Judul : Metafora Padma
Penulis : Bernard Batubara
Tahun terbit : 2016
Tebal : 168 hlm
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Kategori : Kumpulan Cerpen
ISBN : 078 – 602 – 03 – 3297 – 0Bisa dibeli di: bukupedia.com |
Blurb:
“KAMU HARUS TAHU, HARUMI SAYANG. PADA
ZAMAN KETIKA KEKERASAN BEGITU MUDAH DILAKUKAN, HAL TERBURUK YANG BISA DIMILIKI
SESEORANG ADALAH IDENTITAS.”
***
“Bukankah
manusia yang baik adalah manusia yang belajar dari sejarah, terutama yang
paling penuh luka?”
Perkenalan – Bernard Batubara
“Penyelam
andal akan berkelana dari satu laut ke laut lain. Tapi seseorang yang jatuh
cinta akan selalu kembali ke laut yang sama.”
Hanya Pantai yang Mengerti – Bernard Batubara
Saat kita
mulai memutuskan untuk membaca Metafora Padma, itu sama artinya kita siap untuk
ikut tenggelam ke dalam buaian kata-kata manis Bernard Batubara. Seperti yang
sudah kita ketahui sebelumnya, seorang pujangga muda ini berhasil memikat
perhatian pembaca dari berbagai kalangan dengan kemampuannya dalam merajut kata
yang sangat luar biasa. Tiga hal
yang selalu membuatku suka dengan tulisan dari Bernard Batubara: cara
penyampaian cerita, gaya bahasa, dan pesan yang coba ingin disampaikan. Entah
itu di buku kumpulan cerpen Jatuh Cinta Adalah… maupun novel Jika Aku Milikmu.
Dua buku tulisannya yang sama-sama sudah aku baca. Namun, jika disuruh memilih
dengan buku kumpulan cerpen Bernard Batubara lainnya, yakni Jatuh Cinta Adalah…
jujur aku lebih bisa menguasai dan mampu dengan mudah mengambil intisari dari
buku yang ini, Metafora Padma. Pemahaman yang bagiku cukup mudah ini dikarenakan
tema yang diangkat cukup sederhana, meski di beberapa cerita juga terdapat
konflik yang cukup pelik, dan pesan apa yang coba ingin disampaikan pengarang
pada setiap cerita, begitu mudah disaring.
Sama
halnya dengan apa yang ada di buku Metafora Padma ini, aku kembali membuktikan tiga hal yang tadi telah sempat aku
singgung. PERTAMA, Bernard Batubara
memiliki cara penyampaian cerita yang tak biasa. Tidak hanya bisa dilihat dari
segi diksi atau pemilihan kata yang menakjubkan, melainkan juga dari segi narrator
(si pencerita) yang digunakan. Jika dalam kebanyakan buku, penulis memilih
menggunakan tokoh utama (manusia) sebagai pencerita, beda halnya dengan Bernard
Batubara. Lewat kemahiran yang dimilikinya, Bernard Batubara berhasil
menyampaikan cerita bahkan lewat benda tak bernyawa sekali pun. Dalam kumpulan
cerpen Metafora Padma ini, kita bisa menemukan hal tersebut pada beberapa bab
seperti Perkenalan—yang mana narrator
dalam cerita ini merupakan tokoh ‘aku’ yang tak lain adalah sesosok arwah perempuan
yang bertutur kisah secara langsung dengan meminjam tubuh salah seorang manusia.
Lewat Bab Perkenalan, Bernard Batubara
mengusung tema revolusioner yang sangat kental dengan segala bentuk pertumpahan
darah di dalamnya. Beberapa cerita serupa juga bisa kita dapatkan di bab lain
seperti Demarkasi, Rumah, Obat Generik,
Sepenggal Dongeng Bulan Merah dan
lain-lain. Tak lepas pula dihiasi oleh beberapa atribut kisah revolusioner
lainnya seperti perebuatan kekuasaan, batas wilayah, hingga perang, kerusuhan
dan pembunuhan massal.
Kita
kembali ke permasalahan sebelumnya, mengenai cara penyampaian cerita yang unik.
Hal tersebut juga terdapat pada bab Rumah.
Sedikit cerita, bab ini mengisahkan bagaimana cara yang seharusnya seseorang
lakukan dalam menyikapi masa lalu, bukan dengan menghindari, juga bukan dengan
hidup di dalamnya, tapi adalah berdamai dengannya, dan memperbaiki segala
kekacauan yang pernah terjadi di dalamnya. Sama seperti judulnya, bab Rumah diceritakan langsung lewat sudut
pandang sebuah rumah yang telah lama merekam memori, entah itu manis atau pun pahit
dari para pemiliknya yang datang silih berganti. Hal serupa juga dapat kita
temui di bab Solilokui Natalia. Bab
yang cukup singkat, sekaligus menjadi cerita terakhir dari kumpulan cerita di
buku ini, menjadikan sebuah Alkitab
sebagai pencerita. Semua kejadian atau gerak gerik setiap tokoh manusia di
sana, disampaikan secara langsung lewat indera dan apa yang dirasakan oleh Alkitab
tersebut. Bisa dibilang, aliran
surealis sangat berkembang di ketiga cerita tersebut. Pada bab Solilokui Natalia,
kisah mengenai kebimbangan hati seorang wanita muslimah, keyakinan, dan unsur
religiusnya terkandung kuat sekali. Sama halnya dengan bab Suatu Sore, yang banyak bicara tentang keyakinan. Yah, jika boleh
jujur, aku kurang bisa memahami dari apa yang disampaikan oleh cerita tersebut,
karena memang hal-hal menyangkut agama dan semacamnya masih terlalu berat
bagiku. Tapi yang terpenting, garis besar dari kedua cerita tersebut bisa aku
pahami.
KEDUA, gaya
bahasa yang digunakan pengarang benar-benar memikat dan tak ayal membuat kita
jatuh cinta, atau bahkan ingin membacanya lagi dan lagi. Jika kalian bilang
bahwa setiap cerita di buku ini disampaikan secara indah, itu sudah jelas.
Namun yang lebih berkesan bagiku adalah cerita yang disampaikan tidak hanya
indah, melainkan juga mengandung filosofi yang mendalam. Bernard Batubara membuktikannya
pada bab bertajuk Es Krim. Kisah
pilu tokoh utamanya, dan kehadiran es krim yang mampu mengubah hidupnya ternyata
sama-sama memiliki keterkaitan dan memberi kesan filosofi yang mendalam pada
cerita ini. Coba simak satu kutipan berikut:
“Saat
Anda pikir dunia tidak bisa lebih buruk lagi, tidak ada satu pun hal tersisa
untuk dinikmati, Anda bertemu dengan es krim. Sepahit-pahit dan
sesinis-sinisnya seseorang, ia akan takluk oleh rasa manis setangkup es krim.
Apa pun rasanya, tidak masalah. Untuk sesaat, Anda bisa merasakan kembali
manisnya hidup dan menemukan alasan mengapa Anda dilahirkan. Meskipun, ya, es krim
akan habis menyisakan tangkai, gelas, cone. Anggap saja itu kenangan, residu dari
momen yang indah. Kabar baiknya, Anda
selalu bisa mengambil satu tangkai es krim lagi, satu gelas lagi, atau satu scoop lagi.”
Es Krim – Bernard Batubara
Cukup
panjang memang, tapi itulah satu dari sekian bagian yang memperkuat filosofi es
krim pada bab ini. Aku suka dengan kejeniusan penulis yang mampu menyulap
cerita sederhana menjadi luar biasa. Terlebih cerita tersebut memiliki kesan
filosofis. Selain itu, cerita lain yang tak kalah filosofis juga terdapat pada
bab Metafora Padma. Bunga
lotus/teratai/padma, menjadi bahasan menarik di cerita ini. Dengan menggunakan
tokoh utama yang bernama Padma pula, pengarang mulai menjelaskan tentang filosofi
yang luar biasa dari nama Padma tersebut. Sebenarnya ingin sekali menulis satu
kutipan pada bab Metafora Padma yang
merupakan bagian dari filosofi tersebut dijabarkan, tapi aku rasa cukup satu
filosofi di atas saja. I don’t want to
spoiler!
KETIGA,
setiap cerita memiliki pesan, entah itu tersirat mau pun tersurat yang bersifat
membangun. Bernard Batubara berhasil menyampaikan pesan, yang mungkin juga
sudah lama menjadi unek-uneknya, kepada pembaca agar kami pun turut belajar
akan pesan-pesan tersebut. Satu pesan yang paling berkesan buatku adalah pada
Bab Perkenalan. Ya, aku sangat
setuju dengan pesan yang disampaikan di situ. Bernard Batubara rupanya telah
berhasil pula menjadi aspirasi bagi banyak orang dalam pesan pada bab tersebut.
Hentikanlah perang, kerusuhan yang tidak ada hasilnya kecuali darah. Sedikit
mengutip kalimat favorit dari Maria, dengan sedikit perubahan tentunya: “Buat apa mereka perang? Tidakkah mereka
tahu pada akhirnya semua manusia akan mati?” Isn’t right?
Jika
boleh menambahkan, kumpulan cerita buku ini tidak hanya seputar revolusioner, darah,
perang, mau pun religi. Namun ada juga beberapa bab yang mengusung unsur
romantikisme, atau sesuatu yang manis yang biasa kalian sebut ‘cinta’. Cerita manis tersebut bisa kalian
dapat di beberapa bab seperti Sepenggal
Dongeng Bulan Merah, Hanya Pantai yang Mengerti, dan Percakapan Kala Hujan. Yang paling aku suka tentunya adalah Percakapan Kala Hujan. Karena selain
mengambil suasana kala hujan sebagai latarnya, juga menyimpan kisah manis
bercampur pilu yang begitu menusuk. Ah, aku suka sekali! Bab lain yang aku suka
adalah Kanibal. Sebentar, ini tidak
tergolong bab yang masuk ke dalam jejeran ‘cerita manis’, dari judulnya saja
sudah terlihat bukan? Kanibal adalah
bab di buku ini yang sangat mengedepankan unsur mistikisme, menyeramkan, dan
penuh darah tentunya. Dengan tokoh utamanya yang mungkin juga bisa disebut
kanibal, aku sempat beranggapan bahwa dia mengalami gangguan psikologis yang
membuatnya sedemikian rupa. Tapi terlepas dari itu, aku sangat enjoy sekali dengan cerita ini. Sebagai
seorang pecinta dark stories, Kanibal sangat tidak membuatku
terganggu.
Pembaca
semuanya, jika kamu menginginkan satu bacaan yang membangun, filosofis, sedikit
menegangkan, dan sangat manis tentunya, maka Metafora Padma karangan Bernard Batubara adalah pilihan yang tepat.
Bisa sebagai teman penghibur lara, penyejuk hati, dan peningkat kadar ‘kebaperan’
Anda. Selamat membaca!
Terima
kasih!
***
“Kebenaran
Tuhan terlalu luas untuk dirangkum oleh satu agama saja. Ada secuil kebenaran
di setiap tempat, bahkan di tempat-tempat yang kita kira hanya menampung
kekeliruan.”
Solilokui Natalia – Bernard Batubara
Sebenarnya sempat denger kalau buku ini rada susah dipahami. Tapi setelah baca review ini, kok saya jadi pengen coba baca walaupun aslinya saya kurang suka sama yang namanya kumcer. Hem, kalau sampai saya baca buku Metafora Padma ini, lantaran sebagai variasi bacaan. :) Terima kasih review yang menariknya ya!
BalasHapusBuku ini bagus sekali, Mas. Patut dicoba banget pokoknya. Bernard Batubara bahasanya bagus. Terima kasih kembali :))
HapusSaya juga mereview buku ini, kunjungi blog saya juga yah.
BalasHapusSaya sudah berkunjung ke blog Mas bahkan sebelum Mas komentar di sini, hehe. Kemarin ga sengaja search hastag #metaforapadma dan nemuin link review Mas, langsung dibuka deh. Terima kasih sudah berkunjung :))
HapusBin, guru Bahasa Indonesiamu pasti senang lihat tulisan ini =)) tell him/her about your writing skill ;)
BalasHapusHwwoooaaaa Bu Niss? Jadi maluuu, hehehe. Salah satu dari mereka alhamdulillah udah ada yang tau Bu Niss. Yang belum tau, biarlah tau dengan sendirinya tanpa aku harus koar-koar, hehe.
HapusThankyou, anyway :)