Judul : Somewhere Only We Know
Penulis : Alexander Thian
Cetakan : Keempat, 2015
Tebal : x + 338 hlm
Penerbit : GagasMedia
Kategori : Novel
|
Blurb:
“You
don’t define love. You just… love.”
-Kenzo-
Menyusuri
jalanan Hanoi yang basah, menerobos hujan yang masih turun dengan deras. Gue
melangkah tanpa peduli ke mana kaki membawa gue pergi. Lampu kuning jalanan
membuat jejak-jejak rintik hujan tampak jelas. Entah karena gue yang delusional
atau terlalu romantic menjijikkan, gue setengah berharap dia akan muncul di
ujung jalan, bersandar pada tiang lampu, membawa payung, lalu tersenyum melihat
gue.
-Ririn-
Kenangan
itu masih sejelas dan sebening film yang berformat blu-ray. Gue tertawa kecil
ketika membuka pintu taksi, membayangkan wajah aneh Arik sore itu. Dalam
perjalanan pulang, gue bermimpi tentang berdansa di awan, sementara kembang api
meledak-ledak di sekitar gue dan Arik.
Arik,
can we be infinite?
Most of all, is this the love we
think we deserve?
***
***
Bagi
Kenzo, cinta ibarat secangkir kopi. Terkadang terasa pahit, tetapi tetap
memiliki banyak lapis rasa. Bagi Ririn, kakak Kenzo, cinta hanya memiliki dua
rasa; pahit dan manis. Meski Kenzo meyakinkan selalu ada ruang untuk dongeng
cinta, Ririn berusaha melupakan cinta karena pahitlah yang mendominasi
kisahnya.
Ketika
cinta benar-benar ada di hadapan keduanya, mampukan mereka menerima dan
memperjuangkannya?
***
“Apa
pun yang kita lakukan, pasti ada pengaruhnya untuk orang lain. Mungkin kita
merasa yang sudah kita lakukan itu remeh. Kita nggak pernah tahu, hal yang kita
anggap remeh ternyata menjadi inspirasi untuk orang lain.”
-Hlm.
128
Pernahkah
kalian mencintai seseorang yang belum pernah kalian temui sebelumnya?
Pernahkah
kalian pergi ke tempat yang sangat jauh untuk melupakan rasa sakit hati di masa
lalu?
Mungkin
akan terdengar aneh, namun pada kenyataannya itulah yang dilakukan oleh
sepasang kakak beradik Ririn dan Kenzo. Mereka sama-sama dipaksa untuk menyecap
pahitnya rasa cinta. Ririn, yang berpacaran dengan pebasket harus menerima kenyataan
bahwa kekasihnya itu telah berselingkuh dengan wanita lain. Sama halnya dengan
kakaknya tersebut, Kenzo juga harus rela melepas kekasihnya karena telah
berselingkuh pada kesempatan pertama.
Tak
ingin menderita rasa sakit yang berlarut-larut, Kenzo memutuskan untuk pergi ke
Vietnam dan bekerja di Kedutaan Besar Republik Indonesia yang ada di sana. Niat
hati untuk melupakan rasa sakit, Kenzo justru kembali ke Indonesia empat tahun
setelahnya juga dengan membawa rasa sakit. Menjalani rutinitas selama empat
tahun di Vietnam, ia merasa dirinya telah dikhianati oleh kekasih semunya yang
bernama Hava. Kekasih semu? Ya, Kenzo berpacaran dengan seseorang yang belum
pernah ia temui sebelumnya. Terdengar aneh bukan? Lantas, apa yang membuat ia
sakit hati untuk yang kedua kalinya tersebut?
Ririn.
Kakak Kenzo itu justru memutuskan pergi ke Nusa Lembongan untuk mencari orang
yang selama ini mampu mengobati rasa
sakit hatinya. Silver Shadow. Seorang blogger yang berhasil membuat Ririn move
on lewat tulisan dan dongeng indahnya yang ada di blog. Dan, saat mendengar
kabar bahwa blogger kesayangannya itu akan ke Nusa Lembongan, Ririn sangat
antusias. Ya, memang lebay sekali. Ririn rela pergi jauh-jauh ke Nusa Lembongan
hanya untuk membuntuti Silver Shadow yang tengah liburan.
Lantas,
bagaimanakah akhir perjalanan Ririn di Nusa Lembongan? Bahagia, atau justru
akan pulang membawa rasa sakit yang sama dengan sebelumnya?
Dan,
Kenzo. Setelah mengalami sakit hati untuk yang kedua kalinya, apakah ia masih
yakin pada sebuah harapan yang nantinya akan menggenapi keping terakhir
perjalanan cintanya?
***
“Love
isn’t blind. It sees, but it doesn’t mind.”
-Hlm.
165
Bisa
dibilang ‘Somewhere Only We Know’
menjadi buku yang masuk ke dalam daftar wishlist-ku. Setelah mendapat buku ini secara
cuma-cuma dari Gagas, aku pun sangat excited sekali untuk membacanya. FYI, buku
ini merupakan debut fiksi pertama dari koh Alexander Thian. Buat yang kerap
berkicau di twitter, pasti tau tentang sosok yang satu ini. Seorang traveller
yang juga merangkap menjadi penulis. Koh Alex bisa dibilang cukup berhasil
dengan debut non fiksi pertamanya—The Not So Amazing Life of @aMrazing. Tapi,
bagaimana dengan debut fiksinya ini? Mari kita ulik buku ini dari segala sisi….
Pada
awalnya, saat kali pertama membaca buku ini, aku merasa dibuat bingung dengan
alurnya. Terkesan rumit dan berbelit. Ada satu part di mana aku tidak bisa
membedakan ‘apakah ini masa lalu atau masa sekarang?’. Alhasil, setelah aku
coba memahami dari halaman-halaman sebelumnya, dan meneruskan bacaan, baru aku
menemukan jawabannya. Sebenarnya, itu hanya keluhanku di awal saja, selebihnya,
menuju halaman-halaman berikutnya, aku mulai bisa menangkap alur ceritanya
dengan jelas. Dan, aku cukup menikmatinya.
Buku
ini dibuka dengan adegan kocak nan jail dari sepasang kakak beradik yang tak
lain adalah Kenzo dan Ririn. Dari situ, aku sebenarnya sudah merasa dibuat
nyaman dengan ceritanya. Karena, aku yakin pasti tingkah kakak beradik ini akan
kerap mengundang tawa. Dengan penggunaan kalimat sapaan modern ‘lo-gue’ ,aku
merasa setiap adegan yang melibatkan kakak beradik ini asyik sekali. Di buku
ini, aku juga mendapat dua cerita yang saling bertolak belakang, dengan emosi yang juga
berbeda. Diceritakan lewat sudut padang orang pertama melalui dua tokoh sekaligus—Ririn
dan Kenzo, penulis membagi cerita menjadi dua bagian. Pertama, cerita tokoh Kenzo tentang kegalauannya, kesedihannya, dan segala sesuatu yang bersifat
mellow. Tak jarang pula mengundang rasa prihatin dan simpatik kita. Yang kedua
adalah cerita dari sudut pandang Ririn yang terkesan blak-blakan, kocak,
ekspresif, dan menghibur. Aku mendapat dua cerita dengan emosi yang bertolak
belakang di sini. Ada kalanya aku harus mellow saat membaca kisah Kenzo, dan
ada kalanya pula aku ketawa ngakak karena tingkah polah Ririn yang kerap mengundang
tawa. Dari situ, aku cukup tahu bahwa penulis juga memiliki sense of comedy yang tinggi.
Selain
itu, aku cukup terkejut dengan terungkapnya jati diri Kenzo yang sebenarnya,
dan itu ada di awal cerita. Eh tapi nggak terlalu kaget juga sih, soalnya dari
sebelumnya aku udah merasa ada yang salah pada diri Kenzo yang memiliki
tampilan fisik macho ini. Saat penulis bercerita lewat sudut pandang Kenzo pun,
aku merasa kasihan juga risih. Kasihan karena ada satu part di mana Kenzo
menyesali takdirnya sebagai kaum minoritas, dan risih karena… you know lah. I’m man, and here, I also forced to feel the
love to man because the story of Kenzo. Terlebih, dengan menggunakan sudut
padang orang pertama lagi, ough! Jujur, aku lebih suka dan dibuat asyik saat
penulis bercerita lewat sudut pandang Ririn. Banyak yang bikin tawa.
Salah satu adegan favoritku adalah ketika Ririn curhat ama fulgoso
kesayangannya dan hanya direspon dengan kibasan ekornya, hahaha.
Oh
iya, saat momen pertama kali Ririn bertemu dengan Arik, menurutku seperti
adegan ftv. Ehm, ini sih menurutku. Fase yang sama. Awalnya sebel, benci, lalu
ketemu secara tak sengaja di satu tempat dan mulai saling mencintai. Terdengar
klise apabila kita sering nonton ftv. Dan ya, harus kuakui… aku sering nonton!
#abaikan. Selain itu, aku cukup suka dengan pengkarakteran yang terdapat pada
diri Kenzo dan Ririn. Dibilang sama, tidak. Dibilang tidak, ya sama. Aneh juga
sih. Mereka sama-sama jail, keras kepala, tapi saat penulis membagi cerita
menjadi 2 plot, aku menemukan karakter yang sebenarnya sangat bertolak
belakang. Emosiku benar-benar berubah seratus persen setiap pergantian cerita.
Aku juga kagum sama koh Alex yang berhasil membagi emosinya antara cerita Ririn
dengan kenzo. Hmm.. susah banget itu loh, patut diapresiasi! Apalagi ini debut
fiksi pertama.
Soal
tokoh, aku sebenarnya penasaran dengan sosok Hava yang sesungguhnya. Aku
menganggap Hava di sini sebagai tokoh yang semu. Dibilang ada, tidak. Dibilang
tidak, sebenarnya juga ada sih. Penulis tak terlalu mengeksplor tokoh yang satu
ini baik dari segi fisik maupun karakter. Emm, sebenarnya sih ada, tapi sedikit
banget. Tokoh lain yang ingin aku bicarakan adalah Arik. Sebenarnya, aku tidak
terlalu menemukan keistimewaan dan kesan pada tokoh yang satu ini. Fisik yang
bagus, atletis, pandai, udah biasa dan nggak terlalu memikat perhatianku. Tapi,
aku suka dengan kemampuan mendongeng ala Arik. Kalau kata Ririn, absurd bin
ajaib. Aku menilai keistimewaan tokoh Arik ini justru dari kemampuan
mendongengnya ini. Selalu suka dengan dongeng-dongengnya. Tokoh yang satu ini
memiliki imjinasi yang liar saat mendongeng. Tapi yang perlu aku tanyakan,
kenapa banyak dongengnya yang justru berkaitan dengan kesedihan dan air mata?
Di
awal tadi, aku sudah menyebutkan bahwa koh Alex ini juga seorang traveller. Hal
ini sangat membantu sekali dalam penggunaan seting di novel ini. Lewat tokoh
Kenzo, kita diajak menikmati setiap seluk beluk Vietnam dengan deskripsi yang
cukup baik. Juga dengan Paris yang digambarkan dengan segala keindahannya. Dan,
Ririn, juga tak kalah membawa kita menelusuri Pulau Bali, terutama Nusa
Lembongan yang dikunjunginya. Cukup baik sih penggambaran yang diberikan oleh
penulis, setidaknya tidak melulu kota metropolitan seperti Jakarta. Hmm, bosan.
Overall,
aku cukup suka dengan debut fiksi koh Alex ini. Memberikan kisah cinta dengan
segala persepsi dan pandangan yang berbeda di dalamnya. Secara fisik, cover
buku ini juga sangat memikat. Hamparan salju dan pohon di sekelilingnya membawa
hawa segar dan fresh saat melihatnya.
Dan, harus kuakui… buku ini segar luar dalam. Untuk koh Alex, ditunggu buku
fiksi selanjutnya, ya.
Terima
kasih!
***
“When
you’re with someone you really adore, it’s the little things he does for you
that matter the most.”
-Hlm.
181
Tidak ada komentar:
Posting Komentar