Judul : London Angel Penulis : Windry Ramadhina Tahun terbit : 2013 Cetakan : Keempat, 2014 Tebal : 330 hlm Kategori : Novel (Seri STPC) Penerbit : GagasMedia ISBN : 979 – 780 – 653 – 7 |
Blurb:
Pembaca Tersayang,
Mari berjalan di sepanjang bantaran Sungai Thames, dalam rintik gerimis dan gemilang cahaya dari London Eye.
Windry Ramadhina, penulis novel Orange, Memori, dan Montase mengajak kita menemani seorang penulis bernama Gilang mengejar cinta Ning hingga ke Fitzrovia. Namun, ternyata tidak semudah itu menyatakan cinta. Kota London malah mengarahkannya kepada seorang gadis misterius berambut ikal. Dia selalu muncul ketika hujan turun dan menghilang begitu hujan reda. Sementara itu, cinta yang dikejarnya belum juga ditemukannya. Apakah perjalanannya ini sia-sia belaka?
Setiap tempat punya cerita.
Dalam dingin kabut Kota London, ada hangat cinta menyelusup.
Mari berjalan di sepanjang bantaran Sungai Thames, dalam rintik gerimis dan gemilang cahaya dari London Eye.
Windry Ramadhina, penulis novel Orange, Memori, dan Montase mengajak kita menemani seorang penulis bernama Gilang mengejar cinta Ning hingga ke Fitzrovia. Namun, ternyata tidak semudah itu menyatakan cinta. Kota London malah mengarahkannya kepada seorang gadis misterius berambut ikal. Dia selalu muncul ketika hujan turun dan menghilang begitu hujan reda. Sementara itu, cinta yang dikejarnya belum juga ditemukannya. Apakah perjalanannya ini sia-sia belaka?
Setiap tempat punya cerita.
Dalam dingin kabut Kota London, ada hangat cinta menyelusup.
***
*REVIEW INI MENGANDUNG SPOILER*
Gadis itu selalu datang bersama hujan. Payung merah tak pernah lepas dari genggamannya. Goldilocks, begitulah Gilang menyebutnya. Mereka pertama kali bertemu di depan London Eye. Di sela kegelapan malam yang bercampur gemerlap kota London, gadis itu muncul untuk pertama kalinya di hadapan Gilang. Dia muncul saat hujan turun, dan hilang berbaur dalam kerumunan sesaat setelah hujan reda. Dia misterius. Dia seperti… malaikat. An Angel. Begitulah orang menyebutnya.
Dia menatapku. “Tahukah kau apa yang selalu turun bersama hujan?”
Aku menggeleng.
“Malaikat” kata lelaki itu. Suaranya berubah pelan, seolah-olah dia sedang membisikkan rahasia kepadaku.
Hlm. 126
Meski tidak sepenuhnya percaya pada hal-hal yang berbau magis dan surealis, namun Gilang selalu percaya bahwa keajaiban cinta itu nyata adanya. Dan, kepercayaan itulah yang membuatnya terbang ke London. Tujuan awal Gilang pergi ke London adalah untuk memerjuangkan cintanya kepada Ning. Gadis yang telah ia cintai selama 6 tahun, yang telah lama pula meninggalkan tanah air untuk merintis karirnya di London. Singkatnya, Gilang pergi ke London untuk mendapatkan gadisnya. Namun, perjumpaan antara Gilang dan Ning pada awalnya tidak mudah. Beberapa kali ia menyambangi apartemen gadis itu, namun selalu kosong. Hingga di hari ketiga, ketika kembali ke Madge—tempat penginapan Gilang—Ed, seorang pelayan Madge memberitahu Gilang bahwa ada seseorang yang sedang menunggunya. Dia sedang berada di ruang baca yang terletak di samping restoran Madge. Dan di sanalah, Gilang dan Ning bertemu. Melepas rindu. Menghapus jarak yang terbentang sekian lama di antara mereka.
Meski kini mereka telah bertemu, namun bukan berarti semua berjalan mulus dan tidak ada masalah. Kini, Gilang justru tengah dirundung pilu ketika mengetahui bahwa tidak mudah menyatakan cintanya kepada Ning. Pertama, gadis itu seakan memberi respon buruk ketika Gilang berusaha mengutarakan perasaannya secara langsung. Kedua, Finn—laki-laki seniman patung yang menjadi pusat perhatian Ning. Lihat saja, saat mereka berkunjung ke Galeri milik Finn, Ning begitu antusias melihat patung-patung buatan Finn dan memandangnya penuh arti. Pun dengan Finn, ia tak luput juga dari pandangan penuh kekaguman dari Ning.
Di saat yang bersamaan, Gilang bertemu dengan dua gadis yang sama-sama menyita perhatiannya. Pertama, Goldilocks, gadis berpayung merah yang selalu datang ketika hujan turun dan menghilang begitu saja saat hujan berhenti. Kedua, Ayu, gadis penggila buku yang rupanya juga warga Indonesia. Lantas, di samping pertemuan Gilang dengan kedua gadis itu, akankah niat awalnya untuk menyatakan cinta kepada Ning berhasil? Atau justru, takdir yang akan mengambil alih dan mengubah semuanya?
Teman-teman, dari sinilah keajaiban cinta itu bermula….
***
“Semanis apa pun awalnya, cinta hanya meninggalkan luka. Ilusi, itulah cinta. Ilusi yang membutakan mata.”
Hlm. 132
Sebelumnya, saya ingin mengucapkan terima kasih banyak kepada penulis, Mbak Windry Ramadhina yang kebetulan sekali masih punya 1 stok novel London terakhir ini, sehingga saya bisa beli, hehe. Beruntung sekali, mengingat novel ini sudah termasuk langka di pasaran. Terima kasih ya, Mbak!
Mungkin, perlu penegasan lagi, bahwa saya termasuk salah satu penggemar berat novel Windry Ramadhina. Pertama kali membaca novel karangan Mbak Windry adalah Orange, kemudian dilanjut Last Forever, dan Walking After You. Angel in The Rain? Sudah ada kok, cuma tinggal cari waktu saja untuk baca. Nah, berawal dari ketiga novel itu, saya semakin yakin bahwa tulisan Mbak Windry akan sangat disayangkan jika dilewatkan begitu saja. Alhasil, entah sejak kapan, saya merasa bahwa Windry Ramadhina adalah salah satu penulis favorit sayang karyanya sangat patut untuk dinantikan.
Sebelum membaca London, sebelumnya saya pernah membaca Walking After You, yang mana salah satu tokoh di novel tersebut adalah Ayu—tokoh dari London. Tapi perlu kalian ketahui, bahwa saat saya membaca WAF, saya tidak tahu menahu bahwa Ayu adalah special guest dari novel London. Jadi, saat Ayu secara tiba-tiba muncul di novel tersebut, dengan segala teka-teki yang menyertainya, terus terang membuat saya bingung. Peran apa yang ia mainkan di Walking After You? Namun, belakangan saya tahu bahwa Ayu adalah salah satu tokoh di London: Angel ini. Tapi sejauh yang saya dapat, kehadiran Ayu di WAF juga tidak termasuk tempelan kok. Ada satu bagian yang sangat mempertegas tentang keberadaan Ayu tersebut, dan penjelasan tersirat kenapa ia ambil peran di situ. Yah, memang bisa dibilang bahwa London dan Walking After You memiliki ikatan persaudaraan, hehe.
Kehadiran Ayu yang selalu diiringi hujan dan pergi saat hujan reda di novel WAF, membuat saya berasumsi bahwa yang dimaksud Goldilocks di novel London ini adalah Ayu. Di novel ini, saya sempat mengira bahwa keduanya—meski memiliki sebutan yang berbeda—namun tetap satu orang yang sama. Ayu adalah Goldilocks, begitu juga sebaliknya. Tapi dugaan tersebut seketika terpatahkan saat saya menemui satu bagian yang secara tidak langsung memberi penjelasan bahwa antara Ayu dan Goldilocks adalah dua orang yang berbeda. Inilah salah satu dampak saat saya membaca Walking After You lebih dulu daripada London. Seharusnya urutannya memang London dulu. Tapi sejauh ini, saya tidak kecewa dengan salahnya asumsi tersebut. Justru saya merasa surprise dan sangat tidak menyangka.
Kemudian, buku ini, jika dibilang fantasy, sebenarnya tidak. Pada awalnya memang saya sempat mengira demikian. Karena dengan hadirnya Goldilocks dan segala kemisteriusannya terkait hujan, otomatis membuat kita berpikir bahwa ceritanya cenderung menyentil ke area fantasy. Dibilang tidak karena, mayoritas ceritanya masih berdasar pada realita dan alasan-alasan yang logis. Juga karena tidak seperti cerita pure fantasy lain, yang mungkin ceritanya cenderung berlatar di dimensi lain dari kehidupan kita. Namun, cerita ini menurut saya lebih ke surealisme gitu ya? Atau magis? Entahlah, terlepas dari itu semua, saya sangat acungi jempol untuk cerita ini.
Di beberapa bagian, terdapat pula trivia-trivia mengenai sastra dunia. Seperti tokoh-tokoh sastra, hasil karya mereka, sejarah mereka, dan lain-lain. Tidak cukup mengganggu, karena hanya sepintas dan tidak memakan banyak halaman yang mana hal tersebut kemungkinan besar akan membuat kita jenuh. Penggambaran setting London-nya saya juga sangat suka. Visual sekali. Sangat mudah sekali bagi saya untuk menciptakan bayangan-bayangan fiktif di otak dari apa yang penulis jabarkan. Terlebih London Eye, saya sungguh mengagumi salah satu maskot kebangaan London ini. Mba Windry, kau benar-benar membuatku jatuh cinta dengan London.
Alurnya sendiri sungguh mengalir, saya sangat menikmati setiap jalinan ceritanya. Pun dengan kehadiran beberapa tokoh yang dirasa tidak penting, tapi memiliki ‘arti’ yang cukup besar untuk ceritanya. Seperti Mr. V, Madge, dan Mr. Lowesley. Karena mereka, cerita ini jadi lebih semarak dan indah. Penggunaan sudut pandang orang pertama dari tokoh Gilang pun tidak menggangguku. Tidak ada kekurangan berarti. Namun di awal, saya agak merasa aneh saja dengan Gilang. Kenapa coba ia baru berniat cari Ning ke London sekarang? Enam tahun loh. Dan selama enam tahun itu dia kemana aja? Anehnya lagi, dia dapat kesadaran itu dari teman-temannya saat mabuk? Yah, rada kurang masuk akal saja sih menurut saya. Tapi apa boleh buat, saya telanjur jatuh cinta dengan buku ini.
Setelah ini, saya sudah menyusun agenda untuk membaca ulang Walking After You, baru setelah itu disambung Angel in The Rain. Haahhh, senangnyaaaa bisa baca buku-buku bagus! Tak sabar membaca akhir dari kisah Gilang. Semoga saja saya tidak kapok lagi untuk jatuh cinta dengan buku-buku tulisan Windry Ramadhina.
No more words to say, I just enjoy to read this book! Secara keseluruhan, buku ini cocok dibaca untuk kalian yang sedang berusaha memperjuangkan cinta, dan yang meyakini bahwa keajaiban cinta itu benar-benar ada. Satu lagi, bacalah saat hujan. Yakinlah, kalian akan tersihir dengan ceritanya. Selamat membaca!
Terima kasih!
***
“Setiap orang punya keajaiban cintanya sendiri. Kau hanya belum menemukannya.”
Hlm. 320
Tidak ada komentar:
Posting Komentar