Rabu, 14 Desember 2016

[Book Review] Love in Montreal - Arumi E



Judul : Love in Montreal
Penulis : Arumi E
Tahun terbit : 2016
Cetakan : Pertama
Tebal : 228 hlm 
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Kategori : Novel 
ISBN : 978 – 602 – 03 – 3460 – 8  


Blurb:

Montreal. Di sinilah Maghali Tifana Safri, perancang baju asal Solo yang mulai bersinar namanya, mendapat kesempatan melanjutkan studi. Ujian berupa teror dari sekelompok orang hampir merontokkan sikap toleran Maghali, kalau saja Kai Sangatta Reeves tidak muncul menyelamatkannya. Rupawan, cerdas, berhati emas. Model sekaligus dokter dan relawan. Pesona Kai begitu kuat, tapi Maghali sadar dia tak boleh terlena karena lelaki itu berada di kutub yang berbeda. 

Ujian lain datang dalam bentuk gadis cantik bernama Isabelle. Model pirang yang memeragakan baju-baju rancangan Maghali ini meminta bantuan untuk lari dari jerat cinta sesama dan pemberitaan miring tentang masa lalunya. Seolah belum cukup pelik, Maghali kembali diuji kala Kai yang dirundung duka melabuhkan rasa resah pada dirinya, membuat gadis ini makin sulit memendam rasa. Kesadaran Maghali baru pulih kala melihat Isabelle mendekati Kai. Susah payah hatinya mengakui, keduanya lebih cocok menjadi pasangan karena sama-sama rupawan dan tak ada halangan mengadang. 

Ketika masa tinggalnya di Montreal berakhir, Maghali mengira selesai pula siksaannya menahan rasa pada Kai. Tapi pada satu hari sakral di Tanah Air, Kai tiba-tiba muncul. Akankah terbentang masa depan untuk keduanya, ataukah mereka harus puas dengan sepotong episode penutup?

***

“Apa yang kamu rasakan, aku sarankan jujurlah pada perasaanmu. Hidup terlalu singkat untuk diisi dengan keterpaksaan.”
Hlm. 75


Awalnya, Maghali, atau yang biasa dipanggil Lili, merasa canggung dengan suasana La Mode College. Bagaimana tidak. Coba lihat, dari semua mahasiswi yang terlihat, hanya ia yang  memakai hijab. Keadaan itulah yang awalnya membuat ia tidak nyaman. Tak jarang, ia juga mendapat cibiran dari beberapa mahasiswa lain. Namun keadaan itu seketika berubah ketika ia mengenal Shabrina. Seorang mahasiswi yang juga mengenakan hijab. Bersama Shabrina, Lili berniat ingin mengenalkan model fashion baru, yakni ‘modest wear’. Meski banyak yang mencibir dan meremehkan, namun kedua perempuan ini sama-sama tangguh dan ambisius. Hingga akhirnya ketangguhan itu membuat mereka mendapat berkah tersendiri.

Dalam sebuah Mini Fashion Show yang akan diadakan Miss Prudence di La Mode College, Lili diajak untuk ikut serta memperkenalkan model pakaian rancangannya tersebut. Dari situlah, ia mengenal Kai Sangatta Reeves. Seorang model dengan postur tubuh tegap, tinggi, dan menawan. Dalam acara ini, Kai akan menjadi salah satu model yang memeragakan pakaian rancangan Lili. Bekerja sama dengan model Kai, tentu tidak menutup kemungkinan untuk Lili menjalin hubungan dengannya. Tentunya hanya sebatas rekan kerja. Dan hubungan itulah yang membuat Lili tahu bahwa Kai ada keturunan Indonesia. Tapi sejauh yang Lili tahu, belum genap satu tahun usia Kai saat ia bertolak dari Indonesia dan menetap di Montreal sampai sekarang.

Karena merasa ada kecocokan dengan sama-sama memiliki darah asli Indonesia, maka hubungan Kai dan Lili pun bisa dibilang lancar. Bahkan tak segan-segan, Kai mengajaknya pergi bersama. Kai bilang, ia menyimpan simpati tersendiri karena bisa bertemu dengan orang Indonesia. Namun, apakah alasan itu juga cukup untuk menjawab pertanyaan kenapa Kai sering mengajak Lili ke rumahnya dan mengenalkannya kepada Granny—nenek Kai? Sebuah dugaan pun muncul, yang otomatis membuat keduanya sadar bahwa ada kenyamanan tersendiri saat mereka bersama. Meski masih sama-sama ragu untuk menunjukkannya, tapi kita bisa melihat jelas bahwa… mereka tidak hanya menyimpan perasaan sebagaimana rekan kerja.

Namun Lili sadar, ia hanya menetap sementara di Montreal. Dan ketika satu tahun itu berakhir, ia harus meninggalkan semuanya. La Mode College, wisma penginapannya, dan… Kai. Lelaki itu, hanyalah salah satu figuran dalam perjalanan hidup Lili. Karena setelah ini, ia harus kembali, ke tanah kelahirannya, Indonesia.

Lantas, apakah jarak ribuan mil akan mengakhiri hubungan mereka? Atau justru, semakin mendekatkan mereka untuk kesekian kalinya?

***

“Apakah benar, akhlak baik seseorang tidak bergantung pada agama? Beragama atau tidak, bisa saja berakhlak baik?
Hlm. 102

“Yang penting sekarang adalah kamu, bagaimana perasaanmu sesungguhnya, apa yang kamu inginkan. Apakah kamu berani memperjuangkan apa yang kamu rasakan. Kalau aku, jelas berani.”
Hlm. 223

Aku sebenarnya cukup menyesal.

Kenapa baru membaca buku Kak Arumi dari sekarang? Jika ditilik dari Love in Montreal, sebagai buku pertama dari penulis yang aku baca, jujur, sungguh membuat nyaman sekali. Jika tidak untuk Baca Bareng, yang bacanya mau tidak mau harus bertahap, aku akan menyelesaikan buku ini hanya dalam sehari.

Awalnya, dulu sekali, saat buku ini belum terbit dan belum sampai ke tangan, aku sempat ragu untuk membacanya. Karena apa? Karena sekilas aku pernah mendengar bahwa buku di putaran ketiga Around The World with Love ini merupakan sekuel dari 2 buku sebelumnya di ATWWL batch 1 dan 2, yaitu Love in Adelaide dan Love in Sydney. Sementara, aku belum membaca kedua buku itu. Namun rupanya aku salah. Memang, ceritanya memiliki keterikatan dengan 2 novel di seri yang sama sebelumnya, tapi hanya sebatas ikatan tokoh. Seperti Maghali yang rupanya adalah saudara kembar Maura—tokoh di Love in Sydney.  Terlepas dari itu, keseluruhan cerita di Love in Montreal ini berdiri sendiri. Fokus kepada Maghali dan cerita pendidikannya selama di Montreal. Lain kata, buku ini bisa dibaca tanpa harus membaca dua buku sebelumnya, kalian tetap akan bisa mengikuti jalan ceritanya dengan sangat baik.

Untuk setting, sama seperti judulnya, 95% setting di buku ini berlatar di salah satu kota besar di Kanada tersebut. Mulai dari awal bab, pembaca sudah disuguhi dengan latar Montreal yang memikat. Penjabaran dan deskripsinya sangat baik sekali. Penulis lebih banyak menggunakan teknik telling dalam menyampaikan seluk beluk Montreal di sini. Tidak hanya seputar pemandangan secara visual dan bangunan-bangunan tampak saja, namun juga dengan musim-musim yang sedang berlangsung di sana, dan budaya masyarakatnya. Seperti musim salju atau musim dingin. Musim salju yang dideskripsikan dalam buku ini, mungkin akan mematahkan asumsi orang tentang betapa menakjubkannya fenomena alam tersebut. Namun kalian tidak akan menemukan hal seperti itu di buku ini. Karena ceritanya lebih mengacu pada apa yang terjadi sesungguhnya. Lebih kepada fakta. Bahwa musim salju adalah musim yang cukup mengerikan. Suhu turun drastis, badai salju, orang-orang yang tidak berani keluar rumah, dan betapa suramnya keadaan pada saat itu.

Aku bilang bahwa setting Montreal di buku ini hanya 95% persen karena, beberapa bab terakhir di buku ini, pembaca akan mulai dibawa ke tanah air. Lebih tepatnya ke Solo, dan Kalimantan. Di sinilah penulis menyelipkan satu twist untuk pembaca. Meski sudah bisa ditebak sebelumnya, namun tetap saja membawa kesan tersendiri dan membuat kita tersenyum. Kemudian, budaya masyarakat Montreal. Untuk informasi, kelompok muslim di Montreal terbilang sangat minoritas. Hal ini membuat budaya yang dibawa Maghali sangat berbenturan dengan budaya asli di sana. Seperti cara berpakaian yang sangat bertolakbelakang.

Kemudian, yang sangat aku suka di buku ini adalah dimasukannya cerita tentang Islamophobia. Hal ini sekilas mengingatkanku dengan Love in Edinburgh karya Indah Hanaco yang mengangkat unsur cerita serupa. Seperti yang kita tahu, semenjak peristiwa pengeboman menara WTC di USA yang terjadi beberapa tahun lalu, sempat membuat hubungan masyarakat barat—yang mayoritas non muslim, atau bahkan ateis—dengan kaum muslim menjadi renggang dan tidak bersahabat, bahkan sampai sekarang. Dan realita itulah yang coba penulis angkat di novel ini. Konfliknya yang nyata, dan bagaimana sikap mereka terhadap kaum muslim sungguh membuka mata kita. Betapa Islam tidak mendapat tempat yang layak di sana, bahkan dianggap sebagai agama yang kaumnya tergolong teroris. Kenyataan ini semakin diperkuat ketika Kak Arumi menyelipkan satu adegan antara Lili dengan dua masyarakat Montreal yang memperdebatkan tentang citra muslim.

Namun, tidak sisi itu saja yang coba penulis hadirkan. Namun juga sisi lain yang lebih baik dari itu. Yakni tentang sikap toleran yang sangat tinggi. Hal ini ditunjukkan oleh teman-teman dan orang terdekat Lili. Seperti contoh, tentang bagaimana mereka menghormati cara berpakaian Lili dan segala aktivitas keagamaan lainnya. Melihat Lili, sungguh membuat kita salut dan kagum. Salut karena ia tetap mempertahankan syariat Islam di samping buruknya asumsi orang terhadap dirinya, juga dengan cara ia menghadapi konflik-konflik yang tidak pernah ia hadapi sebelumnya. Singkat kata, penulis lebih banyak menyampaikan pesan di buku ini secara tersirat, membuat kita benar-benar meresapi dan menggali lebih dalam dari apa yang coba ingin diajarkan.

Kemudian, untuk penokohannya sendiri, aku cukup menyimpan perhatian yang besar kepada Maghali, Tangguh, ambisius, dan konsisten. Aku sangat suka dengan sikapnya yang cekatan dan pandai mengambil keputusan, namun tidak untuk urusan asmara. Untuk Kai sendiri, sayang sekali, aku menganggap dia terlalu sempurna. Baik secara fisik, atau pun keahlian. Namun dari Kai, kita bisa belajar banyak hal, terutama tentang sikap toleran dan kepedulian sosial yang tinggi. Terakhir, buku ini ditutup dengan kisah yang melegakan. Bahkan, saat menutup lembar terakhirnya, aku dibuat tertawa kecil dengan apa yang dituliskan Kak Arumi di situ. What a good story!

And I was waiting for S*****

“Percayalah padaku. Perasaanmu akan lebih lega setelah mengakui apa yang ada dalam hatimu.”

Hlm. 224

Tidak ada komentar:

Posting Komentar