Minggu, 24 April 2016

[Book Review] Rindu - Tere Liye



Judul : Rindu
Penulis : Tere Liye
Cetakan : XXIV, Desember 2015
Tebal : ii + 544 hlm
Penerbit : Republika
Kategori : Novel
ISBN : 978 – 602 – 8997 – 90 – 4 

Blurb:

“Apalah arti memiliki, ketika diri kami sendiri bukanlah milik kami?
Apakah arti kehilangan, ketika kami sebenarnya menemukan banyak saat kehilangan, dan sebaliknya, kehilangan banyak pula saat menemukan?

Apalah arti cinta, ketika kami menangis terluka atas perasaan yang seharusnya indah? Bagaimana mungkin, kami terduduk patah hati atas sesuatu yang seharusnya suci dan tidak menuntut apa pun?

Wahai, bukankah banyak kerinduan saat kami hendak melupakan? Dan tidak terbilang keinginan melupakan saat kami dalam rindu? Hingga rindu dan melupakan jaraknya setipis benang saja.”

Ini adalah kisah tentang masa lalu yang memilukan. Tentang kebencian kepada seseorang yang seharusnya disayangi. Tentang kehilangan kekasih hati. Tentang cinta sejati. Tentang kemunafikan. Lima kisah dalam sebuah perjalanan panjang kerinduan.
Selamat membaca.

***

“…barangsiapa yang tulus menolong saudaranya, maka Allah akan menolong dirinya. Itu janji Tuhan yang pasti. Semoga kau termasuk di dalam golongan itu.”
Hlm. 139

Cerita ini bermula di penghujung tahun 1938. Kerumunan orang nampak di sekeliling pelabuhan di Kota Makassar. Sebuah kapal uap besar merapat di pelabuhan tersebut. Kerumunan orang semakin mendekat dan berdesakan. Kapal uap itu bernama ‘Blitar Holland’. Itu bukanlah sebuah kapal uap biasa. Itu adalah kapal uap yang digunakan untuk mengangkut para Jemaah haji Indonesia pada masa itu. Tak heran apabila ukuran kapal itu sangatlah besar dan hampir memenuhi tepi pelabuhan.

Kapal itu akan mengangkut Jemaah haji dari beberapa kota di Indonesia. Pertama, adalah Makassar. Kemudian menuju Surabaya, Semarang, Batavia, Lampung, Padang, dan yang terakhir adalah Aceh. Baru setelah itu kapal akan melanjutkan perjalanan panjang menuju Jeddah. Ini adalah sebuah kisah tentang perjalanan panjang. Beratus bahkan beribu orang dari berbagai daerah dipertemukan atas tujuan dan niat yang sama. Mereka datang dengan latar belakang kehidupan yang berbeda. Dan, perbedaan itulah yang akhirnya menimbulkan sebuah pertanyaan besar.

Lima pertanyaan besar dari 5 jemaah berbeda bersatu di atas kapal. Membawa kebimbangan, kegelisahan, dan ketakutan. Perlahan, pertanyaan-pertanyaan itu mulai terungkap ke permukaan dan menemui titik terang. Terkadang pula, mengharuskan mereka untuk berani mengambil tindakan dan mencoba untuk merelakan.

Masalahnya: Apa saja kelima pertanyaan besar itu?

***

“Tidak perlu janji. Insya Allah sudah lebih dari cukup, Nak. Karena kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi esok lusa.”
Hlm. 172

Bisa dibilang, buku ini adalah sebuah kombinasi dari beragam jenis cerita. Tidak hanya disuguhi dengan sebuah kehidupan yang berlatar di atas kapal, namun juga diselingi dengan ilmu agama, kisah cinta, pelajaran hidup dan semua yang bersifat membangun moral. Kelebihan menarik dari buku ini adalah terletak pada deskripsinya yang lugas, jelas, dan pengangkatan setting baik tempat atau pun waktunya. Aku tidak pernah membayangkan bahwa keseluruhan setting di buku berada di atas kapal. Sejenak aku berpikir, pengambilan setting di atas kapal yang cenderung sempit, akan membuat penulis kurang leluasa untuk bercerita menggunakan latar berbeda dan menjadikan ceritanya agak membosankan. Pada dasarnya memang seperti itu yang aku rasakan, karena dengan ketebalan 500 halaman, dari awal sampai akhir buku ini tidak lepas dari kapal. Membuatku bosan karena banyak sekali adegan sama yang terulang dalam cerita. Misalnya, rutinitas jamaah haji di atas kapal yang terbilang mononton dan itu-itu saja bukan tidak mungkin akan membuat kita jenuh.

Tapi, jangan khawatir, Tere Liye tidak akan membuat kita kecewa. Di balik kegiatan monoton yang terjadi di atas kapal, penulis sebenarnya juga memberi ruang leluasa bagi pembaca untuk merasakan hawa segar dengan flashback ke tahun-tahun sebelumnya dengan latar cerita yang beragam. Meskipun tidak sepenuhnya menutupi kegiatan monton di atas kapal, tapi aku rasa ini sudah cukup baik untuk membuat pembaca terus konsisten membaca dari awal sampai akhir. Seperti yang sudah aku tulis di atas, bahwa buku ini banyak menuturkan kisah yang mayoritas berupa pelajaran hidup. Percayalah, kelima pertanyaan yang satu persatu terungkap di sini membawa kita pada pesan tersirat yang ingin disampaikan oleh penulis. Di sini aku juga menemukan satu tokoh central sebagai penengah dari semua permasalahan. Yakni, Gurutta. Namanya yang sudah terkenal sebagai seorang ulama mashyur, membuat Gurutta menjadi sosok yang disegani di cerita ini. Keadaan inilah yang secara tidak langsung membuat Gurutta menjadi tokoh central atas semua permasalahan yang terjadi.

Oh iya, kehadiran tokoh Gurutta di sini juga mengingatkanku pada tokoh Tuanku Imam di novel Pulang. Keduanya memiliki porsi yang hampir sama, yaitu sebagai tokoh central yang membantu memberi jalan keluar atas setiap masalah. Hanya saja, Gurutta lebih banyak ambil peran di buku ini. Dalam arti, dari awal hingga akhir cerita, Gurutta kerap muncul dan dominan ketimbang Tuanku Imam di cerita Pulang.

Tidak hanya soal pelajaran hidup, ilmu agama juga banyak menyelingi isi buku ini. Otomatis, saat menutup lembar terakhir buku ini, kita tidak hanya menganggap itu semua sebagai angin lalu. Banyak pelajaran terutama tentang agama yang bisa kita renungi setelah itu. Ada juga beberapa bagian yang menyayat hati dan menguras emosi. Selalu itulah kelebihan Tere Liye. Selain itu, buku ini juga nampak manis saat kita mengetahui bahwa ada kisah cinta romantis yang dihadirkan dari sepasang kekasih; Mbah Kakung dan Mbah Putri. Namun, aku rasa kisah cinta mereka kelewat berlebihan. Nggak ngebayangin aja, udah kakek nenek tapi gelora cintanya masih membara kayak anak muda. Terlebih lagi, ada beberapa adegan mesra yang tak jarang membuat aku geli sendiri. Yah, kembali lagi, mungkin ini hanya masalah selera saja.

Selain itu, penokohan dalam buku ini aku sangat suka sekali. Semua tokoh bergerak dengan ciri khas masing-masing tanpa ada kesamaan dengan tokoh lain. Aku paling suka dengan tokoh Anna. Putri bungsu Daeng Andipati ini kelewat gemesin, polos dan lucu, hehe. Di balik setiap permalahan serius yang terjadi di atas kapal, kehadiran tokoh Anna berhasil menghadirkan suasana yang lebih funny dan menyenangkan. Ah, pasti akan terasa lebih membosankan buku ini jika tanpa kehadiran Anna. Alurnya juga seru, tapi menurutku tidak lebih seru dari Daun Yang Jatuh ataupun Hujan. Ditulis dengan sudut padang orang ketiga, kita  memiliki peluang besar untuk melihat cerita dari berbagai sisi. Hal ini juga memudahkan penulis untuk bercerita dengan lebih leluasa.

Oh iya, ada satu kesalahan yang ingin aku kritisi, satu sih tapi gatel banget pengin nulis, hehe. Yaitu pada halaman 69: ‘Jangan ganggu adikmu, Anna.’ Penulisan yang benar seharusnya adalah ‘Elsa’, bukan ‘Anna’. Bisa dilihat kok.

Dan, itu saja. Selalu seperti biasa, buku Tere Liye memang lebih dominan nilai plus-nya daripada min. Intinya, sebagai buku ‘fiksi’, bukan berarti tidak ada pelajaran yang bisa diambil dari buku ini. Justru sebaliknya, banyak sekali. Tergantung setiap orang bagaimana mengilhaminya.

Terima kasih!

***

“Berikanlah maaf karena kau berhak atas kedamaian di dalam hati.Tutup lembaran lama yang penuh coretan keliru, bukalah lembaran baru. Semoga kau memiliki lampu kecil di hatimu.”
Hlm. 376


11 komentar:

  1. Reviewnya sangat detail (y) rasa penasaran saya terhadap novel ini sudah terjawab sebagian. Tentang 5 pertanyaan itu.. saya jadi inget novel tere liye yang berjudul Rembulan Tenggalam di Wajahmu.
    Mampir juga ya ke https://annisaedelweiss.wordpress.com ^^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
    2. Wooaahh kamu sudah baca rembulan tenggelam? Itu wishlistku banget Ann. Ah kamu mah jadi ngingetin aku sama wishlist yang belum kesampean, hehe.
      Ok, segera meluncuuuurrr

      Hapus
    3. Udaahh hehe, bagus banget pokoknya. Karya Tere Liye nggak pernah ngecewain sama sekali. Moral value-nya dapet bgt. Semoga wishlist-nya segera terpenuhi deh:D

      Hapus
  2. Sudah baca buku Tere yang mana saja Bin? Aku sudah kenal buku Tere Liye sejak SMP dan dia bikin aku nggak bisa berhenti untuk membaca buku karya beliau. Selalu suka dengan buku ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku baru kenal doi kelas 1 SMA dari temen, hehe. Awalnya ga terlalu suka, tapi ketularan sama temenku itu, hehe. Aku uda baca 4: daun yang jatuh, pulang, hujan, rindu. But, PULANG still best ever, hehe :D

      Hapus
    2. Saya yang favorit banget yang Daun yang Jatuh.. Rasanya sangat mengena banget. Saya sudah membacanya berulang-ulang dan tetep menghanyutkan

      Hapus
    3. Benar sekali, aku suka banget dengan alurnya. Spektaaa

      Hapus
  3. Buku ini membangun jiwa banget dan buat saya gaya berceritanya sangat sederhana sekali. Namun di balik sederhana itu, pesannya sampai ke pembaca dengan jleb banget.

    BalasHapus
    Balasan
    1. He'em betul banget. Meski banyak pesan yang disampaikan penulis, tapi tidak terkesan menggurui :D

      Hapus