Sabtu, 02 April 2016

[Book Review] Last Forever - Windry Ramadhina



Judul               : Last Forever
Penulis            : Windry Ramadhina
Cetakan           : Pertama, 2015
Tebal               : vi + 378 hlm
Penerbit          : GagasMedia
Kategori          : Novel
ISBN               : 979 – 780 – 843 -2

Blurb:

“Seharusnya, aku tidak boleh mengharapkanmu. Seharusnya, aku tahu diri. Tapi, Lana..., ketakutanku yang paling besar adalah… aku kehilangan dirimu pada saat aku punya kesempatan memilikimu.”—Samuel.
“Untuk berada di sisimu, aku harus membuang semua yang kumiliki. Duniaku. Apa kau sadar?”—Lana.


Dua orang yang tidak menginginkan komitmen dalam cinta terjerat situasi yang membuat mereka harus mulai memikirkan komitmen. Padahal, bagi mereka, kebersamaan tak pernah jadi pilihan. Ambisi dan impian jauh lebih nyata dibandingkan cinta yang hanya sementara.
Lalu, bagaimana saat menyerah pada cinta, justru membuat mereka tambah saling menyakiti? Berapa banyak yang mampu mereka pertahankan demi sesuatu yang tak mereka duga?

***

“Dalam hubungan lelaki dan perempuan, memang harus ada yang dikorbankan. Itu yang membuat hubungan berhasil. Itu yang membuat hubungan berharga.”

Hlm. 227

Mendokumentasikan tempat-tempat tersembunyi di dunia, dan mengangkatnya menjadi sebuah film dokumenter adalah suatu kesenangan bagi Lana. Wanita yang bekerja di National Geographic Channel itu amat menyukai segala hal tentang petualangan dan film dokumenter. Mungkin itulah pula yang mengantarkan ia menjadi salah satu orang yang penting di Nat Geo. Pekerjaannya yang super sibuk, mau tidak mau juga harus membuat Lana lama menetap di Washington. Hingga pada suatu hari, ia berkunjung ke sebuah pameran film yang ada di Prancis. Saat itu, Lana tengah dibuat terpukau dengan sebuah film Indonesia yang menceritakan tentang kehidupan seorang penari Jawa. Berawal dari film yang disaksikannya tersebut, Lana bertemu dengan si pembuat film yang tak lain adalah Samuel Hardi.

Samuel adalah seorang pemilik studio film dokumenter bernama ‘Hardi’ yang berlokasi di kawasan Jakarta. Dan, studionya tersebut sudah mendapat pengakuan secara internasional. Lewat pameran film di Prancis tersebut, Lana dan Samuel mulai saling mengenal. Hubungan keduanya semakin hari semakin intim. Namun, keduanya telah berprinsip, bahwa hubungan mereka adalah hubungan yang tanpa komitmen. Dalam arti, mereka hanya berhubungan sebatas fisik saja dan tidak lebih dari itu. Samuel dan Lana sama-sama membenci sebuah ikatan maupun komitmen dalam suatu hubungan. Bagi mereka, jika sepasang orang sudah saling berkomitmen, maka harus ada salah satu pihak yang harus berkorban. Maka dari itulah mereka enggan untuk menjalin hubungan dengan dasar komitmen atau ikatan yang jelas. Mereka tidak mau berkorban.

Hubungan yang ideal adalah hubungan yang tanpa ikatan. Dengan begitu, laki-laki dan perempuan bisa bersama sekaligus tetap sendiri."

Hlm. 16

Bagi Lana, kecintaannya terhadap film dokumenter adalah segalanya. Dan ia tidak mau melepaskan itu semua begitu saja hanya karena sebuah komitmen dalam hubungan. Terlebih pernikahan, baginya itu adalah sebuah mimpi buruk. Ia tidak mau seperti Ibunya yang rela melepaskan dunia menarinya karena pernikahan. Begitu pula dengan Samuel, baginya, satu perempuan saja tidak cukup. Dengan adanya hubungan tanpa komitmen, ia bisa merasa bebas dan leluasa untuk bermalam dengan perempuan mana pun.

Namun, rupanya kedekatan Samuel dan Lana yang terlanjur intim, membawa mereka ke dalam sebuah mimpi buruk. Hal yang sebenarnya sangat tidak mereka harapkan.

Kejadian yang secara tidak sadar akan membuat mereka mempertimbangkan keberadaan sebuah komitmen.

***
Really great!

Dibandingkan dengan Orange, jujur aku lebih menyukai karya Windry Ramadhina yang ini. Didukung dengan gaya bahasa yang mudah dipahami, penulis dengan cermat membawa pembaca menikmati setiap alur ceritanya. Aku selalu suka dengan tokoh-tokoh yang dihadirkan oleh kak Windry. Terutama dari segi profesinya. Di Last Forever ini, kedua tokoh utamanya—Samuel dan Lana—sama-sama bekerja di dunia perfilman. Yang membuat aku suka, kita juga ikut mengetahui seperti apa seluk beluk dunia perfilman tersebut. Meski tidak secara mendetail, namun aku cukup suka dengan profesi yang dihadirkan oleh masing-masing tokohnya tersebut.

Selain itu, dari segi karakter, sepanjang cerita aku dibuat greget dengan Samuel dan Lana. Mereka sama-sama memiliki watak yang keras kepala dan benci dengan sebuah komitmen. Sementara, hubungan mereka sudah sangat intim, tapi mengapa mereka masih saja enggan untuk menjalin hubungan yang lebih serius? Maksudku, mengapa mereka tidak memilih komitmen saja? Bahkan, saat konflik utama pun, mereka masih saja keras kepala mempertahankan prinsipnya tersebut. Ewwhh, bikin greget mulu pokoknya kedua tokoh ini. Tapi, di lain sisi, aku suka bagaimana konflik mereka berakhir. Aku suka bagaimana mereka mengambil keputusan yang pada awalnya terbilang ‘mustahil’ itu. Duuhh, bikin berkaca-kaca pokoknya. Antara nggak nyangka, haru, dan terenyuh. Aku akui deh, penulis pandai sekali dalam memilih cerita untuk menjadi penutup cerita ini.

Jika dilihat dari segi cerita yang banyak berkisah tentang dunia film dokumenter, novel ini memiliki kesamaan dengan novel kak Windry yang sebelumnya yaitu Montase. Sebenarnya, aku belum pernah membaca novel itu sih, tapi saat aku googling, ternyata memang benar. Last Forever memiliki kesamaan dengan Montase, yaitu sama-sama bercerita tentang film dokumenter. Sebenarnya, sebelum membaca Last Forever ini, hendaknya aku juga harus membaca Montase dulu, ya? Soalnya—hasil dari googling juga—beberapa tokoh di Montase juga hadir di Last Forever ini. Hanya saja, porsi mereka di sini berbeda. Di Last Forever ini, hadir tokoh Rayyi yang tak lain adalah tokoh utama di Montase. Namun di Last Forever, Rayyi tidak lagi menjadi tokoh utama, melainkan hanya tokoh pendukung saja dan menjadi salah satu anak buah Samuel yang bekerja di studo Hardi. Rayyi di sini juga memiliki sikap yang suka membuat Samuel jengkel karena celetukannya yang terkesan menyindir. Berbeda dengan Rayyi, Samuel yang dulu tidak begitu banyak ambil peran di Montase, justru di Last Forever ia menjadi salah satu tokoh utamanya. Hmmm… barangkali, aku harus membaca Montase juga kali, yaa?? Hehe.

Sama seperti Orange, cerita di Last Forever ini sama-sama didukung dengan ilustrasi-ilustrasi yang tak kalah manis. Meski tidak sebanyak Orange, namun aku rasa tidak terlalu masalah. Karena dari segi cerita saja, buku ini berhasil membuatku nyaman dan enggan untuk berhenti membaca kelanjutan ceritanya. Oh iya, jika kalian penasaran, ini ada ilustrasi dari tokoh Samuel dan Lana di Last Forever:


Samuel Hardi

Sumber: Windry Ramadhina's Web


Lana Lituhayu Hart

Sumber: Windry Ramadhina's Web

Overall, aku sangat suka dengan buku ini. Terlebih dengan endingnya, juara banget pokoknya! Buat kalian yang sedang mencari atau ingin memahami seperti apa itu komitmen, coba deh baca novel ini. Selain ceritanya yang apik, Last Forever juga menyajikan seperti apa pentingnya sebuah komitmen dalam suatu hubungan.

Buat kak Windry ramadhina, ditunggu buku berikutnya ya, aku baru benar-benar dibuat jatuh cinta dengan tulisan Kak Windry lewat novel ini. Good job!

Terima kasih!
***

“Aku punya ketakutan yang sama. Aku takut apa yang kau khawatirkan benar-benar terjadi—aku menyakitimu dan membuatmu menyesal hidup bersamaku. Kau benar. Aku tidak bisa menjamin apa-apa. Aku memang bukan lelaki paling ideal untuk dinikahi. Seharusnya, aku tidak boleh mengharapkanmu. Seharusnya, aku tahu diri. Tapi, Lana… ketakutanku yang paling besar adalah aku kehilangan dirimu pada saat aku punya kesempatan memilikimu.”

Hlm. 357


Tidak ada komentar:

Posting Komentar