Senin, 22 Februari 2016

[Book Review] Pulang - Tere Liye



Judul : Pulang
Penulis : Tere Liye
Cetakan : Kesebelas, Januari 2016
Tebal : iv + 400 hlm
Penerbit : Republika
Kategori : Novel
ISBN : 978 – 602 – 08 – 2212 – 9
Bisa dibeli di: bukupedia.com 



Blurb:

“Aku tahu sekarang, lebih banyak luka di hati bapakku dibanding di tubuhnya. Juga mamakku, lebih banyak tangis di hati Mamak dibanding di matanya.”

Sebuah kisah tentang perjalanan pulang, melalui pertarungan demi pertarungan, untuk memeluk erat semua kebencian dan rasa sakit.

***

“Bisikkan nama si Babi Hutan di telinga mereka, maka orang-orang akan gemetar ketakutan. Suruh Si Babi Hutan bicara, bahkan presiden pun akan terdiam mendengarkan”

Hlm. 315

Bujang adalah seorang pemuda yang tinggal di lereng Bukit Barisan, tak jauh dari pedalaman hutan Sumatra. Hari-harinya hanya ia habiskan untuk melihat sawah tadah hujan milik Bapaknya dan menelusuri hutan di pedalaman Sumatra. Bujang dibesarkan langsung oleh kedua orang tuanya hingga ia berusia lima belas tahun. Karena tepat pada hari itu, rombongan pemburu dari kota—yang tak lain juga teman dekat Bapak Bujang—datang ke kampungnya untuk berburu babi hutan. Sekelompok pemburu itu mempunyai seorang pimpinan yang biasa dipanggil Tauke Besar. Hari itu menjadi hari yang bahagia sekaligus menyedihkan bagi Bujang. Bahagia karena ia bisa ikut berburu dengan para pemburu itu dan menaklukan babi hutan untuk pertama kalinya. Setelah sekian lama Mamak melarangnya untuk berburu di hutan, akhirnya hari itu juga apa yang diinginkannya terwujud. Namun, kesedihan juga menyelimuti perasaan Bujang. Tepat satu hari setelahnya, ia harus ikut dengan Tauke Besar ke Kota Provinsi. Di kampung, Bujang memang tidak memiliki pekerjaan pasti, bahkan sekolah saja tidak. Maka dari itu, Tauke Besar berinisiatif untuk mengajak Bujang pergi ke kota dan menjanjikan masa depan yang baik untuknya.

Beberapa tahun sesudahnya, Bujang telah bertransformasi menjadi sosok yang sangat ditakuti. Ia beralih menjadi jagal dan tukang pukul nomor satu di Keluarga Tong yang dipimpin langsung oleh Tauke Besar. Keluarga Tong merupakan salah satu keluarga penggerak shadow economy terbesar di Kota Provinsi.

“Shadow economy adalah ekonomi yang berjalan di ruang hitam, di bawah meja. Oleh karena itu, orang-orang juga menyebutnya black market, underground economy.”

Hlm. 30

Semua ini berkat Kopong—kepala tukang pukul di Keluarga Tong—yang telah melatih Bujang hingga ia menjadi tukang pukul andal sama sepertinya Bapaknya dulu. Bujang juga menjadi kaki tangan langsung Tauke Besar, sekaligus diangkat menjadi anak angkatnya. Bersamaan dengan ia menjadi tukang pukul, Bujang juga telah berhasil mengejar ketertinggalannya dalam dunia pendidikan. Berkat bimbingan Frans si Amerika, Bujang berhasil menjadi lulusan master terbaik di salah satu universitas Amerika.  Keuntungan lain juga didapatkan oleh Bujang. Dengan kebaikan hati Tauke Besar, Bujang dilatih menembak bersama Salonga—salah seorang guru tembak terhebat—dan berlatih menjadi samurai sejati bersama Guru Bushi di Jepang. Lengkap sudah sekarang, Keluarga Tong mencapai puncak kejayaannya dengan memiliki Bujang sebagai tukang pukul nomor satu sekaligus penyelesai konflik tingkat tinggi.

Namun, seiring berjalannya waktu, puncak kejayaan Keluarga Tong mulai goyah. Banyak kerusuhan yang terjadi dan melibatkan keluarga itu. Tapi, yang paling parah adalah ketika tejadinya pengkhianatan besar. Keluarga Tong kini benar-benar hilang kekuasaan. Lantas, apakah di tangan Bujang, kekuasaan Keluarga Tong bisa kembali terselamatkan?

Namun, di tengah kalutnya perebutan kembali kekuasaan Keluarga Tong, seseorang dari masa lalu Bujang datang dan membawa sedikit pencerahan. Menyadarkannya dan mengingatkannya pada sebuah jalan.

Jalan yang nanti kan membawanya pulang….. 

Lantas, sebenarnya apakah makna tersirat dari ‘Pulang’ yang sesungguhnya?

***

Awesome!

Itulah kesan yang aku dapatkan saat pertama kali melihat penampakan buku ini. Covernya sangat memikat, penuh filosofi. Akan kamu ketahui makna dari cover tersebut saat kamu berhasil menyelesaikan buku ini nanti.

Jika boleh jujur, lagi-lagi aku dibuat jatuh cinta dengan tulisan Tere Liye. Banyak kesan istimewa yang aku dapatkan lewat novel ‘Pulang’ ini. Dari temanya saja, sudah sangat menarik dan cenderung tidak biasa. Buku ini mengangkat tema ‘shadow economy’ yang tak lain adalah sebuah ekonomi hitam yang bergerak di balik bayangan atau bisa disebut illegal. Cara penulis menuturkan seluk beluk dunia ‘shadow economy’ ini terbilang cukup mudah dipahami. Didukung dengan pemilihan diksi dan gaya bahasa yang sederhana membuat pembaca tak berlama-lama untuk menarik kesimpulan apa itu ‘shadow economy’. Hal ini sebenarnya juga membuat pembaca mempertanyakan tentang kebenaran shadow economy. Apakah mereka memang benar-benar ada?

‘Pulang’ dibuka dengan cerita yang cukup memukau. Perburuan babi hutan di dalam hutan yang dilakukan oleh Bujang dan para pemburu lain terbilang bisa menekan adrenalin dan emosi pembaca. Adegan action banyak mendominasi buku ini. Dan, inilah salah satu faktor yang membuat aku konsisten membacanya hingga lembar akhir. Aku rasa, sepertinya akan bagus juga jika cerita dalam buku ini difilmkan. Sebuah film laga karya anak bangsa yang dijamin tak kalah seru.

Faktor lain yang membuat aku jatuh cinta dengan buku ini adalah permainan alur yang dilakukan oleh penulis. Cerita dalam buku ini terbagi menjadi dua bagian. Cerita pertama tentang masa lalu Bujang dan mengambil setting waktu dua puluh tahun lalu. Cerita kedua adalah tentang masa sekarang dimana Bujang menjadi tukang pukul sekaligus penyelesai konflik tingkat tinggi di Keluarga Tong. Yang menarik, kedua cerita ini nanti pada akhirnya akan saling bertemu dan menjadi satu cerita sampai akhir. Sungguh permainan alur yang memikat. Selain itu, Tere Liye memang lihai dalam mengaduk emosi pembacanya. Salah satunya ada di akhir bab 16, di situ emosi kita sedang ada di puncak-puncaknya. Namun, justru saat emosi kita sedang di puncak, Tere Liye kembali memenggal cerita dan membawa kita kembali ke cerita beberapa tahun silam. Emosi yang awalnya memuncak, tiba-tiba saja hilang. Bikin greget pokoknya. Tapi itu seru loh! Hal seperti ini mungkin juga sering kita rasakan saat nonton sebuah sinetron, di mana pas ada adegan seru-serunya, eh tiba-tiba malah dipotong iklan. Greget iya, seru juga.

Tokoh favoritku dalam buku ini tentu saja Bujang, sebagai tokoh utamanya. Bujang berhasil memikat hati para pembaca, dengan segala kamampuan dan talentnya yang sebenarnya kurang bisa diterima oleh logika secara langsung. Dengan kemampuannya yang pandai berkelahi, lihai menembak dan menjadi samurai sejati, serta menjadi lulusan master terbaik di Amerika bukan tidak mungkin akan membuat Bujang mendapat tempat tersendiri di hati para pembaca. Namun, seperti yang aku tulis di atas bahwa kemampuan Bujang terbilang kurang bisa diterima secara logika. Ia adalah sosok pemuda yang memiliki latar belakang pendidikan sangat minim—dia hanya belajar bersama Mamaknya, itupun tidak banyak—tapi dalam kurun waktu kurang lebih 3 tahun ia bisa mendapat gelar master terbaik di universitas Amerika. Aneh saja menurutku, Bujang dalam buku ini adalah sosok tokoh yang perfect. Selain Bujang, ada juga tokoh lain yang menyita perhatianku. Yaitu Yuki dan Kiko—cucu Guru Bushi. Awalnya sempat tertipu dengan penampilan mereka, sepasang wanita kembar layaknya turis Jepang dan terkesan anggun. Namun siapa sangka, di balik tampilan luar mereka yang seperti itu, sepasang wanita kembar ini rupanya adalah pencuri kelas dunia. Mereka lihai dalam melakukan aksinya dan menguasai beberapa ilmu ninja dari Guru Bushi. Sungguh kamuflase tokoh yang luar biasa.

Namun, menurutku ada satu tokoh yang menurutku kurang diperhatikan perkembangannya. Kopong—kepala tukang pukul Keluarga Tong. Kopong awalnya digambarkan sebagai seorang tukang pukul dengan wajah sangar, gagah, dan tak jauh dari kesan macho. Namun, seiring berjalannya waktu, penulis tak begitu mendeskripsikan tentang perubahan fisik yang dialami oleh Kopong. Hingga pada akhirnya, secara tiba-tiba Kopong sakit dan mati di usia kurang lebih 50 tahun. Seharusnya penulis juga harus mendeskripsikan beberapa perubahan fisik yang dialami oleh Kopong. Soalnya kesan ‘sangar’ dalam diri Kopong sudah terlanjur melekat di pikiran pembaca. Jadi akan susah untuk kita melepaskan bayang-bayang itu jika penulis tidak mengambil langkah dengan menuliskan perubahan fisik Kopong di usianya yang senja. Seperti kulitnya yang mulai keriput, tenaganya yang rentan, dan rambut yang mulai beruban. 

Selain itu, seperti yang sudah aku tulis di atas. Buku ini banyak didominasi oleh adegan action. Beberapa yang menjadi favoritku adalah ketika penyerbuan gedung Grand Lisabon di Makau. Suasana menegangkan yang ada dalam buku dengan mudah terkoneksi dengan pikiran dan emosi pembaca. Meski pada awalnya rada susah untuk menggambarkan keadaan yang ada dalam cerita, namun tidak begitu masalah. Sejauh itu aku masih stay enjoy membacanya. Selain itu, satu lagi adegan action favoritku dalam buku ini adalah ketika rombongan Bujang dan Parwez melakukan penyerangan terkait perebutan kekuasaan—cerita menjelang ending. Bagiku itu sangat menegangkan, seru dan banyak surprise yang bermunculan. Penulis juga banyak menghadirkan twist-twist yang memukau.

Satu hal lagi yang menarik dari buku ini adalah setiap ceritanya memiliki keterkaitan. Salah satunya adalah alasan kenapa Kopong sangat semangat saat melatih Bujang menjadi tukang pukul. Jawaban dari pertanyaan ini rupanya sangat berkaitan dengan masa lalu Kopong. Akan terjawab seiring kita membuka lembar demi lembarnya. Beberapa tokoh lain yang dirasa tidak memiliki keterkaitan satu sama lain ternyata malah sebaliknya. Tere Liye membuat sebuah cerita dengan mengaitkan berbagai komponen yang ada di dalamnya, termasuk tokoh itu tadi. Di sini penulis juga banyak menebarkan beberapa clue yang awalnya membuat kita penasaran. Namun, rasa penasaran itu seakan lenyap dengan sendirinya seiring kita membuka lembar berikutnya. Tapi tidak sampai di situ saja, saat kita mulai lupa dengan beberapa clue di awal tadi, rupanya jawaban dari clue itu tadi akan kita temukan di bab-bab setelahnya. Ini juga menjadi surprise tersendiri buat aku saat membacanya.

Namun, menurutku ada pula yang perlu dikritisi dari buku ini, yaitu penggunan sudut pandang. Penulis menggunakan sudut pandang / PoV 1. Otomatis, penulis harus bercerita hanya dengan menggunakan sudut pandang satu orang tokoh, yaitu Bujang—si tokoh utama. Melalui penglihatan, pendengaran dan segala indera si tokoh utama. Namun, anehnya ada beberapa adegan atau part yang di dalamnya tidak melibatkan langsung si tokoh utama. Seolah melenceng keluar dari sudut pandang orang pertama. Salah satunya adalah pada halaman 332: 

‘Tapi pagi itu Tuanku Imam melihat gerakan resahku di atas ranjang. Dia yang selalu disiplin memeriksa asrama sekolah dan memastikan murid-muridnya beranjak ke masjid tepat waktu sedang melewati kamarku. Ia menyaksikan tubuhku yang berontak seperti seekor cacing kepanasan.’

Di situ, dan di kalimat sebelumnya dijelaskan bahwa Bujang tengah meringkuk resah di atas ranjangnya, namun anehnya di sini penulis membuat Bujang seolah bisa melihat semuanya, termasuk melihat Tuanku Imam yang sedang memerhatikannya. Bagaimana mungkin?

Namun, terlepas dari beberapa kekurangan tadi, buku ini adalah buku yang penuh makna. Banyak mengajarkan tentang nilai-nilai kehidupan. Baik diceritakan lewat narasinya ataupun dialog antar tokoh yang penuh akan makna. Semua itu akan segera kalian ketahui setelah membacanya. Recommended book!

            Terima kasih!

***

“….. Agar besok lusa, jika hitam seluruh hidupmu, hitam seluruh hatimu, kau tetap punya satu titik putih, dan semoga itu berguna. Memanggilmu pulang.”

Hlm. 24

2 komentar:

  1. Wah, serasa membaca semua buku nya...., Untuk kutipan Quotes nya. Ditandai agar lebih cantik lagi ya...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Thanks sudah berkunjung. Thanks juga untuk masukannya :)))

      Hapus