“Ara
membiarkan bagaimana bibir Rahman menyentuh jari manisnya. Lamat-lamat getaran
dan perasaan hangat itu menjalar ke seluruh tubuhnya, melintasi setiap urat
nadinya. Jantungnya terasa berdetak lebih cepat. Gadis itu deg-degan. Ada rasa
lain yang melintas begitu saja. Rasa yang nggak pernah ia tahu apa namanya”
(Hlm.
135)
Judul : Engkau… Cahaya
Hatiku
Penulis : Nia Sutardi
Penyunting : Fatimah Azzahrah
Desain
sampul : Gunawan
Tata
letak : Cintia
Pemeriksa
aksara : Julian
Penerbit : Media Pressindo
Tebal : 192 hlm
Cetakan : Pertama, 2015
ISBN : 978-979-911-535-5
*Blurb:
Samar-samar
terdengar suara seorang cowok mengaji yang berasal dari dalam masjid. Suaranya
menggaung merdu di telinga Ara. Sejenak gadis itu menghentikan aktivitasnya
bermedia sosial. Seperti antenna yang menjadi sinyal, Ara memasang kedua
telinga lebih lebar.
Mendadak
hatinya sedikit bergetar…
***
Ara
nggak nyangka kalau ia harus diasingkan di sebuah tempat yang sinyalnya paling
Cuma satu-dua bar oleh Cinta, kakaknya sendiri. Oke, dosanya nggak bisa
dibilang kecil: ketahuan sering bikin party dan membengkakkan tagihan kartu
kredit.
Tapi
hukuman dari Cinta juga nggak bisa dibilang ringan untuk ukuran seorang cewek
yang udah nggak pernah mendapatkan kasih sayang orang tua lagi. Ara harus ikut
program pesantren. Selama dua minggu pula! Ini maksudnya biar Ara dapet
Hidayah, gitu?
Semua
dijalani Ara dengan setengah hati. Hingga suatu hari, ia jatuh cinta pada
seorang lelaki yang telah mendapat amanat khusus dari Cinta. Seseorang yang memperkenalkannya
pada kerumitan cinta, sekaligus keikhlasan…
***
Tak
disangka, party besar-besaran yang
Ara adakan di rumahnya dengan teman-temannya yang lain harus berakhir pahit.
Cinta, kakak Ara berhasil memergoki mereka. Emosi Cinta yang memuncak kala itu
tak bisa dibendung lagi. Terlebih saat mengetahui tagihan kartu kreditnya yang
jebol gara-gara ulah adiknya tersebut. Azzura atau yang kerap dipanggil Ara
adalah seorang gadis remaja yang berwatak tempramen, keras kepala dan suka
menghabiskan waktu dengan hal-hal yang gila. Tak heran jika Cinta sering dibuat
kesal olehnya.
Sebagai
gambaran anak muda jaman sekarang, Ara sebenarnya hanyalah seorang gadis remaja
yang kurang mendapat kasih sayang dan perhatian. Kedua orang tuanya telah lama
meninggal, dan kini ia hanya hidup bersama Cinta, kakak kandungnya. Namun, kakaknya
tersebut justru lebih disibukkan dengan bisnis perusahaan yang merupakan peninggalan
kedua orang tua mereka. Bukan tidak mungkin, kondisi tersebut memberi dampak
tersendiri bagi kehidupan Ara. Perhatian dan kasih sayang yang seharusnya ia
dapat kini sirna begitu saja. Berdampak dari semua itu, seperti inilah
kehidupan Ara yang sekarang.
Bukankah
tidak ada akibat jika tanpa adanya sebab?
Alih-alih
untuk memberikan hukuman kepada adiknya tersebut, Cinta tak segan-segan untuk
mengirimkan Ara ke pondok pesantren di Kota Bandung. Berharap agar Ara berubah
menjadi gadis yang baik dan bisa membenahi sikap buruknya. Keputusan tersebut
mau tidak mau membuat Ara harus terpisah dengan teman-teman dan kekasihnya,
Vasco. Hari pertama Ara di pesantren terasa begitu kacau. Mulai dari dikunciin
di kamar, beradu mulut dengan Fitri, dan dipermalukan di kelas Ustaz Hidayat. Sontak,
keadaan tersebut membuat Ara merasa tidak nyaman. Ditambah kini, kekasihnya,
Vasco seolah bersikap cuek dan jarang
menghubunginya lagi. Ara mulai menaruh kecurigaan terhadap kekasihnya itu,
terlebih saat ia mendengar suara perempuan di ujung telepon yang tengah bersama
Vasco.
Siapakah perempuan itu?
Di
tengah kegundahan hatinya tersebut, Ara menjumpai sosok lelaki yang perlahan
membuat hatinya luluh dan terpesona. Ya, sosok lelaki yang memperkenalkannya
pada kerumitan cinta, sekaligus keikhlasan…
Lantas…
seperti apakah bentuk keikhlasan yang Ara terima? Tutup
Dan,
Vasco? Siapakah suara wanita di ujung telepon itu? Akankah keihklasan itu
dimulai dari sana?
***
Sebelumnya,
beribu terima kasih untuk Mbak Nia Sutardi __penulis Engaku… Cahaya Hatiku__
yang telah menghadiahkan buku ini untukku semasa Blogtour di blog kak Luckty. Something rasanya J.
Ok!
Pertama kali membaca buku ini, sejujurnya aku merasa kurang tertarik dengan isi
ceritanya. Entah kenapa, ceritanya menurutku cenderung klise. Tapi, di satu sisi ada satu hal yang membuatku cukup
tertarik untuk menuntaskan buku ini sampai akhir. Latar tempat atau setting dari cerita ini.
Yup, keseluruhan dari isi cerita di buku ini menggunakan pesantren sebagai
latar tempatnya. Cukup mendominasi, sehingga untuk membacanya pun aku juga
tidak merasa bosan. Menurutku, lewat buku ini aku bisa mendapat nuansa yang
baru dari biasanya. Sekarang, coba kita bayangkan, latar pesantren sangat
mendominasi buku ini, dan mau tidak mau kita juga harus merasakan bagaimana
rasa dan suasananya berada di pesantren lewat tokoh Ara. It’s something new for me!
Jika
boleh jujur, ini adalah buku fiksi berlatar pesantren pertama yang aku baca. Kelebihannya,
lewat buku ini, terutama melalui tokoh Ara kita diajak melihat bagaimana
kondisi pesantren pada umumnya. Seperti kegiatan santrinya, kebiasaan
disiplinnya, dan beberapa kegiatan agama yang lain.
Entah
sisi positif atau negatif yang aku dapat dari situ, karena di sini Ara lebih
banyak bercerita tentang tidak enaknya hidup di pesantren. Membiasakan segala
hal yang justru sangat berbalik lurus dengan kesehariannya. Intinya, hidup di
pesantren itu nggak enak, menurut Ara.
Jika
berbicara mengenai tokohnya, Ara, aku setuju dengan apa yang mbak Luckty tulis
di postingannya. Ara sebagai bentuk representasi anak remaja jaman sekarang
yang kurang mendapat perhatian dan kasih sayang, seperti dengan yang sudah
kutulis di awal. Dari situlah, Ara tumbuh menjadi gadis yang tempramen, keras
kepala dan mungkin juga introvert.
Oh
iya, pada saat menjelang ending aku sempat dibuat greget dan emosi. Terlebih
saat tokoh Fatimah menuduh Ara. Fatimah yang terkenal sebagai sosok perempuan
santun, taat dan gemar berhijab ternyata bisa bersikap tak menyenangkan seperti
itu. Pengin rasanya neriakin di depan mukanya keras-keras, Hahaha. Dari bagian
cerita tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa penampilan luar seseorang yang
terlihat baik tidak sepenuhnya menjamin kebaikan juga dalam dirinya. Bukan
begitu?
Beberapa
pesan moral yang bisa kita kutip dari buku ini:
1. Pertama,
lewat tokoh Cinta kita bisa mendapat pengajaran yang berharga. Terutama untuk
orang tua yang mempunyai anak atau kakak yang kini sedang mengasuh adiknya.
Sesibuk apapun urusan kita, berilah sedikit waktu luang untuk anak atau adik
kita. Dengan begitu, mereka tak akan merasa kesepian dan punya teman untuk
sekadar berbicara.
2. Dari
tokoh Ara pula kita bisa mengambil banyak pelajaran. Salah satunya adalah apa
yang telah Rahman ajarkan padanya. Keikhlasan. Dari situ kita bisa belajar
bahwa kita harus rela dengan apa yang telah terjadi kepada kita. Kita harus
kuat dan menerimanya dengan berlapang dada. Misalnya, saat Ara mendapat fitnah
dari Fatimah, teman sekamarnya. Meski sangat kecewa dan terpukul, namun Ara
mencoba untuk ikhlas sewaktu tahu bahwa dirinya harus dikeluarkan dari
pesantren tersebut secara tidak hormat. Sungguh teganya Fatimah terhadap Ara ~
Persembahan
terakhir, 3,5 dari 5 bintang untuk keikhlasan hati Ara. Dan, untuk Mbak Nia
Sutardi, tetaplah berkarya! Ditunggu judul berikutnya yang tak kalah seru!
Terima
kasih!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar