Jumat, 01 Juli 2016

[Book Review] Bintang Jatuh - Silvarani



Judul : Bintang Jatuh
Penulis : Silvarani
Cetakan : Pertama, 2014
Tebal : 166 hlm
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Kategori : Novel
ISBN : 978 – 602 – 03 – 0968 – 2 


Blurb:

Bintang, seorang jurnalis muda, tidak pernah ambil pusing soal kuasa Allah yang satu ini, sampai... PLAAAK! Tamparan keras mendarat di pipinya. Alena, gadis genius yang beberapa detik lalu masih dia yakini sebagai calon istri, kini malah resmi menjadi mantannya.

Bintang pun disadarkan pada satu kenyataan: Begitu mudah hati manusia berubah jika Allah sudah berkehendak.

Bingung dan patah hati, Bintang lantas menerima tawaran pergi ke Yogya untuk menenangkan diri sekaligus menyelesaikan tugas. Dalam perjalanan naik kereta, seorang gadis kembali menamparnya, kali dengan pesona dan keluasan pengetahuan agama—seluk-beluk shalat, tata cara bertayamum, juga sejarah Islam di nusantara. Tak pelak suatu rasa, perlahan namun pasti, tumbuh dalam hati Bintang.

Akankah Bintang menemukan cinta baru? Siapkah dia menjalani rencana Allah yang lebih besar?

***

“Menurutku, mencintai dan melupakan tak bisa disamakan. Ketika kita memutuskan untuk mencintai seseorang, terkadang hal itu tak kita rencanakan. Lain halnya jika melupakan seseorang. Ada unsur kesengajaan di situ, bahkan ada kewajiban untuk itu.”
Hlm. 6

“…waktu kita mencintai seseorang, itu juga kesengajaan. Sama seperti melupakan. Ketika kamu mencintai seseorang, kamu sadar akan perasaanmu. Buktinya, kamu sengaja membuka hatimu untuknya, to?”
Hlm. 6

Alena dan Bintang pertama kali berkenalan saat mereka SMA. Lexi—teman dekat Alena—yang kebetulan satu organisasi dengan Bintang, mulai mendekatkan mereka berdua. Jangan heran, di dunia ini memang masih berlaku hukum mencomblangkan teman. Lexi-lah pelakunya. Berawal dari situ, Bintang dan Alena mulai memutuskan untuk menjalin hubungan yang lebih serius. Hubungan atas dasar comblang itu  berlanjut sampai mereka menjejakkan kaki di universitas bahkan hingga sekarang saat Bintang sudah menjadi seorang jurnalis ternama.

Alena, seorang gadis yang memiliki ambisi untuk melanjutkan studi S2 di London rupanya memiliki ambisi lain yang tak kalah penting. Yakni menikah dengan Bintang sebelum mereka berangkat ke London sama-sama dan menjadi sepasang suami istri di sana. Tapi rupanya harapan itu harus membuahkan kekecewaan baginya karena Bintang masih belum siap. Sebenarnya, bukan dari dirinya yang belum siap, melainkan dari keluarganya. Mbak Winta—kakak perempuannya—belum menikah, hal ini menjadi kendala tersendiri bagi Bintang. Karena dari adat yang berlaku di keluarganya, seorang adik tidak boleh menikah mendahului kakaknya. Terlebih menurut penjelasan Mbak Winta, ia akan menikah jika Bapak sudah sembuh. Masalahnya lagi, dengan sakit stroke berkepanjangan yang diderita Bapak, kapankan ia bisa sembuh?

Karena tak sanggup lagi menunggu, Alena pun putus asa dan mengakhiri hubungannya dengan Bintang. Bintang yang saat itu merasa terpukul, memilih pergi ke Jogja untuk menghadiri seminar jurnalistik yang ditugaskan kepadanya. Sebenarnya ini dilakukannya juga sebagai pelarian atas apa yang sudah terjadi padanya. Dalam perjalanannya menuju Jogja, dengan tak sengaja Bintang bertemu dengan Saya—seorang gadis cantik berkerudung hijau tosca dengan pengetahuan agama yang luar biasa. Mulai dari tata cara sholat, tayammum, hingga sejarah Islam di nusantara banyak Bintang dapatkan dari Saya. Perbincangan itu akhirnya mengarah pada satu titik masalah dalam kehidupan Bintang. Menamparnya lebih keras akan kesadaran beragamanya yang masih kurang. Juga menyadarkannya bahwa Allah itu ada, beserta kuasa-kuasaNya yang begitu luar biasa.

Lantas… kira-kira, rencanaNya yang seperti apakah yang akan Bintang terima?

***

“Apakah manusia yang sedang patah hati termasuk manusia yang merugi karena membuang-buang waktu untuk memikirkan luka patah hatinya?”
HLm. 13

“Manusia boleh berencana, tetapi Allah yang menentukan. Sombong tidak cuma ditunjukkan oleh harta, pangkat, jabatan, ilmu, dan keimanan yang dimiliki seseorang., tetapi juga cinta yang ada di hati seseorang itu. Kalau seseorang merasa kekuatan cintanya begitu besar dan merasa tak ada kekuatan apa pun yang dapat menandinginya, justru di situ Allah akan memberinya ujian. Salah satunya dengan dipisahkan. Karena itu, selalu libatkan Allah dalam urusan hatimu. Jangan mencintai orang dengan perasaan buta.”
Hlm. 74

Bintang Jatuh adalah sebuah novel bergenre roman-religi yang ditulis oleh Silvarani. Sebuah bacaan yang cocok jika kita baca di bulan Ramadhan seperti ini. Kapasitas roman dan religi dalam buku ini disajikan secara pas, tidak ada yang kurang maupun berlebihan. Di satu sisi, menyajikan unsur roman dan religi secara bersamaan sebenarnya juga merupakan sebuah kesulitan tersendiri, setidaknya menurutku. Tidak percaya? Mungkin banyak dari kita yang mengetahui bahwa antara roman dan religi adalah dua hal yang saling berlawanan, memiliki pandangan tersendiri, dan cenderung sulit untuk disatu arahkan. Roman lebih identik dengan kisahnya yang full of love, menonjolkan kemesraan sepasang kekasih, dan mungkin juga cenderung vulgar. Hal ini sangat berbanding terbalik apabila kita mendalami dari sisi religi yang lebih mengedepankan unsur keagamaan. Tapi apa jadinya jika roman dan religi disatukan? Akankah menjadi satu perpaduan yang bagus?

Inilah yang menarik. Melalui buku roman-religi seperti yang ditulis oleh Silvarani ini, kita tidak hanya disuguhi oleh adegan roman pada umumnya, namun juga bisa mengetahui  unsur religi yang membuat kita bisa memandang dari sisi yang lebih baik apa arti cinta yang ‘sesungguhnya’. Cinta dari sisi agama mungkin cenderung tertutup, dalam arti tidak terlalu berlebihan dan sewajarnya. Lewat buku ini, secara langsung kita diajak untuk mengetahui semua itu. Kita akan mengetahui seperti apa arti cinta dari sisi yang lebih baik, seperti apa agama memaknai cinta, dan bagaimana seseorang bersikap terhadap cinta yang seharusnya. Salah satunya bisa kita dapatkan lewat satu kutipan yang ada di halaman 74:

‘…selalu libatkan Allah dalam urusan hatimu. Jangan mencintai orang dengan perasaan buta.”

Satu kutipan singkat namun memiliki makna yang begitu mendalam. Seseorang berhak saja mencintai seseorang, tapi ingat, ada cinta yang lebih besar yang harus kita tanamkan. Yaitu cinta kita kepadaNya. Jika kita mencintai seseorang, yang terpenting adalah jangan menomorduakan Allah. Cintailah Allah di atas engkau mencintai siapa pun. Jika kita mencintai seseorang, selalu libatkanlah Allah dalam setiap urusan cintamu. Intinya, jangan mencintai seseorang dengan perasaan buta. Nah, itulah yang aku maksudkan tadi, memaknai cinta dari sisi yang lebih baik.

Meski banyak diselipi dengan pengetahun agama seperti rukun iman/islam, sejarah islam di nusantara, potongan doa salat dan lain-lain, menurutku ini tidak membuat Bintang Jatuh seperti buku teks pelajaran agama. Justru aku merasa tertarik saat penulis menuturkan cerita mengenai sejarah Islam di nusantara melalui tokoh Saya—sayangnya tidak terlalu banyak, huhuu. Selain itu, Kota Jogja beserta isinya sedikit banyak juga ikut diangkat di sini. Secara tidak langsung menjadikan buku ini juga memiliki unsur lokalitas sebagai salah satu daya tariknya. Kebetulan, aku menyukai buku-buku yang mana sudah memasukkan unsur lokalitas di dalam ceritanya. Berwawasan!

Kemudian, pekerjaan Bintang sebagai seorang jurnalis di buku ini sedikit banyak juga membuat kita tahu. Seperti apa saja yang biasa dilakukan oleh seorang jurnalis dan bagaimana mereka melakukan seminar-seminar. Hanya saja menurutku, profesi jurnalis di buku ini kurang dikupas tuntas, dalam arti kurang begitu dieksplor sehingga cerita lebih berpusat kepada konflik hati Bintang saja. Mungkin ini bisa dibilang masalah selera, karena sejatinya aku ingin mengetahui lebih dalam tentang dunia kejurnalisan. Sempat memiliki rasa tertarik dengan profesi yang satu ini.  

Catatan lain, aku rasa saat memasuki konflik dan mencapai klimaks, cerita terkesan biasa saja dan flat. Tidak ada daya tarik yang berusaha ditonjolkan—emm mungkin ada, tapi terkesan biasa menurutku. Ada baiknya penulis menyelingi cerita dengan twist atau surprise yang tidak kita duga sebelumnya. Atau mungkin eksekusi di ending-nya lebih dipermantap lagi agar—setidaknya bisa menutup kesan flat itu lah.

Banyak pesan moral yang bisa kita petik dari cerita ini. Salah satunya yang sudah aku sebut di atas tadi—memaknai cinta dari sisi yang lebih baik. Kemudian ada juga beberapa part yang mengajarkan kita tentang arti  penerimaan yang tulus—emm mungkin bisa juga disebut move on—berusaha lapang dada, dan yang terpenting.. mengajarkan kita untuk selalu sadar akan keberadaanNya. Secara keseluruhan, buku ini memiliki cerita yang ringan, cocok dibaca semua kalangan karena memang cukup mengedukasi—terutama dalam konteks religinya. Cocok juga dibaca untuk kalian yang ingin kembali ke jalanNya. Insyaallah, buku ini sedikit demi sedikit bisa menuntunmu.

3 Jempol untuk si jurnalis taubat…


Terima kasih!
***

Menyelimuti hati dengan dzikir dan shalawat memang menyejukkan hati.”
“Semua hal di dunia ini, entah menyenangkan atau menyakitkan, tak mungkin terjadi tanpa seizin-Nya.”
Hlm. 97

“Setiap ketetapan dan perubahan itu pasti atas kehendak Allah. Jadi, manusia hanya bisa menerima.”
Hlm. 146-147

  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar