Rabu, 31 Agustus 2016

Jugun Ianfu: Jangan Panggil Aku Miyako



Judul :Jugun Ianfu
Penulis : E. Rokajat Asura
Tahun terbit : Maret, 2015
Tebal : 321 hlm
Penerbit : Edelweiss
Kategori : Novel
ISBN : 978 – 602 – 8672 – 66 – 5

Bisa dibeli di: bukupedia.com


Blurb:

Perempuan cantik itu bernama Lasmirah. Impian untuk jadi penyanyi, membawanya ke Borneo. Tapi siapa yang akan mengira bila impian itu seketika sirna, berganti penderitaan panjang tanpa ujung. Terjebak di Asrama Telawang sebagai jugun ianfu atau budak seks, Lasmirah—Miyako nama Jepangnya—tak punya banyak pilihan. Ia tak lebih dari boneka hidup yang siap digilir sesuka hati tamu. Harapan akhirnya muncul. Bukan untuk jadi penyanyi. Tapi harapan ketika ia berkenalan dengan seorang perwira menengah Jepang, Yamada. Hidup di Jepang atau Jawa, pilihan yang sempat membuat hati Miyako berbunga. Melambungkan harapan. Ia tak pernah mengira bila semua itu hanya ilusi, seperti juga ketika harus melayani Tuan Kei yang lembut, senang menyanyi, dan pandai bermain harmonika.

Lalu, apakah kemunculan prajurit KNIL, Pram, dalam kehidupan Miyako juga sebuah ilusi? Bagaimana Yamada ketika tahu Miyako berhubungan dengan pacar jawanya itu? Kekalahan Jepang dari sekutu kemudian mengubah semuanya. Pram dan Yamada akhirnya harus berhadapan bukan saja sebagai pribumi dan penjajah, tapi juga dua seteru yang sama-sama mengharap cinta dari seorang perempuan bernama Miyako. Rimba Borneo menjadi titik akhir ketika sebuah peluru mengubah semuanya.

***

“Krisis lain ialah mengenai kehidupan seks dari para prajurit Jepang. Perempuan yang ingin mereka rusak adalah perempuan-perempuan bangsaku.”
—Bung Karno—

“Lasmirah itu artinya berkilau, seperti cahaya. Aku sama mboke dulu memimpikan kau akan jadi anak manis yang berkilauan seperti cahaya. Tapi kilau cahaya yang tak membuat silau siapa saja yang memandangmu, seperti cahaya bintang. Coba kamu lihat, bintang-bintang itu, berkilauan tapi tak membuat kita silau!”
Hlm. 24

“Laki-laki itu biadab, Dik Las.” Tiba-tiba saja suara Mintarsih penghuni kamar nomor 10 yang berada di sebelahnya itu terngiang kembali. “Ia akan berbuat apa saja entah kasar atau sebaliknya lemah-lembut, ketika menginginkan diri kita. Tubuh kita. Ia bisa mengobral kata cinta, tapi tujuannya hanya satu, menginginkan lubang kemaluan kita.”
Hlm. 39

Jugun Ianfu adalah buku pertama dari penulis yang aku baca. Melihat dari buku ini, aku cukup berani menyimpulkan bahwa gaya bercerita penulis terbilang klasik—mungkin ini juga karena menyesuaikan dengan isi cerita yang diangkat—dan mampu meng-combine cerita antara sejarah dan romance dengan cukup baik. Sebenarnya, buku ini sudah aku baca tahun lalu. Tapi belum sempat aku resensi saja. Tapi, karena keinginan untuk meresensi buku ini besar sekali, maka aku memutuskan untuk membaca ulang Jugun Ianfu. Sama seperti pertama kali membacanya, buku ini terasa tetap seru dan sensasi yang aku dapatkan sama seperti saat membacanya pertama kali. 

Untuk lebih jelas dan detailnya, mari kita bahas buku ini dari segala sisi:

1.       Tema
Jugun Ianfu mengangkat tema tentang kehidupan seorang perempuan bernama Lasmirah yang menjadi budak seks pada masa pendudukan Jepang. Sebuah cerita klasik yang mampu membawa kita ke 70 tahun lalu dan mampu membuka mata kita tentang betapa beratnya krisis yang dialami oleh bangsa kita pada masa itu. Seperti yang kalian tahu, cerita dengan tema klasik dan sejarah adalah cerita yang memerlukan sebuah riset besar-besaran sebelum diterbitkan. Dan yang perlu diacungi jempol, riset yang dilakukan penulis berhasil terealisasikan di buku ini dengan baik. Banyak menghadirkan sisi informatif, juga berhasil membawa pembaca menghayati setiap jalan ceritanya. Keberadaan unsur romance yang cukup kental di buku ini juga menjadi magnet yang cukup kuat. Karena di balik perihnya perjuangan para ianfu ini, kita juga bisa mendapatkan secuil kisah manis yang hadir dalam bentuk cinta segitiga antara Miyako-Pram-Yamada.

2.      Latar

·         Tempat:
Secara keseluruhan, cerita di buku ini mengambil Borneo sebagai latar tempatnya. Beberapa kali juga diselingi flashback dengan latar yang berbeda pula, seperti Yogyakarta. Tapi latar tempat yang paling spesisfik di buku ini adalah Asrama Telawang—sebuah asrama yang menjadi penampungan para budak seks. Latar Asrama Telawang ini sangat dominan bahkan dari awal sampai akhir cerita. Meski latar yang diangkat cenderung sempit, tapi cara bercerita penulis cenderung luas. Dalam arti, Asrama Telawang beserta segala rutinitasnya berhasil dikembangkan dengan narasi yang cukup baik.

·         Waktu:
Karena ini adalah novel sejarah, sudah jelas kalau Jugun Ianfu mengangkat cerita pada masa lalu. Lebih tepatnya pada masa pendudukan Jepang di Indonesia. Sangat relevan sekali dengan isi ceritanya. Latar waktu yang dipakai sangat mendukung jalannya cerita. Sehingga tidak sulit bagi kita untuk menemukan kecocokan cerita di buku ini.

·         Suasana:
Suasana yang coba dihadirkan penulis di buku ini yang pasti lebih kepada kesedihan dan perjuangan. Banyak memasukkan adegan dari para ianfu yang cukup menyayat hati, juga tentang perjuangan para pemuda Indonesia dalam merebut kemerdekaan. Tapi meski begitu, aku tidak kehilangan sedikit pun suasana romance di buku ini. Pembagian porsi yang pas.

3.      Tokoh dan Penokohan
Beberapa tokoh utama di novel ini adalah: Lasmirah (Miyako), Pram, Yamada, Mintarsih (Sakura), Cikada, Kei, dll. Untuk penokohan, misal saja Lasmirah digambarkan sebagai sosok perempuan yang berani (bisa kita ketahui saat ia berani melawan Cikada atau pun Mas To), tegar menjalani nasib, dan terkadang kekanak-kanakkan, karena memang ia masih remaja. Beberapa kutipan dialog antara Lasmirah dengan Mintarsih, atau pun Yu Tari kadang sangat menunjukkan keluguan ia sebagai seorang remaja. Kemudian, ada pula tokoh Pram yang hadir sebagai pemuda gigih alam memperjuangkan kemerdekaan, juga memperjuangkan cintanya terhadap Lasmirah. Jika Yamada, aku sempat dibuat kesal dengan tokoh ini. Dia sangat mencintai Lasmirah, tapi sikapnya yang kadang kelewatan membuatku mempertanyakan rasa cintanya itu. Terlebih, ia sering tidak ada jika Lasmirah mendapat siksaan dari Cikada. Sikap dan kelakuannya lebih aku anggap sebagai pelaku KDRT malahan, sering melakukan kesalahan dan memarahi Lasmirah, tapi sering juga meminta maaf. Selalu seperti itu.

Tapi overall, karakter tiap tokoh yang diciptakan penulis di sini sudah cukup konsisten dan identik. Sehingga setiap tokoh memiliki ciri khas masing-masing.

4.      Alur
Secara umum, buku ini menggunakan alur maju dengan diselingi flashback di beberapa bagian. Overall, seluruh rangkaian cerita masih bisa dicerna secara baik dan plotnya pun cukup rapi.

5.      Sudut Pandang
Dalam bukunya ini, E. Rokajat Asura menggunakan sudut pandang orang ketiga. Sehingga penulis bisa leluasa dalam menyampaikan cerita dari sudut pandang tokoh mana pun. Tapi aku rasa, penggunaan sudut pandang ini tidak terlalu berpengaruh, karena sejauh yang bisa aku tangkap, hanya sudut pandang Lasmirah-lah yang sangat kuat dan seolah menjadi narrator dalam cerita. Sama jadinya jika penulis menggunakan PoV1 dari tokoh Lasmirah.

6.      Amanat
Hargailah perempuan. Yah, itulah pesan utama yang coba disampaikan oleh penulis. Meski di buku ini penulis lebih menyajikan adegan tentang kesengsaraan dan kehormatan perempuan yang cenderung dilecehkan, tapi dasarnya, bukan itu pesan yang coba disampaikan oleh penulis. Dari kisah Lasmirah yang sangat pilu ini, kita diajarkan untuk lebih menghargai keberadaan perempuan dan melindungi mereka. Entah itu secara jasmani atau pun rohani. Sesungguhnya, harga diri dan martabat perempuan memang mudah terinjak—terutama di jaman penjajahan dulu—tapi barangsiapa yang menginjak harga diri dan martabat mereka, jangan harap kalian akan memiliki harga diri dan martabat lagi. Menindas orang lain, sama saja menghancurkan diri kita sendiri.

“Bahkan Om Sahilatua pernah bilang, ada tradisi yang akan mencap pelacur ketika seorang perempuan baik-baik memilih dan menentukan sendiri pasangan hidupnya. Tak jarang ada pula yang akan mendapat hukuman sangat keras. Coba kamu pikir Miyako, bukankah ini salah satu bukti bila perempuan memang tidak punya banyak pilihan dalam menentukan hidupnya?”
Hlm. 140

7.       Kritik dan Saran

Pertama, keberadaan tokoh Tuan Kei di sini tidak begitu dieksplor. Padahal di awalnya, Lasmirah sempat terjebak kebimbangan dengan hadirnya pria ini. Dan aku agak bingung sih, sebenarnya ini cinta segitiga atau segiempat ya? (emang ada ya cinta segiempat? Haha) Kalau dibilang cinta segitiga (Lasmirah-Pram-Yamada), kenapa keberadaan Tuan Kei seolah menjadi orang keempat dalam hubungan itu? Karena beberapa kali penulis menyebut bahwa Lasmirah juga sempat dibuat bimbang dengan kehadiran Tuan Kei ini.  Dan agak aneh saja waktu menjelang ending Tuan Kei ini dengan mudahnya merelakan Lasmirah kepada Pram, setelah apa yang dilakukannya kepada Lasmirah selama ini.

Kedua, kenapa penulis tidak menyebutkan bahwa nama Jepang Mintarsih adalah Sakura? Sehingga saat dengan tiba-tiba tokoh Sakura ini disebut, aku jadi bingung. Sakura siapa ya? Tapi ketika Lasmirah memanggil Sakura ini dengan panggilan Ceu Mimin, aku baru tahu jika tenryata Sakura adalah Mintarsih. Kalau buatku, hal ini perlu dijelaskan di awal sih, agar pembaca tidak kebingungan.

Ketiga, ada salah penulisan nama, yaitu di halaman 195 dan 196. Adegan saat Sakura kebelet kencing di hutan. Di halaman 195, tertulis bahwa Ayumi/Rosa yang kebelet kencing, tapi di halaman 196 dan seterusnya, ternyata yang kebelet kencing adalah Mintarsih/Sakura. Berarti letak kesalahan ada di halaman 195. Dear penulis, editor… semangat lagi ya, hihi.

Terakhir, ada satu kejadian yang menurutku kelanjutannya kurang jelas. Seperti aksi pengepungan Pram oleh Kempetai. Di bab berikutnya, sempat tertulis bahwa Pram dikepung dan ditangkap. Tapi anehnya, di bab berikutnya lagi, tokoh Pram ini nongol lagi. Pertanyaannya: Kejadian penangkapan Pram gimana kabarnya? Dan, gimana akhirnya ia bisa bebas? Aku rasa penulis perlu memberi alasan yang cukup logis atas kemunculan tokoh Pram yang tiba-tiba ini. Atau mungkin, akunya yang nggak teliti ya? Hmmm.

Nah teman, itu tadi adalah resensi singkatku untuk novel Jugun Ianfu. Oya, novel ini sangat cocok sekali bagi kalian penggemar tulisan sejarah dan klasik, juga yang ingin tahu seperti apa perjuangan perempuan pada masa penjajahan dulu. Banyak sekali pelajaran yang bisa kamu dapat. Worth it banget lah!

Terima kasih!

***

“Bagaimana aku bisa percaya pada perkataan Tuan, yang mengajak rumah tangga kemudian tinggal di Tokyo? Tempat yang sama sekali tidak kukenal. Di sini saja Tuan telah berani kasar, apalagi di tempat yang aku tidak mengenalnya. Di sini tempat di mana Tuan sebagai pendatang, Tuan telah berani menyiksaku, bagaimana nanti di negeri Tuan sendiri?”
Hlm. 244

“Kenapa? Kenapa bicara seperti itu, Nak? Jangan mendahului takdir Gusti Allah. Ndak baik. Semua orang telah digariskan, tapi kita tidak pernah tahu garis hidup kita. Sehingga semua orang punya kesempatan yang sama untuk terus berusaha…”

Hlm. 293


*DIIKUTSERTAKAN DALAM POSTING BARENG BBI AGUSTUS 2016*


Tidak ada komentar:

Posting Komentar