Selasa, 09 Februari 2016

[Book Review] Silent Heart - Rudiyant





Judul               : Silent Heart
Penulis            : Rudiyant
Tebal               : 336 hlm
Penerbit          : Kunci Aksara
Kategori         : Novel
ISBN              : 602 – 7993 – 73 – 1

Blurb:

Pada awalnya semua orang mungkin akan BANGGA dengan apa yang dipilihnya… Baik itu sesuatu hal, benda atau pun pasangan pilihannya…

Tapi pada akhirnya tidak semua orang SETIA pada pilihannya… Kalau pun ada, pasti hanya sedikit sekali jumlahnya. Karena sebuah kesetiaan pasti memiliki pergorbanan yang belum tentu berakhir indah…

Saat dia sadar bahwa yang dipilihnya mungkin tidak sepenuhnya seperti yang diimpikan dan diharapakan, disinilah berbicara keikhlasan hati… Ikhlas akan semua hal, karena akhir dari pemikiran ini semua, pastilah jalan Suratan Takdir…

Sudah menjadi Hukum Langit, yang tersulit dalam hidup ini bukanlah MEMILIH, namun bertahan atas APA yang dipilihnya…

Sedikit orang mungkin bertekad untuk bertahan, Namun sesaat waktu mungkin sudah cukup untuk menentukan pilihan dan merubah pendirian…

Hanya pemilik CINTA SEJATI yang siap untuk bertahan atas apa yang dipilihnya. Walau mungkin pilihan itu harus menghabiskan sisa usia yang dimilikinya…


***

“Setiap kali aku mengakhiri pertemuanku denganmu, entah kenapa aku merasa takut. Aku takut tak dapat bertemu dan melihat senyum manis di bibir kecilmu. Sejujurnya aku benci perpisahan, meski ini hanya sementara. Aku hanya bisa membuat hidup ini berarti jika ada kamu bersamaku. Tanpamu, aku sepi… Aku hanya bisa dan berharap dapat bertemu kamu secepatnya dan merasakan segala keindahan duniawi bersamamu. Sayang… sesungguhnya aku ingin selalu di sampingmu dan menggenggam jemarimu.”

Hlm. 17

Malam itu menjadi malam yang penuh kesedihan bagi Quiny. Bagaimana tidak, besok ia akan mengikuti Ujian Nasional dan tengah mempersiapkannya dengan begitu matang. Namun tiba-tiba saja kekacauan itu terjadi. Malam yang terasa hening mendadak pecah tatkala kedua orang tuanya saling cek cok. Entah apa yang mereka perdebatkan, yang jelas Quiny sangat merasa terganggu. Suara pecahan barang disertai makian kasar seolah sudah menjadi paten dalam pertengkaran besar itu. Malam itu pula, Quiny kabur dari rumah. Kakinya yang lecet dan sakit karena terus berlari, tak sebanding dengan sakit di hatinya ketika melihat kedua orang tuanya bertengkar.

Quiny tidak hadir saat hari pertama ujian, begitu pula hari-hari selanjutnya. Hal ini memunculkan kekhawatiran pada diri Reco, kekasih Quiny dan Sasha, sahabatnya. Keduanya berinisiatif untuk mencari ke rumah Quiny. Tapi nihil. Quiny dan keluarganya tidak berada di sana. Susah payah keduanya mencari keberadaan Quiny, berbagai cara dilakukan, namun tetap saja hasilnya mengecewakan. Di lain sisi, Quiny juga menyimpan kekecewaan yang cukup mendalam ketika ia tahu bahwa Ayahnya telah selingkuh. Dengan segala perasaan kalut, ia berniat menyusul Ibunya ke kampung halamannya di Banyuwangi. Perlu diketahui, bahwa semenjak insiden perkelahian itu, Ibunya memilih pulang kampung ke Banyuwangi.

Namun, saat perjalanan menuju Banyuwangi, mendadak Quiny hilang kesadaran dan ditemukan oleh seorang dokter muda bernama Eddy Tanandy. Dokter muda itu membawa Quiny ke rumah sakit selama 7 hari. Setelah cukup kesadaran, Quiny dibawa pulang dan dirawat di rumah Dokter Eddy. Namun, satu hal yang Quiny bingungkan. Saat ia menatap tubuhnya di cermin, ada perubahan di sana. Tubuhnya terlihat tujuh tahun lebih tua dari biasanya. Bagaimana bisa? Ia masih gadis SMA berusia 18 tahun, namun mengapa sekarang ia nampak seperti wanita berusia 25 tahun?

Quiny merasa heran dan bingung dengan perubahan kondisi fisiknya tersebut….

Lantas, mengapa Quiny terlihat lebih tua dari biasanya? Apakah terdapat kelainan dalam dirinya?

***

Rudiyant, penulis novel ini sebenarnya masih cukup asing di telingaku. Mas Rudiyant ternyata banyak dikenal oleh banyak masyarakat lewat serial Detektif Konyol tulisannya. Tapi tetap saja, aku belum tahu yang mana orangnya, hehe. Well, pertama membuka buku ini aku merasa cukup nyaman. Dengan bersetting toko buku disertai segala hiruk pikuknya sangat memikat untuk dibaca. Entah kenapa, toko buku selalu menjadi salah satu latar favoritku dalam setiap buku yang aku baca.

Banyak yang ingin aku kritisi dari buku ini. Pertama dari segi penulisan. Aku cukup heran, semua nama hari di sini ditulis dengan awalan huruf kecil. Entah disengaja atau tidak, bahkan semua nama hari ditulis menggunakan huruf kecil. Selain itu, penulisan kalimat dalam dialog juga perlu diperhatikan, tanda bacanya juga. Banyak kalimat yang menjelma sebagai kereta api. Maksudnya tidak ada spasi atau digandeng begitu saja. Hal ini sebenarnya sangat menggangu kenyamanan saat membaca. Aku rasa penulis dan editor harus benar-benar teliti dalam menyikapi masalah ini. Sepele sebenarnya, namun jika tidak diperhatikan bukankah juga akan menjadi masalah?

Kedua, di lembar terakhir buku ini, penulis menuliskan bahwa pengerjaan buku ini sangatlah lama. Mulai dari tahun 2008, namun itu hanya dua-tiga bab, lalu ditinggalkan begitu saja. Lalu, buku ini kembali ditulis 6 tahun sesudahnya pada pertengahan tahun 2014. Memang benar dengan apa yang dikatakan penulis, banyak perbedaan cara penulisan yang bisa aku rasakan dari awal bab menuju akhir. Kentara sekali. Di awal bab—mohon maaf sebelumnya—cara menulisnya seperti orang yang baru belajar nulis dan terkesan dipaksakan. Terutama dari dialognya. Misal, Reco, begitu banyak basa basi dan terlalu berlebihan. Ungkapan cinta dari Reco terlalu dipaksakan dan terkesan mencari-cari. Namun seiring menuju pertengahan buku, banyak gaya penulisan yang berubah jika dibandingkan pada bab-bab awal. Cenderung lebih baik dan mengalir begitu saja.

Ketiga, kalimat yang ditulis cenderung tidak efektif, banyak pengulangan dan boros kata. Aku tidak ingin omong kosong, maka aku ambil saja satu contoh dari buku ini. Misal, pada halaman 18:

“Meski seharian tadi mereka sudah bersama, tetap saja seperti ada sebuah kerinduan kecil yang menyeruak di dasar hatinya saat mereka berpisah seperti ini. Walau pun masih dalam hitungan detik mereka berpisah, Quiny sangat merindukan Reco.”

            Aku rasa, kalimat di atas terjadi pengulangan arti, dan cenderung kurang efektif. Arti dari kedua kalimat itu sebenarnya sama, yaitu sama-sama rindu ketika sudah berpisah. Setidaknya, itu hanya pendapatku. Sebenarnya, masih ada beberapa kalimat lagi yang mengalami kasus serupa, tapi tak sempat aku catat, hehe.

            Selain itu, cerita di buku ini cenderung klise dan sinetronis. Cerita seperti ini banyak kita temui di banyak sinteron atau yang lainnya. Alur cerita mudah ditebak, terlebih saat masuk pertengahan buku. Hal ini cenderung membuatnya ceritanya kurang ‘surprise’. Banyak adegan yang menurutku tidak masuk akal pula, seperti saja saat Quiny melakukan perjalanan ke Banyuwangi dan ia pingsan. Anehnya, ia pingsan sampai 7 hari. Aneh, nggak? Selain itu, ada juga ketidak konsistenan di sini. Terdapat di awal bab. Adalah adegan ketika Quiny sangat optimis dan penuh tekad dengan Ujian Nasional yang akan dihadapinya, tapi tiba-tiba saja ia patah semangat, kabur dari rumah dan tidak memedulikan ujian nasional hanya karena perdebatan orang tuanya itu. Cenderung kurang logis pula, karena di awal sekali, sosok Quiny ini digambarkan sebagai gadis yang optimis, penuh keyakinan dan konsisten dengan keyakinannya.

            Di balik kekurangan yang ada pada buku ini, ada baiknya aku menuliskan kelebihannya pula. Dari segi karakter, Reco sangat menarik perhatian. Meski terkadang dia terlihat agak berlebihan, namun perjuangan dan pengorbanan tulus yang ia lakukan demi mencari Quiny cukup menarik simpati banyak pembaca. Reco digambarkan sebagai sosok laki-laki yang setia, optimis, dan tidak mudah putus asa. Ini menjadi poin plus untuk ‘Silent Herat’ dari segi penokohan.

Well! Secara keseluruhan, meski banyak kekurangan, buku ini sangat cocok untuk sekadar mengisi waktu luang. Karena aku mengkategorikannya sebagai bacaan yang cukup ringan. Percayalah, hehe :D

            Terima kasih!

***

“…bahagia di atas penderitaan orang itu tidak menyenangkan. Karena setiap tawa dan bahagia kalian selama itu, adalah kesakitan dan kepedihan untuknya. Apakah kamu tega melakukan hal itu di sepanjang hidupmu?”

Hlm. 157

Tidak ada komentar:

Posting Komentar