Selasa, 09 Mei 2017

[Book Review] The School for Good and Evil - Soman Chainani




Judul : The School for Good and Evil
Penulis : Soman Chainani
Penerjemah : Kartika Sofyan
Cetakan : Keenam, Februari 2017
Tebal : 580 halaman
Penerbit : Bhuana Sastra
Kategori : Novel (Teen Fantasy Fic)
ISBN : 978 – 602 – 249 – 756 – 1  

Blurb:

Tahun ini, Sophie dan Agatha digadang-gadang menjadi murid Sekolah Kebaikan dan Kejahatan yang legendaris, tempat anak-anak laki-laki dan perempuan dididik menjadi pahlawan dan penjahat dalam dongeng. Dengan gaun pink, sepatu kaca, dan ketaatannya pada kebajikan, Sophie sangat yakin akan menjadi lulusan terbaik Sekolah Kebaikan sebagai putri dalam dongeng. Sementara itu, Agatha, dengan rok terusan warna hitam yang tak berlekuk, kucing peliharaan yang nakal, dan kebenciannya pada hampir semua orang, tampak wajar dan alami untuk menjadi murid Sekolah Kejahatan.

Namun ketika kedua gadis itu diculik oleh Sang Guru, terjadi sebuah kesalahan. Sophie dibuang ke Sekolah Kejahatan untuk mempelajari Kutukan Kematian; sementara Agatha masuk ke Sekolah Kebaikan bersama para pangeran tampan dan putri cantik mempelajari Etiket Putri. Bagaimana jika ternyata kesalahan ini adalah petunjuk pertama untuk mengungkap diri Sophie dan Agatha yang sesungguhnya?


Sekolah Kebaikan dan Kejahatan menawarkan petualangan luar biasa dalam dunia dongeng yang menakjubkan, di mana satu-satunya jalan keluar dari dongeng adalah... bertahan hidup. Di Sekolah Kebaikan dan Kejahatan, kalah bertarung dalam dongengmu bukanlah pilihan.

***

Kisah unik sekaligus menyeramkan ini muncul di sebuah desa yang bernama Gavaldon. Pada setiap tahunnya, dua orang anak dari desa tersebut selalu dinyatakan hilang. Bukan hilang karena diculik manusia biasa, atau karena dimakan hewan buas. Namun hilang secara misterius, bersama orang yang juga misterius. Lebih misteriusnya lagi, anak-anak yang hilang tersebut, dalam kurun waktu yang cukup lama, kembali lagi. Namun bukan dalam bentuk sempurna secara fisik, namun dalam sebuah dongeng.

Memang misterius, namun, hal itu terus terjadi hingga sekarang. Konon, setiap anak yang diculik akan dididik di sebuah Dunia Dongeng yang terbagi menjadi dua bagian, Sekolah Kejahatan dan Sekolah Kebaikan. Malam ini, seperti malam-malam yang pernah terjadi di tahun sebelumnya. Para penduduk Desa Gavaldon sedang berjaga untuk mencegah ‘si penculik’ agar tidak masuk ke kawasan desa mereka dan melakukan perbuatan kejinya. Namun sungguh sia-sia, ‘si penculik’ yang biasa disebut Sang Guru bukanlah manusia kasat mata yang bisa ditangkap begitu saja. Dia menyerupai sebuah bayangan hitam yang bisa melayang tanpa harus takut tertangkap warga. Dan seperti yang sudah diduga, penculikan itu kembali berhasil.

Kali ini, korbannya adalah dua orang gadis yang sama-sama bersahabat, namun sangat bertolakbelakang. Sophie, gadis yang selalu tampil rapi, cantik, dan kerap menunjukkan kebaikannya, dan Agatha, si penyendiri yang menempati sebuah rumah menyeramkan di dekat pekuburan. Di saat Sophie sangat berharap akan diculik dan dimasukkan ke Sekolah Kebaikan oleh Sang Guru, Agatha justru bertindak sebaliknya. Dia memang awalnya tidak percaya, namun melihat apa yang terjadi dengannya sekarang, membuat ia seketika percaya bahwa dunia dongeng itu benar-benar ada.

Namun sebuah kesalahan terjadi. Tidak seperti yang Sophie harapkan, ia justru dimasukkan ke Sekolah Kejahatan dan bergabung dengan murid-murid menyeramkan lainnya. Dan Agatha, yang sudah yakin jika dirinya akan menempati Sekolah Kejahatan, justru dimasukkan ke Sekolah Kebaikan bersama para gadis cantik dan peri-peri yang suka betebangan ke sana ke mari. 

Lantas, bagaimanakah keduanya menyikapi kesalahan ini? Atau justru, sebenarnya ini menjadi awal terkuaknya jati diri mereka yang sebenarnya?

***
Di hutan purbakala
Berdirilah Sekolah Kebaikan dan Kejahatan
Dua menara bagai kepala kembar
Satu untuk yang tulus
Satu untuk yang keji
Sia-sia mencoba kabur
Satu-satunya jalan keluar adalah
Melalui dongeng…


The School for Good and Evil karangan Soman Chainani ini menjadi buku fantasy fiction luar negeri pertama yang saya baca. Awalnya, saya memang merasakan kekhawatiran, bagaimana jika jalan ceritanya rumit dan susah dipahami? Bagaimana kalau saya tidak berhasil menangkap apa yang diceritakan penulis? Namun ternyata salah, sejak awal, buku ini sudah sangat menawarkan ide dan jalan cerita yang menarik.

Di awal buku, memang banyak sekali pertanyaan, siapa Sang Guru? Dan penculikan apa yang dimaksud di sini? Namun seiring membuka lembar demi lembarnya, saya jadi tahu apa yang sesungguhnya menjadi garis besar cerita buku ini. Saya akui memang sangat menarik. Terlepas dari ini novel fantasy, ide cerita seperti ini tetap saja membuat saya tak habis pikir. Bukankah tidak pernah sedikit pun terbesit di pikiran kalian, ada sebuah penculikan dari negeri dongeng, dan mereka yang diculik tersebut muncul kembali dalam bentuk tokoh yang ada di buku dongeng? Saya akui memang ini sangat menarik.

Seperti yang sudah saya singgung di akhir bagian sinopsis tadi, bagaimana jika kesalahan penculikan ini justru menguak jati diri Agatha dan Sophie yang sebenarnya? Tapi memang benar, penulis yang pada awalnya membentuk image Sophie sebagai gadis baik—sehingga ia merasa pantas di Sekolah Kebaikan—dan Agatha yang terlihat kumal juga menyeramkan—sehingga ia terlihat pantas jika dimasukkan ke Sekolah Kejahatan, rupanya hanyalah tipu daya belaka. Seiring kita membuka lembar demi lembar buku ini, yang terjadi justru sebaliknya. Memang, di sini penulis tidak mengatakan secara langsung bagaimana sesungguhnya jati diri sebenarnya mereka. Namun dengan ditonjolkannya karakter keduanya—baik lewat sikapnya kepada tokoh lain atau konflik batinnya—lebih kuat lagi, saya menyimpulkan bahwa penculikan itu bukan sebuah kesalahan.

Secara otomatis, hal ini turut mengajarkan kepada kita bahwa jangan selalu menilai kepribadian orang dari cara berpakaian atau penampilannya. Karena yang ada di sini justru mengajarkan kita untuk tetap berprasangka baik kepada yang tidak selalu elok dipandang mata, dan juga harus waspada kepada yang baik dari tampilan luarnya. Keegoisan Sophie dan kebaikan juga rendah hatinya Agatha adalah satu dari sekian bukti yang cukup kita jadikan pelajaran dalam penilaian terhadap karakter seseorang.

Selain itu, saya juga mengagumi bagaimana penulis mendeskripsikan setiap detil yang ada di Sekolah Kejahatan mau pun Sekolah Kebaikan. Penggambarannya yang sangat visulalis dengan begitu mudah membantu pembaca untuk mengimajinasikan bagaimana cerita yang sedang diceritakan. Hanya saja, saya merasa tidak nyaman dengan beberapa dialog antartokoh yang menurut saya rada kaku. Bisa dibilang sedikit memang, tapi cukup membuat saya tersendat-sendat. Jadi, tak ayal saya merasa kebingungan di beberapa bagian, terutama saat dialog, membuat saya membacanya berulang kali demi memahami ke mana arah pembicaraan tersebut. Apalagi, di novel ini saya rasa dialog lebih mendominasi daripada narasinya.

Untuk akhir ceritanya, saya memang tidak menyangka, dan seketika saya merasa haru saat menyadari bahwa persahabatan adalah segalanya. Tidak ada lagi yang perlu saya katakan, secara keseluruhan, The School for Good and Evil ini berhasil mengisi waktu luang saya selepas ujian—dan sekaligus menjadi penghiburan atas pengumuman SNMPTN, hehehe.

By the way, kisah ini ditutup dengan sangat manis.

***

“Seorang putri dan penyihir… berteman.”

Hlm. 580

2 komentar:

  1. Aku udah baca sampai seri 2 dan sukses penasaran dengan seri ketiganya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wiihh pasti lebih seru ya, semoga aku juga berkesempatan baca :))

      Hapus