Judul : Love in City of Angels
Penulis : Irene Dyah
Tahun terbit : 2016
Cetakan : Pertama
Tebal : 208 hlm
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Kategori : Novel (ATWWL 3)
ISBN : 978 – 602 – 03 – 3491 – 2 |
Blurb:
Ajeng
Gadis
kota besar yang sangat bitchy dalam banyak hal., terutama pernikahan.
Baginya, cinta Cuma mitos.
Yazan Khan
Malaikat,
Master Yoda, Si Poker Face. Ketengannya menemani Ajeng membeli test pack,
setenang saat ia menyelipkan bunga di tangan gadis itu. Pendek kata,
mengerikan.
Earth
Pria
yang berisiko membuatmu lupa segala, termasuk namamu sendiri.
Cheetah
Mamalia
yang sebaiknya tidak disebut-sebut di depan Ajeng.
Ibu
Dicurigai
sudah kehilangan akal sehatnya karena mau menerima kembali pecundang itu.
Masjid Jawa di Bangkok
Tempat
kisah-kisah bermula
Krung Thep alias City of Angels alias
Bangkok
Di
kota ini terlalu tipis antara iman dan godaan. Ajeng lebih suka menyebutnya The
Sin City.
***
“Tapi
terlalu banyak kebetulan yang terjadi di antara kita, Aju. Kamu kamu memang
bukan jodohku, kenapa Tuhan menjadikan semuanya mudah bagiku?”
Hlm.
108
Ajeng
sama sekali tak mengira bahwa acara pesta perkenalan Presdir baru yang mulanya
sangat menyenangkan itu bisa berubah menyebalkan dalam waktu sekejap.
Setidaknya, untuk dirinya sendiri. Acara yang mulanya Ajeng manfaatkan untuk
ajang bergosip ini sekarang menjelma bak lingkaran api yang siap membakarnya.
Earth, atau siapalah laki-laki itu namanya, tiba-tiba datang menghampiri Ajeng
dan berlagak sok kenal. Ups, bukan sok kenal. Tapi memang kenal. Begitu
katanya. Kehadiran laki-laki bertampang mesum itu sontak membuat Ajeng bingung
dan bertanya-tanya. Dan yang lebih membingungkannya lagi, Earth memanggilnya…
cheetah?
Jika
disuruh memilih satu malam terburuk dalam hidupnya, maka sudah bisa dipastikan
bahwa Ajeng akan memilih malam itu, malam saat tiba-tiba datang lelaki
bertampang mesum bernama Earth. Earth berterus terang kepada Ajeng bahwa mereka
pernah bertemu sebelumnya lewat Dej—teman lelaki Ajeng. Dan apa yang dikatakan
Earth setelahnya, sangat membuat Ajeng terkejut. Mereka rupanya memang pernah
bertemu di malam sebelumnya, namun apa yang terjadi di malam lalu itu sungguh
mengejutkan Ajeng. Kepalanya serasa dipukul palu keras-keras. Bagaimana
mungkin?
Untuk
menyingkirkan rasa kekhawatiran dan pikiran buruknya, dengan gerakan cepat
Ajeng langsung bergegas meninggalkan tempat tersebut. Tidak menghiraukan rekan
atau atasan kerjanya sedikit pun. Namun, saat ia tengah berlari, tiba-tiba
badannya menubruk badan seorang laki-laki berpostur tinggi dan membuatnya
terhuyung. Sekilas, laki-laki itu terlihat seperti keturunan India. Dan ternyata memang benar, dia Indian. Itu pun setelah Ajeng tahu
bahwa laki-laki itu bernama Yazan Khan.
Yazan
adalah seorang laki-laki yang berbeda. Dia baik, rajin beribadah, dan yang
jelas jauh dari kesan ‘omes’ seperti Earth. Setelah mengetahui bahwa Ajeng dan
Yazan berada di kondo yang sama, mereka jadi sering bertemu. Bahkan, tak segan-segan
mereka juga sering jalan bersama. Menyusuri kota Bangkok dan mengenal lebih
dalam budaya dari Negara Gajah Putih tersebut. Namun kedekatan antar mereka
mulai renggang ketika Yazan mulai menunjukkan sikap keseriusannya. Ajeng, yang
memiliki prinsip untuk tidak terikat komitmen dan hubungan justru berpaling
menjauh dan berusaha melupakan Yazan. Namun sayangnya, pesona laki-laki itu terlalu menawan untuk diabaikan.
Lantas,
apakah Ajeng akan tetap berpegang teguh pada prinsipnya sebagai wanita karir,
atau justru terkecoh dengan pesona menawan seorang Yazan? Dan, Earth. Hei!
Siapa laki-laki itu? Dan fakta mengejutkan apa yang coba ia utarakan kepada
Ajeng? Psssttt cukup! Ajeng tak ingin mendengar nama laki-laki itu lagi!
***
“This is Bangkok. The Sin City. Orang-orang tidak peduli pada satu dua
pelukan atau ciuman. You can have a one night stand with anyone and nobody
cares! Even you can hire gorgeous prostitute girls easily, and still nobody
cares!”
Hlm.
78
“Manusia
selalu punya khilaf, tapi manusia juga selalu punya kesempatan untuk
memperbaiki diri.”
Hlm.
203
Kedua
kalinya membaca buku tulisan Kak Irene Dah, dan untuk kedua kalinya pula aku
tidak dibuat kecewa. Novel yang tergabung ke dalam seri Around The World with
Love putaran ke-3 bersama 3 buku lainnya ini berhasil meninggalkan kesan
tersendiri buatku. Mulai dari penokohan, eksplor setting, dan konflik yang
mewarnainya.
Love
in City of Angels, mengusung Bangkok—Ibukota Thailand—sebagai latar utama
ceritanya. Kalian mungkin sudah tahu, aku selalu menyimpan ekspektasi dan
perhatian lebih terhadap novel yang didominasi oleh unsur setting atau pun
lokalitas. Dan hal tersebut benar-benar aku dapatkan di novel ini. Pertama,
kita akan dibawa ke dalam lingkup dunia kerja Ajeng. Kemudian, secara perlahan
latar Bangkok mulai dikembangkan dengan menghadirkan banyak adegan yang berlatar
di beberapa tempat ternama di Bangkok. Seperti Masjid Jawa, Sungai Chao Phraya,
Taman Benjasiri, dan lain-lain. Begitu pula dengan sarana transportasi umum
yang identik dengan negara tersebut, yakni tuk-tuk.
Tuk-Tuk kendaraan umum khas Thailand
|
Selain
itu, beberapa budaya turunan masyarakat Thailand juga turut mewarnai buku
dengan ketebalan 200 halaman ini. Alih-alih mendalami kisah cinta oleh dua
tokoh utamanya, pembaca juga seolah diajak berpetualang menyusuri seluk beluk
kota Bangkok, yang tentunya sangat membuatku jatuh cinta. Seperti misal
festival Songkran yang menjadi daya tarik tersendiri untuk novel ini. Cara
penulis mendeskripsikan dan melibatkan tokoh-tokohnya dalam acara tahunan
tersebut mampu menyalurkan euphoria yang ada di dalam buku dengan otak pembaca.
This is the one part that I love. Dengan
dimasukkannya unsur budaya dan destinasi-destinasi menarik di Bangkok tersebut,
secara tidak langsung juga membuat novel ini memiliki sisi informatif
tersendiri. Tapi sebenarnya, saat mengetahui buku ini mengangkat latar Bangkok,
aku sempat berekspektasi bahwa akan ada sedikit bagian ceritanya yang
menyinggung tentang sekelompok masyarakat di Thailand Selatan yang menggunakan
bahasa Melayu sebagai bahasa komunikasi utama mereka. Selama ini aku sangat
penasaran sekali dengan kehidupan mereka. Namun sayangnya hal tersebut tidak
aku temukan di sini. Tidak masalah sih, karena buku ini tidak sepenuhnya
eksplor Thailand, melainkan fokus di Bangkok. Dan ini pun sebenarnya hanya
masalah selera. So far, aku cukup
puas dengan eksplor settingnya.
Penokohannya
sangat nyata dan hidup sekali, setidaknya di pikiranku. Aku seolah bisa
mengenal karakter dan pribadi Ajeng secara luar dalam. Wataknya yang ‘nakal’
dan ala-ala wanita metropolitan, membuat tokoh ini tidak bisa begitu saja
dilupakan. Pun dengan monolog yang kerap beradu di pikirannya, membuatku
tertawa dan kadang pengin nyubit di waktu yang bersamaan, hahaha. Penggunaan
PoV 1 sebagai Ajeng pun menurutku adalah langkah tepat. Kita akan mengikuti
arus jalan ceritanya berdasarkan sudut pandang Ajeng yang benar-benar asyik.
Hal ini karena juga tak lepas dari pengaruh perwatakan Ajeng yang memang tidak
biasa tadi. Jika untuk Yazan, tokoh satu ini digambarkan memiliki sifat yang
baik hati, lemah lembut, tegas, dan rajin beribadah. Hal tersebut sangat
berbanding terbalik apabila kita sandingkan dengan Ajeng. So, komunikasi yang
terjalin antar mereka pun awalnya memang rada kaku, tapi juga bikin gemas. Dan
cara penulis meleburkan suasana antar keduanya sangat aku suka. Mengikis secara
perlahan sikap keras Ajeng menjadi kian luluh dan relate dengan keberadaan Yazan.
Kemudian,
tidak hanya memasukkan konflik seputar kisah cinta, namun juga keluarga. Kisah
masa lalu Ajeng dan keluarganya memberikan nuansa drama yang cukup terasa di novel ini. Sejenak,
membuat kita berpikir bahwa menghormati keberadaan orang tua adalah hal yang
utama. Pun dengan Earth, lelaki bertampang mesum ini berhasil menambah keseruan
konflik cerita di Love in City Of Angels. Lebih serunya lagi, ketika Kak Irene
memasukkan satu twist yang cukup mengejutkan di ending terkait Earth. Sangat surprise sekali, karena memang di
awal-awal tidak ada sedikit pun kode yang mengarah ke twist tersebut, dan
penulis berhasil menyembunyikannya secara baik. Sama saat seperti dulu membaca
Complicated Thing Called Love. Namun bedanya, di novel ini plot twist-nya lebih
nendang sih, hehehe.
Berani
bertaruh, novel ini akan panen banyak bintang di Goodreads!
Terima
kasih!
***
“Ajeng, aku tidak peduli dengan masa lalumu.
Yang terpenting adalah kamu mengizinkan aku menemanimu sekarang dan di masa
depan.”
Hlm.
112
Wah, saya penasaran berapa bintang di goodreads untuk novel Love in City of Angels ini. Hanya saja, saya tidak menemukan pembahasan transgender yang sudah seperti jadi identitas negara Thailand, dan mungkin Bangkok jadi kota yang paling banyak transgender-nya. Untuk sisi pendalaman agama terbesar di negara di situ juga tidak saya temukan di review ini. Bintang, kasih bocoran dong dua hal tadi disinggung tidak di novel ini?
BalasHapusOya, Bin, masih ada beberapa typo nih di review ini, dibenahi lagi ya! :)
Halo Mas Adin, trims untuk komentarnya. Berikut saya akan menyampaikan balasan komentar dari Kak Irene Dyah:
HapusTerima kasih Adin sudah baca resensi Bintang untuk buku saya :) Saya coba jawab tapi maaf nggak bisa detil..
(1) Isu transgender: ada. Namun lebih kental dalam bumbu budaya. Bukan gaya hidup.
(2) Pembahasan tentang agama selain Islam, tidak ada. Sebagai catatan, Islam adalah agama dengan penganut terbanyak kedua di Thailand.
Semoga puas dengan jawaban ini, dan bikin Adin jadi pengin baca buku, hehehe.
Salam,
Irene.