku.
Sunyi…
Kosong…
Sendiri…
***
Adalah
sebuah ketidaksengajaan saat aku menemukan buku ini. Satu dari sekian buku yang
berhasil aku comot dari isi rak buku kakak (gue ngomong ini udah berapa kali,
ya?) Awal mula tertarik dengan buku ini cuma karena covernya aja sih, terkesan
misterius dan aku yakin sekali ceritanya memiliki sangkut paut dengan masa
lalu. Dan ternyata benar, lebih tepatnya adalah kisah tentang Adelia yang
tengah mencari tahu tentang kebenaran masa lalunya. Secara ide cerita mau pun
premis yang diangkat, sebenarnya cukup menarik. Tapi aku rasa, di buku ini penulis
tidak begitu bisa memainkan ide cerita tersebut dan membuatnya menjadi sebuah
konflik menarik yang seru untuk diselami. Aku merasa, gaya penulisan Vara
Tianka di sini pun masih terkesan biasa, datar, dan mudah ditebak. Cenderung
pasaran rasanya.
Kemudian,
pada Bab 1 dan Bab 2, aku rasa penulis salah menulis tanggal deh.
Kronologisnya, di Bab 1 (tertera 5 Mei 1995) bercerita tentang kecelakaan Adel
dalam kegiatan cheerleader-nya, dan ia pingsan selama dua hari (hal ini
dijelaskan kemudian di Bab 2). Dan, di Bab 2 bercerita tentang Adel yang baru
sadar dari pingsannya dan ia berada di rumah sakit. Serta, di bab ini pula
dijelaskan bahwa Adel sudah pingsan dalam waktu DUA HARI. Tapi, kenapa di Bab
ini justru tertera tanggal 21 Mei? Aneh banget nggak sih? Kalau pingsannya
tanggal 5 Mei, dan baru bangun dua hari setelahnya, maka tanggal yang betul
untuk Bab 2 ya 7 Mei kan? Masa iya pingsan gitu aja hampir dua minggu?
Kemudian, dalam buku ini penulis mengambil Kota Jogja sebagai latar tempatnya.
Saran dariku, alangkah lebih baik jika ke-lokalitas-an Jogja ini dieksplor
lebih jauh lagi. Rasanya percuma deh kalau mengambil latar Jogja tapi nggak
mendeskripsikannya lebih jauh? Kan ada banyak destinasi menarik, mau pun
arsitektur sejarah yang pastinya akan menjadi poin plus tersendiri untuk novel
ini.
Lalu,
aku agak merasa aneh deh dengan awal cerita bagaimana Ade dan Mas Noel bisa
jatuh cinta sedemikin rupa. Hanya mendengarAde main biola dan bertemu beberapa
kali dalam latihan teater bisa jatuh cinta kayak gitu? Duh, chemistry-nya perlu
di pertajam lagi sih menurutku. Yang jelas kisah cinta Ade dan Mas Noel tidak
bisa menjadi magnet untuk novel ini. Selain itu, aku pribadi juga tidak
merasakan kedekatan atau ikatan sedikit pun sama beberapa tokohnya. Seolah
penulis bercerita sendiri tanpa mengajak pembaca untuk ikut berimajinasi dan
masuk ke dalam cerita. Yang paling parah, banyak banget tokoh di awal yang
terbuang nggak tau kemana. Seperti teman cheerleader Adel yang tersingkir gitu
aja. Kebanyakan tokoh sih, jadi ya bingung mau naruh mereka di cerita bagian
mana lagi.
Satu
lagi, aku pengin tanya: tokoh Bimo di sini sebagai siapa ya? Ok, penulis memang
menjelaskan bahwa Mas-Mas yang satu ini ikut satu rumah di rumah Eyang Kakung,
tapi kesalahan penulis adalah: tidak menjelaskan sebagai siapakah Mas Bimo ini
dalam keluarga Eyang. Apakah ponakan, cucu, anak temen? Tau deh. Aneh aja, dia
kayak orang asing yang tiba-tiba minta satu rumah sama orang nggak dikenal.
Ok,
itu tadi adalah review kritis dariku untuk buku Serpihan Serpihan Hati. Semoga
untuk ke depannya, penulis bisa lebih berkembang lagi.
Terima
kasih!
***
“Segala
sesuatu itu ada waktunya, ‘De. Kalau memang ini sebuah kenyataan yang harus
kamu hadapi dan memang sekarang waktunya, kamu tidak bisa menolak. Waktu kita
itu tidak sama dengan waktunya Tuhan.”
Hlm.
88
Tidak ada komentar:
Posting Komentar