Judul : Angel in The Rain
Penulis : Windry Ramadhina
Tahun terbit : 2016
Cetakan : Pertama
Tebal : 468 hlm
Penerbit : Gagas Media
Kategori : Novel
ISBN : 978 – 979 – 780 – 870 – 9 |
Blurb:
Ini kisah tentang keajaiban cinta.
Tentang dua orang yang dipertemukan oleh hujan. Seorang pemuda lucu dan seorang gadis gila buku yang tidak percaya pada keajaiban.
Di Charlotte Street London, mereka bertemu, tetapi kemudian berpisah jalan.
Ketika jalan keduanya kembali bersilangan, sayangnya luka yang mereka simpan mengaburkan harapan. Ketika salah seorang percaya akan keajaiban cinta, bahwa luka dapat disembuhkan, salah seorang lainnya menolak untuk percaya.
Apakah keajaiban akan tetap ada jika hati kehilangan harapan? Apakah mereka memang diciptakan untuk bersama meski perpisahan adalah jalan yang nyata?
***
“Aku
bukan perempuan yang sungguh-sungguh ingin kau miliki. Mungkin tidak hari ini.
Mungkin tidak dalam waktu dekat. Tapi, buat apa buang-buang waktu? Kita sudahi
saja sekarang, sebelum kita jatuh terlalu dalam”
Hlm.
352
Mari aku bisikkan satu kisah lagi mengenai si
Pemuda Lucu, Gilang.
Hari itu, Gilang pergi meninggalkan London.
Perlu kalian ketahui, pemuda lucu itu pergi membawa luka. Tidak seperti
harapannya saat mendarat di negeri itu pertama kali. Di Charlotte Street yang
basah, tak sengaja ia kembali bertemu dengan gadis itu. Ayu, si penggila buku.
Mereka sama-sama akan ke Heathrow, dan pulang ke Jakarta. Secercah harapan
muncul di benak Gilang.
Sayangnya, kenyataan memang selalu tak sesuai
dengan apa yang diharapkan. Mereka memang satu tujuan, dan satu pesawat. Namun
saat Gilang membuka mata, ketika pesawat baru saja mendarat di Jakarta, gadis
itu sudah tidak ada. Sial, dia terlambat bangun. Dan gadis itu tidak bersamanya
lagi. Seketika, pupus sudah harapan si pemuda lucu itu.
Namun entah atas kehendak siapa, mungkin payung
merah, di sebuah pameran buku, mereka kembali bertemu. Gilang sebagai editor
buku sastra, dan Ayu, dia adalah seorang penulis fiksi populer. Pertemuan itu
otomatis menjadi tali penyambung atas apa yang belum selesai di antara mereka.
Dan, bisa dibilang menjadi awal dari pertemuan-pertemuan berikutnya.
Namun, saat keduanya sudah berada di ambang
keseriusan, masalah datang. Masalah yang tanpa permisi masuk ke dalam kehidupan
mereka. Ia berasal dari masa lalu. Gadis penggila buku, kini harus rela
memendam dalam-dalam harapannya. Dan Gilang, ia lebih memilih untuk percaya
terhadap keajaiban cinta.
Sayangnya, Ayu menepis pernyataan itu dan
memilih untuk tidak percaya. Sampai salah satu di antara mereka menyesal dan
memutuskan untuk mengulang semuanya. Pertanyaannya, masihkah ada waktu untuk
semua itu? Semoga, keajaiban itu benar-benar ada…
***
“Tapi,
apa kau sama sekali tidak percaya bahwa—mungkin saja—malaikat yang turun
bersama hujan dan keajaiban cinta yang ia ciptakan benar-benar ada?”
Hlm.
184
“Sesuatu
akan terjadi kepada siapa saja yang memakai payung merah berdua. Sesuatu yang
magis. Si pemuda lucu mengetahui itu, Sayang.”
Hlm.
362
Angel in The Rain bisa disebut sebagai novel
penyelesaian dari dua novel sebelumnya, yaitu London: Angel dan Walking After
You. Dari kedua novel tersebut, Windry Ramadhina banyak meninggalkan pertanyaan
di benak pembaca. Dan, di novel inilah, pertanyaan-pertanyaan tersebut akan
kita temukan jawabannya. Bisa dibilang, Angel in The Rain adalah pemersatu dari
seluruh rangkaian cerita yang pada awalnya sempat bersinggungan, namun kurang
memiliki kejelasan. Untuk aku sendiri, sebenarnya sudah cukup puas dengan
membaca novel ini. Karena apa yang sempat aku tanyakan di dua novel sebelumnya
benar-benar mendapat jawaban.
Ada sesuatu yang baru di novel ini. Yakni
penggunaan Goldilocks sebagai narrator atau pencerita di sepanjang cerita.
Jadi, kita akan mengikuti perjalanan kisah ini lewat penuturan dari Goldilocks.
Seperti yang sudah kita ketahui, Goldilocks pertama kali muncul di novel
London: Angel. Di novel tersebut, tokoh yang diyakini malaikat itu berperan
sebagai gadis misterius yang selalu datang di saat hujan. Dan di novel ini,
peran Goldilocks sebagai malaikat lebih dipertegas lagi. Dalam arti lain,
pembaca benar-benar dibuat yakin tentang keaslian Goldilocks sebagai seorang
malaikat. Aku tidak bisa berkata, apakah penggunaan Goldilocks sebagai sudut
pandang baru di sini tepat atau tidak. Karena ini sesungguhnya relatif,
tergantung apakah pembaca lain merasa nyaman dengan teknik seperti ini atau
tidak. Yang jelas, kalau untukku pribadi, bisa dibilang cukup menikmati dengan
bagaimana cara Goldilocks menuturkan kisah ini terhadap para pembaca. Dengan
menggunakan panggilan ‘sayang’, Goldilocks membuatku merasa seperti anak kecil
yang sedang didongengi. Hanya saja, keberadaan Goldilocks ini hanya benar-benar
terasa di akhir saja, itu menurutku. Sisanya, aku lebih menganggap cerita
berjalan seperti biasa sebagaimana cerita dengan PoV3 pada umumnya.
Jumlah halaman/ketebalan dari novel ini bisa
dibilang cukup banyak. Terlalu banyak malah. Aku kurang begitu merasa nyaman
dengan kisah Luh dan Em yang turut diselipkan di sini. Entah kenapa, kesannya
seperti hanya untuk memperpanjang cerita saja. Meski sebenarnya kisah tersebut
menyangkut latar belakang dan masa lalu Ayu, namun aku tidak terlalu ingin
mengetahuinya. Karena ekspektasiku dari awal hanya untuk kisah Gilang dan Ayu
di masa depan saja. Tidak menyangkut masa lalu mereka. Kemudian, yang membuat
buku ini tebal, adalah karena adanya beberapa pengulangan adegan dari 2 novel
sebelumnya. Seperti adegan saat Ayu dan Gilang sama-sama pergi ke
Heathrow—London: Angel. Dan juga beberapa adegan di Afternoon Tea yang
sebelumnya pernah dikisahkan di Walking After You. Namun untuk pengulangan di
Walking After You sendiri, aku sangat merasa tertarik dan menanti-nantikannya.
Karena selain menjadi titik penyelesaian dari konfliknya,aku juga sangat penasaran dengan bagaimana kedua
tokoh dari dua novel yang berbeda bertemu, dan kembali melihatnya dengan sudut
pandang baru. Sangat mengasyikkan!
Kemudian, payung merah. Sama seperti London:
Angel, payung merah adalah letak di mana keajaiban cinta itu dipertegas. Lewat
tokoh Gilang, kita akan merasa terkontaminasi dengan pikirannya yang mengatakan
bahwa payung merah benar-benar membawa pengaruh ajaib, terutama untuk hubungan
sepasang kekasih. Bahkan karena saking terpengaruh dengan ceritanya, sempat
terbesit di pikiranku untuk memiliki payung yang sama pula, yah meski aku cukup
sadar diri untuk tidak mengharapkan keajaiban yang sama. Kemudian tentang
kemagisan hujan yang turut menjadi elemen menarik di novel ini. Meski
sebenarnya keterkaitan antara hujan dengan Ayu kurang bisa aku terima, namun hujan
sendiri sebenarnya cukup mampu membawa nuansa sendu di sepanjang cerita. Lalu,
yang cukup membuatku betah membaca novel ini di awal adalah tentang profesi
Ayu, yaitu penulis. Tentang rutinitas kepenulisannya, tentang pameran buku, dan
lain-lain. Sayangnya hal tersebut hanya benar-benar aku rasakan di awal-awal
saja, selebihnya cerita lebih terfokus pada konflik hati Ayu dan Gilang.
Padahal dari dulu penggunaan profesi penulis di sebuah novel sangat menarik
untuk diikuti, setidaknya bagiku.
Secara keseluruhan, aku cukup puas dengan
hadirnya Angel in The Rain. Dari mulai London: Angel, Walking After You, hingga
kemudian Angel in The Rain, menurutku adalah satu trilogy yang tidak bisa
lepas. Jadi buat pembaca, kalau membaca buku ini jangan tanggung-tanggung. Dalam
artian, bacalah ketiganya, jangan hanya salah satunya.
Karena dengan begitu, dijamin, kalian akan dibuat
percaya bahwa keajaiban cinta itu benar-benar ada. Meski mungkin, keajaiban itu
memiliki cara dan wujud tersendiri untuk membuat orang di sekitarnya percaya. So, jangan terlalu terkontaminasi dengan
payung merah, bisa saja keajaiban cintamu lebih dari itu. Who knows?
Terima kasih!
***
“Buka
hatimu. Percayalah, di luar sana ada kebahagiaan yang hanya diberikan
kepadamu.”
Hlm.
214
“Manusia
memercayai apa yang ingin mereka percayai. Seringnya, mereka hanya membohongi
diri sendiri.”
Hlm.
368
PR berat nih kalau mau mengikuti Ayu dan Gilang, harus beli novelnya. Waduh, gimana ya... hehe. Untung saya tidak percaya pada keajaiban berkat payung merah. Punya payung juga warnanya biru gelap hadiah rapat acara pajak. hahahah. Seru Bin, reviewnya. Detail dan menggugah jadi pengen ikut baca.
BalasHapusSebenarnya Mas, novel ini bisa kok dibaca tanpa membaca dua novel sebelumnya dulu. Tapi menurutku, akan lebih baik kalau London dan Walking After You dibaca juga hehe. Terima kasih, Mas!
HapusKalo aku kurang suka London & Walking After You, lebih baik nggak usah baca ini kali ya? Apalagi tebel banget
BalasHapusYah kenapa kurang suka sama London dan Walking After You, La? Padahal menurutku bagus hehe. Selera orang ya, beda-beda, hehe. Tapi gaada salahnya kok kamu baca ini, barangkali penilaianmu jadi beda, wkwkwk. Btw, emang tebel sih :D
Hapus