Blurb:
Tahun
ini, Sophie dan Agatha digadang-gadang menjadi murid Sekolah Kebaikan dan
Kejahatan yang legendaris, tempat anak-anak laki-laki dan perempuan dididik
menjadi pahlawan dan penjahat dalam dongeng. Dengan gaun pink, sepatu kaca, dan
ketaatannya pada kebajikan, Sophie sangat yakin akan menjadi lulusan terbaik
Sekolah Kebaikan sebagai putri dalam dongeng. Sementara itu, Agatha, dengan rok
terusan warna hitam yang tak berlekuk, kucing peliharaan yang nakal, dan
kebenciannya pada hampir semua orang, tampak wajar dan alami untuk menjadi
murid Sekolah Kejahatan.
Namun ketika kedua gadis itu diculik oleh Sang Guru, terjadi sebuah kesalahan. Sophie dibuang ke Sekolah Kejahatan untuk mempelajari Kutukan Kematian; sementara Agatha masuk ke Sekolah Kebaikan bersama para pangeran tampan dan putri cantik mempelajari Etiket Putri. Bagaimana jika ternyata kesalahan ini adalah petunjuk pertama untuk mengungkap diri Sophie dan Agatha yang sesungguhnya?
Sekolah Kebaikan dan Kejahatan menawarkan petualangan luar biasa dalam dunia dongeng yang menakjubkan, di mana satu-satunya jalan keluar dari dongeng adalah... bertahan hidup. Di Sekolah Kebaikan dan Kejahatan, kalah bertarung dalam dongengmu bukanlah pilihan.
Namun ketika kedua gadis itu diculik oleh Sang Guru, terjadi sebuah kesalahan. Sophie dibuang ke Sekolah Kejahatan untuk mempelajari Kutukan Kematian; sementara Agatha masuk ke Sekolah Kebaikan bersama para pangeran tampan dan putri cantik mempelajari Etiket Putri. Bagaimana jika ternyata kesalahan ini adalah petunjuk pertama untuk mengungkap diri Sophie dan Agatha yang sesungguhnya?
Sekolah Kebaikan dan Kejahatan menawarkan petualangan luar biasa dalam dunia dongeng yang menakjubkan, di mana satu-satunya jalan keluar dari dongeng adalah... bertahan hidup. Di Sekolah Kebaikan dan Kejahatan, kalah bertarung dalam dongengmu bukanlah pilihan.
***
Kisah
unik sekaligus menyeramkan ini muncul di sebuah desa yang bernama Gavaldon. Pada setiap tahunnya, dua
orang anak dari desa tersebut selalu dinyatakan hilang. Bukan hilang karena
diculik manusia biasa, atau karena dimakan hewan buas. Namun hilang secara
misterius, bersama orang yang juga misterius. Lebih misteriusnya lagi,
anak-anak yang hilang tersebut, dalam kurun waktu yang cukup lama, kembali
lagi. Namun bukan dalam bentuk sempurna secara fisik, namun dalam sebuah
dongeng.
Memang
misterius, namun, hal itu terus terjadi hingga sekarang. Konon, setiap anak
yang diculik akan dididik di sebuah Dunia
Dongeng yang terbagi menjadi dua bagian, Sekolah Kejahatan dan Sekolah
Kebaikan. Malam ini, seperti malam-malam yang pernah terjadi di tahun
sebelumnya. Para penduduk Desa Gavaldon sedang berjaga untuk mencegah ‘si
penculik’ agar tidak masuk ke kawasan desa mereka dan melakukan perbuatan
kejinya. Namun sungguh sia-sia, ‘si penculik’ yang biasa disebut Sang Guru bukanlah manusia kasat mata
yang bisa ditangkap begitu saja. Dia menyerupai sebuah bayangan hitam yang bisa
melayang tanpa harus takut tertangkap warga. Dan seperti yang sudah diduga,
penculikan itu kembali berhasil.
Kali
ini, korbannya adalah dua orang gadis yang sama-sama bersahabat, namun sangat
bertolakbelakang. Sophie, gadis yang
selalu tampil rapi, cantik, dan kerap menunjukkan kebaikannya, dan Agatha, si penyendiri yang menempati
sebuah rumah menyeramkan di dekat pekuburan. Di saat Sophie sangat berharap
akan diculik dan dimasukkan ke Sekolah Kebaikan oleh Sang Guru, Agatha justru
bertindak sebaliknya. Dia memang awalnya tidak percaya, namun melihat apa yang
terjadi dengannya sekarang, membuat ia seketika percaya bahwa dunia dongeng itu
benar-benar ada.
Namun
sebuah kesalahan terjadi. Tidak
seperti yang Sophie harapkan, ia justru dimasukkan ke Sekolah Kejahatan dan
bergabung dengan murid-murid menyeramkan lainnya. Dan Agatha, yang sudah yakin
jika dirinya akan menempati Sekolah Kejahatan, justru dimasukkan ke Sekolah
Kebaikan bersama para gadis cantik dan peri-peri yang suka betebangan ke sana
ke mari.
Lantas,
bagaimanakah keduanya menyikapi kesalahan ini? Atau justru, sebenarnya ini
menjadi awal terkuaknya jati diri mereka yang sebenarnya?
***
Di
hutan purbakala
Berdirilah
Sekolah Kebaikan dan Kejahatan
Dua
menara bagai kepala kembar
Satu
untuk yang tulus
Satu
untuk yang keji
Sia-sia
mencoba kabur
Satu-satunya
jalan keluar adalah
Melalui
dongeng…
The School for Good and Evil
karangan Soman Chainani ini menjadi
buku fantasy fiction luar negeri
pertama yang saya baca. Awalnya, saya memang merasakan kekhawatiran, bagaimana
jika jalan ceritanya rumit dan susah dipahami? Bagaimana kalau saya tidak
berhasil menangkap apa yang diceritakan penulis? Namun ternyata salah, sejak
awal, buku ini sudah sangat menawarkan ide dan jalan cerita yang menarik.
Di
awal buku, memang banyak sekali pertanyaan, siapa Sang Guru? Dan penculikan apa
yang dimaksud di sini? Namun seiring membuka lembar demi lembarnya, saya jadi
tahu apa yang sesungguhnya menjadi garis besar cerita buku ini. Saya akui
memang sangat menarik. Terlepas dari ini novel fantasy, ide cerita seperti ini
tetap saja membuat saya tak habis pikir. Bukankah tidak pernah sedikit pun
terbesit di pikiran kalian, ada sebuah penculikan dari negeri dongeng, dan
mereka yang diculik tersebut muncul kembali dalam bentuk tokoh yang ada di buku
dongeng? Saya akui memang ini sangat menarik.
Seperti
yang sudah saya singgung di akhir bagian sinopsis tadi, bagaimana jika
kesalahan penculikan ini justru menguak jati diri Agatha dan Sophie yang
sebenarnya? Tapi memang benar, penulis yang pada awalnya membentuk image Sophie
sebagai gadis baik—sehingga ia merasa pantas di Sekolah Kebaikan—dan Agatha
yang terlihat kumal juga menyeramkan—sehingga ia terlihat pantas jika dimasukkan
ke Sekolah Kejahatan, rupanya hanyalah tipu daya belaka. Seiring kita membuka
lembar demi lembar buku ini, yang terjadi justru sebaliknya. Memang, di sini
penulis tidak mengatakan secara langsung bagaimana sesungguhnya jati diri
sebenarnya mereka. Namun dengan ditonjolkannya karakter keduanya—baik lewat
sikapnya kepada tokoh lain atau konflik batinnya—lebih kuat lagi, saya
menyimpulkan bahwa penculikan itu bukan sebuah kesalahan.
Secara
otomatis, hal ini turut mengajarkan kepada kita bahwa jangan selalu menilai
kepribadian orang dari cara berpakaian atau penampilannya. Karena yang ada di
sini justru mengajarkan kita untuk tetap berprasangka baik kepada yang tidak
selalu elok dipandang mata, dan juga harus waspada kepada yang baik dari
tampilan luarnya. Keegoisan Sophie dan kebaikan juga rendah hatinya Agatha
adalah satu dari sekian bukti yang cukup kita jadikan pelajaran dalam penilaian
terhadap karakter seseorang.
Selain
itu, saya juga mengagumi bagaimana penulis mendeskripsikan setiap detil yang
ada di Sekolah Kejahatan mau pun Sekolah Kebaikan. Penggambarannya yang sangat
visulalis dengan begitu mudah membantu pembaca untuk mengimajinasikan bagaimana
cerita yang sedang diceritakan. Hanya saja, saya merasa tidak nyaman dengan
beberapa dialog antartokoh yang menurut saya rada kaku. Bisa dibilang sedikit
memang, tapi cukup membuat saya tersendat-sendat. Jadi, tak ayal saya merasa
kebingungan di beberapa bagian, terutama saat dialog, membuat saya membacanya
berulang kali demi memahami ke mana arah pembicaraan tersebut. Apalagi, di
novel ini saya rasa dialog lebih mendominasi daripada narasinya.
Untuk
akhir ceritanya, saya memang tidak menyangka, dan seketika saya merasa haru
saat menyadari bahwa persahabatan adalah segalanya. Tidak ada lagi yang perlu
saya katakan, secara keseluruhan, The School for Good and Evil ini berhasil
mengisi waktu luang saya selepas ujian—dan sekaligus menjadi penghiburan atas
pengumuman SNMPTN, hehehe.
By the way,
kisah ini ditutup dengan sangat manis.
***
“Seorang
putri dan penyihir… berteman.”
Hlm. 580
Aku udah baca sampai seri 2 dan sukses penasaran dengan seri ketiganya
BalasHapusWiihh pasti lebih seru ya, semoga aku juga berkesempatan baca :))
Hapus