Senin, 24 Oktober 2016

[Book Review] San Francisco - Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie



Judul : San Francisco
Penulis : Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie
Tahun terbit : 2016
Tebal : 214 hlm
Penerbit : Grasindo
Kategori : Novel
ISBN : 978 – 602 – 375 – 592 – 9 


Blurb:

Satu-satunya yang menarik dari cowok bernama Ansel adalah badannya yang ketinggian, kegemarannya akan musik klasik, dan senar-senar harpa di ujung jarinya. Ansel bekerja di Suicide Prevention Center, bertugas mengangkat telepon, hingga akhirnya ia menemukan hal menarik yang baru: Rani—gadis dari negeri asing yang mengiris nadi setiap dua hari sekali.

Sekarang sebagian besar kehidupan Ansel berputar di sekitar Rani. Dan, Ansel bertanya-tanya apakah pertemuan mereka di Golden Gate Bridge San Fransisco adalah takdir, atau sekadar kesialan? Karena dari sini, mobil kabel yang membawa kisah mereka bisa saja menanjak terus hingga setengah jalan menuju bintang, atau justru terjebak dalam kabut di atas perairan biru dan berangin San Francisco.

***

“Alasan orang bunuh diri berbeda-beda, tapi akarnya tetap sama; merasa kesepian.”
Hlm. 21

“Aku membuatnya bertahan hidup lebih lama. Karena dia bicara padaku, karena aku mendengarkannya, dia hidup dua puluh menit lebih lama. Dua puluh menit. Aku memperpanjang nyawanya. Meski hanya sedikit. Dan, itu yang membuatku meneruskan pekerjaan ini. Orang-orang mati, tidak terselamatkan. Tapi, nyawa orang asing mendadak menjadi bagian dari hidupku; mendadak, ada banyak hal lebih penting di dunia ini selain diri sendiri. Aku melanjutkan pekerjaan ini bukan untuk membuat dunia atau orang lain lebih baik—tapi agar aku menjadi lebih baik.”
Hlm. 40

Sebagai seorang relawan baru di Suicide Prevention Center, Ansel cukup terkejut saat mendapat telepon pertamanya dari seorang gadis yang hendak bunuh diri. Bukan soal bunuh dirinya yang Ansel permasalahkan (karena memang pekerjaannya mengharuskan ia untuk menjalin kedekatan dengan orang-orang depresi atau yang hendak bunuh diri), melainkan karena gadis itu meminta Ansel untuk mendengarkannya bernyanyi. Biasanya, orang yang menelpon ke kantor mereka akan mendengungkan kalimat kesedihan, kekhawatiran, atau bisa saja tangisan dan jeritan. Tapi kali ini tidak, gadis yang menelpon Ansel justru tengah benryanyi ria di ujung sana. Sesungguhnya, apa yang membuat ia menelpon Suicide Prevention Center kalau ia terdengar baik-baik saja?

Rupanya salah. Gadis itu tidak baik-baik aja. Buktinya ia sekarang sedang berada di Golden Gate Bridge, jembatan terbesar di San Francisco yang terkenal sebagai tempat bunuh diri terekstrem. Rani—begitulah gadis itu memperkenalkan dirinya—rupanya menjadikan Golden Gate Bridge sebagai tempat pelarian dari setiap masalah yang menimpanya. Jika sudah begitu, kemungkinan besar ia bisa bertekad melompat dari jembatan itu untuk mengakhiri hidupnya.

Semakin seringnya Rani menelpon Suicide Prevention Center, maka semakin sering pula ia terlibat perbincangan dengan Ansel. Sejauh yang Ansel tahu, Rani tidak terdengar seperti orang stress meski ia selalu membahayakan dirinya sendiri saat berada di Golden Gate Bridge. Justru Ansel melihat Rani sebagai gadis yang unik, dan menarik. Hal itu ia ketahui saat mereka bertemu di atas Golden Gate Bridge. Berawal dari situ, Ansel dan Rani sama-sama mulai masuk ke kehidupan satu sama lain. Ansel tahu Rani memiliki kekasih, begitu juga Rani yang mengenal Ada sebagai kekasih Ansel. Tapi hal itu tidak menghalangi niat Rani untuk menjadikan Ansel sebagai hotline pribadinya.

Tapi apa yang terjadi setelah itu? Hati Ansel justru didera konflik yang mendalam karena semakin seringnya ia menghabiskan waktu dengan Rani. Begitu juga  Ada—kekasih Ansel—ia justru menyimpan perhatian kepada Benji, kekasih Rani.  

Sesungguhnya, bagaimanakah cara mereka untuk menyikapi perasaan yang ‘tidak seharusnya’ itu? Dan, seperti apakah kisah rumit ini akan berujung?

***

“Kau seperti Papageno. Tahu dia, tidak? Dia tokoh dalam opera karya Mozart, ‘The Magic Flute’? Dia takut sekali kehilangan semua yang disayanginya, sampai memutuskan untuk bunuh diri. Tapi, teman-temannya membantunya, mengingatkannya bahwa dia punya pilihan lain selain kematian.”
Hlm. 162

Halo, sebelum aku menulis review yang panjang lebar, perlu kalian ketahui bahwa aku tidak akan menulis nama lengkap penulis di sepanjang review. Tau, kan namanya. Ya, Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie (beneran deh, ini belibet banget) Jadi, untuk menghindari ‘jari keseleo’, aku lebih memilih untuk menyebut Ziggy saja. Yeah, mungkin ini akan terdengar lebih mudah.

San Francisco adalah novel kesekian yang ditulis oleh Ziggy. Novel ini juga masuk ke dalam seri A Love Story; City yang diterbitkan oleh Grasindo bersama lima judul novel lain. Penulis yang satu ini namanya cukup melejit setelah memenangkan Sayembara Menulis Novel DKJ 2014 dengan naskahnya yang berjudul di Tanah Lada. Kemudian, namanya kembali diperhitungkan lewat novel berikutnya yang berjudul Jakarta Sebelum Pagi. Lewat novel tersebut, Ziggy berhasil panen lima bintang dari para pembaca. Tak behenti di situ, kemahirannya dalam menulis kembali ia tunjukkan di novel San Francisco ini. 

Ini adalah pertama kalinya aku membaca buku tulisan Ziggy. Kesimpulan yang aku dapat adalah, gaya berceritanya menarik, dan komponen cerita disusun dengan cukup baik. Tapi sebelum aku mengutarakan mengenai hal apa saja yang aku suka dari buku ini, ada baiknya kalau kita membicarakan mengenai hal yang kurang aku suka/kelemahannya terlebih dahulu. First of all, buku ini terlalu banyak trivia, atau pun deskripsi tentang musik klasik dunia. Mungkin, jika kamu penggemar musik klasik dunia seperti Ansel dan Benji, kamu akan mudah menemukan kenyamanan dalam ceritanya. Tapi bagiku, dan pembaca lain yang cenderung sangat awam dengan konten demikian, sungguh merasa tidak nyaman dan bosan. Semua berawal saat memasuki pertengahan, ketika tokoh Ansel bertemu dengan Benji yang memiliki kesukaan pada bidang yang sama, musik klasik. Jika boleh jujur, aku harus bersabar diri yang sangat ekstra ketika dua tokoh ini saling beradu peran di satu adegan cerita. Pasti yang mereka bicarakan tak jauh dari hal-hal berbau musik klasik, dan cukup panjang lebar. Mulai dari arti/makna sebuah lagu, nama-nama komposer dunia, dan kisah hidup mereka. Menurutku unsur ini terlalu banyak dimasukkan oleh Ziggy, sehingga kami (orang yang awam tentang musik klasik) akan merasa terbebani dengan ceritanya.

Kedua, semakin banyaknya trivia tentang musik klasik, dan semakin banyaknya tokoh Benji ini muncul, maka secara tidak langsung membuat cerita yang awalnya fokus tentang konflik kehidupan Rani-Ansel, menjadi bercabang tidak keruan dan seolah berdiri sendiri. Bahkan aku sempat merasa ‘kehilangan’ keberadaan dari tokoh Rani dan segala permasalahan hidupnya itu. Seakan-akan, tokoh Benji yang awalnya sempat dianggap jadi tokoh pendukung, berevolusi jadi tokoh utama. Padahal perkara awal yang membuatku tertarik untuk menyelesaikan buku ini adalah kisah kehidupan Rani yang patut dipertanyakan tersebut. Ketiga, lagi-lagi banyaknya trivia tersebut juga mengurangi intensitas konflik batin yang terjadi antara Rani-Ansel. Aku kurang bisa menemukan chemistry keduanya, sangat disayangkan sekali sebenarnya. Keempat, ada terjemahan yang terbalik. Yaitu di halaman 24. FYI, setiap bahasa Inggris yang dimasukkan di buku ini, turut dimasukkan pula terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Dan di situ, tepatnya pada halaman 24, aku menemukan terjemahan yang terbalik. Kita lihat kalimatnya berikut:

“No, I think I’d rather stay. For different reason, tho. I just like it here.” (Oke, itu tidak apa-apa. Ada yang bisa kubantu lagi?)
“Okay. That’s okay. Is there anything else I can help you with?” (Tidak, sepertinya aku mau di sini saja. Untuk alasan yang berbeda, tapi. Aku suka di sini)

Coba kalian lihat, tidakkah kalian menyedari bahwa terjemahannya terbalik? Semoga untuk cetakan selanjutnya bisa diperbaiki, ya.

Sekarang mari kita beralih ke kelebihan buku ini. Pertama, aku suka dengan pekerjaan Ansel. Unik, dan belum pernah aku temui sebelumnya. Bagaimana kegelisahan dan perasaan sebagaimana relawan orang depresi pada umumnya sangat aku rasakan. Salah satu elemen di awal yang sangat memancing rasa ketertarikanku terhadap buku ini. Kedua, narasi dan dialognya ringan, terkandung humor, juga terasa seperti gaya novel terjemahan yang fresh. Terlebih ketika cerita mempertemukan Ansel dengan Maria atau dengan Gretchen dan Dexter. Suasananya terasa cair sekali, dan aku suka dengan interaksi yang mereka jalin. Selain itu, karakter Ansel yang terbentuk sebagai cowok yang sering tertindas oleh teman-teman bahkan kakaknya sendiri membuat aku ketawa sendiri saat membayangkannya. Yang jelas, seperti yang aku bilang tadi, dari segi penyusun cerita mulai dari narasi dan dan dialog, sangat membuat nyaman sekali (tapi tidak untuk trivia musik klasik tadi). Itu menurutku saja ya teman. Jadi jangan mengambil kesimpulan kalau buku ini kurang bagus. Jangan, sebelum kalian membaca buku ini langsung.

Selain itu, saat penulis turut memasukkan beberapa asumsi dan spekulasi tentang Negara Indonesia, sangat membuatku suka. Realistis sekali dari apa yang aku lihat selama ini. Terutama tentang sikap penduduknya yang cenderung ramah dan sopan.  Tapi sayangnya, tokoh Rani yang notabene adalah orang Indonesia, justru tidak mencerminkan sikap ala orang Timur. Hal ini pun sempat disinggung oleh Ansel, hehehe. Pasti jika Rani dibangun dengan karakter ala orang Timur, akan terasa unik jika disandingkan dengan budaya barat di San Francisco. Untuk segi karakter, semua tokoh aku rasa berhasil dibangun dengan karakter yang berbeda dan unik. Yang jelas, tidak ada masalah untuk hal yang satu ini. Aku suka. Ceritanya juga disusun dengan baik meski ada sedikit kekecewaan yang sempat aku utarakan tadi.

Overall, San Francisco tidak membuatku kapok untuk membaca buku tulisan Ziggy yang lain, especially Jakarta Sebelum Pagi. Rasanya penasaran sekali dengan buku yang berhasil panen pujian tersebut. Sukses selalu untuk Ziggy, dan tetap berkarya. Semoga sedikit catatan di atas bisa dijadikan indikator untuk memperbaiki tulisan ke depannya.

Terima kasih!

***

“Dan bahkan ketika tidak ada orang yang peduli, tetap ada satu orang yang terluka ketika kau melukai dirimu sendiri.”
Hlm. 212


2 komentar:

  1. Sesuatu banget bisa baca novel karya Ziggy. Pandangan mengenai trivia yang banyak, samaan ya Bintang. Mengganggu sekali. Tapi, memang cara Ziggy bercerita itu asyik banget.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya memang benar asyik. Aku jadi ga sabar ingin baca Jakarta Sebelum Pagi :D

      Hapus