Awalnya,
tidak pernah terbesit sedikit pun di pikiranku tentang pertemuan ini. Seorang
gadis lugu berusia dua belas tahun dengan rambut berkepang dua yang berhiaskan
pita merah di ujungnya. Poninya yang menyamping membuat hampir setengah
permukaan keningnya tertutup. Rona wajahnya terlihat sendu. Namun entah
mengapa, gadis itu terlihat sangat manis. Di suatu sore yang cukup buruk, untuk
kali pertama, aku bertemu dengannya. Itu terjadi secara tidak sengaja di taman kota
yang letaknya berseberangan dengan alun-alun utama. Aku memang berniat untuk
bertolak dari suasana kampus yang membosankan guna mencari hiburan, dan
tentunya untuk menyelesaikan naskah novelku yang baru setengah rampung.
Ya,
selain mahasiswa, aku juga seorang penulis. Tujuh tahun aku bergelut dengan
cerita pahit manis bersama tokoh-tokoh fiksi ciptaanku. Semua terasa mudah dan
menyenangkan. Namun, tidak untuk hari ini. Ini adalah naskah kedelapanku yang
ditargetkan akan segera terbit dua bulan lagi. Namun lihat, yang terjadi sekarang
justru aku kehabisan ide untuk menyelesaikannya. Berkali-kali Mbak Inge—editorku—menerorku
dengan serentetan pesan-pesan yang membuatku merasa dihantui. Dia memintaku
untuk menyelesaikan naskah sialan ini segera. Tidak, Mbak Inge bukannya jahat,
namun ia memiliki cara tersendiri untuk menunjukkan rasa kepeduliannya,
terutama padaku.
Kedai
es krim yang terletak di sudut taman adalah tempat favoritku. Kedai sederhana itu bergaya outdour dengan dilengkapi seperangkat
meja kursi yang menyebar di beberapa tempat. Suasananya sangat nyaman dan tidak
memungkinkan pengunjungnya terkena sengatan sinar matahari karena di bagian tengah setiap meja
dilengkapi dengan payung besar yang berfungsi untuk menaungi orang di bawahnya. Dulu,
di tempat itu, aku pernah menyelesaikan 10 lembar terakhir dari naskahku dalam
waktu singkat. Dan sekarang, aku ingin mencoba untuk mengulang keberuntungan
yang sama. Namun, yang terjadi setelahnya justru tidak sesuai harapan. Otakku
tetap saja tidak mau bekerja. Benda lunak yang dipenuhi sistem syaraf itu seolah mati fungsi dan berkarat. Di saat
paling buruk itulah, perhatianku yang awalnya tertuju pada laptop bututku,
beralih pada sosok gadis mungil yang duduk sila di bawah pohon. Jaraknya kurang
lebih tiga meter dari kursi tempatku duduk. Sehingga, tidak sulit bagiku untuk
melihat apa yang sedang dilakukannya.
Dia
sedang menggambar. Itu terlihat jelas dari keseriusan tangannya dalam menggoreskan
pensil membentuk garis demi garis di atas sebuah kertas gambar. Lima belas
menit, dia memampangkan gambarnya di depan dada. Jelas sekali, aku bisa
melihatnya. Seorang laki-laki dan perempuan dewasa, yang di tengahnya terdapat seorang gadis kecil. Mungkin itu gambar
keluarganya, batinku. Seketika, gadis itu mengalihkan pandangannya
kepadaku, yang entah kenapa membuatku merasa malu karena dia berhasil memergoki
apa yang kulakukan. Wajahnya datar, dan ia tidak bereaksi apa-apa. Namun, yang
terjadi setelahnya sungguh di luar dugaan. Gadis itu bangkit, lalu merobek kertas
hasil gambarnya dan seketika membuangnya. Dalam dua helaan napas, dia sudah
pergi dan meninggalkan kertas itu tanpa merasa perlu untuk membuangnya ke
tempat yang semestinya.
Sontak,
aku tertegun. “Hei, apa yang ia
lakukan? Apakah ia menganggapku berbuat salah?”
***
Hari
berikutnya, masih dalam kondisi hati yang sama, aku kembali ke kedai es krim
tersebut. Naskahku, sama sekali tidak ada perkembangan sejak kemarin. Dan hari
ini pun berlangsung tidak jauh berbeda. Gadis itu datang lagi. Duduk bersila di
bawah pohon yang sama dan membuat gambar yang sama pula. Lagi-lagi, dia
membuatku semakin merasa aneh dan penasaran. Tidak butuh waktu lama untuk ia
menggambar lalu merobek dan membuangnya begitu saja. Aneh. Kenapa dia selalu membuat gambar yang sama hanya untuk dirobek dan
dibuang begitu saja? Bukankah itu terlalu membuang banyak waktu dan tenaga? Apa
maksud dari semua itu? Batinku dipenuhi tanya.
Sepekan
telah berlalu, dan kejadian yang sama selalu terulang. Naskahku yang selalu
tidak ada perkembangan, dan gadis lugu bersikap aneh tersebut. Dia semakin
membuatku penasaran. Terbesit di pikiranku, apakah dia waras? Esoknya, di jam
yang sama pula, aku datang lagi ke tempat itu. Bedanya, kali ini aku tidak
membawa serta laptop butut dan naskah sialanku itu. Aku ingin bebas. Setidaknya
untuk hari ini saja. Melupakan deadline
yang sebenarnya hampir mencekik leherku. Harapan utamaku, semoga gadis itu
datang lagi hari ini. Aku sudah cukup bisa mengenalinya. Wajahnya yang sendu,
tanpa senyum, dan sifat anehnya.
Sebenarnya
hari ini, niatku kembali berkunjung ke sini adalah untuk mencari tahu. Benar, gadis
itu berhasil membuatku penasaran. Sikap anehnya, kisah pilu di balik wajah
sendunya, dan gambar itu. Ya, gambar itu. Seorang laki-laki dan perempuan
dewasa, dengan gadis kecil yang berdiri di antara mereka. Entah kenapa, aku
merasa perlu untuk mencari tahu maksud yang sebenarnya. Sesuai harapanku, gadis
itu kembali muncul, dan mulai melakukan kebiasaan anehnya itu. Kurang dari lima
belas menit, kertas yang sejak tadi dipakainya menggambar, sudah terbuang
begitu saja di tanah. Ini saatnya. Tepat sebelum ia pergi.
“Hei,
siapa namamu?” Selama beberapa detik,
tidak ada reaksi darinya. Hanya ada keheningan di antara kami. Kemudian, ia
berbalik. Ya Tuhan, gadis itu, jika dilihat dalam jarak pandang yang begitu
dekat, ternyata sungguh manis.
“Fi”
jawabnya singkat.
Dari
nada suaranya, cukup jelas bahwa ia tidak ingin terlibat pembicaraan denganku,
namun aku tidak menyerah. “Apa yang kau lakukan? Maksudku, kau tahu kan apa yang
kau lakukan itu… aneh?” Tanyaku ragu. Ia hanya tersenyum getir. “Apakah kakak
pernah merasakan kehilangan?” gadis itu balik bertanya dengan raut wajah datar.
Lagi-lagi aneh. Aku tertegun, kemudian berusaha menjawab, “tentu, memangnya ada
apa? Seharusnya, aku yang bertanya padamu.”
“Tidak
perlu. Kakak tidak bertanya pun, Fi akan menceritakannya. Jadi, kakak
benar-benar ingin tahu?” kini ia terlihat lebih santai. Senyum yang ia
pancarkan pun berubah tulus.
Aku
mengangguk.
“Mungkin
ini terkesan tidak sopan, menceritakan semuanya pada kakak. Namun, apa boleh
buat, Fi tidak lagi punya siapa-siapa. Dan Fi butuh orang yang mau
mendengarkan. Cukup mendengarkan, tidak lebih. Dia adalah Lula. Saudara kembar
Fi. Kami hidup tanpa orangtua semenjak berusia tujuh bulan. Dari situ, kami
diasuh dan dibesarkan oleh paman dan bibi kami. Mereka juga memiliki anak
perempuan seumuran kami. Jadi, Fi dan Lula sangat mengahargai mereka karena mau
merawat kami di samping kesibukan mereka mengurus Dea, anak mereka.”
Gadis
itu menelan ludah. Raut mukanya berubah masam.
“Awalnya,
sikap paman dan bibi terhadap kami baik-baik saja. Hingga suatu hari, Lula,
kepergok mengambil uang dari dompet paman. Itu terjadi tepat pada hari ulang
tahun kami yang kesepuluh. Lula mengambil uang karena berniat untuk membeli
boneka, sebagai hadiah ulang tahun kami berdua. Namun, nasib buruk memang
sedang menimpa Lula. Setelah itu, tanpa ampun, paman dan bibi memarahi Lula.
Bahkan karena saking geramnya….” gadis itu mulai terisak, tangannya terlihat
mengepal keras. Lalu, ia kembali melanjutkan ceritanya, “karena saking
geramnya, mereka menyeret Lula ke gudang belakang rumah, dan disitulah…. semua
berakhir. Lula dipukul dengan balok kayu sekeras-kerasnya. Berkali-kali. Kepalanya
bocor, dan darah mengucur deras dari tempurung kepalanya. Dalam hitungan detik,
Lula kehilangan kesadaran, dan….. Dan, pergi selamanya, Lula meninggalkan Fi
sendiri. Karena bingung dan tidak tahu harus berbuat apa, paman dan bibi
mengubur jasad Lula di bawah pohon dekat gudang. Tanpa ritual keagamaan atau
pun sebagainya, dan secara tidak manusiawi.”
“Sejak
saat itu, Fi sering menjadi pelampiasan amarah mereka, bahkan apa yang Fi
lakukan selalu dianggap salah. Mereka lebih sering main tangan. Menjambak,
menampar, memukul. Begitu pula Dea. Dia mulai termakan oleh omong kosong orang
tuanya. Hingga sekarang pun, Dea menganggap Fi sebagai anak kotor yang penuh
dosa.” Gadis itu mengakhiri ceritanya dengan lelehan air mata yang meruah.
Tubuhku mematung dalam waktu yang cukup lama. Kulitku meremang mendengar suara penuh kegetiran dari Fi. Sekarang,
semuanya terlihat jelas. Tentang wajah sendunya, tentang sifat anehnya, dan gambar itu.
Semata-mata ia lakukan untuk meluapkan kekesalannya selama ini. Aku tertunduk
lemas, alih-alih ingin memberi semangat, aku justru meratapi nasib buruk yang
menimpanya. Lima detik berikutnya, saat aku menegakkan kepala, gadis itu sudah
tidak ada lagi di depanku. Aku memutar tubuh, melihat ke sekeliling. Namun terlambat,
ia telah sirna dari penglihatanku. Aku mengusap wajah. Mendengar serentetan kisah pilu dari Fi justru membawa pikiranku tertambat kepada naskah novel yang baru kukerjakan
setengah. Membuatku ingat bahwa waktuku tidak lagi sebentar, dan secepat
mungkin harus mengambil tindakan. Calon novel kedelapanku, yang entah kenapa,
akhir-akhir ini sering membuatku merasa dihantui dan menggugurkan sikap
optimisku selama ini.
Namun,
beberapa menit setelahnya, ketika aku menengadahkan kepala entah untuk yang ke
berapa kalinya, sedikit ide terbesit di pikiranku. Membuat semuanya seolah
terlihat jelas dan mudah untuk dilakukan. Rasa optimis itu, kembali merayap ke
seluruh ragaku. Sore ini, semuanya tidak lagi buruk. Semua ini karena Fi. Ya, semata karena Fi. Dan aku akan melakukannya untuk Fi.
Matahari
mulai beranjak ke peraduan saat aku mulai melangkahkan kaki untuk meninggalkan
taman itu. Namun, selembar kertas di bawah pohon—tempat biasa Fi
menggambar—sontak menghentikan langkahku. Dengan satu gerakan cepat, aku
mengambil kertas itu. Membacanya sekilas, dan secara refleks tersenyum.
‘Terima kasih sudah mau
mendengarkanku…’ tulis Fi.
***
Dua
bulan berlalu, dan di sinilah sekarang aku berada. Dalam satu ruangan, dan
berhadap-hadapan dengan editor yang selalu menerorku selama ini, Mbak Inge. Aku
menyerahkan amplop coklat besar yang berisi hasil cetakan naskahku kepadanya.
Setelah kejadian memilukan di taman kota dua bulan lalu, aku memutuskan untuk
merombak naskahku ini dari awal. Membuat pengaturan ulang, menyusun kerangka,
membangun karakter, latar, plot, dan semuanya benar-benar dari awal lagi. Kali
ini, entah atas alasan apa, aku merasa puas karena mampu menyelesaikannya tepat
dengan tenggat waktu yang diberikan.
Mbak
Inge terlihat merobek amplop coklat itu dan mengeluarkan isinya. Sejenak, ia
memandangiku yang dari tadi diliputi rasa bahagia. Satu per satu, ia membalik
lembar demi lembar dan membaca kalimat yang ada di sana. Kulihat, keningnya
sedikit mengernyit ketika baru membaca beberapa lembar awal. Seketika, ia
memalingkan pandangannya kepadaku dengan raut wajah penasaran.
“Siapa
Fi?”
***
“Tulisan ini
dibuat untuk memenuhi #tantangannulis #BlueValley bersama Jia Effendie.”
Cara ikutannya gimana?
BalasHapusBaca di sini ya https://jiaeffendie.wordpress.com/2016/11/29/tantangan-nulis-blue-valley/
Hapus