Senin, 09 Januari 2017

CRITICAL ELEVEN: Cinta yang Berawal dari Kabin Pesawat



Judul : Critical Eleven
Penulis : Ika Natassa
Tahun terbit : 2015
Cetakan : Kesebelas, Maret 2016
Tebal : 344 hlm
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Kategori : Novel Metropop
ISBN : 978 – 602 – 03 – 1892 – 9

BLURB:
Dalam dunia penerbangan, dikenal istilah critical eleven, sebelas menit paling kritis di dalam pesawat—tiga menit setelah take off dan delapan menit sebelum landing—karena secara statistik delapan puluh persen kecelakaan pesawat umumnya terjadi dalam rentang waktu sebelas menit itu. It's when the aircraft is most vulnerable to any danger.

In a way, it's kinda the same with meeting people. Tiga menit pertama kritis sifatnya karena saat itulah kesan pertama terbentuk, lalu ada delapan menit sebelum berpisah—delapan menit ketika senyum, tindak tanduk, dan ekspresi wajah orang tersebut jelas bercerita apakah itu akan jadi awal sesuatu ataukah justru menjadi perpisahan.

Ale dan Anya pertama kali bertemu dalam penerbangan Jakarta-Sydney. Tiga menit pertama Anya terpikat, tujuh jam berikutnya mereka duduk bersebelahan dan saling mengenal lewat percakapan serta tawa, dan delapan menit sebelum berpisah Ale yakin dia menginginkan Anya.

Kini, lima tahun setelah perkenalan itu, Ale dan Anya dihadapkan pada satu tragedi besar yang membuat mereka mempertanyakan pilihan-pilihan yang mereka ambil, termasuk keputusan pada sebelas menit paling penting dalam pertemuan pertama mereka.

Diceritakan bergantian dari sudut pandang Ale dan Anya, setiap babnya merupakan kepingan puzzle yang membuat kita jatuh cinta atau benci kepada karakter-karakternya, atau justru keduanya. 

***

SYNOPSIS:

--TAKE OFF --

Ale dan Anya pertama kali bertemu di sebuah pesawat yang membawa mereka ke Sidney. Letak duduk mereka yang bersebelahan, tak ayal membuat keduanya saling bertukar sapa dan mengenal. Meski sebenarnya mereka yakin bahwa pertemuan itu akan segera berakhir sesaat setelah turun dari pesawat nanti. Anya mengenal Ale sebagai sosok laki-laki yang bekerja di sebuah rig/pengeboran minyak lepas pantai. Sementara Ale, mengenal Anya sebagai tipikal orang yang gampang tidur. Lucu bagi Ale, namun memalukan bagi Anya. Bayangkan, perempuan mana yang tidak malu setengah mati saat menyadari bahwa dirinya tertidur pulas selama 3 jam dengan kepala menyender di pundak orang asing? Terlebih lagi pundak Ale! Laki-laki asing, yang anehnya membuat hatinya tak keruan!

--FLIGHT--

Ale dan Anya kembali bertemu sebulan setelahnya. Bertemu intens selama tujuh hari, dan akhirnya memutuskan untuk berpacaran. Setahun setelahnya, Anya menerima lamaran Ale dan keduanya melangsungkan pernikahan. Pernikahan mereka berjalan baik-baik saja sampai tragedi itu menimpa rumah tangga mereka. Belum reda kesedihan mereka, terutama Anya, tiba-tiba saja Ale, secara tidak sengaja menyakiti hati istrinya tersebut. Dan tahukah kalian, sikap bodoh Ale itu rupanya semakin membuat lubang di hati Anya menganga lebar.

Bahkan, membuat Anya bersikap seakan Ale tidak lagi ada dalam kehidupannya.

--LANDING--

Prahara dalam rumah tangga Ale-Anya terus berlanjut. Bahkan ini terlihat seperti kehidupan yang telah di ambang kehancuran. Tinggal menunggu waktu saja sampai salah satu di antara mereka memutuskan untuk berpisah. Dalam kurun waktu enam bulan terakhir, sikap Anya tidak menunjukkan akan  ada perkembangan ke arah yang lebih baik. Justru sebaliknya.

          Sesakit itukah perasaan yang dirasakan Anya, dan sebodoh itukah pula Ale dalam membina rumah tangganya?

           Namun sebelumnya, ada satu pertanyaan yang lebih penting dari semua itu: apakah kisah ini akan mendarat dengan mulus? Atau justru, sebaliknya?

***

Beberapa waktu lalu, melalui akun twitter-nya, Ika Natasaa menginformasikan bahwa salah satu novel terlarisnya (Critical Eleven) akan segera di-film-kan. Dan, dalam rangka menyambut rilisnya film tersebut, tim redaksi Gramedia membuat sebuah lomba untuk meresensi novel Ika Natassa tersebut. Ya, sebelumnya, saya memang sudah membaca buku ini dan membuat review-nya. Namun demi bisa ikut serta dalam event lomba tersebut, saya memutuskan untuk membaca ulang ceritanya dan tentunya, menulis ulang resensinya. Jadi, kesimpulan dari semua itu: I read the book for twice!

               The question is, what I felt when I read this book for the second time?

               So, let’s check my review below!


REVIEW:

‘What things that I didn’t like from this book?’

(-)  Penggunaan kalimat berbahasa Inggris yang terlalu banyak.
Ok, mungkin saya agak norak dan mungkin juga bisa dibilang ketinggalan jaman. Namun saya rasa, dengan menggunakan sudut pandang dari seorang pembaca (dari berbagai kalangan), saya merasa perlu untuk mengkritisi satu hal tersebut. Saat sebuah novel atau buku diterbitkan, otomatis buku tersebut tidak hanya menjadi milik penulis atau penerbit saja, melainkan milik semua orang. Semua orang dari berbagai kalangan bisa membeli, membaca dan memilikinya. Namun di satu sisi, penulis harus sadar dan melihat lebih luas bahwa tidak semua pembaca atau masyarakat kita menguasai atau setidaknya tahu tentang bahasa Inggris.

               Buku Indonesia yang banyak memuat kalimat berbahasa Inggris sebenarnya memang sah-sah saja. Bagi mereka, kalangan metropolitan atau yang setidaknya berpendidikan, pasti merasa tidak dipersulitkan dengan adanya buku seperti itu. Namun beda halnya dengan kalangan pembaca atau masyarakat yang awam terhadap bahasa asing. Hal ini tentu akan mempersulit dan merugikan mereka dalam kegiatan membaca. Jadi saran saya untuk penulis, ke depannya harus lebih bisa melihat realita yang ada di masyarakat. Bagaimana cara agar bukunya bisa dinikmati semua kalangan tanpa harus mempermasalahkan soal penggunaaan bahasa. Bahasanya campur aduk boleh, namun akan lebih baik jika dalam batas wajar dan tidak berlebih.

(-) Penyampaian cerita cenderung ribet.
Dalam beberapa bagian, sebelum masuk ke inti cerita, Ika Natassa lebih banyak bermain-main dulu dengan berbagai trivia tentang banyak hal. Beberapa di antaranya pada halaman 47: pembahasan panjang tentang KPI (Key Performance Indicators), kemudian di halaman 145: tentang tempat ciuman pertama yang dikutip dari beberapa film, lalu ada pula di halaman 329: tentang bagaimana tokoh-tokoh terkemuka mendefinisikan cinta, dan masih banyak lagi yang lainnya. Hal seperti ini, meski di satu sisi memperkuat adanya segi informatif, namun di lain sisi, menurut saya ini juga membuat ‘jalan’ menuju inti cerita terlalu dipanjang-panjangkan.

(-) Karakter Anya yang labil dan penyelesaian konflik terlalu sederhana.
Terlepas dari rasa sakit hatinya terhadap tragedi yang menimpa dan perkataan suaminya, saya merasa bahwa saya tidak menemukan karakter perempuan yang benar-benar dewasa dalam diri Anya. Bagaimana dia menyikapi tragedi itu dan seperti apa langkah yang ia ambil terkesan labil bagi saya. Beberapa ada pula yang tidak konsisten. Justru saya suka dengan Ale yang berhasil dibangun dengan imejnya sebagai laki-laki dewasa.
               Melihat dari sikap Anya yang cenderung unpredictable dan labil tersebut, saya cukup menyayangkan ketika mengetahui bahwa akhirnya semua permasalahan itu diselesaikan dengan sangat sederhana. Ending-nya benar-benar menyisakan keanehan bagi saya, dan membuat saya bertanya-tanya: bagaimana sikap Anya bisa berubah sedemikian rupa, setelah apa yang ia lalui di awal-awal? I mean, ke mana sosok Anya yang saya kenal dalam 300 halaman sebelumnya? It’s too easy for me, by the way.

‘What things that I love from this book?’

(+) Point of View
Bisa dibilang, salah satu hal yang membuat saya jatuh cinta dengan buku ini adalah karena cara yang digunakan penulis dalam menyampaikan ceritanya. Bukan cara yang berbelit tadi, namun dari sudut pandangnya. Diceritakan dengan PoV1 dari Ale dan Anya, hal ini secara otomatis membuat pembaca memiliki ikatan emosional tersendiri dengan keduanya. Dan tak  ayal, juga membuat kita mudah untuk masuk ke dalam ceritanya. An emotional story, really!

Bagian lain yang saya suka adalah saat penulis mengisahkan satu adegan yang sama dalam 2 sudut pandang yang berbeda. Misal, adegan yang diceritakan oleh Anya, diceritakan lagi lewat sudut pandang Ale. And it was good! Kita bisa menyelami arah pandang dan cara pemikiran yang berbeda dari kedua tokohnya terhadap satu kejadian.

(+) An emotional story!
Sebuah cerita yang sangat menguras emosi. Bukan karena berasal dari sudut pandangnya saja, namun juga dari konfliknya, dialog dan hubungan yang terjalin antara Ale-Anya, dan segala cerita hidup mereka. Pada beberapa bagian, saya sempat hampir meneteskan air mata (sesuatu yang sangat jarang sekali terjadi pada saya, kecuali saat membaca buku-buku bagus). Satu bagian yang sangat menguras emosi itu adalah…. Ups! Ini akan spoiler, jadi saya memilih untuk tidak membocorkannya saja, hehe. Biarlah ini menjadi rahasia saya, dan pembaca yang sudah membaca buku ini. Intinya, bohong kalau kalian baca buku ini, tapi kalian nggak ngerasaian apa yang saya rasain. Terutama pas di bagian ‘itu’.

(+) Alurnya mengalir.
Jika biasanya saya kerap kali menemui buku yang mana perpindahan alurnya sangat dipaksakan, maka beda halnya dengan buku ini. Benar-benar mengalir. Perpindahan alur cerita dari masa sekarang ke flashback pun terjadi begitu saja. Tahu-tahu, flashback gitu aja. Oh, apa yang harus saya katakan untuk ini? No words to define, lah. I really enjoy!

(+) Ale yang dewasa, sangat mendewasakan cerita.
Maaf Anya, tapi saya lebih suka dengan karakter Ale di sini. Bagi saya, ia adalah sosok yang benar-benar tahu dan ambisius dalam mempertahankan rumah tangganya. Meski pada dasarnya, permasalahan utama dari buku ini disebabkan olehnya, namun justru saya tidak merasa sedikit pun kebencian terhadapnya. Yang perlu kita acungi jempol tentu cara ia menyikapi tiap masalah, meski tertatih-tatih, but he did it very well. Sering kali cerita hidup yang Ale alami menarik simpati saya. Kak Ika Natassa, berhasil menciptakan seorang tokoh berhati rapuh namun juga kuat dalam saat yang bersamaan. Karakternya yang dewasa pun berhasil menyampaikan gambaran ideal dari seorang laki-laki yang membangun rumah tangga. Sosok yang realistis, lah.


SUMBER: DI SINI 

(+) Many scenes that I love, and memorable!
Sorry, I can’t tell that scenes to you. (Maaf, saya tidak bisa menceritakan adegan-adegan itu kepada kalian) Hohohooo..

(+) Pesan yang disampaikan.
-Pernikahan adalah hal yang sakral. Seperti perjudian, jangan coba main-main di dalamnya. 
“In marriage, when we win, we win big. But when we lost, we lost more than everything. We lost ourshelves, and there’s nothing sadder than that.”

-Apa pun kekurangan pasanganmu, terimalah dengan lapang hati.
“Menurut Ibu, Bapak ini ada kerungannya nggak?”
“Sebanyak bintang di langit, sampai nggak sanggup saya menghitungnya.”
“Wah, apakah kebaikan Bapak juga banyak, Bu?”
“Justru sedikit sekali. Ibarat matahari di langit. Bumi malah punya satu matahari.”
“Lho, kalau begitu kok bisa Ibu hidup sama Bapak rukun-rukun, akur, saling cinta sampai setengah abad?”
“Karena Dik, begitu matahari terbit, semua bintang di langit jadi tak kelihatan.”

-Tidak semua harapan akan menjadi kenyataan. Belajarlah untuk ikhlas dan menerima.
“Some wish remain a wish for as long as we live.”

WOW! Critical Eleven will be adaptep into a movie in 2017!


Sebuah kesenangan bagi penulis, penerbit, dan pembaca yang didapat dari sebuah novel, tentunya adalah ketika novel tersebut berhasil mencuri perhatian Production House dan mengadaptasikannya ke sebuah film. Dan, itulah yang saya rasakan ketika mengetahui bahwa salah satu novel favorit saya (Critical Eleven) akan hadir dalam bentuk visual (film).

              Untuk tokohnya, memang sebelumnya saya tidak mengira bahwa Reza Rahardian akan memerankan Ale, dan Adinia Wirasti akan memerankan Anya. Karena awalnya, ekspektasi saya bukan mereka, melainkan Deva Mahenra dan Chelsea Islan. Yes, saya salah satu penonton serial mereka yang ‘itu’, hehe. But, saya tidak bisa mengubah keputusan (apalagi saya bukan apa-apa, dan tidak selayaknya ikut campur). Untuk filmnya nanti, yang saya harapkan, pertama adalah karakter Anya. Adinia Wirasti, yang sudah menyatu dengan imej tomboy, saya harap tidak selabil Anya dalam memerankan cerita ini. Dan saya harap, semua yang terlibat dalam film ini memang menjadikan karakter Anya menjadi lebih dewasa. Helo, this is Adinia Wirasti. She known as a Karmen—the tomboy girl. I mean, bukankah lucu apabila ia selabil dan kekanakkan seperti Anya di novel? Dan saya lihat pun, secara fisik Adinia memiliki garis wajah yang tegas, keras, dan tipikal wanita tegar. Jadi saya sangat berharap sekali agar imej Anya sebagai perempuan labil tidak ada lagi—setidaknya di mata saya.


SUMBER: DI SINI 

                Reza Rahardian, saya mempunyai feeling yang bagus untuk kemampuan dia memerankan tokoh Ale. Harapan saya cuma satu sebenarnya, jangan hilangkan watak nakalnya, hehe. 

                Kemudian, saya berharap, penyelesaian konflik dalam filmnya nanti tidak semudah dengan yang ada di novel. Lebih logis dan realisitis lagi. Kalau perlu, adegan ending yang ada di novel diteruskan, tidak berhenti pas bagian itu saja. Karena, menurut saya, itu nanggung sekali. Lalu, dalam filmnya nanti, saya berharap saya tidak kehilangan rasa asli dari cerita di novelnya. Untuk konfliknya, emosinya, semoga tetap menyentuh di hati. Bahkan kalau bisa, yang lebih dari itu. Karena bagaimana pun, prestasi terbesar sebuah film tidak hanya dilihat dari jumlah penontonnya saja, tapi  juga seberapa banyak orang yang menangis atau bahkan tertawa bahagia saat melihatnya.

                And the last. The one and only, don’t remove my favorite scenes from the novel, please!

***
RATING:



(FOUR THUMBS)

13 komentar:

  1. Selalu kreatif kalau bikin resensi 😁

    BalasHapus
  2. Poster filmnya disensor coba 😅
    Nonononono tidak dengan Deva Mahenra. Dia terlalu polos buat jadi Ale wkwk. Lagian aku nunggu satu scene yg... anu... kayaknya bakal cocok bgt kalo Reza Rahadian yg meranin... eng... adegan yg agak agak hawt gitu eng...
    Kalo di resensiku, endingnya kusebut dengan "bukan tipikal ending yg kusuka". Cuma aku nggak jelasin kenapa. Review kamu sgt mewakili apa yg ingin kusampaikan soal ini 😊

    BalasHapus
    Balasan
    1. HAHAHAHA, yang hawt itu ya? Emm mungkin iya ya, Deva terlalu kalem. Iya, endingnya menurutku nanggung gitu.

      Terima kasih sudah berkunjung ya kk wenny

      Hapus
  3. nah bin sama nih pendapatnya aku juga gak begitu nyaman dengan kalimat english di sana-sini. menurutku andai di-Indonesia-in pun gak masalah, gak ada pengaruhnya juga. kecuali untuk beberapa istilah yang emang mesti pake english, aku bisa terima. tapi ya mungkin gaya penulisnya begitu, aku bisa apa hahaha :'))))

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya bener sekali Kak. Tapi iya juga sih, terlepas dari penggunaan 2 bahasa ini, bukunya pun tetep laris manis hehe.

      Hapus
  4. Wah, resensinya sudah jadi. Di luar dari minus yang kamu sematkan, saya merasa perlu baca novel ini berkali-kali kembali. Sebab, saya harus mencontoh sosok Ale yang sangat humanis dan dewasa. Itu tok sih yang bikin saya suka novel ini. :)
    Sukses buat lombanya ya Bintang!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, yang saya suka juga tokoh Ale. Dia dewasa sekali, saya sangat simpati padanya. Terima kasih, sukses juga buat Mas Adin!

      Hapus
  5. Saya belum baca novelnya, tapi ada lihat potongan halaman di akun kak Ika Natassa pas nulis script dan review memang banyak banget bahasa inggrisnya. Saya yang tidak terlalu jago*ehem awam* bahasa inggris, sangat terganggu juga pastinya. Jadi di hal ini saya setuju banget sama pendapat Bintang✌

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah tuh kan bener kata saya di riviu tadi, tidak semua pembaca bisa menerima dengan mudah novel/buku berbahasa inggris. Terima kasih ya sudah komen dan berkunjung. Semoga ke depannya Ika Natassa bisa lebih baik lagi :)

      Hapus
  6. Aku juga gak suka sama penggunaan bahasa Inggris campurnya, bikin teringat sama Chienca Lhawra gitu =))) tapi overall aku juga suka kok sama novel ini. Ale salah satu man crush-ku *yha* =))) Tapi Ale di bayanganku bukan seperti om Eza =))) jadi ikutan penasaran gimana Ale di tangan Reza Rahadian. Mari sama2 tunggu kehadiran filmnya! :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Memang di bayangan kak Niss, Ale itu cocok diperanin siapa? Hayoo, hehe. Iya, ditunggu banget film-nya. Aku paling penasaran gimana Adinia meranin Anya.

      Hapus
  7. Like that sekali, bikin nangis berkali kaliiiii gabisa dipungkiri ini keren

    BalasHapus