Senin, 12 Desember 2016

Dear, Fi...



Awalnya, tidak pernah terbesit sedikit pun di pikiranku tentang pertemuan ini. Seorang gadis lugu berusia dua belas tahun dengan rambut berkepang dua yang berhiaskan pita merah di ujungnya. Poninya yang menyamping membuat hampir setengah permukaan keningnya tertutup. Rona wajahnya terlihat sendu. Namun entah mengapa, gadis itu terlihat sangat manis. Di suatu sore yang cukup buruk, untuk kali pertama, aku bertemu dengannya. Itu terjadi secara tidak sengaja di taman kota yang letaknya berseberangan dengan alun-alun utama. Aku memang berniat untuk bertolak dari suasana kampus yang membosankan guna mencari hiburan, dan tentunya untuk menyelesaikan naskah novelku yang baru setengah rampung.

Ya, selain mahasiswa, aku juga seorang penulis. Tujuh tahun aku bergelut dengan cerita pahit manis bersama tokoh-tokoh fiksi ciptaanku. Semua terasa mudah dan menyenangkan. Namun, tidak untuk hari ini. Ini adalah naskah kedelapanku yang ditargetkan akan segera terbit dua bulan lagi. Namun lihat, yang terjadi sekarang justru aku kehabisan ide untuk menyelesaikannya. Berkali-kali Mbak Inge—editorku—menerorku dengan serentetan pesan-pesan yang membuatku merasa dihantui. Dia memintaku untuk menyelesaikan naskah sialan ini segera. Tidak, Mbak Inge bukannya jahat, namun ia memiliki cara tersendiri untuk menunjukkan rasa kepeduliannya, terutama padaku.


Kedai es krim yang terletak di sudut taman adalah tempat favoritku. Kedai sederhana itu bergaya outdour dengan dilengkapi seperangkat meja kursi yang menyebar di beberapa tempat. Suasananya sangat nyaman dan tidak memungkinkan pengunjungnya terkena sengatan sinar matahari karena di bagian tengah setiap meja dilengkapi dengan payung besar yang berfungsi untuk menaungi orang di bawahnya. Dulu, di tempat itu, aku pernah menyelesaikan 10 lembar terakhir dari naskahku dalam waktu singkat. Dan sekarang, aku ingin mencoba untuk mengulang keberuntungan yang sama. Namun, yang terjadi setelahnya justru tidak sesuai harapan. Otakku tetap saja tidak mau bekerja. Benda lunak yang dipenuhi sistem syaraf  itu seolah mati fungsi dan berkarat. Di saat paling buruk itulah, perhatianku yang awalnya tertuju pada laptop bututku, beralih pada sosok gadis mungil yang duduk sila di bawah pohon. Jaraknya kurang lebih tiga meter dari kursi tempatku duduk. Sehingga, tidak sulit bagiku untuk melihat apa yang sedang dilakukannya.

Dia sedang menggambar. Itu terlihat jelas dari keseriusan tangannya dalam menggoreskan pensil membentuk garis demi garis di atas sebuah kertas gambar. Lima belas menit, dia memampangkan gambarnya di depan dada. Jelas sekali, aku bisa melihatnya. Seorang laki-laki dan perempuan dewasa, yang di tengahnya terdapat seorang gadis kecil. Mungkin itu gambar keluarganya, batinku. Seketika, gadis itu mengalihkan pandangannya kepadaku, yang entah kenapa membuatku merasa malu karena dia berhasil memergoki apa yang kulakukan. Wajahnya datar, dan ia tidak bereaksi apa-apa. Namun, yang terjadi setelahnya sungguh di luar dugaan. Gadis itu bangkit, lalu merobek kertas hasil gambarnya dan seketika membuangnya. Dalam dua helaan napas, dia sudah pergi dan meninggalkan kertas itu tanpa merasa perlu untuk membuangnya ke tempat yang semestinya.

Sontak, aku tertegun. “Hei, apa yang ia lakukan? Apakah ia menganggapku berbuat salah?”

***

Hari berikutnya, masih dalam kondisi hati yang sama, aku kembali ke kedai es krim tersebut. Naskahku, sama sekali tidak ada perkembangan sejak kemarin. Dan hari ini pun berlangsung tidak jauh berbeda. Gadis itu datang lagi. Duduk bersila di bawah pohon yang sama dan membuat gambar yang sama pula. Lagi-lagi, dia membuatku semakin merasa aneh dan penasaran. Tidak butuh waktu lama untuk ia menggambar lalu merobek dan membuangnya begitu saja. Aneh. Kenapa dia selalu membuat gambar yang sama hanya untuk dirobek dan dibuang begitu saja? Bukankah itu terlalu membuang banyak waktu dan tenaga? Apa maksud dari semua itu? Batinku dipenuhi tanya. 

Sepekan telah berlalu, dan kejadian yang sama selalu terulang. Naskahku yang selalu tidak ada perkembangan, dan gadis lugu bersikap aneh tersebut. Dia semakin membuatku penasaran. Terbesit di pikiranku, apakah dia waras? Esoknya, di jam yang sama pula, aku datang lagi ke tempat itu. Bedanya, kali ini aku tidak membawa serta laptop butut dan naskah sialanku itu. Aku ingin bebas. Setidaknya untuk hari ini saja. Melupakan deadline yang sebenarnya hampir mencekik leherku. Harapan utamaku, semoga gadis itu datang lagi hari ini. Aku sudah cukup bisa mengenalinya. Wajahnya yang sendu, tanpa senyum, dan sifat anehnya.

Sebenarnya hari ini, niatku kembali berkunjung ke sini adalah untuk mencari tahu. Benar, gadis itu berhasil membuatku penasaran. Sikap anehnya, kisah pilu di balik wajah sendunya, dan gambar itu. Ya, gambar itu. Seorang laki-laki dan perempuan dewasa, dengan gadis kecil yang berdiri di antara mereka. Entah kenapa, aku merasa perlu untuk mencari tahu maksud yang sebenarnya. Sesuai harapanku, gadis itu kembali muncul, dan mulai melakukan kebiasaan anehnya itu. Kurang dari lima belas menit, kertas yang sejak tadi dipakainya menggambar, sudah terbuang begitu saja di tanah. Ini saatnya. Tepat sebelum ia pergi.

“Hei, siapa namamu?”  Selama beberapa detik, tidak ada reaksi darinya. Hanya ada keheningan di antara kami. Kemudian, ia berbalik. Ya Tuhan, gadis itu, jika dilihat dalam jarak pandang yang begitu dekat, ternyata sungguh manis.

“Fi” jawabnya singkat.

Dari nada suaranya, cukup jelas bahwa ia tidak ingin terlibat pembicaraan denganku, namun aku tidak menyerah. “Apa yang kau lakukan? Maksudku, kau tahu kan apa yang kau lakukan itu… aneh?” Tanyaku ragu. Ia hanya tersenyum getir. “Apakah kakak pernah merasakan kehilangan?” gadis itu balik bertanya dengan raut wajah datar. Lagi-lagi aneh. Aku tertegun, kemudian berusaha menjawab, “tentu, memangnya ada apa? Seharusnya, aku yang bertanya padamu.”

“Tidak perlu. Kakak tidak bertanya pun, Fi akan menceritakannya. Jadi, kakak benar-benar ingin tahu?” kini ia terlihat lebih santai. Senyum yang ia pancarkan pun berubah tulus.

Aku mengangguk.

“Mungkin ini terkesan tidak sopan, menceritakan semuanya pada kakak. Namun, apa boleh buat, Fi tidak lagi punya siapa-siapa. Dan Fi butuh orang yang mau mendengarkan. Cukup mendengarkan, tidak lebih. Dia adalah Lula. Saudara kembar Fi. Kami hidup tanpa orangtua semenjak berusia tujuh bulan. Dari situ, kami diasuh dan dibesarkan oleh paman dan bibi kami. Mereka juga memiliki anak perempuan seumuran kami. Jadi, Fi dan Lula sangat mengahargai mereka karena mau merawat kami di samping kesibukan mereka mengurus Dea, anak mereka.”

Gadis itu menelan ludah. Raut mukanya berubah masam.

“Awalnya, sikap paman dan bibi terhadap kami baik-baik saja. Hingga suatu hari, Lula, kepergok mengambil uang dari dompet paman. Itu terjadi tepat pada hari ulang tahun kami yang kesepuluh. Lula mengambil uang karena berniat untuk membeli boneka, sebagai hadiah ulang tahun kami berdua. Namun, nasib buruk memang sedang menimpa Lula. Setelah itu, tanpa ampun, paman dan bibi memarahi Lula. Bahkan karena saking geramnya….” gadis itu mulai terisak, tangannya terlihat mengepal keras. Lalu, ia kembali melanjutkan ceritanya, “karena saking geramnya, mereka menyeret Lula ke gudang belakang rumah, dan disitulah…. semua berakhir. Lula dipukul dengan balok kayu sekeras-kerasnya. Berkali-kali. Kepalanya bocor, dan darah mengucur deras dari tempurung kepalanya. Dalam hitungan detik, Lula kehilangan kesadaran, dan….. Dan, pergi selamanya, Lula meninggalkan Fi sendiri. Karena bingung dan tidak tahu harus berbuat apa, paman dan bibi mengubur jasad Lula di bawah pohon dekat gudang. Tanpa ritual keagamaan atau pun sebagainya, dan secara tidak manusiawi.”

“Sejak saat itu, Fi sering menjadi pelampiasan amarah mereka, bahkan apa yang Fi lakukan selalu dianggap salah. Mereka lebih sering main tangan. Menjambak, menampar, memukul. Begitu pula Dea. Dia mulai termakan oleh omong kosong orang tuanya. Hingga sekarang pun, Dea menganggap Fi sebagai anak kotor yang penuh dosa.” Gadis itu mengakhiri ceritanya dengan lelehan air mata yang meruah.

Tubuhku mematung dalam waktu yang cukup lama. Kulitku meremang mendengar suara penuh kegetiran dari Fi. Sekarang, semuanya terlihat jelas. Tentang wajah sendunya, tentang sifat anehnya, dan gambar itu. Semata-mata ia lakukan untuk meluapkan kekesalannya selama ini. Aku tertunduk lemas, alih-alih ingin memberi semangat, aku justru meratapi nasib buruk yang menimpanya. Lima detik berikutnya, saat aku menegakkan kepala, gadis itu sudah tidak ada lagi di depanku. Aku memutar tubuh, melihat ke sekeliling. Namun terlambat, ia telah sirna dari penglihatanku. Aku mengusap wajah. Mendengar serentetan kisah pilu dari Fi justru membawa pikiranku tertambat kepada naskah novel yang baru kukerjakan setengah. Membuatku ingat bahwa waktuku tidak lagi sebentar, dan secepat mungkin harus mengambil tindakan. Calon novel kedelapanku, yang entah kenapa, akhir-akhir ini sering membuatku merasa dihantui dan menggugurkan sikap optimisku selama ini.

Namun, beberapa menit setelahnya, ketika aku menengadahkan kepala entah untuk yang ke berapa kalinya, sedikit ide terbesit di pikiranku. Membuat semuanya seolah terlihat jelas dan mudah untuk dilakukan. Rasa optimis itu, kembali merayap ke seluruh ragaku. Sore ini, semuanya tidak lagi buruk. Semua ini karena Fi. Ya, semata karena Fi. Dan aku akan melakukannya untuk Fi.

Matahari mulai beranjak ke peraduan saat aku mulai melangkahkan kaki untuk meninggalkan taman itu. Namun, selembar kertas di bawah pohon—tempat biasa Fi menggambar—sontak menghentikan langkahku. Dengan satu gerakan cepat, aku mengambil kertas itu. Membacanya sekilas, dan secara refleks tersenyum.

‘Terima kasih sudah mau mendengarkanku…’ tulis Fi.

***

Dua bulan berlalu, dan di sinilah sekarang aku berada. Dalam satu ruangan, dan berhadap-hadapan dengan editor yang selalu menerorku selama ini, Mbak Inge. Aku menyerahkan amplop coklat besar yang berisi hasil cetakan naskahku kepadanya. Setelah kejadian memilukan di taman kota dua bulan lalu, aku memutuskan untuk merombak naskahku ini dari awal. Membuat pengaturan ulang, menyusun kerangka, membangun karakter, latar, plot, dan semuanya benar-benar dari awal lagi. Kali ini, entah atas alasan apa, aku merasa puas karena mampu menyelesaikannya tepat dengan tenggat waktu yang diberikan.

Mbak Inge terlihat merobek amplop coklat itu dan mengeluarkan isinya. Sejenak, ia memandangiku yang dari tadi diliputi rasa bahagia. Satu per satu, ia membalik lembar demi lembar dan membaca kalimat yang ada di sana. Kulihat, keningnya sedikit mengernyit ketika baru membaca beberapa lembar awal. Seketika, ia memalingkan pandangannya kepadaku dengan raut wajah penasaran.

“Siapa Fi?”

***

“Tulisan ini dibuat untuk memenuhi #tantangannulis #BlueValley bersama Jia Effendie.”

2 komentar:

  1. Balasan
    1. Baca di sini ya https://jiaeffendie.wordpress.com/2016/11/29/tantangan-nulis-blue-valley/

      Hapus