BLURB:
Dalam dunia penerbangan, dikenal istilah
critical eleven, sebelas menit paling kritis di dalam pesawat—tiga menit
setelah take off dan delapan menit sebelum landing—karena secara statistik
delapan puluh persen kecelakaan pesawat umumnya terjadi dalam rentang waktu
sebelas menit itu. It's when the aircraft is most vulnerable to any danger.
In a way, it's kinda the same with meeting people. Tiga menit pertama kritis sifatnya karena saat itulah kesan pertama terbentuk, lalu ada delapan menit sebelum berpisah—delapan menit ketika senyum, tindak tanduk, dan ekspresi wajah orang tersebut jelas bercerita apakah itu akan jadi awal sesuatu ataukah justru menjadi perpisahan.
Ale dan Anya pertama kali bertemu dalam penerbangan Jakarta-Sydney. Tiga menit pertama Anya terpikat, tujuh jam berikutnya mereka duduk bersebelahan dan saling mengenal lewat percakapan serta tawa, dan delapan menit sebelum berpisah Ale yakin dia menginginkan Anya.
Kini, lima tahun setelah perkenalan itu, Ale dan Anya dihadapkan pada satu tragedi besar yang membuat mereka mempertanyakan pilihan-pilihan yang mereka ambil, termasuk keputusan pada sebelas menit paling penting dalam pertemuan pertama mereka.
Diceritakan bergantian dari sudut pandang Ale dan Anya, setiap babnya merupakan kepingan puzzle yang membuat kita jatuh cinta atau benci kepada karakter-karakternya, atau justru keduanya.
In a way, it's kinda the same with meeting people. Tiga menit pertama kritis sifatnya karena saat itulah kesan pertama terbentuk, lalu ada delapan menit sebelum berpisah—delapan menit ketika senyum, tindak tanduk, dan ekspresi wajah orang tersebut jelas bercerita apakah itu akan jadi awal sesuatu ataukah justru menjadi perpisahan.
Ale dan Anya pertama kali bertemu dalam penerbangan Jakarta-Sydney. Tiga menit pertama Anya terpikat, tujuh jam berikutnya mereka duduk bersebelahan dan saling mengenal lewat percakapan serta tawa, dan delapan menit sebelum berpisah Ale yakin dia menginginkan Anya.
Kini, lima tahun setelah perkenalan itu, Ale dan Anya dihadapkan pada satu tragedi besar yang membuat mereka mempertanyakan pilihan-pilihan yang mereka ambil, termasuk keputusan pada sebelas menit paling penting dalam pertemuan pertama mereka.
Diceritakan bergantian dari sudut pandang Ale dan Anya, setiap babnya merupakan kepingan puzzle yang membuat kita jatuh cinta atau benci kepada karakter-karakternya, atau justru keduanya.
***
SYNOPSIS:
--TAKE
OFF --
Ale dan Anya pertama kali bertemu di sebuah
pesawat yang membawa mereka ke Sidney. Letak duduk mereka yang bersebelahan,
tak ayal membuat keduanya saling bertukar sapa dan mengenal. Meski sebenarnya mereka
yakin bahwa pertemuan itu akan segera berakhir sesaat setelah turun dari
pesawat nanti. Anya mengenal Ale sebagai sosok laki-laki yang bekerja di sebuah
rig/pengeboran minyak lepas pantai.
Sementara Ale, mengenal Anya sebagai tipikal orang yang gampang tidur. Lucu
bagi Ale, namun memalukan bagi Anya. Bayangkan, perempuan mana yang tidak malu
setengah mati saat menyadari bahwa dirinya tertidur pulas selama 3 jam dengan
kepala menyender di pundak orang asing? Terlebih lagi pundak Ale! Laki-laki
asing, yang anehnya membuat hatinya tak keruan!
--FLIGHT--
Ale dan Anya kembali bertemu sebulan
setelahnya. Bertemu intens selama tujuh hari, dan akhirnya memutuskan untuk
berpacaran. Setahun setelahnya, Anya menerima lamaran Ale dan keduanya
melangsungkan pernikahan. Pernikahan mereka berjalan baik-baik saja sampai
tragedi itu menimpa rumah tangga mereka. Belum reda kesedihan mereka, terutama
Anya, tiba-tiba saja Ale, secara tidak sengaja menyakiti hati istrinya tersebut.
Dan tahukah kalian, sikap bodoh Ale itu rupanya semakin membuat lubang di hati
Anya menganga lebar.
Bahkan, membuat Anya bersikap seakan Ale tidak
lagi ada dalam kehidupannya.
--LANDING--
Prahara
dalam rumah tangga Ale-Anya terus berlanjut. Bahkan ini terlihat seperti
kehidupan yang telah di ambang kehancuran. Tinggal menunggu waktu saja sampai
salah satu di antara mereka memutuskan untuk berpisah. Dalam kurun waktu enam
bulan terakhir, sikap Anya tidak menunjukkan akan ada perkembangan ke arah yang lebih baik.
Justru sebaliknya.
Sesakit
itukah perasaan yang dirasakan Anya, dan sebodoh itukah pula Ale dalam membina
rumah tangganya?
Namun
sebelumnya, ada satu pertanyaan yang lebih penting dari semua itu: apakah kisah
ini akan mendarat dengan mulus? Atau justru, sebaliknya?
***
Beberapa
waktu lalu, melalui akun twitter-nya, Ika
Natasaa menginformasikan bahwa salah satu novel terlarisnya (Critical Eleven) akan segera
di-film-kan. Dan, dalam rangka menyambut rilisnya film tersebut, tim redaksi Gramedia membuat sebuah lomba untuk
meresensi novel Ika Natassa tersebut. Ya, sebelumnya, saya memang sudah membaca
buku ini dan membuat review-nya.
Namun demi bisa ikut serta dalam event lomba tersebut, saya memutuskan untuk
membaca ulang ceritanya dan tentunya, menulis ulang resensinya. Jadi,
kesimpulan dari semua itu: I read the
book for twice!
The question is, what I felt
when I read this book for the second time?
So, let’s check my review below!
REVIEW:
‘What things
that I didn’t like from this book?’
(-)
Penggunaan kalimat berbahasa Inggris yang terlalu banyak.
Ok,
mungkin saya agak norak dan mungkin juga bisa dibilang ketinggalan jaman. Namun
saya rasa, dengan menggunakan sudut pandang dari seorang pembaca (dari berbagai
kalangan), saya merasa perlu untuk mengkritisi satu hal tersebut. Saat sebuah
novel atau buku diterbitkan, otomatis buku tersebut tidak hanya menjadi milik
penulis atau penerbit saja, melainkan milik semua orang. Semua orang dari
berbagai kalangan bisa membeli, membaca dan memilikinya. Namun di satu sisi,
penulis harus sadar dan melihat lebih luas bahwa tidak semua pembaca atau
masyarakat kita menguasai atau setidaknya tahu tentang bahasa Inggris.
Buku Indonesia yang banyak
memuat kalimat berbahasa Inggris sebenarnya memang sah-sah saja. Bagi mereka,
kalangan metropolitan atau yang setidaknya berpendidikan, pasti merasa tidak
dipersulitkan dengan adanya buku seperti itu. Namun beda halnya dengan kalangan
pembaca atau masyarakat yang awam terhadap bahasa asing. Hal ini tentu akan
mempersulit dan merugikan mereka dalam kegiatan membaca. Jadi saran saya untuk
penulis, ke depannya harus lebih bisa melihat realita yang ada di masyarakat.
Bagaimana cara agar bukunya bisa dinikmati semua kalangan tanpa harus
mempermasalahkan soal penggunaaan bahasa. Bahasanya campur aduk boleh, namun
akan lebih baik jika dalam batas wajar dan tidak berlebih.
(-) Penyampaian cerita cenderung ribet.
Dalam
beberapa bagian, sebelum masuk ke inti cerita, Ika Natassa lebih banyak
bermain-main dulu dengan berbagai trivia tentang banyak hal. Beberapa di
antaranya pada halaman 47: pembahasan panjang tentang KPI (Key Performance Indicators), kemudian di halaman 145: tentang
tempat ciuman pertama yang dikutip dari beberapa film, lalu ada pula di halaman
329: tentang bagaimana tokoh-tokoh terkemuka mendefinisikan cinta, dan masih
banyak lagi yang lainnya. Hal seperti ini, meski di satu sisi memperkuat adanya
segi informatif, namun di lain sisi, menurut saya ini juga membuat ‘jalan’ menuju
inti cerita terlalu dipanjang-panjangkan.
(-) Karakter Anya yang labil dan penyelesaian
konflik terlalu sederhana.
Terlepas
dari rasa sakit hatinya terhadap tragedi yang menimpa dan perkataan suaminya,
saya merasa bahwa saya tidak menemukan karakter perempuan yang benar-benar
dewasa dalam diri Anya. Bagaimana dia menyikapi tragedi itu dan seperti apa
langkah yang ia ambil terkesan labil bagi saya. Beberapa ada pula yang tidak
konsisten. Justru saya suka dengan Ale yang berhasil dibangun dengan imejnya sebagai
laki-laki dewasa.
Melihat dari sikap Anya yang
cenderung unpredictable dan labil
tersebut, saya cukup menyayangkan ketika mengetahui bahwa akhirnya semua
permasalahan itu diselesaikan dengan sangat sederhana. Ending-nya benar-benar menyisakan keanehan bagi saya, dan membuat
saya bertanya-tanya: bagaimana sikap Anya bisa berubah sedemikian rupa, setelah
apa yang ia lalui di awal-awal? I mean,
ke mana sosok Anya yang saya kenal dalam 300 halaman sebelumnya? It’s too easy for me, by the way.
‘What things that I love from this book?’
(+) Point of View
Bisa
dibilang, salah satu hal yang membuat saya jatuh cinta dengan buku ini adalah
karena cara yang digunakan penulis dalam menyampaikan ceritanya. Bukan cara
yang berbelit tadi, namun dari sudut pandangnya. Diceritakan dengan PoV1 dari
Ale dan Anya, hal ini secara otomatis membuat pembaca memiliki ikatan emosional
tersendiri dengan keduanya. Dan tak ayal,
juga membuat kita mudah untuk masuk ke dalam ceritanya. An emotional story, really!
Bagian
lain yang saya suka adalah saat penulis mengisahkan satu adegan yang sama dalam
2 sudut pandang yang berbeda. Misal, adegan yang diceritakan oleh Anya,
diceritakan lagi lewat sudut pandang Ale. And
it was good! Kita bisa menyelami arah pandang dan cara pemikiran yang
berbeda dari kedua tokohnya terhadap satu kejadian.
(+) An emotional story!
Sebuah
cerita yang sangat menguras emosi. Bukan karena berasal dari sudut pandangnya
saja, namun juga dari konfliknya, dialog dan hubungan yang terjalin antara
Ale-Anya, dan segala cerita hidup mereka. Pada beberapa bagian, saya sempat
hampir meneteskan air mata (sesuatu yang sangat jarang sekali terjadi pada
saya, kecuali saat membaca buku-buku bagus). Satu bagian yang sangat menguras
emosi itu adalah…. Ups! Ini akan spoiler, jadi saya memilih untuk tidak
membocorkannya saja, hehe. Biarlah ini menjadi rahasia saya, dan pembaca yang
sudah membaca buku ini. Intinya, bohong kalau kalian baca buku ini, tapi kalian
nggak ngerasaian apa yang saya rasain. Terutama pas di bagian ‘itu’.
(+) Alurnya mengalir.
Jika
biasanya saya kerap kali menemui buku yang mana perpindahan alurnya sangat
dipaksakan, maka beda halnya dengan buku ini. Benar-benar mengalir. Perpindahan
alur cerita dari masa sekarang ke flashback
pun terjadi begitu saja. Tahu-tahu, flashback
gitu aja. Oh, apa yang harus saya katakan untuk ini? No words to define, lah. I
really enjoy!
(+) Ale yang dewasa, sangat
mendewasakan cerita.
Maaf
Anya, tapi saya lebih suka dengan karakter Ale di sini. Bagi saya, ia adalah
sosok yang benar-benar tahu dan ambisius dalam mempertahankan rumah tangganya.
Meski pada dasarnya, permasalahan utama dari buku ini disebabkan olehnya, namun
justru saya tidak merasa sedikit pun kebencian terhadapnya. Yang perlu kita
acungi jempol tentu cara ia menyikapi tiap masalah, meski tertatih-tatih, but he did it very well. Sering kali
cerita hidup yang Ale alami menarik simpati saya. Kak Ika Natassa, berhasil
menciptakan seorang tokoh berhati rapuh namun juga kuat dalam saat yang
bersamaan. Karakternya yang dewasa pun berhasil menyampaikan gambaran ideal
dari seorang laki-laki yang membangun rumah tangga. Sosok yang realistis, lah.
SUMBER: DI SINI |
(+) Many scenes that I love, and memorable!
Sorry, I can’t tell that scenes to you. (Maaf,
saya tidak bisa menceritakan adegan-adegan itu kepada kalian) Hohohooo..
(+) Pesan yang disampaikan.
-Pernikahan adalah hal yang sakral. Seperti perjudian,
jangan coba main-main di dalamnya.
“In marriage,
when we win, we win big. But when we lost, we lost more than everything. We
lost ourshelves, and there’s nothing sadder than that.”
-Apa pun kekurangan pasanganmu, terimalah dengan lapang
hati.
“Menurut Ibu, Bapak ini ada
kerungannya nggak?”
“Sebanyak bintang di
langit, sampai nggak sanggup saya menghitungnya.”
“Wah, apakah kebaikan Bapak
juga banyak, Bu?”
“Justru sedikit sekali.
Ibarat matahari di langit. Bumi malah punya satu matahari.”
“Lho, kalau begitu kok bisa
Ibu hidup sama Bapak rukun-rukun, akur, saling cinta sampai setengah abad?”
“Karena Dik, begitu
matahari terbit, semua bintang di langit jadi tak kelihatan.”
-Tidak semua harapan akan menjadi kenyataan. Belajarlah
untuk ikhlas dan menerima.
“Some wish remain a wish
for as long as we live.”
WOW!
Critical Eleven will be adaptep into a movie in 2017!
Sebuah
kesenangan bagi penulis, penerbit, dan pembaca yang didapat dari sebuah novel,
tentunya adalah ketika novel tersebut berhasil mencuri perhatian Production House dan mengadaptasikannya
ke sebuah film. Dan, itulah yang saya rasakan ketika mengetahui bahwa salah
satu novel favorit saya (Critical Eleven)
akan hadir dalam bentuk visual (film).
SUMBER: DI SINI |
Reza Rahardian, saya mempunyai feeling yang bagus untuk kemampuan dia
memerankan tokoh Ale. Harapan saya cuma satu sebenarnya, jangan hilangkan watak
nakalnya, hehe.
Kemudian, saya berharap, penyelesaian konflik dalam filmnya
nanti tidak semudah dengan yang ada di novel. Lebih logis dan realisitis lagi.
Kalau perlu, adegan ending yang ada
di novel diteruskan, tidak berhenti pas bagian itu saja. Karena, menurut saya,
itu nanggung sekali. Lalu, dalam filmnya nanti, saya berharap saya tidak
kehilangan rasa asli dari cerita di novelnya. Untuk konfliknya, emosinya,
semoga tetap menyentuh di hati. Bahkan kalau bisa, yang lebih dari itu. Karena
bagaimana pun, prestasi terbesar sebuah film tidak hanya dilihat dari jumlah
penontonnya saja, tapi juga seberapa
banyak orang yang menangis atau bahkan tertawa bahagia saat melihatnya.
And the last. The one and only, don’t remove my favorite scenes from
the novel, please!
Selalu kreatif kalau bikin resensi 😁
BalasHapusWah terima kasih kak Fitra :)
HapusPoster filmnya disensor coba 😅
BalasHapusNonononono tidak dengan Deva Mahenra. Dia terlalu polos buat jadi Ale wkwk. Lagian aku nunggu satu scene yg... anu... kayaknya bakal cocok bgt kalo Reza Rahadian yg meranin... eng... adegan yg agak agak hawt gitu eng...
Kalo di resensiku, endingnya kusebut dengan "bukan tipikal ending yg kusuka". Cuma aku nggak jelasin kenapa. Review kamu sgt mewakili apa yg ingin kusampaikan soal ini 😊
HAHAHAHA, yang hawt itu ya? Emm mungkin iya ya, Deva terlalu kalem. Iya, endingnya menurutku nanggung gitu.
HapusTerima kasih sudah berkunjung ya kk wenny
nah bin sama nih pendapatnya aku juga gak begitu nyaman dengan kalimat english di sana-sini. menurutku andai di-Indonesia-in pun gak masalah, gak ada pengaruhnya juga. kecuali untuk beberapa istilah yang emang mesti pake english, aku bisa terima. tapi ya mungkin gaya penulisnya begitu, aku bisa apa hahaha :'))))
BalasHapusIya bener sekali Kak. Tapi iya juga sih, terlepas dari penggunaan 2 bahasa ini, bukunya pun tetep laris manis hehe.
HapusWah, resensinya sudah jadi. Di luar dari minus yang kamu sematkan, saya merasa perlu baca novel ini berkali-kali kembali. Sebab, saya harus mencontoh sosok Ale yang sangat humanis dan dewasa. Itu tok sih yang bikin saya suka novel ini. :)
BalasHapusSukses buat lombanya ya Bintang!
Iya, yang saya suka juga tokoh Ale. Dia dewasa sekali, saya sangat simpati padanya. Terima kasih, sukses juga buat Mas Adin!
HapusSaya belum baca novelnya, tapi ada lihat potongan halaman di akun kak Ika Natassa pas nulis script dan review memang banyak banget bahasa inggrisnya. Saya yang tidak terlalu jago*ehem awam* bahasa inggris, sangat terganggu juga pastinya. Jadi di hal ini saya setuju banget sama pendapat Bintang✌
BalasHapusNah tuh kan bener kata saya di riviu tadi, tidak semua pembaca bisa menerima dengan mudah novel/buku berbahasa inggris. Terima kasih ya sudah komen dan berkunjung. Semoga ke depannya Ika Natassa bisa lebih baik lagi :)
HapusAku juga gak suka sama penggunaan bahasa Inggris campurnya, bikin teringat sama Chienca Lhawra gitu =))) tapi overall aku juga suka kok sama novel ini. Ale salah satu man crush-ku *yha* =))) Tapi Ale di bayanganku bukan seperti om Eza =))) jadi ikutan penasaran gimana Ale di tangan Reza Rahadian. Mari sama2 tunggu kehadiran filmnya! :)
BalasHapusMemang di bayangan kak Niss, Ale itu cocok diperanin siapa? Hayoo, hehe. Iya, ditunggu banget film-nya. Aku paling penasaran gimana Adinia meranin Anya.
HapusLike that sekali, bikin nangis berkali kaliiiii gabisa dipungkiri ini keren
BalasHapus