Judul : Rindu
Penulis : Tere Liye
Cetakan : XXIV, Desember 2015
Tebal : ii + 544 hlm
Penerbit : Republika
Kategori : Novel
ISBN : 978 – 602 – 8997 – 90 – 4 |
Blurb:
“Apalah
arti memiliki, ketika diri kami sendiri bukanlah milik kami?
Apakah
arti kehilangan, ketika kami sebenarnya menemukan banyak saat kehilangan, dan
sebaliknya, kehilangan banyak pula saat menemukan?
Apalah
arti cinta, ketika kami menangis terluka atas perasaan yang seharusnya indah?
Bagaimana mungkin, kami terduduk patah hati atas sesuatu yang seharusnya suci
dan tidak menuntut apa pun?
Wahai,
bukankah banyak kerinduan saat kami hendak melupakan? Dan tidak terbilang
keinginan melupakan saat kami dalam rindu? Hingga rindu dan melupakan jaraknya
setipis benang saja.”
Ini
adalah kisah tentang masa lalu yang memilukan. Tentang kebencian kepada
seseorang yang seharusnya disayangi. Tentang kehilangan kekasih hati. Tentang
cinta sejati. Tentang kemunafikan. Lima kisah dalam sebuah perjalanan panjang
kerinduan.
Selamat
membaca.
***
“…barangsiapa
yang tulus menolong saudaranya, maka Allah akan menolong dirinya. Itu janji
Tuhan yang pasti. Semoga kau termasuk di dalam golongan itu.”
Hlm.
139
Cerita
ini bermula di penghujung tahun 1938. Kerumunan orang nampak di sekeliling
pelabuhan di Kota Makassar. Sebuah kapal uap besar merapat di pelabuhan
tersebut. Kerumunan orang semakin mendekat dan berdesakan. Kapal uap itu
bernama ‘Blitar Holland’. Itu bukanlah sebuah kapal uap biasa. Itu adalah kapal
uap yang digunakan untuk mengangkut para Jemaah haji Indonesia pada masa itu.
Tak heran apabila ukuran kapal itu sangatlah besar dan hampir memenuhi tepi
pelabuhan.
Kapal
itu akan mengangkut Jemaah haji dari beberapa kota di Indonesia. Pertama,
adalah Makassar. Kemudian menuju Surabaya, Semarang, Batavia, Lampung, Padang,
dan yang terakhir adalah Aceh. Baru setelah itu kapal akan melanjutkan
perjalanan panjang menuju Jeddah. Ini adalah sebuah kisah tentang perjalanan
panjang. Beratus bahkan beribu orang dari berbagai daerah dipertemukan atas
tujuan dan niat yang sama. Mereka datang dengan latar belakang kehidupan yang
berbeda. Dan, perbedaan itulah yang akhirnya menimbulkan sebuah pertanyaan
besar.
Lima
pertanyaan besar dari 5 jemaah berbeda bersatu di atas kapal. Membawa
kebimbangan, kegelisahan, dan ketakutan. Perlahan, pertanyaan-pertanyaan itu
mulai terungkap ke permukaan dan menemui titik terang. Terkadang pula,
mengharuskan mereka untuk berani mengambil tindakan dan mencoba untuk
merelakan.
Masalahnya:
Apa saja kelima pertanyaan besar itu?
***
“Tidak
perlu janji. Insya Allah sudah lebih dari cukup, Nak. Karena kita tidak pernah
tahu apa yang akan terjadi esok lusa.”
Hlm.
172
Bisa
dibilang, buku ini adalah sebuah kombinasi dari beragam jenis cerita. Tidak
hanya disuguhi dengan sebuah kehidupan yang berlatar di atas kapal, namun juga
diselingi dengan ilmu agama, kisah cinta, pelajaran hidup dan semua yang
bersifat membangun moral. Kelebihan menarik dari buku ini adalah terletak pada
deskripsinya yang lugas, jelas, dan pengangkatan setting baik tempat atau pun waktunya.
Aku tidak pernah membayangkan bahwa keseluruhan setting di buku berada di atas
kapal. Sejenak aku berpikir, pengambilan setting di atas kapal yang cenderung
sempit, akan membuat penulis kurang leluasa untuk bercerita menggunakan latar
berbeda dan menjadikan ceritanya agak membosankan. Pada dasarnya memang seperti
itu yang aku rasakan, karena dengan ketebalan 500 halaman, dari awal sampai
akhir buku ini tidak lepas dari kapal. Membuatku bosan karena banyak sekali
adegan sama yang terulang dalam cerita. Misalnya, rutinitas jamaah haji di atas
kapal yang terbilang mononton dan itu-itu saja bukan tidak mungkin akan membuat
kita jenuh.
Tapi,
jangan khawatir, Tere Liye tidak akan membuat kita kecewa. Di balik kegiatan
monoton yang terjadi di atas kapal, penulis sebenarnya juga memberi ruang
leluasa bagi pembaca untuk merasakan hawa segar dengan flashback ke tahun-tahun
sebelumnya dengan latar cerita yang beragam. Meskipun tidak sepenuhnya menutupi
kegiatan monton di atas kapal, tapi aku rasa ini sudah cukup baik untuk membuat
pembaca terus konsisten membaca dari awal sampai akhir. Seperti yang sudah aku
tulis di atas, bahwa buku ini banyak menuturkan kisah yang mayoritas berupa
pelajaran hidup. Percayalah, kelima pertanyaan yang satu persatu terungkap di
sini membawa kita pada pesan tersirat yang ingin disampaikan oleh penulis. Di
sini aku juga menemukan satu tokoh central sebagai penengah dari semua
permasalahan. Yakni, Gurutta. Namanya yang sudah terkenal sebagai seorang ulama
mashyur, membuat Gurutta menjadi sosok yang disegani di cerita ini. Keadaan
inilah yang secara tidak langsung membuat Gurutta menjadi tokoh central atas
semua permasalahan yang terjadi.
Oh
iya, kehadiran tokoh Gurutta di sini juga mengingatkanku pada tokoh Tuanku Imam
di novel Pulang. Keduanya memiliki porsi yang hampir sama, yaitu sebagai tokoh
central yang membantu memberi jalan keluar atas setiap masalah. Hanya saja,
Gurutta lebih banyak ambil peran di buku ini. Dalam arti, dari awal hingga
akhir cerita, Gurutta kerap muncul dan dominan ketimbang Tuanku Imam di cerita Pulang.
Tidak
hanya soal pelajaran hidup, ilmu agama juga banyak menyelingi isi buku ini.
Otomatis, saat menutup lembar terakhir buku ini, kita tidak hanya menganggap
itu semua sebagai angin lalu. Banyak pelajaran terutama tentang agama yang bisa
kita renungi setelah itu. Ada juga beberapa bagian yang menyayat hati dan
menguras emosi. Selalu itulah kelebihan Tere Liye. Selain itu, buku ini juga
nampak manis saat kita mengetahui bahwa ada kisah cinta romantis yang
dihadirkan dari sepasang kekasih; Mbah Kakung dan Mbah Putri. Namun, aku rasa
kisah cinta mereka kelewat berlebihan. Nggak ngebayangin aja, udah kakek nenek
tapi gelora cintanya masih membara kayak anak muda. Terlebih lagi, ada beberapa
adegan mesra yang tak jarang membuat aku geli sendiri. Yah, kembali lagi,
mungkin ini hanya masalah selera saja.
Selain
itu, penokohan dalam buku ini aku sangat suka sekali. Semua tokoh bergerak
dengan ciri khas masing-masing tanpa ada kesamaan dengan tokoh lain. Aku paling
suka dengan tokoh Anna. Putri bungsu Daeng Andipati ini kelewat gemesin, polos
dan lucu, hehe. Di balik setiap permalahan serius yang terjadi di atas kapal,
kehadiran tokoh Anna berhasil menghadirkan suasana yang lebih funny dan menyenangkan. Ah, pasti akan
terasa lebih membosankan buku ini jika tanpa kehadiran Anna. Alurnya juga seru,
tapi menurutku tidak lebih seru dari Daun Yang Jatuh ataupun Hujan. Ditulis
dengan sudut padang orang ketiga, kita memiliki peluang besar untuk melihat cerita
dari berbagai sisi. Hal ini juga memudahkan penulis untuk bercerita dengan
lebih leluasa.
Oh
iya, ada satu kesalahan yang ingin aku kritisi, satu sih tapi gatel banget
pengin nulis, hehe. Yaitu pada halaman 69: ‘Jangan
ganggu adikmu, Anna.’ Penulisan yang benar seharusnya adalah ‘Elsa’, bukan ‘Anna’.
Bisa dilihat kok.
Dan,
itu saja. Selalu seperti biasa, buku Tere Liye memang lebih dominan nilai plus-nya
daripada min. Intinya, sebagai buku ‘fiksi’, bukan berarti tidak ada pelajaran
yang bisa diambil dari buku ini. Justru sebaliknya, banyak sekali. Tergantung
setiap orang bagaimana mengilhaminya.
Terima
kasih!
***
“Berikanlah
maaf karena kau berhak atas kedamaian di dalam hati.Tutup lembaran lama yang
penuh coretan keliru, bukalah lembaran baru. Semoga kau memiliki lampu kecil di
hatimu.”
Hlm.
376
Reviewnya sangat detail (y) rasa penasaran saya terhadap novel ini sudah terjawab sebagian. Tentang 5 pertanyaan itu.. saya jadi inget novel tere liye yang berjudul Rembulan Tenggalam di Wajahmu.
BalasHapusMampir juga ya ke https://annisaedelweiss.wordpress.com ^^
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
HapusWooaahh kamu sudah baca rembulan tenggelam? Itu wishlistku banget Ann. Ah kamu mah jadi ngingetin aku sama wishlist yang belum kesampean, hehe.
HapusOk, segera meluncuuuurrr
Udaahh hehe, bagus banget pokoknya. Karya Tere Liye nggak pernah ngecewain sama sekali. Moral value-nya dapet bgt. Semoga wishlist-nya segera terpenuhi deh:D
HapusAaamiiinnnn, hahaha
HapusSudah baca buku Tere yang mana saja Bin? Aku sudah kenal buku Tere Liye sejak SMP dan dia bikin aku nggak bisa berhenti untuk membaca buku karya beliau. Selalu suka dengan buku ini.
BalasHapusAku baru kenal doi kelas 1 SMA dari temen, hehe. Awalnya ga terlalu suka, tapi ketularan sama temenku itu, hehe. Aku uda baca 4: daun yang jatuh, pulang, hujan, rindu. But, PULANG still best ever, hehe :D
HapusSaya yang favorit banget yang Daun yang Jatuh.. Rasanya sangat mengena banget. Saya sudah membacanya berulang-ulang dan tetep menghanyutkan
HapusBenar sekali, aku suka banget dengan alurnya. Spektaaa
HapusBuku ini membangun jiwa banget dan buat saya gaya berceritanya sangat sederhana sekali. Namun di balik sederhana itu, pesannya sampai ke pembaca dengan jleb banget.
BalasHapusHe'em betul banget. Meski banyak pesan yang disampaikan penulis, tapi tidak terkesan menggurui :D
Hapus