Jumat, 18 Desember 2015

[Book Review] Rasuk - Risa Saraswati




Judul               : Rasuk
Penulis            : Risa Saraswati
Tahun terbit   : 2015
Cetakan          : Pertama
Tebal               : viii + 332 hlm.
Penerbit          : Bukune
Kategori         : Novel Horor
ISBN              : 602-220-166-7

*Blurb :

Semenjak kepergian sang Ayah, Langgir Janaka---seorang gadis remaja kesepian---merasa tidak ada satu hal pun dalam hidupnya berjalan dengan baik. Hari-harinya dipenuhi rutukan bagi nasib buruk. Kalimat “Tuhan tidak adil” seolah menjadi mantra dalam batinnya.

Langgir iri dan ingin kisahnya lebih seperti para sahabatnya; Sekar Tanjung, seorang anak pungut yang dilimpahi kasih keluarga angkatnya. Lintang Kasih yang punya orangtua kaya dan sering bepergian ke luar negeri. Juga Fransisca Inggrid, perempuan cantik yang selalu menemukan kemudahan dalam hidupnya.

Namun, bagaimana jika keinginan itu menjadi nyata? Rohnya merasuk dalam tubuh orang lain. Menjalani hidup sebagai mereka, menelan suka-duka yang bukan miliknya, sedangkan raganya sendiri tersembunyi entah di mana. Kini, Langgir sadar, harga yang harus dibayar untuk keinginan itu terlalu besar….
***
“Hidup ini begitu semrawut, hingga kerap kali aku mengutuknya! Mungkin Kau bosan mendengar hati ini menjerit dan memaki. Mereka bilang Kau mendengar semua keluh umatMu. Benar begitu? Lantas, dari sekian banyak garis hidup manusia yang Kau gambar, mengapa harus hidupku yang Kau gores berliku?”

                                                                           ***             
                                                             


Langgir Janaka, adalah seorang gadis yang begitu membenci hidupnya. Dia merasa bahwa Tuhan tak adil kepadanya. Di saat yang lain bisa merasakan kebahagiaan, kenapa dirinya tak bisa mendapat hal demikian? Berkali-kali ia menghujat, bahkan mengutuk hidupnya sendiri. Terlebih, saat kepergian sang Abah—Samson—yang begitu tiba-tiba. Harum Manis, Ibunya selalu melampiaskan rasa kesedihan itu kepada Langgir. Berkali-kali Harum Manis mengeluarkan kalimat-kalimat bernada amarah terhadap anaknya tersebut atas kepergian sang suami. 

“Diam-diam dia menangis. Tak meraung seperti Harum Manis, tapi Langgir merasakan kesakitan yang sangat pedih dalam setiap isaknya”

(hlm. 12)

Langgir yang malang, tumbuh menjadi seorang gadis yang berada dalam kekangan Harum Manis. Kesedihan semakin bertambah tatkala Langgir mengetahui bahwa Harum Manis akan menikah kembali. Laki-laki itu bernama Safrudin Syarief. Seorang laki-laki yang ditemuinya bersama Harum Manis di pemakaman tempo hari lalu. Langgir kian membenci hidupnya, terlebih kepada laki-laki yang meminang Harum Manis tersebut. Langgir begitu kecewa, ‘Mengapa begitu mudahnya Ambu melupakan kepergian, Abah?’

“Sesungguhnya, meski bibirku bungkam, ragaku dipenuhi kebencian, dan hidupku ini sangatlah tidak bahagia”

(hlm. 17)

Langgir begitu membenci hidupnya, tidak banyak yang ia inginkan, melainkan hanya sebuah ‘kebahagiaan’. Kebahagiaan yang sama dialami oleh ketiga sahabatnya; Sekar Tanjung, Lintang Kasih, dan Fransisca Inggrid. Langgir ingin merebut semua kebahagiaan itu. Langgir ingin mengambil alih hidup mereka dan mengakhiri segala keluh kesah hidupnya.

“Tuhan, jika memang Kau ada, lalu kenapa Kau diam saja? Aku lelah dengan semua drama yang terjadi di hidupku. AKU INGIN MATI!”

(hlm. 114)

Lantas, bagaimanakah jika keinginan itu menjadi nyata? Rohnya masuk ke dalam tubuh orang lain dan menjalani hidup bukan sebagai ‘Langgir Janaka’ yang seutuhnya. Menetap dalam raga yang bukan miliknya, dan merasakan segala suka-duka yang bukan miliknya pula. Jiwa Langgir dengan mudah merasuk dari raga satu ke raga yang lainnya.

Lantas, apakah jiwanya bisa bersatu lagi dengan raganya yang hilang, dan kembali menjadi ‘Langgir Janaka’ seutuhnya?

Langgir harus segera mencari keberadaan raganya. Apakah tersembunyi, terjebak dalam suatu tempat… atau mungkin saja membusuk dan mati?

“Langgir yang malang……”

***

Sedikit bercerita, aku sangat fight sekali untuk mendapatkan buku ini. Tempo hari aku udah transfer uang ke rekening salah satu tokbuk online. Beberapa minggu berlalu, mereka bilang bahwa bukunya belum ready. Aku yang sudah terlalu tertarik dengan buku ini senantiasa menunggu. Sampai akhirnya sudah berlangsung satu bulan lebih, akhirnya mau tidak mau uangku dikembalikan karena bukunya belum ready juga. Sesaat setelah uang aku terima kembali, sekitar tiga hari berikutnya aku dihubungi lagi sama tokbuk online itu. Mereka bilang “Kak, buku Rasuk sudah ready”. Ya tuhan! Itu rasanya jleb! banget tau. Kalau tau bakal kayak gitu mending nggak usah dikembaliin uangnya. Dan, dengan sangat terpaksa (dan senang juga) aku transfer lagi uangnya. Dan, setelah beberapa hari menunggu, akhirnya… buku ini sampai di tanganku juga, hehe. *maapsedikitcurcol.

Fokus ke Review:

Kita berbicara mengenai kelemahan buku terlebih dahulu. Untuk dikategorikan sebagai novel horor, menurutku cerita dalam buku ini tidak sepenuhnya mengandung hal-hal berbau horor atau mistis. Mungkin iya, apabila kita melihat pada covernya, kita bisa menyimpulkan bahwa buku ini menyimpan banyak misteri. Namun, pada kenyatannya tidak seperti itu yang aku temui di buku ini. Memang, ada beberapa part atau bagian yang mengandung unsur horor. Bukan dari awal cerita, namun hanya pada pertengahan buku hingga akhir saja. Itu pun menurutku tidak terlalu mendominasi dan cenderung biasa saja. Beberapa lembar pertama buku ini sampai pertengahan, hanya fokus kepada kehidupan Langgir Janaka yang kian hari kian sengsara. Banyak menyuguhkan beberapa konflik dalam keluarga, menceritakan segala keluh kesah Langgir Janaka yang justru membuat kita merasa iba pada kehidupannya.

Selain itu, pada bab awal hingga pertengahan buku juga didominasi oleh cerita tentang latar belakang beberapa tokoh. Seperti Sekar Tanjung, Sayati, Safrudien Syarif, dan lain-lain. Di sini penulis menggunakan sudut pandang orang ketiga serba tahu. Bisa kusimpulkan sedemikian rupa karena di sini penulis berperan sebagai narator yang menguraikan dengan jelas semua latar belakang tokoh, dan mengetahui segala seluk beluk tokoh secara rinci, atau serba tahu semuanya. Hampir semua tokoh dihadirkan dengan kisah dan latar belakang masing-masing. Meski itu membuat alur cerita nampak panjang, tapi menurutku tidak cukup mengganggu. Karena, sejauh itu pun aku masih bisa menikmati jalan ceritanya. Tapi, tidak tahu jika untuk pembaca yang lain. Bahkan aku pernah dengar ada yang berhenti membaca buku ini waktu sampai pertengahan, hmmm…

Selain itu, kelemahan buku ini juga terletak pada kekonsistenan karakter tokoh. Tidak semua sebenarnya, hanya satu yang cukup menggangguku. Yakni adalah perubahan karakter yang sangat drastis pada tokoh bernama Abimanyu Permadi. Pada awal pertama aku mengenal tokoh ini, dia memiliki karakter yang bisa dikatakan kumal, pendiam, cerdas, dan pelit ilmu. Namun, itu semua seolah berubah pada bab ‘Cairo Sadiwidjojo’. Karakter Abi di sini berubah drastis ketika ia mengeluarkan amarah yang meledak-ledak, dan melakukan kekerasan terhadap Fransisca Inggrid, Isabela, dan Sekar Tanjung. Alasan yang digunakan di balik perubahan karakter ini menurutku juga kurang logis. Alur cerita beberapa lembar terakhir buku ini juga dibuat cepat. Entah dari mana asalnya tiba-tiba Abimanyu Permadi bisa kuliah di London dan yang lebih anehnya lagi ia bertemu dengan kekasihnya bernama Cairo yang sudah bertahun-tahun hilang kontak. Ditambah dengan hubungan antara Sekar dan Bima yang awalnya mustahil, eh tiba-tiba mereka malah pacaran. Sebab-sebab yang menjadi dasar cerita ini tidak dibeberkan secara jelas, dan cenderung kurang logis.

Ok, kita tinggalkan kelemahan buku ini, ada beberapa hal yang tak kalah menarik untuk dibahas. Novel ini mengangkat sebuah cerita yang unik dan segar dari seorang Risa. Tentu saja, kita tidak lagi disuguhi dengan cerita hantu Belanda yang biasa Risa tulis di buku-buku sebelumnya. Sebenarnya sudah cukup jenuh pula dengan suguhan cerita yang terus menerus seperti itu. Cerita yang tertulis dalam buku ini adalah cerita fiksi, hal ini pula yang membuat aku tertarik untuk membelinya. Salah satu daya tarik novel ini terletak pada nama-nama setiap tokoh. Setiap tokoh memiliki nama yang khas, unik dan sesuai dengan karakternya. Misal, kita ambil Langgir Janaka. Nama yang menyerupai laki-laki tapi disematkan pada diri seorang perempuan. Tentu saja perwatakan seorang laki-laki juga tergambar dalam diri Langgir. Karakter dalam tokoh Langgir menurutku juga pas dan tidak berlebih. Berkarakter agak tomboy atau kelaki-lakian dan suka mendaki gunung. Hal yang tidak lazim sekali untuk seorang perempuan pada umumnya. 

Beberapa bab awal buku ini sedikit membuatku bingung, karena banyaknya nama tokoh yang bermunculan. Namun, semakin ke belakang, aku mulai menemukan jawaban atas kebingunganku itu dan menyesuaikan dengan jalan cerita. Jujur, aku terlalu menikmati cerita dalam buku ini. Meski banyak kekurangan seperti yang aku tulis di atas, tapi setiap tulisan Risa selalu berhasil menghipnotisku. Aku terlanjur cinta pada setiap tulisannya, hehe. Jadi, untuk berhenti membacanya pun aku enggan. Ada juga cerita tentang perjalanan ke daerah bernama Karma Rinjani antara keempat sahabat; Langgir, Sekar, Fransisca, dan Lintang yang menjadi awal konflik utama cerita ini. Lalu, meski cerita menuju konflik utama terlalu diulur-ulur dan dibuat panjang, tapi itu tidak mengurangi rasa penasaranku untuk menyelesaikan buku ini. Entah, aku begitu excited sekali untuk menantikan konflik utamanya. Yaitu keadaan di mana jiwa Langgir beterbangan dan hinggap di raga orang-orang terdekatnya.

Sama seperti buku sebelumnya, tulisan Risa selalu mudah dipahami, menarik dan benar-benar membuatku merasuk ke dalam ceritanya. Keadaan yang benar-benar membuatku merasuk mulai aku rasakan di beberapa lembar terakhir buku ini. Sangat menguras emosi dan membuatku terharu. Risa berhasil membuat situasi dalam cerita seolah benar-benar ada dan dirasakan langsung oleh pembaca. I can feel it!. Ending cerita dalam buku ini juga sangat tidak terduga. Tidak pernah terpikirkan sebelumnya olehku akan seperti ini. Tapi, yang Risa tulis memang seperti inilah. Umm,, tidak perlu aku ceritakan ya endingnya, hehe.

Oh iya, aku ingin kembali fokus ke karakter masing-masing tokoh. Pemberian karakter pada setiap tokoh sangat kuat. Setiap tokoh memiliki khas masing-masing. Jadi, menurutku cukup memudahkan pembaca untuk membedakan tokoh satu dengan yang lainnya. Mengingat, tokoh di novel ini terbilang cukup banyak dan namanya juga sedikit rumit, namun berkat karakter yang kuat itu, alhasil tak membuatku bingung untuk membedakan satu sama lain. Hanya saja, sama seperti yang aku bilang di atas tadi, karakter di tokoh Abimanyu lah yang terbilang ‘gagal’, menurutku.

Beberapa pesan moral yang bisa kita petik dari buku ini:

1.      Lewat tokoh Langgir Janaka, kita diajarkan untuk selalu mensyukuri atas apa yang terjadi dalam hidup kita. Seperti apa pun itu, jangan pernah iri terhadap kehidupan orang lain, belum tentu hidup orang lain lebih baik dari kita. Jangan pula membenci kehidupan dan menghujat apa yang telah diberikan olehNya.

2.      Lewat tokoh Fransisca dan Issabela, kita (terutama bagi kakak-beradik) diajarkan untuk selalu mengasihi dan menyayangi sesama saudara kandung. Jangan saling bertengkar.

3.      Melalui tokoh Harum Manis, kita juga bisa mengambil pelajaran. Jangan menjadi Ibu yang selalu mengekang dan menyalahkan anak. Harus selalu mengasihi dan menyayangi agar tidak berdampak buruk pada psikologis anak.

4.      Persahabatan yang terjalin antara geng ‘Putri Sejagad’ juga memberi pelajaran bahwa sesama sahabat harus saling melengkapi. Susah, sedih, senang dilalui bersama. Jangan saling menyalahkan jika sedang ada masalah. Cause, friendship is power to life together.

“Tuhan, aku benar-benar tidak bahagia….”

(hlm. 64)

***


Terima kasih!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar