Minggu, 11 Desember 2016

[Book Review] Love in City of Angels - Irene Dyah



Judul : Love in City of Angels
Penulis : Irene Dyah
Tahun terbit : 2016
Cetakan : Pertama
Tebal : 208 hlm
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Kategori : Novel (ATWWL 3)
ISBN : 978 – 602 – 03 – 3491 – 2 

Blurb:

Ajeng
Gadis kota besar yang sangat bitchy dalam banyak hal., terutama pernikahan. Baginya, cinta Cuma mitos.

Yazan Khan
Malaikat, Master Yoda, Si Poker Face. Ketengannya menemani Ajeng membeli test pack, setenang saat ia menyelipkan bunga di tangan gadis itu. Pendek kata, mengerikan.

Earth
Pria yang berisiko membuatmu lupa segala, termasuk namamu sendiri.

Cheetah
Mamalia yang sebaiknya tidak disebut-sebut di depan Ajeng.

Ibu
Dicurigai sudah kehilangan akal sehatnya karena mau menerima kembali pecundang itu.

Masjid Jawa di Bangkok
Tempat kisah-kisah bermula

Krung Thep alias City of Angels alias Bangkok
Di kota ini terlalu tipis antara iman dan godaan. Ajeng lebih suka menyebutnya The Sin City.

***

“Tapi terlalu banyak kebetulan yang terjadi di antara kita, Aju. Kamu kamu memang bukan jodohku, kenapa Tuhan menjadikan semuanya mudah bagiku?”
Hlm. 108

Ajeng sama sekali tak mengira bahwa acara pesta perkenalan Presdir baru yang mulanya sangat menyenangkan itu bisa berubah menyebalkan dalam waktu sekejap. Setidaknya, untuk dirinya sendiri. Acara yang mulanya Ajeng manfaatkan untuk ajang bergosip ini sekarang menjelma bak lingkaran api yang siap membakarnya. Earth, atau siapalah laki-laki itu namanya, tiba-tiba datang menghampiri Ajeng dan berlagak sok kenal. Ups, bukan sok kenal. Tapi memang kenal. Begitu katanya. Kehadiran laki-laki bertampang mesum itu sontak membuat Ajeng bingung dan bertanya-tanya. Dan yang lebih membingungkannya lagi, Earth memanggilnya… cheetah?

Jika disuruh memilih satu malam terburuk dalam hidupnya, maka sudah bisa dipastikan bahwa Ajeng akan memilih malam itu, malam saat tiba-tiba datang lelaki bertampang mesum bernama Earth. Earth berterus terang kepada Ajeng bahwa mereka pernah bertemu sebelumnya lewat Dej—teman lelaki Ajeng. Dan apa yang dikatakan Earth setelahnya, sangat membuat Ajeng terkejut. Mereka rupanya memang pernah bertemu di malam sebelumnya, namun apa yang terjadi di malam lalu itu sungguh mengejutkan Ajeng. Kepalanya serasa dipukul palu keras-keras. Bagaimana mungkin?

Untuk menyingkirkan rasa kekhawatiran dan pikiran buruknya, dengan gerakan cepat Ajeng langsung bergegas meninggalkan tempat tersebut. Tidak menghiraukan rekan atau atasan kerjanya sedikit pun. Namun, saat ia tengah berlari, tiba-tiba badannya menubruk badan seorang laki-laki berpostur tinggi dan membuatnya terhuyung. Sekilas, laki-laki itu terlihat seperti keturunan India. Dan ternyata memang benar, dia Indian. Itu pun setelah Ajeng tahu bahwa laki-laki itu bernama Yazan Khan.

Yazan adalah seorang laki-laki yang berbeda. Dia baik, rajin beribadah, dan yang jelas jauh dari kesan ‘omes’ seperti Earth. Setelah mengetahui bahwa Ajeng dan Yazan berada di kondo yang sama, mereka jadi sering bertemu. Bahkan, tak segan-segan mereka juga sering jalan bersama. Menyusuri kota Bangkok dan mengenal lebih dalam budaya dari Negara Gajah Putih tersebut. Namun kedekatan antar mereka mulai renggang ketika Yazan mulai menunjukkan sikap keseriusannya. Ajeng, yang memiliki prinsip untuk tidak terikat komitmen dan hubungan justru berpaling menjauh dan berusaha melupakan Yazan. Namun sayangnya, pesona laki-laki itu terlalu menawan untuk diabaikan.

Lantas, apakah Ajeng akan tetap berpegang teguh pada prinsipnya sebagai wanita karir, atau justru terkecoh dengan pesona menawan seorang Yazan? Dan, Earth. Hei! Siapa laki-laki itu? Dan fakta mengejutkan apa yang coba ia utarakan kepada Ajeng? Psssttt cukup! Ajeng tak ingin mendengar nama laki-laki itu lagi!

***

This is Bangkok. The Sin City. Orang-orang tidak peduli pada satu dua pelukan atau ciuman. You can have a one night stand with anyone and nobody cares! Even you can hire gorgeous prostitute girls easily, and still nobody cares!”
Hlm. 78

“Manusia selalu punya khilaf, tapi manusia juga selalu punya kesempatan untuk memperbaiki diri.”
Hlm. 203

Kedua kalinya membaca buku tulisan Kak Irene Dah, dan untuk kedua kalinya pula aku tidak dibuat kecewa. Novel yang tergabung ke dalam seri Around The World with Love putaran ke-3 bersama 3 buku lainnya ini berhasil meninggalkan kesan tersendiri buatku. Mulai dari penokohan, eksplor setting, dan konflik yang mewarnainya.

Love in City of Angels, mengusung Bangkok—Ibukota Thailand—sebagai latar utama ceritanya. Kalian mungkin sudah tahu, aku selalu menyimpan ekspektasi dan perhatian lebih terhadap novel yang didominasi oleh unsur setting atau pun lokalitas. Dan hal tersebut benar-benar aku dapatkan di novel ini. Pertama, kita akan dibawa ke dalam lingkup dunia kerja Ajeng. Kemudian, secara perlahan latar Bangkok mulai dikembangkan dengan menghadirkan banyak adegan yang berlatar di beberapa tempat ternama di Bangkok. Seperti Masjid Jawa, Sungai Chao Phraya, Taman Benjasiri, dan lain-lain. Begitu pula dengan sarana transportasi umum yang identik dengan negara tersebut, yakni tuk-tuk.


Tuk-Tuk kendaraan umum khas Thailand

SUMBER : DI SINI

Selain itu, beberapa budaya turunan masyarakat Thailand juga turut mewarnai buku dengan ketebalan 200 halaman ini. Alih-alih mendalami kisah cinta oleh dua tokoh utamanya, pembaca juga seolah diajak berpetualang menyusuri seluk beluk kota Bangkok, yang tentunya sangat membuatku jatuh cinta. Seperti misal festival Songkran yang menjadi daya tarik tersendiri untuk novel ini. Cara penulis mendeskripsikan dan melibatkan tokoh-tokohnya dalam acara tahunan tersebut mampu menyalurkan euphoria yang ada di dalam buku dengan otak pembaca. This is the one part that I love. Dengan dimasukkannya unsur budaya dan destinasi-destinasi menarik di Bangkok tersebut, secara tidak langsung juga membuat novel ini memiliki sisi informatif tersendiri. Tapi sebenarnya, saat mengetahui buku ini mengangkat latar Bangkok, aku sempat berekspektasi bahwa akan ada sedikit bagian ceritanya yang menyinggung tentang sekelompok masyarakat di Thailand Selatan yang menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa komunikasi utama mereka. Selama ini aku sangat penasaran sekali dengan kehidupan mereka. Namun sayangnya hal tersebut tidak aku temukan di sini. Tidak masalah sih, karena buku ini tidak sepenuhnya eksplor Thailand, melainkan fokus di Bangkok. Dan ini pun sebenarnya hanya masalah selera. So far, aku cukup puas dengan eksplor settingnya.

Penokohannya sangat nyata dan hidup sekali, setidaknya di pikiranku. Aku seolah bisa mengenal karakter dan pribadi Ajeng secara luar dalam. Wataknya yang ‘nakal’ dan ala-ala wanita metropolitan, membuat tokoh ini tidak bisa begitu saja dilupakan. Pun dengan monolog yang kerap beradu di pikirannya, membuatku tertawa dan kadang pengin nyubit di waktu yang bersamaan, hahaha. Penggunaan PoV 1 sebagai Ajeng pun menurutku adalah langkah tepat. Kita akan mengikuti arus jalan ceritanya berdasarkan sudut pandang Ajeng yang benar-benar asyik. Hal ini karena juga tak lepas dari pengaruh perwatakan Ajeng yang memang tidak biasa tadi. Jika untuk Yazan, tokoh satu ini digambarkan memiliki sifat yang baik hati, lemah lembut, tegas, dan rajin beribadah. Hal tersebut sangat berbanding terbalik apabila kita sandingkan dengan Ajeng. So, komunikasi yang terjalin antar mereka pun awalnya memang rada kaku, tapi juga bikin gemas. Dan cara penulis meleburkan suasana antar keduanya sangat aku suka. Mengikis secara perlahan sikap keras Ajeng menjadi kian luluh dan relate dengan keberadaan Yazan.

Kemudian, tidak hanya memasukkan konflik seputar kisah cinta, namun juga keluarga. Kisah masa lalu Ajeng dan keluarganya memberikan nuansa drama yang cukup terasa di novel ini. Sejenak, membuat kita berpikir bahwa menghormati keberadaan orang tua adalah hal yang utama. Pun dengan Earth, lelaki bertampang mesum ini berhasil menambah keseruan konflik cerita di Love in City Of Angels. Lebih serunya lagi, ketika Kak Irene memasukkan satu twist yang cukup mengejutkan di ending terkait Earth. Sangat surprise sekali, karena memang di awal-awal tidak ada sedikit pun kode yang mengarah ke twist tersebut, dan penulis berhasil menyembunyikannya secara baik. Sama saat seperti dulu membaca Complicated Thing Called Love. Namun bedanya, di novel ini plot twist-nya lebih nendang sih, hehehe.

Berani bertaruh, novel ini akan panen banyak bintang di Goodreads!

Terima kasih!

***

 “Ajeng, aku tidak peduli dengan masa lalumu. Yang terpenting adalah kamu mengizinkan aku menemanimu sekarang dan di masa depan.”
Hlm. 112


2 komentar:

  1. Wah, saya penasaran berapa bintang di goodreads untuk novel Love in City of Angels ini. Hanya saja, saya tidak menemukan pembahasan transgender yang sudah seperti jadi identitas negara Thailand, dan mungkin Bangkok jadi kota yang paling banyak transgender-nya. Untuk sisi pendalaman agama terbesar di negara di situ juga tidak saya temukan di review ini. Bintang, kasih bocoran dong dua hal tadi disinggung tidak di novel ini?

    Oya, Bin, masih ada beberapa typo nih di review ini, dibenahi lagi ya! :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo Mas Adin, trims untuk komentarnya. Berikut saya akan menyampaikan balasan komentar dari Kak Irene Dyah:

      Terima kasih Adin sudah baca resensi Bintang untuk buku saya :) Saya coba jawab tapi maaf nggak bisa detil..

      (1) Isu transgender: ada. Namun lebih kental dalam bumbu budaya. Bukan gaya hidup.

      (2) Pembahasan tentang agama selain Islam, tidak ada. Sebagai catatan, Islam adalah agama dengan penganut terbanyak kedua di Thailand.

      Semoga puas dengan jawaban ini, dan bikin Adin jadi pengin baca buku, hehehe.

      Salam,
      Irene.

      Hapus