Selasa, 09 Februari 2016

[Book Review] Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin - Tere Liye





Judul               : Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin
Penulis            : Tere Liye
Cetakan          : Ketujuh belas, September 2014
Tebal               : 264 hlm
Penerbit          : Gramedia Pustaka Utama
Kategori         : Novel
ISBN              : 978 – 979 – 22 – 5780 – 9

Blurb:

Dia bagai malaikat bagi keluarga kami. Merengkuh aku, adikku, dan Ibu dari kehidupan jalanan yang miskin dan nestapa. Memberikan makan, tempat berteduh, sekolah, dan janji masa depan yang lebih baik.

Dia sungguh bagai malaikat bagi keluarga kami. Memberikan kasih sayang, perhatian, dan teladan tanpa mengharap budi sekali pun. Dan lihatlah, aku membalas itu semua dengan membiarkan mekar perasaan ini.

Ibu benar, tak layak aku mencintai malaikat keluarga kami. Tak pantas. Maafkan aku Ibu. Perasaan kagum, terpesona, atau entahlah itu muncul tak tertahankan bahkan sejak rambutku masih dikepang dua.

Sekarang ketika aku tahu dia boleh jadi tidak pernah menganggapku lebih dari seorang adik yang tidak tahu diri, biarlah…. Biarlah aku luruh ke bumi seperti sehelai daun… daun yang tidak pernah membenci angina meski harus terenggutkan dari tangkai pohonnya.

***


“Kebaikan itu seperti pesawat terbang, Tania. Jendela-jendela bergetar, layar teve bergoyang, telepon genggam terinduksi saat pesawat itu lewat. Kebaikan merambat tanpa mengenal batas. Bagai garpu tala yang beresonansi, kebaikan menyebar dengan cepat.”

Hlm. 184

Sepasang kakak beradik yang menghidupi diri dengan mengamen itu adalah Tania dan Dede. Semenjak kepergian sang Ayah, mereka bersama Ibunya harus terpaksa pindah ke rumah kardus yang sangat kumuh. Rumah kardus kumuh itu terletak di pinggir sungai bercampur dengan sampah-sampah yang sebenarnya sangat tak layak untuk ditinggali. Sang Ibu yang sedang dalam kondisi tidak sehat, memaksakan sepasang kakak beradik yang masih belia itu harus berhenti sekolah dan mengamen di terminal. Seolah, tak ada sedikit pun harapan masa depan yang lebih baik untuk keduanya.

Hingga tibalah mereka pada malam itu, semua terjadi begitu saja. Di atas bus kota yang mengantar mereka menelusuri jalan pulang, sosok itu datang dalam kehidupan mereka. Sosok yang merangkul keluarga Tania. Menyelamatkan mereka dari kehidupan yang hina. Sosok itu memiliki banyak peran dalam kehidupan keluarganya. Datang membawa makanan, mainan, membawa mereka selangkah lebih baik untuk menghadapi kehidupan. Dan turut pula membawa kebahagiaan dalam keluarga kecil itu.

Di lantai dua toko buku terbesar di kotanya itulah, sosok yang mereka anggap malaikat itu menjanjikan sebuah masa depan yang lebih baik. Dia membiayai sekolah kedua kakak beradik itu, menjamin kehidupan dan pendidikan yang layak pula.

Namun, apakah masa depan itu seindah dan secerah apa yang telah dijanjikannya?

Semua akan terjawab, seiring waktu membuktikan tentang apa yang telah ‘dijanjikannya’ tersebut….

***

Saat membuka lembar pertama buku ini aku sudah merasa sangat nyaman. Dua faktor yang sangat mendukung menurutku. Latar yang bersetting di toko buku, dan suasana hujan yang mengguyur kota. Benar-benar perpaduan setting dan suasana yang amat memikat serta membuat siapa pun akan merasa nyaman saat membacanya. Cara penulis menggambarkan dan mendeskripsikan keadaan atau suasana terbilang sangatlah detail, banyak bayangan yang terbentuk di otak kita saat membacanya. Penulis banyak mendeskripsikannya melalui narasi yang cukup panjang. Namun menurutku itu tidak terlalu mengganggu kenyamanan saat membaca. Karena bukan hanya keadaan seperti hujan, dan keramaian toko buku saja yang digambarkan. Penulis banyak bercerita tentang keadaan sekitarnya. Seperti jalanan yang macet, keramaian yang terjadi di tenda makanan dan gerai fotokopian, serta pembangunan yang sedang berlangsung di kota itu.

Sangat suka pula dengan permainan alur yang dilakukan oleh penulis. Di setiap awal bab, dengan menggunakan PoV 1, si tokoh utama—Tania—mulai bercerita tentang keadaan di masa sekarang. Setelah itu, kita diajak mundur beberapa tahun ke masa lalu atau istilah lainnya flashback. Hal ini juga kita temui di bab-bab berikutnya, selalu seperti itu. Masa sekarang, kemudian ke masa lalu. Susah juga mendeskripsikannya, alur di buku ini seperti boomerang. Awalnya kita diajak melihat ke masa sekarang, kemudian flashback ke masa lalu. Terus seperti itu hingga akhirnya tiba lagi ke masa sekarang, Menjadi satu kisah dan cerita yang utuh. Paham maksudnya? Ah sudahlah, aku sendiri juga bingung ngejelasinnya. Pokoknya seru banget alurnya. Hanya saja yang membuat aku kurang nyaman, adalah penggambaran keadaan—seperti yang aku sebutkan di atas—banyak diulang-ulang di setiap awal bab. Seperti ramainya gerai fotokopian, keadaan jalanan yang macet, dan lain-lain. Di setiap awal bab, saat si tokoh utama bercerita di masa sekarang, keadaan seperti itu banyak diulang-ulang.

Berikutnya, lewat buku ini, secara tidak langsung kita juga turut mengikuti tahap perkembangan hidup seseorang. Mulai dari fase kanak kanak menjadi remaja dan kemudian beranjak dewasa. Perubahan pola pikir juga kita rasakan seiring bertambahnya usia beberapa tokoh seperti Tania dan Dede. Kakak beradik ini yang awalnya digambarkan sebagai anak kecil, seiring berjalannya waktu mulai banyak melakukan perubahan baik dari segi fisik atau pola pikirnya. Hal ini benar-benar sangat diperhatikan oleh penulis. Namun, aku rasa tidak logis ketika Tania yang saat itu masih berusia sekitar sebelas tahun bisa merasa jatuh cinta dengan lelaki yang berusia sekitar dua puluh tahun ke atas. Selain itu, masuk ke fase remaja, pola pikir Tania masih sama. Terbilang labil, dan cenderung tidak berusaha mendewasakan dirinya. Sebenarnya pantas sih kalau usia remaja dia labil, tapi labilnya itu karena dia mengharap cinta dari orang yang berumur jauh di atasnya. Agak aneh saja menurutku. Namun, kita lupakan saja itu. Menurutku Tania baru bisa mengubah pola pikirnya saat ia beranjak dewasa. Tepatnya saat ia masuk universitas dan menjadi mahasiswi. Dari situ, kita sudah tidak menemui Tania sebagai sosok yang labil dan baper seperti sebelumnya.

Analogi-analogi yang penulis ciptakan juga indah dan bermakna, Seperti ‘daun yang jatuh tak pernah membenci angin’, sebenarnya itu memiliki makna dan arti yang mendalam bagi kehidupan Tania. Selain itu, jika boleh berpendapat, karakter Kak Danar dalam cerita ini diciptakan terlalu sempurna. Seolah tidak ada cacat dan kekurangannya. Seperti dia yang digambarkan sebagai lelaki tampan, bisa menulis banyak buku, pandai bercerita, jago bermain basket, dan menjadi GM Marketing di perusahaan terbesar. Sering pula bepergian ke luar negeri karena bisnis perusahaannya berkembang.

Beberapa bab menjelang ending, emosiku kian terpacu tatkala satu persatu teka teki bermunculan dan mulai terjawab. Istilah lainnya, dasar dari segala permasalahan cerita ini mulai terungkap ke permukaan. Terkuak satu persatu dengan jelas dan tak terlewatkan sedikit pun. Membuat aku sebagai pembaca merasa cukup puas, dan berkata “Oh, jadi gini ya…” Hanya saja, aku tidak begitu suka dengan bagaimana teka-teki itu berakhir. Menggantung begitu saja, dan membuat aku kecewa. Sebenarnya, seperti apa akhir semua itu? Bahagiakah? Sedihkah? Tidak dijelaskan langsung lewat buku ini. Entah kenapa semua terasa menyebalkan, aku tidak menemukan jawaban pasti dari semua permasalahan itu, Namun, seperti yang aku bilang di atas, ada kepuasan yang aku rasakan karena semua masalahnya telah terungkap dan setidaknya bisa membuat aku sedikit lega.

Tapi, overall buku ini sangat menjamin untuk dikoleksi. Meski pun terbilang buku lama, tapi bukankah kualitas buku tidak dilihat berdasarkan baru atau lamanya?

Terima kasih!

***

“Bahwa hidup harus menerima… penerimaan yang. Bahwa hidup harus mengerti… pengertian yang benar. Bahwa hidup harus memahami… pemahaman yang tulus. Tak peduli lewat apa penerimaan, pengertian, dan pemahaman itu datang . Tak masalah meski lewat kejadian yang sedih dan menyakitkan.”

Hlm. 196

1 komentar: