Rabu, 22 Februari 2017

A GUEST POST BY PUJI P. RAHAYU: Fiksi Sejarah, Why Not? - #BBIShareTheLove




Aloha!

Kembali lagi denganku di Guest Post: BBI Share the Love 2017 di Ach’s Book ForumWow! Ehm, sekali lagi, kuucapkan terima kasih pada Bintang yang telah mengizinkanku cuap-cuap di sini. Hehe. Ehm, waktu awal aku ngobrol sama Bintang, sebenernya aku udah punya rencana mau nulis apa untuk guest post. Sayangnya, kok aku jadi bingung sendiri mau nulisnya gimana. Nah, entah karena aku selesai membaca beberapa bahan kuliah—dan aku senang karena aku paham materinya xD—aku ingin sedikit berbagi tentang opiniku mengenai fiksi sejarah Indonesia.What?! Sejarah? Nggak salah nih? Enggak. Kalian nggak salah baca. Aku memang bakal membahas salah satu genre—yang kuklaim—favoritku. Oke, deh, Tanpa perlu berbasa-basi, mari kita bahas mengenai genre yang dianggap berat ini.




-Fiksi Sejarah: Selayang Pandang-

Mendengar kata sejarah, apalagi bagi anak sekolahan, pasti pada mengaduh ria. “Sejarah kan masa lalu. Ngapain dipelajarin?” Ohoho. Maafkan Bintang, akan kubantah pernyataanmu tersebut. Haha xD. Sejarah penting dipelajari karena kita ini, sebagai bagian dari masyarakat, merupakan hasil dari sejarah. Sejarah kehidupan kita di masa lampau—apapun bentuknya—akan mempengaruhi dan membentuk siapa kita sekarang. Selain itu, sejarah itu merupakan konstruksi yang dibuat oleh masyarakat. Jadi, akan sangat banyak kontroversi yang melingkupinya. Nggak percaya? Coba aku tanya, bagaimanakah bentuk dari supersemar? Ada yang tahu? Aku pun juga nggak tahu, karena sejarah mengenai surat perintah ini seolah-olah ditutupi. Ditutupi oleh siapa? Tentunya, oleh yang memenangkan sejarah, yakni pemerintahan yang berkuasa.

*Baca juga dari saya di blog Prayrahayu’s Book di sini*

Kesimpang-siuran dari suatu sejarah, atau saking pentingnya sejarah, membuat seorang penulis biasanya terketuk menuliskannya. Hal inilah yang kurang-lebih memunculkan genre fiksi sejarah. Secara sederhana, fiksi sejarah dapat diartikan sebagai karya fiksi yang mengambil latar di masa lalu dengan karakter yang diciptakan oleh penulisnya. Latar ini menjadi penting karena penulis harus melakukan riset yang mendalam karena berhubungan dengan suatu hal yang benar-benar terjadi. Kalian bisa bayangin kan gimana ribetnya menulis fiksi sejarah? Latar yang berada di masa lalu harus bisa digambarkan dengan baik oleh si penulis. Melenceng sedikit saja dari sejarah yang nyata, maka penulis tersebut akan dikritik habis-habisan.

-Aku dan Fiksi Sejarah-

Sebenarnya, kalau aku menganggap diriku sebagai pecinta fiksi sejarah, kok ya agak naïf. Nyatanya aku masih sedikit kok membaca novel bergenre ini. Akan tetapi, ada salah satu novel fiksi sejarah favoritku sampai saat ini, apa lagi kalau bukan Pulang karya Leila S. Chudori. Sejak aku mengetahui bagaimana sejarah ’65 diobrak-abrik sedemikian rupa oleh sang penguasa, aku jadi mendapatkan beberapa pandangan lain setelah membaca Pulang. Iya, sih. Aku tahu kalau nggak semua hal dalam novel itu bisa benar-benar terjadi, tapi nyatanya, aku merasa mendapat tambahan pengetahuan mengenai sejarah Indonesia melalui Pulang.
 

PULANG karangan Leila. S. Chudori 


Oh, ya. Sekadar intermezzo. Jadi, di liburan kemarin aku mengikuti semacam kursus bahasa Inggris. Di kursus tersebut, aku bertemu dengan seorang tutor, yang menurutku keren banget. Namanya Miss Nadia. Dia mengajar materi speaking di kelasku. Yang kusuka dari tutorku ini, dia mengajarkan materi speaking bersamaan dengan pelajaran lainnya. Sempat kami diberikan tugas untuk berdiskusi mengenai budaya, geografi suatu negara, mitos, hingga stereotipe. Pada saat ujian berlangsung, setiap murid diwawancara secara personal oleh Miss Nadia. Saat tiba giliranku, Miss Nadia bertanya buku favoritku itu apa. Out of the blue, aku menyebut Pulang. And surprisingly,ternyata Miss Nadia ini temennya Leila S. Chudori. Bahkan, dia membawakan puisi pada saat Ubud Writer Festival. Wow! Keren banget. Sebelum selesai wawancara, Miss Nadia menyarankan aku untuk membaca Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer *tenang, Miss. Tetralogi Pulau Buru sudah menjadi wishlistku sejak lama. Setelah percakapan singkatku dengan Miss Nadia, aku semakin yakin kalau banyak hal yang bisa kudapat dari membaca fiksi sejarah.

Pada intinya, sekarang ini aku sedang mencoba untuk mendalami lebih jauh mengenai fiksi sejarah. Maksudku, genre ini menjadi sangat menarik untuk dibaca selain genre roman dan juga fantasi. *Thanks God! I am an omnireader. Hoho. Mencoba genre baru bukanlah hal yang sulit untuk kulakukan.

-Fiksi Sejarah Indonesia dalam Opiniku-

Mendengar akan fiksi sejarah Indonesia, maka yang pasti terpikirkan adalah nama Pramoedya Ananta Toer. Tidak heran apabila nama Pram pasti terngiang dalam pikiran kita. Sebagai salah satu penulis yang cukup produktif, Pram telah melahirkan berbagai macam bentuk karya sastra. Karya-karya Pram dipandang kontroversial karena pernah dilarang oleh pemerintahan Sukarno dan rezim orde baru. Pembahasan mengenai apa-apa yang terjadi di Pulau Buru lah yang mengilhami cerita ini.

Sehingga, kebanyakan latar yang sering digunakan dalam fiksi sejarah Indonesia, sejauh yang aku tahu, adalah pada zaman pergerakan Indonesia. Zaman saat Indonesia masih tertatih-tatih dalam mencapai kemerdekaan. Zaman saat para penjajah masih ada di Indonesia. Zaman saat Indonesia masih mencoba menemukan nation-nya.

Kemudian, salah satu peristiwa yang menyimpan banyak memiliki kontroversi adalah peristiwa tahun ’65. Sebagai masa transisi antara pemerintahan orde lama dengan orde baru, tahun ’65 mengandung banyak intrik. Setiap celah yang ada biasanya dimanfaatkan oleh seorag penulis untuk menghasilkan suatu karya. And, it would be really amazing. Hoho.

Mungkin, masih banyak peristiwa-peristiwa yang dituliskan dan menjadi suatu karya. Dan tentunya, aku masih belum bisa merangkum semuanya. Kalau aku ditanya mengapa aku berani menyukai genre ini, ya mungkin karena aku ingin belajar dari sejarah. Bukankah belajar dari sejarah menjadi hal yang sangat baik untuk kehidupan kita ke depannya?

Baiklah, demikian sesi guest post dariku yang jatuhnya kayak ceramah. By the way, ini sekadar opiniku. Bisa banget ada yang memiliki pendapat berbeda. Hoho. Terima kasih, Bintang atas kesempatan cuap-cuapnya. Semoga obrolan-obrolan yang kita lakukan tidak berhenti di event ini. *tolong diingat. Kalo udah jadi booktuber, tolong endorse sayah di channel situ. Hehe. Terima kasih pada para pembaca yang sudah meluangkan waktunya untuk membaca opini penting tapi nggak penting saya yang panjangnya kayak kereta api. Hihi.

Sampai jumpa di lain kesempatan, Bintang dan para pembaca di Ach’s Book Forum. Saya undur diri dulu yah ke blog saya sendiri. Lol. Au revoir!

***



Nah guys, dengan tayangnya Guest Post dari Kak Puji Rahayu ini, maka berakhir sudah rangkaian event BBI Share The Love di blog kami. Untuk itu, aku oribadi ingin berterima kasih kepada Kakak-kakak divisi Event yang sudah menyelenggarakan event dengan penuh keasyikan seperti ini, sering-sering ya Kakak, hehe.

Untuk partner terbaik, Kak Puji P. Rahayu, terima kasih juga untuk segalanya (woh, segalanya? Apa aja itu? Wkwkwk) Ada lah pokoknya, terutama untuk hadiah bukunya. Sukaakkk bangeett, semoga bisa bareng lagi di lain kesempatan ya!

See u semuanya!

Salam hangat nan penuh cinta dari kami, Bloger Buku Indonesia!


2 komentar:

  1. Hoho. Ditunggu kolaborasinya nanti. *loh? Siapa yang mau kolaborasi? Haha.
    Sama-sama, Bintang
    Makasih juga sudah jadi partner yang kece buat event ini. Nice to know you!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nice to know you, too Kak. Waahh ayok kapan2 kita galakkan kolaborasi lagi biar makin melejit, hehehe

      Hapus