Judul : Love in Pompeii
Penulis : Indah Hanaco
Tahun terbit : 2016
Cetakan : Pertama
Tebal : 235 hlm
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Kategori : Novel |
Blurb:
Callum Kincaid, salah satu magnet Formula One,
gagal menikah dengan kekasih modelnya. Pria yang sejak remaja sudah dikenal
sebagai lady killer dan selalu mengencani gadis catwalk, memutuskan untuk tidak
terikat komitmen dengan siapa pun untuk sementara. Tapi, kepindahan ke
Hampstead dan ciuman yang terinterupsi, mengubah segalanya. Adalah Gladys Zayna
Raviv, perempuan muda dengan pengalaman hidup yang mematangkannya lebih dari
semestinya. Selalu menjaga jarak aman dari kaum pria karena terbebani dosa masa
lalu. Hingga tiba hari ketika seporsi apple pie membuatnya mengenal pria
bermata sangat biru dan wajah berbintik-bintik.
Meski Gladys ingin menjauh dari Callum, semesta tampaknya dengan keras kepala justru melakukan sebaliknya. Ditambah dengan Lulu, si orang ketiga antimainstream yang mementahkan semua upayanya.
Gladys berusaha menyangkal kebenaran yang disuarakan hatinya, hingga perjalanan ke Pompeii meruntuhkan segalanya. Hatinya tak lagi aman dari pesona Callum.
Sayang, kembali ke Hampstead, mereka ditunggu oleh kejutan besar. Masa lalu memang seperti hantu, menuntut untuk digenapi. Bisakah Gladys dan Callum bertahan dan memiliki keberanian untuk mengakui perasaan yang sudah begitu transparan?
Meski Gladys ingin menjauh dari Callum, semesta tampaknya dengan keras kepala justru melakukan sebaliknya. Ditambah dengan Lulu, si orang ketiga antimainstream yang mementahkan semua upayanya.
Gladys berusaha menyangkal kebenaran yang disuarakan hatinya, hingga perjalanan ke Pompeii meruntuhkan segalanya. Hatinya tak lagi aman dari pesona Callum.
Sayang, kembali ke Hampstead, mereka ditunggu oleh kejutan besar. Masa lalu memang seperti hantu, menuntut untuk digenapi. Bisakah Gladys dan Callum bertahan dan memiliki keberanian untuk mengakui perasaan yang sudah begitu transparan?
***
“Menyerah?
Mimpi kalau kau mengira aku akan mundur begitu saja. Kali ini, aku ingin
sungguh-sungguh berjuang. Aku tak mau menyesal karena tidak cukup berusaha. Walau
akhirnya aku gagal, misalnya, tidak ada alasan untuk bertekuk lutut dengan
mudah.”
Hlm.
207
Gladys
Zayna Raviv tidak menduga akan kehadiran seorang tetangga baru, bahkan lebih
tidak menduga lagi bahwa tetangga barunya itu adalah seorang pembalap F1.
Callum Kincaid. Laki-laki yang telah lama berkarir di dunia balap itu tak bisa
dipungkiri mampu menarik perhatian Lulu—putri Gladys sejak pertama mereka
bertemu. Kecintaan Lulu terhadap tetangga sebelumnya, rupanya masih terbawa
hingga sekarang saat Callum menjadi penghuni rumah baru di kawasan Hampstead
itu. Tak heran apabila Lulu tidak butuh waktu lama untuk dekat dengan Callum.
Namun
lain halnya dengan Gladys. Meski putri semata wayangnya sangat betah berada di
dekat Callum, namun sikap Callum yang sering tidak sopan padanya membuat Gladys
enggan. Namun, waktu terus berjalan, dan rupanya kedekatan Callum dengan Lulu
makin intens. Hal ini secara tidak sengaja membuat Gladys menahan rasa sesak di
hatinya. Ia sungguh terharu dengan apa yang Callum lakukan pada putrinya itu.
Hingga
suatu hari, Callum mengajak Gladys untuk berlibur bersama. Mereka akan terbang
ke Napholi. Kebetulan Callum memang ada pertemuan di Milan, dekat dengan
Napholi. Maka tak heran apabila laki-laki itu tanpa enggan langsung menawarkan
ajakannya itu kepada Gladys sekeluarga. Hingga di suatu kesempatan saat
berlibur bersama, mereka mengujungi Pompeii. Sebuah kota yang pernah terkubur
beribu tahun dan baru ditemukan beberapa tahun setelahnya. Di kota yang
terkenal dengan arsitektur bangunan kuno dan banyak reruntuhan itulah, Gladys
menyadari satu hal, perasaannya kepada Callum dan pesona lelaki itu tidak bisa
diabaikan begitu saja.
Namun
sekembalinya mereka ke Hampstead, dan saat Gladys mulai memupuk keteguhan
hatinya, bertubi-bertubi masalah justru datang menimpa hidupnya. Masa lalu. Tak
bisa dipungkiri, kenangan buruk di masa lalu kembali mengusik hidupnya.
Membawanya ke satu pusaran kuat yang siap untuk menghisapnya. Seakan tak cukup,
Gladys juga kembali dihadapkan kepada satu fakta mengejutkan yang membuat
dirinya tidak berdaya. Dan tahukah kalian, salah satu masalah itu rupanya juga
akan mengancam kelangsungan hubungannya dengan Callum.
Lantas,
di saat yang bersamaan, apakah Gladys bisa benar-benar tegar untuk menghadapi
semuanya? Atau justru, menjelma bak reruntuhan yang menyedihkan seperti halnya
Kota Pompeii?
***
“Aku
tidak mau melihatmu menangis lagi. Mulai sekarang, aku melarangmu bersedih
untuk alasan apa pun.”
Hlm.
189
“Aku
tidak akan mengumbar janji, itu bukan gayaku. Katakan, apa yang harus kulakukan
agar kau percaya padaku?”
Hlm.
191
Novel
ini berbeda.
Dari
dua buku Around The World with Love
yang aku baca sebelumnya, novel ini benar-benar memberi kesan tersendiri. Ini
adalah kali kedua aku membaca buku dari Kak Indah Hanaco. Setelah aku
dimanjakan dengan latar Edinburgh lewat Love in Edinburgh, kini aku diajak
penulis untuk menyusuri lika-liku dari kedua tokoh utamanya di Hampstead,
London. Mungkin kalian menyimpan pertanyaan, loh kenapa kok nggak Pompeii?
Tenang, akan aku jelaskan di bawah nanti.
Pertama,
buku ini memiliki ide cerita yang menarik. Tentang hubungan dari sepasang
tetangga yang berawal dari sepiring apple
pie. Perjalanan kisah kedua tokoh utama ini tidak langsung menuju ke satu
arah. Keduanya memiliki sudut pandang dan cara berpikir yang berbeda, dan hal
itulah yang awalnya membuat mereka—Callum dan Gladys—lebih banyak berselisih
paham daripada bersikap baik satu sama lain. Memang, Gladys yang diceritakan
sebagai perempuan berdarah Asia, memiliki gaya hidup tersendiri dengan Callum
yang lahir di Australia dan kemudian menetap di Eropa. Namun kadang,
perselisihan-perselisihan kecil antara keduanya ini membuat kita gemas. Tak
pernah terpikirkan sebelumnya akan menemukan cerita dengan ide yang cukup
menarik seperti ini.
Kedua,
kehadiran tokoh Lulu. Putri semata wayang Gladys ini, selain lucu dan menggemaskan,
juga memiliki peran yang cukup penting. Terutama dalam perihal hubungan Callum
dan Gladys. Ikatan emosi antara Gladys dan Lulu yang tidak bisa dibantah,
membuat Gladys kerap kali merasakan apa yang putrinya ini rasakan, terlebih
saat berada di dekat Callum. Hal ini pula yang pada akhirnya mengubah cara
pandang Gladys kepada Callum, begitu pula sebaliknya. Kemudian, tokoh Callum di
sini menurutku adalah tokoh yang patut diidolakan, terutama oleh kaum hawa.
Selain karena profesinya, juga karena betapa besarnya kecintaan dan
kepeduliannya terhadap anak kecil. Tipikal laki-laki dewasa yang cool tapi suka
dengan anak-anak seperti Callum ini sudah sangat jarang kita temui. Jadi, sekali
ada orang yang paket komplit seperti Callum, meski itu fiktif sekali pun, akan
mampu menarik simpati kita.
Ketiga,
ini bagi yang bertanya-tanya tentang setting Pompeii. Ya, secara keseluruhan,
buku ini memang berlatar di London, tepatnya di Hampstead. Pompeii hanya
menjadi salah satu destinasi tempat yang Gladys dan Callum kunjungi, itu pun
tidak banyak. Tidak ada seperempat bagian buku. Namun perlu kalian ketahui
kenapa Kak Indah Hanaco lebih memilih Pompeii sebagai judul novelnya, dan
bukannya Love in London (karena Love in London adalah kepunyaannya Kak
Silvarani, hehe). Jadi begini, di novel ini diceritakan bahwa Gladys dan Callum
berlibur ke Napholi, lalu kemudian ke Pompeii. Nah di Pompeii itulah, Gladys
benar-benar menyadari dari apa yang sedang bergelora di hatinya. Berawal dari
situ, Gladys tidak bisa menyangkal lagi bahwa hati, bahkan dirinya sendiri,
memiliki arah perasaan yang sama. Di luar itu, setting Pompeii, meski hanya sekilas,
berhasil disampaikan dengan baik pula. Kota yang lebih tepat disebut sebagai
situs bersejarah ini menyimpan banyak cerita dan budaya masyarakat yang kerap
dikaitkan dengan mitos tentang penyebab terkuburnya kota ini.
Keempat,
perlu kalian ketahui bahwa novel ini tidak flat atau lempeng begitu saja.
Menjelang akhir, kalian akan menemukan beberapa twist yang dijamin akan membuat kalian berdecak kagum, atau bahkan
tidak percaya. Kak Indah Hanaco pandai sekali menyimpan twist ini dari awal
sampai akhir, tidak sedikit pun menduga hal demikin loh aku sebelumnya. Pada
awalnya sih aku sempet ngira kalau twist di
novel ini hanya sebatas masa lalu Gladys dengan si N***, but the reality is more than it. I really appreciate! Kemudian, ada
satu bagian lucu di ending yang membuat aku menertawakan kekonyolan sikap
Gladys. Hehe, mengecoh sekali, aku pun juga sempat terkecoh karenanya. Kok aku
juga jadi nggak inget ya kalau Callum itu… *sensor* hahaha.
Kelima,
buku ini menyiratkan pesan yang cukup menohok. Terutama tentang bagaimana kita
menyikapi masa lalu. Digambarkan lewat tokoh Gladys yang terlalu takut untuk
menyelesaikan masalah, bahkan untuk sekadar menegok ke belakang saja ia enggan.
Malah lebih memilih untuk melarikan diri. Lewat kisah ini, betapa aku bisa
merasakan bahwa masa lalu, jika dibiarkan tanpa penyelesaian, akan menjadi
hantu yang menakutkan di masa depan. Beda halnya apabila kita sudah berani
ambil sikap secara langsung, maka bayang-bayang masa lalu pun tidak perlu kita
khawatirkan.
Secara
keseluruhan, sama halnya seperti Pompeii dan sejarah yang menyertainya, cerita
ini akan selalu mengundang ketertarikan untukku!
Terima
kasih!
***
“Kebenaran memang kadang pahit dan
menyakitkan. Tapi, tidak ada yang bisa mengurangi efeknya tanpa membuka semua
rahasia.”
Hlm.
220
Walah, dugaan saya terkecoh. Dikira Kota Pompeii itu menjadi latar tempat utama. Tapi, mungkin selama tour di Kota Pompeii, kesan cintanya memang lebih mengena dan benar menurutmu, itu semacam titik kesadaran kalau si Callum itu loveable. Hehehe, bener gak? :)
BalasHapusHmm baca sendiri saja bukunya, Mas. Hehehe
HapusSelamat ya Bintang, ulasan yang ini jadi #ResensiPilihan minggu ini! Terus menulis!
BalasHapusTerima kasih Kak Raafi!
Hapus