Judul : Rasuk
Penulis :
Risa Saraswati
Tahun terbit : 2015
Cetakan : Pertama
Tebal : viii + 332
hlm.
Penerbit : Bukune
Kategori : Novel Horor
ISBN : 602-220-166-7
*Blurb :
Semenjak kepergian sang Ayah, Langgir Janaka---seorang gadis remaja
kesepian---merasa tidak ada satu hal pun dalam hidupnya berjalan dengan baik.
Hari-harinya dipenuhi rutukan bagi nasib buruk. Kalimat “Tuhan tidak adil”
seolah menjadi mantra dalam batinnya.
Langgir iri dan ingin kisahnya lebih seperti para sahabatnya; Sekar
Tanjung, seorang anak pungut yang dilimpahi kasih keluarga angkatnya. Lintang
Kasih yang punya orangtua kaya dan sering bepergian ke luar negeri. Juga
Fransisca Inggrid, perempuan cantik yang selalu menemukan kemudahan dalam
hidupnya.
Namun, bagaimana jika keinginan itu
menjadi nyata? Rohnya merasuk dalam tubuh orang lain. Menjalani hidup sebagai
mereka, menelan suka-duka yang bukan miliknya, sedangkan raganya sendiri
tersembunyi entah di mana. Kini, Langgir sadar, harga yang harus dibayar untuk
keinginan itu terlalu besar….
***
“Hidup ini begitu semrawut, hingga kerap kali aku mengutuknya! Mungkin
Kau bosan mendengar hati ini menjerit dan memaki. Mereka bilang Kau mendengar
semua keluh umatMu. Benar begitu? Lantas, dari sekian banyak garis hidup
manusia yang Kau gambar, mengapa harus hidupku yang Kau gores berliku?”
***
Langgir
Janaka, adalah seorang gadis yang begitu membenci hidupnya. Dia merasa bahwa
Tuhan tak adil kepadanya. Di saat yang lain bisa merasakan kebahagiaan, kenapa
dirinya tak bisa mendapat hal demikian? Berkali-kali ia menghujat, bahkan
mengutuk hidupnya sendiri. Terlebih, saat kepergian sang Abah—Samson—yang
begitu tiba-tiba. Harum Manis, Ibunya selalu melampiaskan rasa kesedihan itu
kepada Langgir. Berkali-kali Harum Manis mengeluarkan kalimat-kalimat bernada
amarah terhadap anaknya tersebut atas kepergian sang suami.
“Diam-diam dia
menangis. Tak meraung seperti Harum Manis, tapi Langgir merasakan kesakitan
yang sangat pedih dalam setiap isaknya”
(hlm. 12)
Langgir
yang malang, tumbuh menjadi seorang gadis yang berada dalam kekangan Harum
Manis. Kesedihan semakin bertambah tatkala Langgir mengetahui bahwa Harum Manis
akan menikah kembali. Laki-laki itu bernama Safrudin Syarief. Seorang laki-laki
yang ditemuinya bersama Harum Manis di pemakaman tempo hari lalu. Langgir kian
membenci hidupnya, terlebih kepada laki-laki yang meminang Harum Manis tersebut.
Langgir begitu kecewa, ‘Mengapa begitu
mudahnya Ambu melupakan kepergian, Abah?’
“Sesungguhnya, meski
bibirku bungkam, ragaku dipenuhi kebencian, dan hidupku ini sangatlah tidak
bahagia”
(hlm. 17)
Langgir
begitu membenci hidupnya, tidak banyak yang ia inginkan, melainkan hanya sebuah
‘kebahagiaan’. Kebahagiaan yang sama dialami oleh ketiga sahabatnya; Sekar
Tanjung, Lintang Kasih, dan Fransisca Inggrid. Langgir ingin merebut semua
kebahagiaan itu. Langgir ingin mengambil alih hidup mereka dan mengakhiri
segala keluh kesah hidupnya.
“Tuhan, jika memang Kau
ada, lalu kenapa Kau diam saja? Aku lelah dengan semua drama yang terjadi di
hidupku. AKU INGIN MATI!”
(hlm. 114)
Lantas,
bagaimanakah jika keinginan itu menjadi nyata? Rohnya masuk ke dalam tubuh
orang lain dan menjalani hidup bukan sebagai ‘Langgir Janaka’ yang seutuhnya.
Menetap dalam raga yang bukan miliknya, dan merasakan segala suka-duka yang
bukan miliknya pula. Jiwa Langgir dengan mudah merasuk dari raga satu ke raga
yang lainnya.
Lantas,
apakah jiwanya bisa bersatu lagi dengan raganya yang hilang, dan kembali
menjadi ‘Langgir Janaka’ seutuhnya?
Langgir
harus segera mencari keberadaan raganya. Apakah tersembunyi, terjebak dalam
suatu tempat… atau mungkin saja membusuk dan mati?
“Langgir yang malang……”
***
Sedikit
bercerita, aku sangat fight sekali
untuk mendapatkan buku ini. Tempo hari aku udah transfer uang ke rekening salah
satu tokbuk online. Beberapa minggu berlalu, mereka bilang bahwa bukunya belum
ready. Aku yang sudah terlalu tertarik dengan buku ini senantiasa menunggu.
Sampai akhirnya sudah berlangsung satu bulan lebih, akhirnya mau tidak mau
uangku dikembalikan karena bukunya belum ready juga. Sesaat setelah uang aku
terima kembali, sekitar tiga hari berikutnya aku dihubungi lagi sama tokbuk
online itu. Mereka bilang “Kak, buku Rasuk sudah ready”. Ya tuhan! Itu rasanya
jleb! banget tau. Kalau tau bakal kayak gitu mending nggak usah dikembaliin
uangnya. Dan, dengan sangat terpaksa (dan senang juga) aku transfer lagi
uangnya. Dan, setelah beberapa hari menunggu, akhirnya… buku ini sampai di
tanganku juga, hehe. *maapsedikitcurcol.
Fokus
ke Review:
Kita
berbicara mengenai kelemahan buku terlebih dahulu. Untuk dikategorikan sebagai
novel horor, menurutku cerita dalam buku ini tidak sepenuhnya mengandung
hal-hal berbau horor atau mistis. Mungkin iya, apabila kita melihat pada
covernya, kita bisa menyimpulkan bahwa buku ini menyimpan banyak misteri.
Namun, pada kenyatannya tidak seperti itu yang aku temui di buku ini. Memang,
ada beberapa part atau bagian yang
mengandung unsur horor. Bukan dari awal cerita, namun hanya pada pertengahan
buku hingga akhir saja. Itu pun menurutku tidak terlalu mendominasi dan
cenderung biasa saja. Beberapa lembar pertama buku ini sampai pertengahan,
hanya fokus kepada kehidupan Langgir Janaka yang kian hari kian sengsara.
Banyak menyuguhkan beberapa konflik dalam keluarga, menceritakan segala keluh
kesah Langgir Janaka yang justru membuat kita merasa iba pada kehidupannya.
Selain
itu, pada bab awal hingga pertengahan buku juga didominasi oleh cerita tentang
latar belakang beberapa tokoh. Seperti Sekar Tanjung, Sayati, Safrudien Syarif,
dan lain-lain. Di sini penulis menggunakan sudut pandang orang ketiga serba
tahu. Bisa kusimpulkan sedemikian rupa karena di sini penulis berperan sebagai
narator yang menguraikan dengan jelas semua latar belakang tokoh, dan
mengetahui segala seluk beluk tokoh secara rinci, atau serba tahu semuanya. Hampir
semua tokoh dihadirkan dengan kisah dan latar belakang masing-masing. Meski itu
membuat alur cerita nampak panjang, tapi menurutku tidak cukup mengganggu.
Karena, sejauh itu pun aku masih bisa menikmati jalan ceritanya. Tapi, tidak
tahu jika untuk pembaca yang lain. Bahkan aku pernah dengar ada yang berhenti
membaca buku ini waktu sampai pertengahan, hmmm…
Selain
itu, kelemahan buku ini juga terletak pada kekonsistenan karakter tokoh. Tidak
semua sebenarnya, hanya satu yang cukup menggangguku. Yakni adalah perubahan
karakter yang sangat drastis pada tokoh bernama Abimanyu Permadi. Pada awal
pertama aku mengenal tokoh ini, dia memiliki karakter yang bisa dikatakan
kumal, pendiam, cerdas, dan pelit ilmu. Namun, itu semua seolah berubah pada bab
‘Cairo Sadiwidjojo’. Karakter Abi di sini berubah drastis ketika ia mengeluarkan
amarah yang meledak-ledak, dan melakukan kekerasan terhadap Fransisca Inggrid,
Isabela, dan Sekar Tanjung. Alasan yang digunakan di balik perubahan karakter
ini menurutku juga kurang logis. Alur cerita beberapa lembar terakhir buku ini
juga dibuat cepat. Entah dari mana asalnya tiba-tiba Abimanyu Permadi bisa
kuliah di London dan yang lebih anehnya lagi ia bertemu dengan kekasihnya bernama
Cairo yang sudah bertahun-tahun hilang kontak. Ditambah dengan hubungan antara
Sekar dan Bima yang awalnya mustahil, eh tiba-tiba mereka malah pacaran.
Sebab-sebab yang menjadi dasar cerita ini tidak dibeberkan secara jelas, dan
cenderung kurang logis.
Ok,
kita tinggalkan kelemahan buku ini, ada beberapa hal yang tak kalah menarik untuk
dibahas. Novel ini mengangkat sebuah cerita yang unik dan segar dari seorang
Risa. Tentu saja, kita tidak lagi disuguhi dengan cerita hantu Belanda yang
biasa Risa tulis di buku-buku sebelumnya. Sebenarnya sudah cukup jenuh pula
dengan suguhan cerita yang terus menerus seperti itu. Cerita yang tertulis
dalam buku ini adalah cerita fiksi, hal ini pula yang membuat aku tertarik
untuk membelinya. Salah satu daya tarik novel ini terletak pada nama-nama
setiap tokoh. Setiap tokoh memiliki nama yang khas, unik dan sesuai dengan
karakternya. Misal, kita ambil Langgir Janaka. Nama yang menyerupai laki-laki
tapi disematkan pada diri seorang perempuan. Tentu saja perwatakan seorang
laki-laki juga tergambar dalam diri Langgir. Karakter dalam tokoh Langgir
menurutku juga pas dan tidak berlebih. Berkarakter agak tomboy atau
kelaki-lakian dan suka mendaki gunung. Hal yang tidak lazim sekali untuk
seorang perempuan pada umumnya.
Beberapa
bab awal buku ini sedikit membuatku bingung, karena banyaknya nama tokoh yang bermunculan.
Namun, semakin ke belakang, aku mulai menemukan jawaban atas kebingunganku itu
dan menyesuaikan dengan jalan cerita. Jujur, aku terlalu menikmati cerita dalam
buku ini. Meski banyak kekurangan seperti yang aku tulis di atas, tapi setiap
tulisan Risa selalu berhasil menghipnotisku. Aku terlanjur cinta pada setiap
tulisannya, hehe. Jadi, untuk berhenti membacanya pun aku enggan. Ada juga
cerita tentang perjalanan ke daerah bernama Karma Rinjani antara keempat
sahabat; Langgir, Sekar, Fransisca, dan Lintang yang menjadi awal konflik utama
cerita ini. Lalu, meski cerita menuju konflik utama terlalu diulur-ulur dan
dibuat panjang, tapi itu tidak mengurangi rasa penasaranku untuk menyelesaikan
buku ini. Entah, aku begitu excited
sekali untuk menantikan konflik utamanya. Yaitu keadaan di mana jiwa Langgir
beterbangan dan hinggap di raga orang-orang terdekatnya.
Sama
seperti buku sebelumnya, tulisan Risa selalu mudah dipahami, menarik dan
benar-benar membuatku merasuk ke dalam ceritanya. Keadaan yang benar-benar
membuatku merasuk mulai aku rasakan di beberapa lembar terakhir buku ini.
Sangat menguras emosi dan membuatku terharu. Risa berhasil membuat situasi
dalam cerita seolah benar-benar ada dan dirasakan langsung oleh pembaca. I can feel it!. Ending cerita dalam buku
ini juga sangat tidak terduga. Tidak pernah terpikirkan sebelumnya olehku akan
seperti ini. Tapi, yang Risa tulis memang seperti inilah. Umm,, tidak perlu aku
ceritakan ya endingnya, hehe.
Oh
iya, aku ingin kembali fokus ke karakter masing-masing tokoh. Pemberian
karakter pada setiap tokoh sangat kuat. Setiap tokoh memiliki khas
masing-masing. Jadi, menurutku cukup memudahkan pembaca untuk membedakan tokoh
satu dengan yang lainnya. Mengingat, tokoh di novel ini terbilang cukup banyak
dan namanya juga sedikit rumit, namun berkat karakter yang kuat itu, alhasil
tak membuatku bingung untuk membedakan satu sama lain. Hanya saja, sama seperti
yang aku bilang di atas tadi, karakter di tokoh Abimanyu lah yang terbilang
‘gagal’, menurutku.
Beberapa
pesan moral yang bisa kita petik dari buku ini:
1. Lewat
tokoh Langgir Janaka, kita diajarkan untuk selalu mensyukuri atas apa yang
terjadi dalam hidup kita. Seperti apa pun itu, jangan pernah iri terhadap
kehidupan orang lain, belum tentu hidup orang lain lebih baik dari kita. Jangan
pula membenci kehidupan dan menghujat apa yang telah diberikan olehNya.
2. Lewat
tokoh Fransisca dan Issabela, kita (terutama bagi kakak-beradik) diajarkan
untuk selalu mengasihi dan menyayangi sesama saudara kandung. Jangan saling
bertengkar.
3. Melalui
tokoh Harum Manis, kita juga bisa mengambil pelajaran. Jangan menjadi Ibu yang
selalu mengekang dan menyalahkan anak. Harus selalu mengasihi dan menyayangi
agar tidak berdampak buruk pada psikologis anak.
4.
Persahabatan yang terjalin antara
geng ‘Putri Sejagad’ juga memberi pelajaran bahwa sesama sahabat harus saling
melengkapi. Susah, sedih, senang dilalui bersama. Jangan saling menyalahkan
jika sedang ada masalah. Cause,
friendship is power to life together.
“Tuhan, aku benar-benar tidak bahagia….”
(hlm. 64)
***
Terima kasih!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar