Judul : Silent Heart
Penulis : Rudiyant
Tebal : 336 hlm
Penerbit : Kunci Aksara
Kategori : Novel
ISBN : 602 – 7993 – 73 – 1
Blurb:
Pada awalnya semua orang mungkin akan
BANGGA dengan apa yang dipilihnya… Baik itu sesuatu hal, benda atau pun
pasangan pilihannya…
Tapi pada akhirnya tidak semua orang
SETIA pada pilihannya… Kalau pun ada, pasti hanya sedikit sekali jumlahnya.
Karena sebuah kesetiaan pasti memiliki pergorbanan yang belum tentu berakhir
indah…
Saat dia sadar bahwa yang dipilihnya
mungkin tidak sepenuhnya seperti yang diimpikan dan diharapakan, disinilah
berbicara keikhlasan hati… Ikhlas akan semua hal, karena akhir dari pemikiran
ini semua, pastilah jalan Suratan Takdir…
Sudah menjadi Hukum Langit, yang
tersulit dalam hidup ini bukanlah MEMILIH, namun bertahan atas APA yang
dipilihnya…
Sedikit orang mungkin bertekad untuk
bertahan, Namun sesaat waktu mungkin sudah cukup untuk menentukan pilihan dan
merubah pendirian…
Hanya pemilik CINTA SEJATI yang siap
untuk bertahan atas apa yang dipilihnya. Walau mungkin pilihan itu harus
menghabiskan sisa usia yang dimilikinya…
***
“Setiap kali aku mengakhiri pertemuanku denganmu,
entah kenapa aku merasa takut. Aku takut tak dapat bertemu dan melihat senyum
manis di bibir kecilmu. Sejujurnya aku benci perpisahan, meski ini hanya
sementara. Aku hanya bisa membuat hidup ini berarti jika ada kamu bersamaku.
Tanpamu, aku sepi… Aku hanya bisa dan berharap dapat bertemu kamu secepatnya
dan merasakan segala keindahan duniawi bersamamu. Sayang… sesungguhnya aku ingin
selalu di sampingmu dan menggenggam jemarimu.”
Hlm. 17
Malam itu menjadi malam yang penuh kesedihan bagi Quiny. Bagaimana
tidak, besok ia akan mengikuti Ujian Nasional dan tengah mempersiapkannya
dengan begitu matang. Namun tiba-tiba saja kekacauan itu terjadi. Malam yang
terasa hening mendadak pecah tatkala kedua orang tuanya saling cek cok. Entah
apa yang mereka perdebatkan, yang jelas Quiny sangat merasa terganggu. Suara
pecahan barang disertai makian kasar seolah sudah menjadi paten dalam pertengkaran
besar itu. Malam itu pula, Quiny kabur dari rumah. Kakinya yang lecet dan sakit
karena terus berlari, tak sebanding dengan sakit di hatinya ketika melihat
kedua orang tuanya bertengkar.
Quiny tidak hadir saat hari pertama ujian, begitu pula hari-hari
selanjutnya. Hal ini memunculkan kekhawatiran pada diri Reco, kekasih Quiny dan
Sasha, sahabatnya. Keduanya berinisiatif untuk mencari ke rumah Quiny. Tapi
nihil. Quiny dan keluarganya tidak berada di sana. Susah payah keduanya mencari
keberadaan Quiny, berbagai cara dilakukan, namun tetap saja hasilnya mengecewakan.
Di lain sisi, Quiny juga menyimpan kekecewaan yang cukup mendalam ketika ia
tahu bahwa Ayahnya telah selingkuh. Dengan segala perasaan kalut, ia berniat
menyusul Ibunya ke kampung halamannya di Banyuwangi. Perlu diketahui, bahwa
semenjak insiden perkelahian itu, Ibunya memilih pulang kampung ke Banyuwangi.
Namun, saat perjalanan menuju Banyuwangi, mendadak Quiny hilang
kesadaran dan ditemukan oleh seorang dokter muda bernama Eddy Tanandy. Dokter
muda itu membawa Quiny ke rumah sakit selama 7 hari. Setelah cukup kesadaran,
Quiny dibawa pulang dan dirawat di rumah Dokter Eddy. Namun, satu hal yang
Quiny bingungkan. Saat ia menatap tubuhnya di cermin, ada perubahan di sana.
Tubuhnya terlihat tujuh tahun lebih tua dari biasanya. Bagaimana bisa? Ia masih
gadis SMA berusia 18 tahun, namun mengapa sekarang ia nampak seperti wanita
berusia 25 tahun?
Quiny merasa heran dan bingung dengan perubahan kondisi fisiknya
tersebut….
Lantas, mengapa Quiny terlihat lebih tua dari biasanya? Apakah
terdapat kelainan dalam dirinya?
***
Rudiyant, penulis novel ini sebenarnya masih cukup asing di
telingaku. Mas Rudiyant ternyata banyak dikenal oleh banyak masyarakat lewat
serial Detektif Konyol tulisannya. Tapi tetap saja, aku belum tahu yang mana
orangnya, hehe. Well, pertama membuka buku ini aku merasa cukup nyaman. Dengan
bersetting toko buku disertai segala hiruk pikuknya sangat memikat untuk
dibaca. Entah kenapa, toko buku selalu menjadi salah satu latar favoritku dalam
setiap buku yang aku baca.
Banyak yang ingin aku kritisi dari buku ini. Pertama dari segi
penulisan. Aku cukup heran, semua nama hari di sini ditulis dengan awalan huruf
kecil. Entah disengaja atau tidak, bahkan semua nama hari ditulis menggunakan
huruf kecil. Selain itu, penulisan kalimat dalam dialog juga perlu
diperhatikan, tanda bacanya juga. Banyak kalimat yang menjelma sebagai kereta
api. Maksudnya tidak ada spasi atau digandeng begitu saja. Hal ini sebenarnya
sangat menggangu kenyamanan saat membaca. Aku rasa penulis dan editor harus
benar-benar teliti dalam menyikapi masalah ini. Sepele sebenarnya, namun jika
tidak diperhatikan bukankah juga akan menjadi masalah?
Kedua, di lembar terakhir buku ini, penulis menuliskan bahwa
pengerjaan buku ini sangatlah lama. Mulai dari tahun 2008, namun itu hanya
dua-tiga bab, lalu ditinggalkan begitu saja. Lalu, buku ini kembali ditulis 6
tahun sesudahnya pada pertengahan tahun 2014. Memang benar dengan apa yang
dikatakan penulis, banyak perbedaan cara penulisan yang bisa aku rasakan dari
awal bab menuju akhir. Kentara sekali. Di awal bab—mohon maaf sebelumnya—cara
menulisnya seperti orang yang baru belajar nulis dan terkesan dipaksakan.
Terutama dari dialognya. Misal, Reco, begitu banyak basa basi dan terlalu berlebihan.
Ungkapan cinta dari Reco terlalu dipaksakan dan terkesan mencari-cari. Namun
seiring menuju pertengahan buku, banyak gaya penulisan yang berubah jika
dibandingkan pada bab-bab awal. Cenderung lebih baik dan mengalir begitu saja.
Ketiga, kalimat yang ditulis cenderung tidak efektif, banyak
pengulangan dan boros kata. Aku tidak ingin omong kosong, maka aku ambil saja
satu contoh dari buku ini. Misal, pada halaman 18:
“Meski
seharian tadi mereka sudah bersama, tetap saja seperti ada sebuah kerinduan
kecil yang menyeruak di dasar hatinya saat mereka berpisah seperti ini. Walau
pun masih dalam hitungan detik mereka berpisah, Quiny sangat merindukan Reco.”
Aku rasa, kalimat
di atas terjadi pengulangan arti, dan cenderung kurang efektif. Arti dari kedua
kalimat itu sebenarnya sama, yaitu sama-sama rindu ketika sudah berpisah.
Setidaknya, itu hanya pendapatku. Sebenarnya, masih ada beberapa kalimat lagi
yang mengalami kasus serupa, tapi tak sempat aku catat, hehe.
Selain itu,
cerita di buku ini cenderung klise dan sinetronis. Cerita seperti ini banyak
kita temui di banyak sinteron atau yang lainnya. Alur cerita mudah ditebak,
terlebih saat masuk pertengahan buku. Hal ini cenderung membuatnya ceritanya
kurang ‘surprise’. Banyak adegan yang menurutku tidak masuk akal pula, seperti
saja saat Quiny melakukan perjalanan ke Banyuwangi dan ia pingsan. Anehnya, ia
pingsan sampai 7 hari. Aneh, nggak? Selain itu, ada juga ketidak konsistenan di
sini. Terdapat di awal bab. Adalah adegan ketika Quiny sangat optimis dan penuh
tekad dengan Ujian Nasional yang akan dihadapinya, tapi tiba-tiba saja ia patah
semangat, kabur dari rumah dan tidak memedulikan ujian nasional hanya karena
perdebatan orang tuanya itu. Cenderung kurang logis pula, karena di awal
sekali, sosok Quiny ini digambarkan sebagai gadis yang optimis, penuh keyakinan
dan konsisten dengan keyakinannya.
Di balik
kekurangan yang ada pada buku ini, ada baiknya aku menuliskan kelebihannya pula.
Dari segi karakter, Reco sangat menarik perhatian. Meski terkadang dia terlihat
agak berlebihan, namun perjuangan dan pengorbanan tulus yang ia lakukan demi
mencari Quiny cukup menarik simpati banyak pembaca. Reco digambarkan sebagai
sosok laki-laki yang setia, optimis, dan tidak mudah putus asa. Ini menjadi
poin plus untuk ‘Silent Herat’ dari segi penokohan.
Well! Secara keseluruhan, meski banyak kekurangan, buku ini sangat
cocok untuk sekadar mengisi waktu luang. Karena aku mengkategorikannya sebagai
bacaan yang cukup ringan. Percayalah, hehe :D
Terima kasih!
***
“…bahagia di atas
penderitaan orang itu tidak menyenangkan. Karena setiap tawa dan bahagia kalian
selama itu, adalah kesakitan dan kepedihan untuknya. Apakah kamu tega melakukan
hal itu di sepanjang hidupmu?”
Hlm. 157
Tidak ada komentar:
Posting Komentar