Minggu, 15 Januari 2017

[Book Review] Lara Miya - Erlin Natawiria



Judul : Lara Miya (Blue Valley Series)
Penulis : Erlin Natawiria
Tahun terbit : 2016
Cetakan : Pertama
Tebal : 234 hlm
Penerbit : Falcon Publishing
Kategori : Novel
ISBN : 978 – 602 – 60514 – 3- 1 


Blurb:

Di pojok selatan Jakarta, kau akan menemukannya. Tempat itu tak sepanas bagian Jakarta lainnya. Langit di sana sering berubah seolah mengikuti suasana hati penghuninya. Kau akan bisa menemukannya dengan mudah. Ada banyak rumah di sana. Orang menyebut tempat itu Blue Valley.

Di Blok Tiga, ada sebuah rumah bernuansa warna tanah. Pemiliknya seorang perempuan paruh baya yang mengoleksi benda-benda antik. Kalau kau ingin menemuinya, sebaiknya datanglah pukul empat. Dia selalu pulang untuk minum teh. Seorang gadis berambut biru-ungu juga tinggal di sana. Miya namanya. Dan mungkin kau sudah menebaknya, mereka tidak akur.

Miya tidak pernah mengira akan tinggal di rumah tantenya yang seperti kamp militer. Beberapa hari sebelumnya, Miya masih punya tempat pulang. Namun, hidupnya luluh lantak seketika. Dan kini, dia harus memunguti kembali puing-puing dirinya untuk kembali utuh.

***

“Kamu tahu apa yang tidak bisa dibeli meski kamu jadi kaya raya? Waktu, Miya. Penghasilanmu memang sangat membantu, tapi kehadiranmu sudah seperti mahasiswa yang numpang makan dan tidur saja. Kamu kira rumah ini indekos?
Hlm. 3

Selamat datang di cluster Blue Valley. Di rumah bernomor 26, kalian akan menemukannya. Seorang tante yang ngeselin sekaligus pemilik sebuah Wedding Organizer ternama, dan keponakannya yang susah diatur. Amaya dan Miya. Peristiwa kebakaran yang menghanguskan rumah Miya dan mengambil nyawa kedua orang tuanya, membuat Miya tidak lagi punya siapa-siapa. Kecuali Amaya, adik Mamanya. Maka, di sinilah sekarang Miya berada. Di cluster Blue Valley, di sebuah rumah bernomor 26, yang menurut Miya, lebih mirip sebagai kamp militer. Rumah tantenya.

Butuh adaptasi yang cukup sulit bagi Miya selama tinggal di rumah Amaya. Bagaimana tidak, selain kesan kaku yang ditunjukkan Amaya kepadanya, Miya juga harus ekstra sabar ketika mengetahui banyak sekali aturan yang diterapkan dalam rumah tersebut. Seperti tidak boleh pulang lewat jam sepuluh malam, tidak boleh minum kopi di malam hari, dan harus bangun pagi hari sekali. Belum juga reda kekesalan Miya terhadap Amaya, lagi-lagi gadis itu harus dihadapkan pada satu kenyataan yang menyedihkan. Dia dipecat dari kantor agensi digital, tempatnya bekerja selama ini.

Dan lengkap sudahlah penderitaan Miya; rumah terbakar, orangtuanya meninggal, tantenya yang ngeselin, dan surat PHK dari atasannya. Kondisi finansialnya yang juga memburuk, mau tak mau membuat Miya harus memutar otak untuk menemukan jalan keluar dari semua permasalahannya. Seakan mengerti keadaan keponakannya itu, Amaya menawarkan pekerjaan sebagai social media officer di kantor Wedding Organizer-nya. Kebetulan posisi tersebut sedang kosong, dan kebetulan juga Miya pernah menekuni profesi tersebut di kantor sebelumnya.

Sungguh di luar dugaan, rupanya Miya mampu beradaptasi dengan cukup baik di kantor tantenya tersebut. Bersama Raeka, seorang fotografer yang bertugas mengurus pre wedding klien, Miya merasa nyaman tiap kali perasaan gundah menghampirinya. Bersama Raeka juga, ia berusaha untuk memecahkan masalah yang tengah mengancam reputasi Sokka Wedding Organizer. Namun di lain sisi, perlu kalian ketahui bahwa hubungan Miya dan Raeka tidak bisa senyaman dulu lagi. Hal ini dikarenakan peristiwa mengejutkan beberapa hari lalu yang rupanya sengaja disusun oleh Amaya dan Raeka. Seketika, Miya merasa menjadi gadis paling bodoh karena terlalu mudah untuk ditipu daya.

Pertanyaannya, apakah hal yang membuat Miya sebegitu kecewanya terhadap Amaya dan Raeka? Dan, bagaimana pula nasib Sokka Wedding Organizer? Ya, mereka harus bergerak cepat, sebelum reputasi dan nama baik perusahaan hancur berkeping-keping….

***

“Miya, kalau kamu menikah selagi Papa dan Mama masih hidup, setidaknya kami sudah melepasmu pada pria yang benar-benar bertanggung jawab. Pria yang akan membimbing dan menemanimu meski kamu sudah tidak ada nanti.”
Hlm. 118

“Bersikap dewasa tidak harus ditunjukkan melalui kata-kata, Miya.”
Hlm. 95

Lara Miya adalah buku pertama dari Erlin Natawiria yang saya baca. Jujur, saya tidak memiliki ekspektasi apa pun saat akan membaca novel dari serial Blue Valley ini. Selain karena baru pertama ini baca buku dari penulis, juga karena—maaf sebelumnya—saya sempat membaca beberapa review di Goodreads untuk buku-buku karangan Kak Erlin yang kata mereka, kurang bagus. Namun hal tersebut tidak membuat saya ragu untuk membaca buku ini, hanya tidak menaruh ekspektasi saja. Tidak menaruh ekspektasi bukan berarti enggan membaca bukunya, bukan?

Namun apa yang terjadi? Saya begitu terpikat dengan tulisan Kak Erlin Natawiria. Terlebih saat cerita sudah memasuki konflik atau permasalahan terkait WO milik Amaya. Dan satu hal yang harus saya akui, saya suka dengan tokoh Nana. Dia sangat cerdik, dan teliti dalam menyelesaikan masalah. Wow, tokoh yang pada awalnya saya kira hanya akan menjadi tempelan saja ini, rupanya memiliki peran yang sangat penting dalam penyelesaian konfliknya. Plot twist yang dihadirkan pun sangat bagus. Dan itu berarti dugaan saya sebelumnya terkait ending cerita ini sangat meleset jauh. Benar-benar di luar ekspektasi. Selain itu, nama Pak Robert yang sempat disebutkan di awal rupanya juga ambil peran di sini. Membuat saya terpaksa kembali membolak-balik halamannya untuk mengingat peran apa yang ia jalankan sebelumnya.

Oh ya, saya awalnya juga mempermasalahkan soal pemilihan nama di sini. Antara Miya dan Amaya. Saya merasa terlalu sama dan cukup susah dibedakan. Ada satu bagian, yang mana disebutkan Amaya, namun yang tergambar di otak saya justru Miya, begitu juga sebaliknya. Saya tidak tahu kenapa penulis memilih nama yang cenderung sama untuk dua tokoh yang sangat bertolakbelakang ini. Namun meski begitu, terlepas dari kemiripan nama kedua tokoh tersebut, saya cukup mampu untuk membedakan keduanya lewat karakter yang dibangun—selalu bertolakbelakang dan kerap berselisih. Perbedaan karakter yang sangat kontras tersebut bagi saya bukan sebuah masalah, dan tidak menghilangkan imej mereka sebagai tante dan keponakan, namun bagi saya itu lebih kepada sebuah penyatuan chemistry yang coba penulis bangun antara mereka untuk menuju ke arah hubungan yang lebih baik.

Kemudian, saya merasa kisah hidup Miya ini cukup relate juga dengan hidup saya. Namun syukurlah bukan relate untuk urusan tragedi-tragedi yang saya tulis tadi. Namun tentang beratnya hidup di suatu tempat yang berbeda dengan lingkungan sehari-hari kita, terlebih banyak aturan di sana. Ya, saya sangat-sangat bisa merasakan apa yang Miya rasakan. Karena saya pun sering mengalaminya. Hidup di sebuah rumah yang bukan tempat saya sehari-hari, dan kesalnya lagi banyak aturan yang harus saya ikuti. Lebih menyedihakannya lagi, kita selalu merasa tak enak hati apabila ingin melakukan sesuatu.  Selain takut dinilai salah, juga kita merasa asing di tempat tersebut. Rigth, isn’t it? So, saya tidak merasa heran apabila Miya lebih banyak tertekan daripada belajar untuk beradaptasi di rumah tantenya.

Di awal, kisah yang ditawarkan dalam novel Lara Miya memang sudah kental dengan nuansa sendu. Yaitu tentang tragedi kebakaran rumah Miya dan kematian orang tuanya. Selain itu, terselip pula beberapa adegan antara Miya dan Ibunya yang cukup menyentuh—detik-detik sebelum rumahnya terbakar. Seketika, saya menduga bahwa buku ini juga akan mengangkat sebuah cerita tentang keluarga. Apa yang dialami Miya dan Ibunya memang cukup sering kita lihat di dunia nyata. Tentang seorang anak semata wayang yang lebih memprioritaskan pekerjaannya, sehingga waktu bersama keluarga banyak yang tersita. Itulah secuil keresahan yang coba disampaikan penulis lewat Muthia—Ibu Miya. Bagaimana ia menginginkan Miya kembali dalam pelukan keluarganya, membuat saya cukup tersayat. Terlebih, dialog yang penulis masukkan antara keduanya juga diwarnai dengan adegan adu mulut yang cukup menguras emosi.  

Lewat novel ini, Kak Erlin berhasil menyampaikan pesan penting kepada pembaca bahwa, keluarga adalah satu-satunya lingkungan terpenting dalam hidup kita. Berprioritas terhadap pekerjaan boleh, namun tetaplah untuk meluangkan waktu bersama keluarga. Karena, bisa jadi kita akan menyesal jika suatu saat kita tidak lagi memiliki keluarga. Tokoh Miya menjadi peran penting dalam mengajarkan hal tersebut dalam novel ini. Kita bisa merasakan bagaimana penyesalan Miya setelah tidak lagi memiliki keluarga, terlebih saat mengingat cita-cita orangtuanya yang belum tercapai. Bukankah akan sangat menyedihkan apabila kita ingin memenuhi impian orangtua, namun keadaan tidak lagi mengijinkan?

Overall, buku ini juga sedikit banyak mampu mengubah cara pandang saya terhadap keberadaan keluarga. Memang, saya akui, keceriaan yang ada di dalamnya tidak seperti yang kita dapatkan saat berada di lingkungan teman sepergaulan. Namun satu hal yang saya (dan juga kita) lupakan selama ini,  delapan puluh persen waktu yang kita punya di dunia ini adalah bersama keluarga. Ketika mereka ada untuk kita, kenapa kita tidak ada untuk mereka? Semoga kita tidak menjadi seperti Miya ya. Don’t waste your time with your family, and be happy there.

***

“Tidak ada yang bisa kita lakukan selain menerima kepergian orang-orang yang kita sayangi. Sesal yang kamu rasakan mungkin ada karena kamu belum memaafkan dirimu sendiri.”

Hlm 123

4 komentar:

  1. Pesannya menohok terhadap diri saya. Yang kadang lebih memilih jauh dari keluarga, padahal keluarga selalu mencoba mendekat.

    BalasHapus
    Balasan
    1. ah berarti harus baca buku ini nih Mas Adin. Semoga kita tetap bersama bareng keluarga ya :)

      Hapus
  2. Amaya, Miya, dan Aya. Jangan-jangan kami ini bersaudara :D Aku baru baca The Playlist, menurutku lumayan dan aku suka sama twist ala penulisnya. Nice review bikin aku ingin baca buku ini juga.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha bisa jadi tuh. Iya nih, suka sekali dengan tulisan Kak Erlin. Uda baca 3 buku blue valley, dan yang bener2 kusuka baru ini. Keren! Ayo Kak Aya baca juga :D

      Hapus