Selasa, 10 Agustus 2021

MILANA: Seorang Gadis Pelukis Senja

 



Judul : Milana
Penulis : Bernard Batubara
Cetakan : Keempat, Agustus 2016
Tebal : 192 hlm
Kategori : Kumpulan Cerpen
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
ISBN : 978 – 602 – 03 – 3299 – 4 


Blurb:

Kali ini saya sudah tahu namanya, Milana. Ia bercerita mengapa ia melukis senja. Dan mengapa ia selalu melakukannya di atas feri yang menyebrangi Selat Bali, dari Banyuwangi ke Jembrana. Ia sedang menunggu kekasihnya. Ia yakin suatu saat kekasihnya akan datang ke tempat ia menunggu. Ia tidak tahu kapan. Ia berkata kepada saya bahwa ia bukan saya yakin, tapi tahu, kekasihnya itu datang kepadanya.

Namun, belakangan saya baru sadar, Milana sedang menunggu seseorang yang tiada.

***

“Aku suka basah. Aku suka hujan. Hujan membuatku merasa hidup.”
--Lelaki Berpayung dan Gadis yang Mencintai Hujan--


Baik, saya mengaku kalah. Sejak sekian lama, saya kukuh mempertahankan argumen mengenai cerpen Bernard Batubara yang cenderung kurang bisa dipahami dan mungkin agak ngelantur. Mengingat cerpen pertamanya yang saya Baca—Jatuh Cinta Adalah Cara Terbaik Untuk Bunuh Diri—tidak meninggalkan kesan apa pun bagi saya, selain ketidakpuasan. Tapi untuk hari ini, saya merasa malu karena saya harus memakan omongan saya sendiri. Cerpen Bernard Batubara sebenarnya tidaklah bagus, melainkan sangat bagus. Tapi saya sungguh mohon maaf, sebenarnya ini sudah harus saya akui ketika  Metafora Padma berhasil saya tamatkan. Hanya saja, MILANA, yang menjadi buku kumpulan cerpen ketiga dari Bara yang saya baca, lebih menyadarkan diri saya bahwa semua argumen miring tadi terbukti salah.

Selain itu, saya pun harus mengakui kebenaran dari spekulasi orang lain yang mengatakan bahwa kekuatan Bernard Batubara ada pada cerpen-cerpen tulisannya. Tapi, saya sedikit tidak setuju ketika mereka mengatakan bahwa novel yang ditulis Bara tidak sebaik cerpennya. Justru, yang membuat saya menyukai tulisan Bara untuk pertama kali adalah novelnya, bukan cerpennya. Jadi kesimpulannya, entah novel atau pun cerpen, saya menyukai keduanya.

Bernard Batubara memang terkenal dengan gaya bahasanya yang cenderung puitis, tur indah. Dan kedua hal itu sangat saya rasakan di setiap ceritanya di buku ini. Alih-alih mendapat kisah revolusioner dan penuh darah seperti di Metafora Padma, kalian justru akan merasa tersipu, atau mungkin juga tersayat dengan kisah yang begitu manis bercampur pilu di sini. Penulis cukup berhasil menuangkan sisi ke-mellow-an dan kemelankolisannya dengan sangat baik. Cerita yang berasal dari hati, benar-benar memikat hati para pembacanya. Jika kalian memahami karakteristik air yang begitu lincah mengalir, maka itu berarti kalian pun akan sangat memahami karakteristik cerita di buku ini. Lincah, mengalir, dan benar-benar menghanyutkan.

Meski MILANA adalah buku kumpulan cerpen pertama yang Bara tulis, namun kesan dan rasa yang ditimbulkan oleh setiap ceritanya tidak jauh berbeda dengan cerpen yang terdapat di buku-buku lain, terutama Metafora Padma. Ini membuktikan bahwa kualitas dari seorang Bernard Batubara cukup stabil dalam kurun waktu hampir 4 tahun ini. Saya begitu mengapresiasi hal tersebut. Tidak jauh berbeda dengan buku kumcernya yang lain, cerita-cerita di buku ini lebih kental oleh unsur roman yang dihadirkan dalam beragam bentuk. Mulai dari penantian akan orang terkasih, pengkhianatan, cinta terlarang, dan lain-lain. Namun, seolah tidak ingin buku ini penuh dengan nuansa mellow, Bernard batubara juga menyelipkan satu-dua cerita yang beraliran magis dan cenderung surealis.

Banyak—atau bahkan hampir keseluruhan—cerita di buku ini yang menonjolkan unsur roman. Bara memang pandai sekali bermain kata. Tak ayal, setiap bab yang kita tinggalkan pun akan selalu meninggalkan kesan. Bahkan, dengan satu kalimat saja, kita bisa merasa terkesan. Seperti yang sudah saya tulis di atas, unsur roman di buku ini dihadirkan dalam berbagai macam bentuk dan kisah dengan beragam varian rasa. Kalian bisa menemukan kisah cinta yang sungguh manis lewat salah satu cerita yang berjudul The Beautiful Stranger. Bab ini bercerita tentang rasa kekaguman seorang lelaki terhadap perempuan asing yang ditemui secara tidak sengaja. Namun sayangnya rasa ketertarikan tersebut hanya berlangsung sesaat, karena si lelaki terlalu malu untuk mengutarakannya. Sama halnya dengan cerita yang berjudul Semalam Bersama Diana Krall. Kisah cinta—diam-diam—yang begitu manis, yang turut dibalut dengan kepiawaian bermusik oleh tokoh utamanya. Orang bilang, cinta dan musik adalah perpaduan yang mengasyikkan, dan itu terbukti sekali di cerita ini.

Tapi saya rasa, kumpulan cerita cinta di buku ini justru banyak yang berlatarbelakang kesedihan, atau pun kekecewaan. Pun dengan akhir ceritanya, tidak jauh dari kesan tersebut. Sebut saja Goa Maria, cerita cinta yang berkisah tentang harapan-harapan dari si tokoh utama yang rupanya harus berakhir dengan pengkhianatan. Cerita serupa lainnya yaitu Lelaki Berpayung dan Gadis yang Mencintai Hujan. Sekilas, cerita di buku ini mengingatkan saya dengan cerita di salah satu novel Windry Ramadhina. Tentang seorang pecinta hujan. Namun meski begitu, bukan berarti kedua cerita ini sangat mirip sekali. Hanya kebetulan saja, tokoh utamanya sama-sama menyukai hujan. Meski bab ini tidak termasuk cerita cinta—karena kedua tokoh utamanya tidak menjalin hubungan asmara—tapi keberadaan hujan sebagai ‘masalah’ utama dan segala filosofi yang menghubungkannya dengan kehidupan si tokoh utama sungguh memperindah cerita ini.

“Selama ini aku pikir aku butuh lebih dari empat putaran. Butuh berkali-kali lipat empat putaran untuk melupakan luka itu. Namun ternyata aku hanya butuh empat putaran. Tepat empat putaran, untuk menemukan kamu yang baru dan memberikan arti lagi pada setiap langkahku.”
--Hanya Empat Putaran--

Selain itu ada pula cerita lain yang berjudul Hanya Empat Putaran. Salah satu cerita dengan latarbelakang masa lalu dan move on yang begitu kuat. Beberapa kisah tentang penantian dan kerinduan yang mendalam dihadirkan lewat cerita yang berjudul Surat Untuk Fa dan Milana. Jika Surat Untuk Fa mungkin lebih kepada penyesalan dan ungkapan permintaan maaf kepada orang terkasih yang telah lama pergi. Dan Milana, cerita yang menjadikan senja sebagai topik bahasan utamanya ini lebih kepada kisah penantian panjang yang sempat saya singgung tadi. Saya sungguh merasa tersentuh ketika penulis membeberkan alasan mengapa Milana sangat menyukai dan selalu melukis senja. Didukung dengan panorama senja yang terkesan sendu, dan selalu membuncahkan harapan, Bara berhasil menyelaraskannya dengan perasaan Milana yang cenderung tidak pernah berhenti berharap. Sebagai cerita penutup, saya akui, Milana benar-benar meninggalkan kesan mendalam. Dan saya rasa memang tepat sekali jika cerita mengenai Gadis Pelukis Senja ini ditempatkan di akhir. Bukankah senja memang selalu mengakhiri hari?

Cerita cukup menyentuh dan menyayat hati lainnya yaitu Jung. Salah satu cerita pendek yang sempat menyinggung tentang hukum adat dan keputusan yang harus diambil setelahnya. Cerita ini berhasil menyadarkan kita betapa ketatnya hidup di lingkungan yang masih sangat menjunjung tinggi nilai adat. Beberapa di antaranya bahkan mau tak mau harus membuat kita mengambil satu keputusan yang berat. Cerita dengan cita rasa lain yaitu Cermin. Dalam cerita ini, aliran surealisnya saya akui memang cukup kental sekali. Dan jika kamu sudah membaca buku kumpulan cerpen Bara yang lain, bisa dipastikan bahwa jenis cerita seperti ini tidak selalu dilewatkan dan selalu ada. Lalu, Bara juga menghadirkan cerita dengan kesan magis dan mistis lewat Tikungan. Saya cukup apresiasi sebenarnya, karena hanya dengan bermodal tikungan saja, Bara berhasil mengembangkannya menjadi cerita yang bagus dengan segala permasalahan dan misteri yang menyertainya.

Nah teman, itu tadi adalah resensi singkat saya atas buku kumpulan cerpen Milana dari Bernard Batubara. Sebagai penutup, saya ingin merekomendasikan buku ini kepada kalian yang lelah dengan cerita panjang dan konflik memusingkan. Dengan membaca buku ini, saya harap, kumpulan-kumpulan cerita di dalamnya bisa memberi penyegaran kepada kalian semua. Didukung dengan gaya bahasa dan cara bercerita yang menghanyutkan, saya yakin kalian akan menutup lembar terakhir buku ini dengan kepuasan.

Sedikit mengutip apa yang dikatakan A. S. Laksana, membaca kata demi kata dalam kumpulan cerita ini memang terasa menyejukkan layaknya bermandi di antara tetesan embun. Selamat membaca!

Terima kasih!

***

“Perempuan itu tidak pernah melukis benda lain selain matahari yang tenggelam. Tidak pernah selain senja.”

--MILANA--

Tidak ada komentar:

Posting Komentar