Judul : Love in Montreal
Penulis : Arumi E
Tahun terbit : 2016
Cetakan : Pertama
Tebal : 228 hlm
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Kategori : Novel
ISBN : 978 – 602 – 03 – 3460 – 8 |
Blurb:
Montreal. Di sinilah Maghali Tifana Safri,
perancang baju asal Solo yang mulai bersinar namanya, mendapat kesempatan
melanjutkan studi. Ujian berupa teror dari sekelompok orang hampir merontokkan
sikap toleran Maghali, kalau saja Kai Sangatta Reeves tidak muncul
menyelamatkannya. Rupawan, cerdas, berhati emas. Model sekaligus dokter dan
relawan. Pesona Kai begitu kuat, tapi Maghali sadar dia tak boleh terlena
karena lelaki itu berada di kutub yang berbeda.
Ujian lain datang dalam bentuk gadis cantik bernama Isabelle. Model pirang yang memeragakan baju-baju rancangan Maghali ini meminta bantuan untuk lari dari jerat cinta sesama dan pemberitaan miring tentang masa lalunya. Seolah belum cukup pelik, Maghali kembali diuji kala Kai yang dirundung duka melabuhkan rasa resah pada dirinya, membuat gadis ini makin sulit memendam rasa. Kesadaran Maghali baru pulih kala melihat Isabelle mendekati Kai. Susah payah hatinya mengakui, keduanya lebih cocok menjadi pasangan karena sama-sama rupawan dan tak ada halangan mengadang.
Ketika masa tinggalnya di Montreal berakhir, Maghali mengira selesai pula siksaannya menahan rasa pada Kai. Tapi pada satu hari sakral di Tanah Air, Kai tiba-tiba muncul. Akankah terbentang masa depan untuk keduanya, ataukah mereka harus puas dengan sepotong episode penutup?
Ujian lain datang dalam bentuk gadis cantik bernama Isabelle. Model pirang yang memeragakan baju-baju rancangan Maghali ini meminta bantuan untuk lari dari jerat cinta sesama dan pemberitaan miring tentang masa lalunya. Seolah belum cukup pelik, Maghali kembali diuji kala Kai yang dirundung duka melabuhkan rasa resah pada dirinya, membuat gadis ini makin sulit memendam rasa. Kesadaran Maghali baru pulih kala melihat Isabelle mendekati Kai. Susah payah hatinya mengakui, keduanya lebih cocok menjadi pasangan karena sama-sama rupawan dan tak ada halangan mengadang.
Ketika masa tinggalnya di Montreal berakhir, Maghali mengira selesai pula siksaannya menahan rasa pada Kai. Tapi pada satu hari sakral di Tanah Air, Kai tiba-tiba muncul. Akankah terbentang masa depan untuk keduanya, ataukah mereka harus puas dengan sepotong episode penutup?
***
“Apa yang kamu rasakan, aku sarankan jujurlah
pada perasaanmu. Hidup terlalu singkat untuk diisi dengan keterpaksaan.”
Hlm. 75
Awalnya, Maghali, atau yang biasa dipanggil
Lili, merasa canggung dengan suasana La Mode College. Bagaimana tidak. Coba
lihat, dari semua mahasiswi yang terlihat, hanya ia yang memakai hijab. Keadaan itulah yang awalnya
membuat ia tidak nyaman. Tak jarang, ia juga mendapat cibiran dari beberapa
mahasiswa lain. Namun keadaan itu seketika berubah ketika ia mengenal Shabrina.
Seorang mahasiswi yang juga mengenakan hijab. Bersama Shabrina, Lili berniat
ingin mengenalkan model fashion baru, yakni ‘modest wear’. Meski banyak yang
mencibir dan meremehkan, namun kedua perempuan ini sama-sama tangguh dan
ambisius. Hingga akhirnya ketangguhan itu membuat mereka mendapat berkah
tersendiri.
Dalam sebuah Mini Fashion Show yang akan
diadakan Miss Prudence di La Mode College, Lili diajak untuk ikut serta
memperkenalkan model pakaian rancangannya tersebut. Dari situlah, ia mengenal
Kai Sangatta Reeves. Seorang model dengan postur tubuh tegap, tinggi, dan
menawan. Dalam acara ini, Kai akan menjadi salah satu model yang memeragakan
pakaian rancangan Lili. Bekerja sama dengan model Kai, tentu tidak menutup
kemungkinan untuk Lili menjalin hubungan dengannya. Tentunya hanya sebatas
rekan kerja. Dan hubungan itulah yang membuat Lili tahu bahwa Kai ada keturunan
Indonesia. Tapi sejauh yang Lili tahu, belum genap satu tahun usia Kai saat ia
bertolak dari Indonesia dan menetap di Montreal sampai sekarang.
Karena merasa ada kecocokan dengan sama-sama
memiliki darah asli Indonesia, maka hubungan Kai dan Lili pun bisa dibilang
lancar. Bahkan tak segan-segan, Kai mengajaknya pergi bersama. Kai bilang, ia
menyimpan simpati tersendiri karena bisa bertemu dengan orang Indonesia. Namun,
apakah alasan itu juga cukup untuk menjawab pertanyaan kenapa Kai sering
mengajak Lili ke rumahnya dan mengenalkannya kepada Granny—nenek Kai? Sebuah
dugaan pun muncul, yang otomatis membuat keduanya sadar bahwa ada kenyamanan
tersendiri saat mereka bersama. Meski masih sama-sama ragu untuk
menunjukkannya, tapi kita bisa melihat jelas bahwa… mereka tidak hanya
menyimpan perasaan sebagaimana rekan kerja.
Namun Lili sadar, ia hanya menetap sementara di
Montreal. Dan ketika satu tahun itu berakhir, ia harus meninggalkan semuanya.
La Mode College, wisma penginapannya, dan… Kai. Lelaki itu, hanyalah salah satu
figuran dalam perjalanan hidup Lili. Karena setelah ini, ia harus kembali, ke
tanah kelahirannya, Indonesia.
Lantas, apakah jarak ribuan mil akan mengakhiri
hubungan mereka? Atau justru, semakin mendekatkan mereka untuk kesekian kalinya?
***
“Apakah benar, akhlak baik seseorang tidak
bergantung pada agama? Beragama atau tidak, bisa saja berakhlak baik?
Hlm. 102
“Yang penting sekarang adalah kamu, bagaimana
perasaanmu sesungguhnya, apa yang kamu inginkan. Apakah kamu berani
memperjuangkan apa yang kamu rasakan. Kalau aku, jelas berani.”
Hlm. 223
Aku
sebenarnya cukup menyesal.
Kenapa
baru membaca buku Kak Arumi dari sekarang? Jika ditilik dari Love in Montreal,
sebagai buku pertama dari penulis yang aku baca, jujur, sungguh membuat nyaman
sekali. Jika tidak untuk Baca Bareng, yang bacanya mau tidak mau harus
bertahap, aku akan menyelesaikan buku ini hanya dalam sehari.
Awalnya,
dulu sekali, saat buku ini belum terbit dan belum sampai ke tangan, aku sempat
ragu untuk membacanya. Karena apa? Karena sekilas aku pernah mendengar bahwa
buku di putaran ketiga Around The World with Love ini merupakan sekuel dari 2
buku sebelumnya di ATWWL batch 1 dan 2, yaitu Love in Adelaide dan Love in
Sydney. Sementara, aku belum membaca kedua buku itu. Namun rupanya aku salah. Memang,
ceritanya memiliki keterikatan dengan 2 novel di seri yang sama sebelumnya,
tapi hanya sebatas ikatan tokoh. Seperti Maghali yang rupanya adalah saudara
kembar Maura—tokoh di Love in Sydney. Terlepas
dari itu, keseluruhan cerita di Love in Montreal ini berdiri sendiri. Fokus
kepada Maghali dan cerita pendidikannya selama di Montreal. Lain kata, buku ini
bisa dibaca tanpa harus membaca dua buku sebelumnya, kalian tetap akan bisa
mengikuti jalan ceritanya dengan sangat baik.
Untuk
setting, sama seperti judulnya, 95% setting di buku ini berlatar di salah satu
kota besar di Kanada tersebut. Mulai dari awal bab, pembaca sudah disuguhi
dengan latar Montreal yang memikat. Penjabaran dan deskripsinya sangat baik
sekali. Penulis lebih banyak menggunakan teknik telling dalam menyampaikan seluk beluk Montreal di sini. Tidak
hanya seputar pemandangan secara visual dan bangunan-bangunan tampak saja,
namun juga dengan musim-musim yang sedang berlangsung di sana, dan budaya
masyarakatnya. Seperti musim salju atau musim dingin. Musim salju yang
dideskripsikan dalam buku ini, mungkin akan mematahkan asumsi orang tentang
betapa menakjubkannya fenomena alam tersebut. Namun kalian tidak akan menemukan
hal seperti itu di buku ini. Karena ceritanya lebih mengacu pada apa yang
terjadi sesungguhnya. Lebih kepada fakta. Bahwa musim salju adalah musim yang
cukup mengerikan. Suhu turun drastis, badai salju, orang-orang yang tidak
berani keluar rumah, dan betapa suramnya keadaan pada saat itu.
Aku
bilang bahwa setting Montreal di buku ini hanya 95% persen karena, beberapa bab
terakhir di buku ini, pembaca akan mulai dibawa ke tanah air. Lebih tepatnya ke
Solo, dan Kalimantan. Di sinilah penulis menyelipkan satu twist untuk pembaca.
Meski sudah bisa ditebak sebelumnya, namun tetap saja membawa kesan tersendiri
dan membuat kita tersenyum. Kemudian, budaya masyarakat Montreal. Untuk
informasi, kelompok muslim di Montreal terbilang sangat minoritas. Hal ini
membuat budaya yang dibawa Maghali sangat berbenturan dengan budaya asli di
sana. Seperti cara berpakaian yang sangat bertolakbelakang.
Kemudian,
yang sangat aku suka di buku ini adalah dimasukannya cerita tentang
Islamophobia. Hal ini sekilas mengingatkanku dengan Love in Edinburgh karya Indah Hanaco yang mengangkat unsur cerita serupa. Seperti yang kita tahu, semenjak
peristiwa pengeboman menara WTC di USA yang terjadi beberapa tahun lalu, sempat
membuat hubungan masyarakat barat—yang mayoritas non muslim, atau bahkan ateis—dengan
kaum muslim menjadi renggang dan tidak bersahabat, bahkan sampai sekarang. Dan
realita itulah yang coba penulis angkat di novel ini. Konfliknya yang nyata,
dan bagaimana sikap mereka terhadap kaum muslim sungguh membuka mata kita.
Betapa Islam tidak mendapat tempat yang layak di sana, bahkan dianggap sebagai
agama yang kaumnya tergolong teroris. Kenyataan ini semakin diperkuat ketika
Kak Arumi menyelipkan satu adegan antara Lili dengan dua masyarakat Montreal
yang memperdebatkan tentang citra muslim.
Namun,
tidak sisi itu saja yang coba penulis hadirkan. Namun juga sisi lain yang lebih
baik dari itu. Yakni tentang sikap toleran yang sangat tinggi. Hal ini
ditunjukkan oleh teman-teman dan orang terdekat Lili. Seperti contoh, tentang
bagaimana mereka menghormati cara berpakaian Lili dan segala aktivitas
keagamaan lainnya. Melihat Lili, sungguh membuat kita salut dan kagum. Salut
karena ia tetap mempertahankan syariat Islam di samping buruknya asumsi orang
terhadap dirinya, juga dengan cara ia menghadapi konflik-konflik yang tidak
pernah ia hadapi sebelumnya. Singkat kata, penulis lebih banyak menyampaikan
pesan di buku ini secara tersirat, membuat kita benar-benar meresapi dan
menggali lebih dalam dari apa yang coba ingin diajarkan.
Kemudian,
untuk penokohannya sendiri, aku cukup menyimpan perhatian yang besar kepada
Maghali, Tangguh, ambisius, dan konsisten. Aku sangat suka dengan sikapnya yang
cekatan dan pandai mengambil keputusan, namun tidak untuk urusan asmara. Untuk
Kai sendiri, sayang sekali, aku menganggap dia terlalu sempurna. Baik secara
fisik, atau pun keahlian. Namun dari Kai, kita bisa belajar banyak hal,
terutama tentang sikap toleran dan kepedulian sosial yang tinggi. Terakhir, buku
ini ditutup dengan kisah yang melegakan. Bahkan, saat menutup lembar
terakhirnya, aku dibuat tertawa kecil dengan apa yang dituliskan Kak Arumi di
situ. What a good story!
And I was waiting for S*****
“Percayalah
padaku. Perasaanmu akan lebih lega setelah mengakui apa yang ada dalam hatimu.”
Hlm.
224
Tidak ada komentar:
Posting Komentar