Judul : Senandika Prisma (Blue Valley)
Penulis : Aditya Yudis
Tahun terbit :2016
Cetakan : Pertama
Tebal : 204 hlm
Penerbit : Falcon Publishing
Kategori : Novel
ISBN : 978 – 602 – 60514 – 2 – 4 |
Blurb:
Di pojok selatan Jakarta, kau akan menemukannya.
Tempat itu tak sepanas bagian Jakarta lainnya. Langit di sana sering berubah
seolah mengikuti suasana hati penghuninya. Kau akan bisa menemukannya dengan
mudah. Ada banyak rumah di sana. Orang menyebut tempat itu Blue Valley.
Rumah nomor 6 kedatangan penghuni baru. Cokelat dan berbulu. Hadiah untuk seorang anak laki-laki yang riang dan lucu. Bibir mungilnya selalu mengulas senyum yang dapat menghapus kesedihan dan menularkan keceriaan.
Namun, kehidupan selalu punya kejutan. Rumah nomor 6 menyimpan kutukan. Gadis manis yang tinggal di sana perlahan kehilangan harapan. Pernikahan yang sudah direncanakan lambat laun berubah menjadi angan belaka. Prisma bertahan di ambang kehancuran. Dia menanggung semua luka untuk menemukan kembali yang telah hilang.
Rumah nomor 6 kedatangan penghuni baru. Cokelat dan berbulu. Hadiah untuk seorang anak laki-laki yang riang dan lucu. Bibir mungilnya selalu mengulas senyum yang dapat menghapus kesedihan dan menularkan keceriaan.
Namun, kehidupan selalu punya kejutan. Rumah nomor 6 menyimpan kutukan. Gadis manis yang tinggal di sana perlahan kehilangan harapan. Pernikahan yang sudah direncanakan lambat laun berubah menjadi angan belaka. Prisma bertahan di ambang kehancuran. Dia menanggung semua luka untuk menemukan kembali yang telah hilang.
***
“Tidak
ada seorang pun yang benar-benar mengenal orang lain. Tidak ada orang yang tidak
memiliki rahasia.”
Hlm.
35
Selamat
datang di cluster Blue Valley. Di rumah bernomor 6, kalian akan menemukannya.
Seorang dokter hewan cantik bernama Prisma yang sebentar lagi akan segera
menikah. Prisma mendapat rumah di Blue Valley itu dari seorang duda yang
kebetulan tengah menjual rumah tersebut sepeninggal istrinya. Namun lucunya,
duda yang dikenal bernama Ian itu justru mencuri pesona pembeli rumahnya,
Prisma. Tidak butuh waktu lama bagi mereka untuk saling mengenal hingga
akhirnya memutuskan untuk menikah. Ya, pernikahan mereka akan digelar sebentar
lagi.
Namun,
beberapa minggu sebelum pernikahan mereka digelar, masalah menimpa. Rory, putra
semata wayang Ian, dikabarkan hilang. Balita berumur empat tahun itu hilang
saat sedang bersama Prisma di mal. Sontak, berita hilangnya Rory turut
mengejutkan seluruh keluarga, kerabat, dan saudara baik dari Prisma mau pun
Ian. Rekaman CCTV yang terpasang di mal rupanya juga tidak cukup membantu.
Dalam rekaman yang agak buram tersebut, hanya terlihat seorang balita tengah
digandeng dengan seorang perempuan dewasa. Namun, benarkah itu Rory?
Bersama
Saddam, Niko, dan beberapa kerabat lain, Ian dan juga Prisma mulai melakukan
penyisiran ke setiap sudut Jakarta. Namun, beberapa hari bahkan beberapa minggu
setelahnya, pencarian tetap tidak memberikan hasil. Waktu terus berjalan hingga
akhirnya mendekati hari H pernikahan Ian dan Prisma.
Lantas,
apakah Ian dan Prisma tetap akan melangsungkan pernikahannya tanpa kehadiran
Rory?
Dan,
sebenarnya, siapakah seseorang yang bersembunyi di balik topeng ‘penculik’ itu?
Sayangnya, dia begitu gesit. Bahkan, baik Ian mau pun Prisma tidak dapat
menyadari keberadaannya, meski hanya berjarak satu helaan napas saja…
***
“Aku
juga menginginkan itu. Kita harus menemukan Rory. Bagaimana pun caranya. Kita
bisa menikah nanti, saat Rory kembali dan ada bersama kita.”
Hm.
63
Senandika
Prisma adalah buku ketiga dari seri Blue Valley yang aku baca. Tapi ini adalah
kali pertamanya aku baca tulisan dari Kak Aditya Yudis. Banyak ketidakpuasan
memang yang aku dapatkan dalam buku setebal 200 halaman ini, namun hal tersebut
tidak menutup kemungkinan apabila aku tetap ingin membaca buku-bukunya yang
lain. Seperti Time After Time, yang selama
ini membuatku penasaran karena ide ceritanya terbilang menarik.
Senandika
Prisma adalah novel yang berkisah tentang hilangnya Rory, anak Ian. Sepanjang
200 halaman, konflik yang disoroti dalam buku ini hanya kasus hilangnya Rory.
Bahkan, karena terlalu fokus di situ, di awal aku sempat terlupa dengan satu
fakta lain, yaitu tentang hari pernikahan Ian dan Prisma yang akan segera digelar.
Alur cerita ini tergolong cepat. Di awal, pada bab pertama, kita sudah diajak
masuk ke konflik utamanya, yaitu tentang hilangnya Rory. Dari situ, di bab-bab
setelahnya kita akan diajak untuk mencari
keberadaan Rory. Sekali lagi aku tegaskan, penulis lebih memfokuskan cerita
pada usaha pencarian Rory, yang membuat kita jenuh dan penasaran dalam satu
waktu yang bersamaan. Jenuh, karena hampir seluruh halaman buku ini ceritanya
hanya mengarah ke situ saja dan tidak ada perkembangan yang signifikan dari
kasus penculikan tersebut—jadi terkesan datar aja, penasaran karena penulis
tidak memberi banyak klu atau petunjuk tentang siapa penculik Rory. Sebenarnya,
aku menemukan satu klu—entah ini bisa dibilang klu apa tidak—yang jelas, dari klu
tersebutlah aku bisa mengambil jawaban tentang siapa penculik Rory, dan
ternyata dugaanku tersebut benar. Wow, hebat? Enggak juga, hehe.
Kejadian
penculikan Rory menurutku juga tidak masuk di akal. Pertama, karena tidak
dijelaskan secara detil bagaimana kronologis penculikan tersebut. Menjelang
akhir, saat penulis membuka identitas penculik tersebut secara tidak langsung,
dan membocorkan sedikit kronologisnya, okelah, aku bisa menerimanya. Namun
tetap saja, aku tidak begitu puas. Banyak sekali pertanyaan yang masih
menggantung. Untuk motif penculikannya sendiri, lumayan bisa diterima secara
logika lah. Kedua, bagaimana mungkin CCTV mal tidak bisa menangkap dengan jelas
adegan penculikan tersebut? Memangnya, CCTV di mal ada berapa sih? Kalau ada
satu sih maklum. Tapi kalau memang banyak, bukankah kita bisa melihat rekaman tidak
hanya dari satu CCTV saja? Ketiga,
seingatku, kok Ian dan Prisma tidak melibatkan polisi dalam memecahkan kasus
ini ya? Yang ada justru paranormal. Tapi beneran, ini aku yang lupa atau gimana
ya, seingatku polisi justru tidak terlibat di sini.
Banyak
tokoh, atau bahkan hanya sekedar nama orang yang disebutkan, namun tidak
berhubungan sama sekali dengan ceritanya dan tidak berpengaruh apa-apa. Seperti
adegan selingan dari Miranda dan Ahmad yang membuatku bertanya-tanya tentang
keterkaitannya dengan cerita utama, dan, jangan lupakan nama satu ini; Santoso.
Who is he? Pada halaman berapa, aku
lupa, yang jelas, penulis sempat menyebut nama ini sebagai salah satu nama yang
diduga terlibat dalam penculikan. Apa mungkin penulis salah tulis nama?
Kemudian, ada cukup banyak pertanyaanku yang tidak terjawab di buku ini.
Seperti teror kucing-kucing mati di depan rumah Ian yang ternyata tidak
terjawab di akhir—tentang siapa pelakunya dan apa motifnya melakukan itu masih
membuatku bertanya-tanya. Selain itu, juga penemuan sepatu Rory yang sangat
tidak membantu apa-apa. Hanya lewat lalu saja. Padahal kukira ini akan jadi
petunjuk awal ditemukannya Rory. Untuk ending-nya,
juga mengecewakan untukku. Apa yang sudah aku harapkan di awal, ternyata tidak
sepenuhnya terpuaskan di akhir. Tipikal ending
yang kurang aku suka. But,
mungkin penulisnya ingin bikin sekuel untuk novel ini? Ditunggu loh, barangkali
bisa mengubah penilaianku setelahnya. Intinya, menurutku, ada cukup banyak
logika yang lepas di novel ini dan plot-plot yang bolong—ini menurut aku loh.
Di
balik beberapa kekurangan yang aku sebutkan tadi, ada pula beberapa hal yang
aku suka dari buku ini. Seperti kisah kehilangan yang tidak selalu digambarkan
dengan kematian. Karena berdasar 2 buku Blue Valley yang sudah kubaca, Asa Ayuni dan Lara Miya, tema kehilangan selalu identik dengan kematian. Namun di
buku ini, misteri hilangnya balita berusia 4 tahun sudah cukup mampu untuk menyampaikan
tema tersebut. Ada pula bagian di buku ini yang membuatku merenung, bagaimana
jika aku berada di posisi Ian dan Prisma? Apakah aku akan segigih dan setegar
mereka? Overall, aku cukup mampu
untuk menyelami perasaan kedua pasangan ini. Bagaimana keresahan mereka,
keputusan besar yang harus mereka ambil, dan rasa penyesalan yang selalu
menghantui, cukup mudah untuk aku ikut merasakannya. Buku ini, sedikit banyak
juga mampu memperkuat pandanganku tentang betapa pentingnya pengawasan kepada
anak, terlebih balita. Karena sesungguhnya banyak sekali tangan-tangan di luar
sana yang bisa dengan gesit mengambil hak milik kita, terutama anak. Untung
buku ini tidak membahas tema yang lebih ekstrim, seperti prostitusi anak, jual
beli anak, dan sebagainya. Kalau ceritanya begitu, nggak yakin bisa
menyelesaikan buku ini tanpa… menangis.
Pesan
lain yang coba penulis sampaikan adalah betapa pentingnya kita memaafkan masa
lalu, dan orang-orang yang pernah bersama kita di dalamnya. Karena, dendam bisa
saja mengintai kita di kemudian hari.
Terima
kasih!
***
“Tapi
hidup terus berjalan. Ketika seseorang pergi, tempat itu akan digantikan oleh
yang lain.”
Hlm.
137
Kehilangan yang dalam bentuk berbeda tentu akan memberikan keseruan tersendiri. Tapi, rasa-rasanya kok series blue valley ini banyak sekali yang dikoreksi. Saya menunggu review buku Bang Bara aja. Semoga karya beliau lebih baik dan lebih seru
BalasHapusMemang itu yang saya rasakan untuk buku ini. Jangan salah, baru buku ini kok yang saya kasih 2 bintang, hehe. Setelah ini saya bakal baca melankolia ninna dan elegi rinaldo. Dua buku yang katanya bagus ini memang sengaja saya simpan paling akhir. Sip, terima kasih sudah senantiasa menunggu Mas :)
Hapus